Salwa menggeleng. “Palingan juga karena maag. Biasanya cukup minum madu dan jahe, in sya Allah,” ucapnya sambil meletakkan tangan di atas dahi. Kepalanya pun kita terasa berat. “Tapi lihat, kamu keringatan gini.”“In sya Allah, akan pulih setelah istirahat. Jangan khawatir.”“Assalamu ‘alaikum, Umi.” Salsabila muncul dengan pakaian seragam sekolah. Ia mengulurkan tangannya kepada ibunya. “Yang saleh di sekolah, ya. Ingat, Allah selalu melihat kita!” nasihat Salwa setelah menjawab salam putrinya. “In Sya Allah, Umi.”“Kalau begitu, aku mengantar Salsa dulu, ya. Nanti aku balik lagi ke sini. In Sya Allah,” ucap Salman.Salwa mengangguk. “Hati-hati di jalan.” Ia memejamkan mata. Nyeri di kepalanya benar-benar tidak tertahankan. *** “Abi ga kerja?” tanya Salwa setelah menyadari Salman berada di sisinya. Salman menggeleng. Ia memiringkan badannya, lalu menyentuh dahi Salwa yang terasa sangat dingin. “Bagaimana sekarang perasaan Umi? Sudah agak baikan? Tidur Umi nyenyak sekali.”Sal
“Kamu ingat Aditya? Yang waktu bertemu di taman Siringan.”Haira menengadah. Sesaat kemudian ia mengangguk. Salwa menyandarkan punggungnya ke dinding.“Dia sahabat aku dari kecil. Rumahnya berseberangan dengan rumahku. Jadi kami sering menghabiskan waktu bersama. Bermain, belajar, ke mana-mana sampai kami sudah seperti saudara kembar. Ketika SMP kami sering jalan-jalan meski hanya seputar kota. Taman-taman atau tempat rekreasi kota. Sudah SMA baru diizinkan menyambangi tempat rekreasi yang sedikit menantang seperti mendaki gunung atau mendatangi air terjun.”Haira menyipitkan matanya. Berusaha mencerna cerita Salwa dan mencocokkan dengan penglihatan sesaatnya tentang laki-laki yang diceritakan Salwa. “Tapi mau ke mana pun kami pergi, mau ke kota, gunung, atau pantai, oleh-oleh yang kami buru adalah aksesoris.” Salwa terkekeh. Pandangannya ke depan, tetapi ingatan melayang jauh ke belakang. Betapa ia sangat merindukan hal itu.“Jadi aksesoris atau gelang ini sejenis simbol persahabata
“Mau, tapi Salsa mau menemani Umi saja. Kasihan Ummi, sering ditinggal Abi. Kalau Abi ga ada di rumah, Umi sendirian dong,” oceh Salsa.Salwa meraih kepalanya lalu menghadiahi sebuah ciuman. “Umi senang dengarnya, tetapi Umi lebih senang lagi kalau Salsa jadi anak yang bermanfaat buat agama dan negara. Umi hadiahkan Salsa untuk Allah.” Spontan Salman dan Salsabila menoleh ke arah Salwa. “Umi tidak sayang sama Salsa?” “Kenapa Salsa bertanya begitu? Di dunia ini, Salsa orang yang paling Umi cintai. Karena cinta itulah, Umi harap Salsa bahagia, selalu dalam naungan Allah dan menjadi pejuang agama Allah. Tapi untuk mendapatkan semua ini, Salsa harus belajar agama sejak dini.” “Bukannya Umi sudah ngajarin di rumah? Salsa sering dapat pujian ibu guru dan di antara teman-teman hafalan Salsa yang paling banyak,” sahut Salsa dengan wajah sedikit manyun. Salman terkekeh. Sebelah tangannya meraih pundak Salsabila. “Iya, anak Abi paling pintar, Umi juga paling sayang sama Salsa. Umi cuma mem
“Sungguh manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah. Dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir.” (Qs. Al-Maarij: 22)🌸🌸🌸🌸“Astaghfirullah, Ibu. Kenapa ibu tega bicara begitu? Bagaimana pun Salwa ibu dari anakku. Coba Ibu pikirkan bagaimana Salsa besar tanpa didampingi ibunya.”“Kamu bisa lihat Mona. Anaknya baik-baik saja orang tuanya pisah. Yang penting ibunya bisa merawat anak dengan baik, dan ayah tetap memberinya nafkah.”Salman menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tau mengapa ibu jadi mengentengkan masalah ini. Sadar, Bu. Jangan sampai uang menggelapkan hati nurani.”Munajah naik pitam. Ia menarik kakinya. “Kamu mulai berani menceramahi Ibu?! Ingat, Man. Surgamu di telapak kaki ibu.”“Tapi bukan begini caranya. Aku tidak mengerti, sampai sekarang mengapa Ibu tidak menyukai Salwa, padahal kurang baik apa dia pada Ibu? Dia yang melahirkan Salsa, cucu Ibu.”“Dari awal Ibu tidak menyukainya dan sampai kapan pun.” “Astag
Salwa melepaskan pegangan Haira. “Aku mohon, jangan temui aku lagi.”“Ustadzah.” Haira menggelengkan kepalanya. Bibirnya kelu. Hatinya remuk, melihat tatapan dingin wanita yang dikaguminya. Ia hanya bisa pasrah menatap punggung Salwa yang menjauh. “USTADZAH,” teriak Haira. Kembali ia ingin segera mengejar Salwa, tetapi badannya dipegang Jamilah. Haira langsung menampik tangan ibunya. Mata merahnya semakin nanar. “HAIRA!” bentak Jamilah. “Demi dia kamu berani menatap Mama seperti itu?!”“INI SEMUA KARENA MAMA,” teriak Haira. “AKU BENCI MAMA!” “Haira, tenangkan dirimu. Tak baik dilihat orang.” Haikal mengingatkan.Haira mengedarkan pandangannya. Dua santri terpaku, menatap mereka. Dua santriwati itu menjauh, begitu menyadari Haira balik menatap.“Masuklah! Nanti sehari dua hari kamu bisa meminta maaf kepadanya. Ini bukan kesalahanmu. Aku yakin, jika emosi dia reda, dia tidak akan menyalahkanmu.”Haira menggeleng. Wajahnya tertunduk lesu. Air mata masih saja mengalir. “Bagaimana aku
“Setiap kali (kilat itu) menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan apabila gelap menerpa mereka, mereka berhenti.” (Qs. Al-Baqarah: 20)🌸🌸🌸Salman menoleh. Menatap wajah anaknya yang menyimpan seribu tanya. Hatinya merasa tercubit. Ternyata masih ada sekat antara dia dengan Salsa. Ia tidak tahu seberapa tebal sekat itu? Yang ia tidak habis mengerti, mengapa Salsa tidak menyukai rumah ibunya?Ia teringat obrolan mereka dalam mobil sewaktu menuju rumah ibunya. “Jika Salsa benar-benar ke pondok, Umi nggak takut nanti kesepian?” tanya Salsabila waktu itu.“Mmm ...” Salwa memasang wajah berpikir. “Mungkin Umi akan mondok lagi, jika Abi tidak ada.”“Bagaimana kalau Umi ke pondok Salsa saja?” usul Salsabila.“Ngapain?” tanya Salwa.“Ngajarlah! Masa Umi sekolah juga,” sahut Salsabila dengan nada candanya.“Boleh juga,” goda Salwa.“Lo, kok kompak mau ninggalin Abi? Kalau Umi ke pondok, bagaimana dengan Abi?” tanya Salman dengan memasang wajah cemas.“Biarin,” sahut Salsa
“Om, bagaimana keadaan Tante?” tanya Haikal sambil berjalan. “Dia lagi di rumah sakit. Keadaan Haira bagaimana?” tanya Salman di seberang sana. “Dia lagi syok, tapi Om jangan khawatir. Di sini ada aku. Om jaga Tante saja. Maaf Om, atas kekacauan ini.”Saat berbalik, ibunya telah berada di depannya dengan tatapan nanar. Secepat kilat tamparan melesat di pipinya. Spontan tangannya menyentuh pipinya yang terasa pedas. “Apa hak kamu mencampuri urusan Mama?”“Apa hakku? Mama ibu kandungku. Aku tolol jika terus membiarkan Mama begini. Mama tidak lihat, Haira telah berubah banyak berkat Tante, tapi apa yang Mama lakukan? Bukannya berterima kasih, malah memfitnahnya." Haikal mendekati ibunya, "sekali lagi Mama berani mengganggu Tante, aku tidak akan tinggal diam.” Seketika terdengar benda jatuh dan hancur di lantai. Mata Jamilah membesar melihat ponsel merek buah telah hancur. Sementara Haikal berlalu tanpa menoleh ke benda tak berdosa itu.“HAIKAL!!!” teriak Jamilah sambil berbalik. Sek
“Setiap kali (kilat itu) menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan apabila gelap menerpa mereka, mereka berhenti.” 🌸🌸🌸Siang hari Salwa hanya sendirian di ruang inap. Situasi inilah yang sangat dikhawatirkannya. Sendiri tanpa adanya aktifitas pikiran akan mudah mendapatkan hasutan. Setan menakut-nakuti manusia dengan kefakiran. Fakir harta dan kasih sayang. Padahal hal itu belum tentu terjadi. Ia membuka ponselnya, membuka file tulisan Cahya. Tabiat asli manusia itu kikir. Mendekap erat apa yang dimilikinya. Sebenarnya ini salah satu karunia Allah kepada manusia, agar mereka menjaga serta merawat apa yang telah didapatkan dan dimiliki. Hati terusik dan melakukan tindakan apabila sesuatu miliknya yang berharga dirampas. Bahkan ada yang marah, meski hanya disentuh.Lingkungan dan pengalaman membuat kadar kekikiran berbeda. Ada yang sifat kikirnya terkikis, sebaliknya malah tumbuh dan mengakar kuat.Begitu juga halnya dengan kekasih. Kekasih sesuatu yang sangat isti
“Memang Sanad nggak punya cinta? Dia sudah punya istri,” bantah Salwa.“Kalau orang memerhatikan, Sanad itu pria dingin banget," ucap Anita.“Di perusahaan, semua orang tahu, kalau hubungan suami istri mereka hanya seperti ikatan profesionalisme saja,” imbuh Bayu.“Malah aku melihat tatapan Sanad lebih berwarna ke Tera dan putranya dibanding Hayati.” Anita menimpali. “Aku tidak memerhatikan itu. Tapi kalau dilihat kondisi Evan, wajarlah jika Sanad menaruh perhatian pada Tera," sambung Salwa.“Di perusahaan Sanad itu seperti apa, Bayu?” tanya Aditya ke Bayu. “Secara persen saham punyaku lebih tinggi, tapi dia cukup berpengaruh. Tidak ada yang bisa mengabaikan atau membantah pendapatnya kecuali aku. Itu pun karena sahamku lebih tinggi. Coba saja kalau tinggi dia sedikit saja, habislah aku.”Seketika di ruangan itu tertawa. “Tapi jangan khawatir, aku sa
Kalau memang jodoh, langkah sejauh apapun akan bertemu kembali.***“Ops.” Bayu datang bersama Anita. Aditya menarik diri. Salwa tak kuasa mencegah wajahnya untuk tidak merona. “Kalau masuk ketuk dulu, atau salam kek,” gerutu Aditya, sambil duduk ke sofa.Bayu hanya memasang wajah nyengir. Ia meletakkan kantong kertas, lalu duduk di samping Aditya. Anita menyerahkan buket bunga kepada Salwa. “Selamat ya.”"Terima kasih, Nit."“Sama-sama. Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Anita sambil menduduki kursi di samping ranjang Salwa. “Alhamdulillah. Terima kasih, Nit,” ucap Salwa sambil menciumi aroma bunga. “Kenapa terlihat kaku sekali?” protes Anita. Salwa tertawa. “Bukan begitu. Kalau diberi, harus berterima kasih, meski kepada orang terdekat.”Anita tersenyum tipis. “Kalian sudah mengalami hari-hari berat. Refreshinglah. Apa perlu kita liburan bareng?” Anita memutar badannya ke arah Bayu dan Aditya. “Kalian ada usul. Ke mana?
Seketika tubuhnya limbung. *** “Bagaimana keadaan Haikal?” Aditya mencubit pipinya geram, sampai meringis. “Aku sangat mengkhawatirkanmu, tapi Haikal yang pertama kali kamu tanyakan setelah sadar!”“Bagaimana keadaan Haikal?” desak Salwa. Aditya mengembuskan napasnya. Ia memasang wajah kecewa. Namun, Salwa semakin panik dibuatnya.“Bagaimana keadaannya?”Tanpa suara ia mengambil ponselnya di atas nakas. Ia menyentuh ikon aplikasi warna hijau dan melakukan panggilan video di sebuah nama. Ia menyerahkan ponsel itu ke Salwa.Mata Salwa membelalak. Penuh tanya, tapi Aditya enggan menjawab. “Assalamu ‘alaikum. Hallo, Tante!” Wajah Haira menghiasi layar ponsel.“Wa alaikum salam warahmatullah. Haira, bagaimana keadaan Haikal?” “Alhamdulillah baik, Tante.” Haira mengalihkan ponselnya hingga muncul wajah Haik
Zaid mengangguk. “Iya, kan?! Kamu juga pasti ingin selalu bersamanya sampai di akhirat kelak?!”***Dari start setelah subuh sampai zuhur, Salwa memperoleh bacaan 16 juz, setelah salat Juhur serta makan siang, ia kembali memulai bacaannya dan berhasil mendapatkan 5 juz. Ia tidak menyangka kalau bacaannya bisa selancar itu. Karena dari dulu, ia tak kunjung berhasil mengkhatamkan setoran, kecuali secara berkala per tiga juz. Ia mulai menghafal setelah hijrah. Tadinya menghafal hanyalah sebagai bekal, setidak di juz 30. Siapa sangka, menghafal menjadi candu baginya, sampai akhirnya menikah. Semangatnya bertambah berkat dukungan Salman, tetapi pada saat yang bersamaan banyak rintangan yang dihadapinya.Hafalan bubar, sudah menjadi makanannya selama berproses menghafal sebagai ibu rumah tangga. Satu hal yang disyukuri dalam dirinya, ada rasa memiliki hafalan itu, sehingga selalu ia sempatkan mengulang. Sampai saatnya berani berkeinginan ikutan tes di pondok. Sayangnya, saat usahanya habi
“Tapi …?”“Aku tidak tega meninggalkanmu.” Ia meletakkan kepalanya di bahu Aditya.Aditya mencebik. “Tidak tega meninggalkanku atau tak kuasa meninggalkanku?” goda Aditya. Salwa merasakan wajahnya menghangat. “Mungkin dua-duanya.”Aditya tersenyum bangga. “Kalau begitu istirahatlah lebih awal. Supaya besok kamu lebih fit.”Mendadak wajah Salwa merengut. Aditya mencubit pipinya. “Jangan mengujiku. Aku pun ingin malam ini menjadi malam panjang, karena besok aku akan tidur sendiri, tapi bagiku kesehatanmu lebih penting.”Salwa terdiam. Memainkan bibir, entah apa yang dipikirkannya. Aditya memegang bahu Salwa, hingga perempuan itu berdiri. Ia mengangkat tubuh Salwa, lalu meletakkan di atas ranjang. “Tidurlah. Aku ingin melihat wajahmu lebih lama,” ucap Aditya setelah merapikan selimut di badan Salwa. “Peluk aku!” rengek Salwa. Aditya terkekeh.
Salwa tersenyum. Ia menggaet lengan Aditya, menyandarkan kepala ke bahu, lalu memejamkan mata.*** Salwa tak kuasa menahan tangis, melihat Haikal yang tak sadarkan diri di ruang ICU yang hanya bisa ia lihat lewat kaca. Berbagai selang yang tidak diketahui Salwa namanya, bergelayutan di badan Haikal. “Jangan dilihat kalau membuatmu tidak kuat,” ucap Aditya setelah menelungkupkan wajah Salwa ke bahunya.“Ini gara-gara aku,” isaknya.“Tidak ada yang bisa disalahkan dari kejadian ini. Aku yakin, ia melakukannya dengan suka rela, jadi kamu harus kuat sebagai bentuk terima kasih padanya.”Salwa beralih kepada Jamilah yang duduk di bangku panjang ruang tunggu. Salman yang duduk di samping, terus memberikan dukungan kepada Jamilah. “Maafkan aku,” ucap Salwa tanpa berani mengangkat wajah. “Aku tau, permohonan maaf, tidak bisa membalikkan keadaan, tapi aku tidak tahu lagi melakukan apa selain
"Jagalah diri baik-baik. Jika kanu terluka, aku pun ikut terluka."~Aditya~***“Ya, Hallo!” Aditya menjauh dari jalanan. Namun, ketika sudah terlanjur jauh, barulah ia menyadari. Ia menatap panggilan di layar ponselnya tanpa nama. Ini jebakan.Decit mobil terdengar jelas. “WA, AWAS!” Teriaknya sambil berlari mendekati Salwa.***Dari kejauhan Danum menatap nanar. Inilah kesempatannya, setelah sekian lama ia menunggu. Selama mengintai, hatinya terus tergerus luka. Ia melihat jelas perhatian Aditya semakin membesar terhadap perempuan yang hanya tinggal beberapa meter dengannya. Kini ia tidak peduli lagi hari esok. Baginya sekarang menuntaskan rasa sakit hati yang terlanjur berdarah-darah.“Meski aku tidak bisa lagi memilikinya, setidaknya kamu juga tidak boleh memilikinya. Meski kita harus mati bersama.”Ia mengambil ponselnya, lalu melakukan panggilan dengan nomor yang baru saja dibelinya. “Hallo!” Ia hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas. Matanya terus menatap nanar mangsa di
Di balik pintu kamar Salman memegang dadanya yang terasa nyeri. Waktu telah berlalu, tetapi ia masih belum bisa membuang perasaannya pada ibu dari anaknya. *** Salwa sedikit tersentak, ketika bangun tidak mendapati Aditya di sampingnya. Ia memasang telinga, barangkali ada bunyi dari dalam kamar kecil, kenyataannya nihil. Ia keluar kamarnya, terlihat lampu sudah menyala di mushola kecil mereka. Ia melangkah pelan hingga sampai ke tempat yang dituju. Terlihat Aditya sedang bersujud. “Masya Allah,” batinnya. Seumur pernikahan, baru kali ini Aditya bangun sendiri untuk salat Tahajud. Ia berbalik ke kamar, bergegas ke kamar kecil, berwudu, mengenakan mukena, lalu duduk di belakang Aditya. Sesaat Aditya terkesiap melihatnya setelah salam. “Sudah bangun?” tanya Aditya.Salwa mengangguk. “Masih ingin salat kan? Kita berjamaah ya!” “Sayang sekali, aku ingin berdoa.”
Setelah selesai salat Isya orang-orang berpencar. Aditya bergegas turun setelah melihat orang yang diperhatikannya sejak tadi telah keluar masjid. “Assalamu ‘alaikum,” ucap Aditya. Laki-laki itu berpaling. “Wa ‘alaikum salam.” Sesaat Aditya terpana dengan penampilan laki-laki itu. Wajah putih bersih, sedikit cambang di dagu membuatnya terlihat lebih berwibawa. Pembawaan sifat tawadhu membuat laki-laki itu terlihat semakin sempurna di matanya. “Anda …?” Aditya mengulurkan tangannya. “Saya Aditya, suami Salwa. Kita pernah bertemu di acara pernikahan kami kemarin di Nagara.”“Oh iya ya. Saya baru ingat.” Laki-laki itu menyambut tangan Aditya. “Saya Zaid. Istri kita dua sahabat, tapi baru sekarang kita bisa bertegur sapa.”“Maafkan saya. Kalian menyempatkan diri datang ke Nagara, sedang baru sekarang saya menyempatkan diri menyapa. Saya minta maaf.”Zaid tertawa