Terbongkarnya Semua Kebohongan"Pagi ini, kita akan ke makam ibumu, ucap Darmawan, mendengar permintaan Amira. Gadis lugu putri Darmawan itu mengangguk."Maaf, Den, jika bibik juga harus bercerita tentang ini." Bik Sumi kembali menangis."Kenapa, Bik?" tanya Darmawan."Makam yang dibilang Nyonya Sonya adalah makam Khalila, itu semua tidak benar, Den," jelas Bik Sumi."Maksudnya, Bik?" tanya Darmawan kembali."Bibik mendengar perbincangan Nyonya Sonya dan Sofyan, jika makam yang ditunjukkan ke Aden itu adalah makam orang yang sudah tidak terurus, tidak ada sanak saudaranya," jelas si bibik lagi sembari terisak."Ya, Allah ... jadi selama ini, yang kukunjungi selama ini, bukan kuburan istriku," lirih suara Darmawan, dia bingung harus berkata apa."Jadi di mana sekarang kuburan ibu, yah? tanya Amira kepada Darmawan. Darmawan terdiam, dia benar-benar tidak bisa berpikir, shock mendengar penjelasan dari Bik Sumi."Satu-satunya cara, kita harus menemukan keberadaan Pak Sofyan," usul Dimas,
"Bapak bersedia 'kan, mengantarkan kami ke sana," harap Darmawan."Saya bersedia Tuan, tetapi saya harus mengambil arit dan pacul terlebih dahulu, karena terakhir kali saya membersihkan kuburan yang bernama Khalila itu, sekitar setahun yang lalu," jelasnya lagi."Jadi terkadang, bapak juga suka membersihkan kuburan tersebut?" tanya Darmawan lagi, sambil menyeka air matanya. "Iya, Tuan." Pria tua itu mengangguk pelan."Sebentar, Tuan. Saya mau mengambil cangkul dan arit dulu," ijinnya pada Darmawan."Jauh tidak, Pak?" tanya Dimas."Itu rumah saya Tuan." Bapak itu menunjuk salah satu rumah kayu yang terlihat agak kumuh, dibanding rumah-rumah yang lain di sekelilingnya. Pak tua itu lalu permisi sebentar untuk mengambil peralatan yang dibutuhkan.Darmawan segera mengambil handphone dari sakunya dan mulai menelpon Hanum.[ Dek Hanum lebih baik kemari saja ya, dengan Bik Sumi, saya tepat di samping tembok lapangan ini, dan tolong bawakan tas kecil saya, di bawah kursi kemudi ][ Baik, Mas.
"Ko, Mami Merry bisa kenal dengan Tante Sonya, ya, Yah?" tanya Amira kepada Darmawan. Sedikit agak bingung juga Darmawan menjawab pertanyaan dari putrinya tersebut, dia juga sedang berpikir, dari mana ibu tirinya itu bisa mengenal muncikari seperti Mami Merry, dan apa hubungannya di antara mereka berdua. "Apakah dua kali peristiwa penculikan yang hampir dialami Amira, ada hubungannya dengan Tante Sonya, Bang?" kali ini Dimas yang bertanya kepada Darmawan. Ayahnya Amira itu terdiam, logikanya pun berpikiran seperti itu. "Karena tidak mungkin sepertinya, jika tidak ada yang memberitahu atau membocorkan tentang keberadaan Amira. Karena dua kali Amira keluar rumah, dua kali juga Amira hampir ditangkap lagi oleh Muncikari itu." Dimas terus mengungkapkan analisanya, menyangkut hubungan antara Sonya dan Mami Merry. "Sepertinya, pendapat Dimas ada benarnya juga, Mas Darmawan." Hanum menambahkan, karena saat kita sedang di kota tua waktu itu, kenapa mereka bisa mengetahuinya, padahal Jakarta
Kejahatan Tante SonyaDarmawan yang posisi duduknya membelakangi Tante Sonya dan Mami Merry, segera berdiri untuk menghampiri Tante Sonya. Dimas pun bergerak cepat untuk segera menemani Darmawan, karena untuk mencegah, sepertinya sudah terlambat. Setelah sebelumnya, Dimas meminta Amira, Hanum dan Bik Sumi untuk tetap bersembunyi, agar tetap tidak diketahui oleh si Tante dan si muncikari tersebut. Terlihat oleh Darmawan, jika Tante Sonya dan si muncikari tersebut hanya memesan minuman saja, tidak ada yang lainnya dan mereka masih terus berbincang."Selamat siang, Tante? Dua hari Tante tidak pulang, ternyata sedang berada di sini," sapa Darmawan kepada Tante Sonya, mencoba bersikap seramah mungkin, Dimas pun sudah berdiri di samping Darmawan. Darmawan memang dari sejak almarhum papanya menikah dengan Tante Sonya, tidak pernah dia memanggil ibu kepada perempuan tersebut.Terkejut Tante Sonya melihat kehadiran Darmawan dan Dimas di restoran ini, Tante Sonya juga mengenal Dimas, karena jug
Tante Sonya terkejut, lalu segera menubruk kaki Darmawan, memohon-mohon dan meminta ampun."Ampuni Tante Wan, maafkan Tante, jangan jebloskan Tante ke dalam penjara," rintih Tante Sonya, sambil terus menangis."Kurang apa saya dengan Tante, selama bertahun-tahun saya bekerja untuk menghidupi Tante dan Diaz, lalu begini balasan Tante terhadap saya!" bentak Darmawan lagi, Tante Sonya masih menangis terduduk di lantai, tangannya masih memeluk erat kedua kaki Darmawan."Maaf, Tante harus keluar dari rumah ini!" Tante Sonya semakin kencang tangisannya."Jangan Wan, jangan usir Tante dari rumah ini, nanti Tante dan Diaz mau tinggal di mana," rintih Tante Sonya lagi."Jangan Ayah, jangan usir nenek dari rumah ini." Amira langsung memeluk tubuh Darmawan."A-ayah...." tergagap Tante Sonya."Iya, Amira Anak saya, bayi yang dulu Tante buang melalui Sofyan, adalah Amira!" tegas Darmawan lagi, sembari merengkuh bahu anaknya, Amira. Amira perlahan mulai melepaskan diri dari rengkuhan ayahnya, dan
"Berikan saya waktu untuk berpikir ya, Pak," pinta Darmawan terhadap Pak Sasmita, lalu mulai meminum teh hangatnya yang tadi sudah disiapkan Bik Sumi, sedikit ingin mengurangi rasa gelisah yang mendera hatinya. Pak Sasmita adalah orang yang sudah dianggapnya sebagai orang tua, pengganti almarhum papanya."Tidak bisakah, Nak Darmawan langsung memberikan jawaban," cecar Bu Ranum, tidak sabaran sekali dia, sama persis dengan Mella anaknya. Sang suami hanya diam saja, melihat istrinya terus mencecar Darmawan."Maaf ibu, ini suatu hal penting yang menyangkut masa depan saya, dan saya tidak bisa sembarangan dalam hal ini," jawab Darmawan, sedikit pun dia tidak mengindahkan kehadiran Mella yang ada disebelahnya."Baiklah jika begitu, bapak kasih kesempatan, Awan untuk berpikir dulu." Pak Sasmita lalu melirik ke arah arloji di tangannya. "Kami juga sekalian ijin ingin pamit, dan saya pribadi, menunggu jawaban dari Awan secepatnya," jelas Pak Sasmita.Darmawan tidak menjawab, dia hanya mengang
"Ara percaya tidak, jika hidup, mati, dan jodoh adalah sudah ketentuan takdirnya Allah?" tanya Hanum, jemarinya menggenggam tangan Amira, gadis kecil itu mengangguk pertanda menyetujui ucapan Hanum."Jadi, Ra. Walaupun Kakak bilang Iya, tidak, atau apapun itu, jika Allah tidak berkehendak, maka tidak akan terwujud." Amira terus saja memperhatikan dan mendengarkan penjelasan Hanum dengan serius."Kakak hanya meminta kepada Allah, semoga diberikan pendamping yang terbaik, untuk dunia dan akhirat, Kak Hanum. Jika menurut Allah yang terbaik itu ayahnya Ara, kakak akan terima, begitupun sebaliknya. Jadi maafkan kakak ya, Ra, jika tadi tidak bisa menjawab langsung pertanyaan Amira," ucap Hanum, menjelaskan dengan panjang lebar. Senyum tetap tidak lepas dari paras cantiknya."Semoga Allah, menjadikan Kak Hanum, ibu sambung Amira, istri pendamping ayah, Aamiin," pintanya pada Tuhan penentu kehidupan segala mahluk di muka bumi, tidak akan ada yang luput dari penguasaannya.Hanum memeluk Amira,
Amira segera bangkit berdiri, dan langsung berlari untuk menemui Asmah, betapa ia sangat merindukan sahabat terbaiknya itu di dalam penyekapan, sahabat yang selalu perduli terhadapnya. Hanum dan Bik Sumi pun mengikuti di belakang Amira."Asmahhh....! Teriak Amira, dari saat mulai menuruni tangga rumahnya, air matanya sudah tumpah semua, perasaan kangen, bahagia juga haru, benar-benar menyelimutinya. Asmah pun berdiri dari tempat duduknya, kedua netranya pun sudah penuh dengan genangan air mata."Ra...." ucap Asmah penuh keharuan, saat Amira berhenti tepat satu meter di depan Asmah. Dada Amira merasa sesak, terisak-isak tangisnya, apalagi saat melihat wajah Asmah yang terdapat luka lebam. Asmah mulai mendekati Amira, tubuhnya gemetar, tiada pernah menyangka dapat kembali bertemu dengan Amira. Mereka saling memeluk erat, bertangis-tangisan, keharuan benar-benar terasa di ruangan tamu ini. Bik Sumi dan Hanum pun sudah ikut menangis, apalagi saat melihat kondisi wajah Asmah yang membuat