“Kalau kamu takut, lebih baik kamu temani saja, Nai. Dari pada terjadi apa-apa yang gak diinginkan,” sambung Umi.Aku menggeleng pelan. “Naira beneran gak rela, Mi. Lagian Naira juga gak mau ketemu sama Mas Andra.” Rasanya aku ingin menangis saat itu juga.Umi mendesah. Tangannya lantas menggenggam tanganku. “Apa perlu Umi dan Abah temenin biar lebih aman, Nai?” tanyanya.Mataku melebar sempurna. Benar juga kata Umi. Kenapa aku tak berpikir sampai ke situ? Memang benar, saat sedang tertekan, seseorang tak bisa berpikir jernih. Pastinya aku akan merasa lebih nyaman kalau ada Umi dan Abah. Anggap saja jalan-jalan besok sebagai piknik keluarga. Perlahan aku mulai tersenyum lebar.“Abah mau gak ya, Mi, kalau diajak?” Aku menggigit bibir.“Pasti mau. Nanti biar Umi yang bilang.”Aku langsung memeluk Umi erat. “Makasih, Mi. makasih udah perhatian sama Nai dan adil,” ucapku tulus.Ia menepuk-nepuk pundakku. “Sama-sama. Kalau bukan perhatian sama kamu dan Fadil, Umi harus perhatian sama siapa
Kesal, aku berdiri di depan pagar melihat ke kiri dan kanan jalan. Untunglah, beberapa saat kemudian, sebuah mobil mendekat lalu berhenti di depan rumah. Sosok Mas Andra dan Mama keluar. Raut wajah mereka tampak kesal dengan dahi berkerut. Mama tampak sesekali menyeka pelipisnya.“Kok telat, Mas?” Aku langsung bertanya sedikit berbisik.“Maaf, tadi mobilnya pecah ban di jalan. Akhirnya pesan Grab lagi,” jelas Mas Andra.Mama melirikku sinis. Wajahnya ditekuk sedemikian rupa. Bahkan di depan Abah dan Umi pun mimik wajahnya tak berubah. Masih sama, seperti melihat musuh. Aku sungguh tak paham dengan sikap Mama meskipun sudah 6 tahun menjadi menantunya. Hanya di depan Fadil saja ia bersikap sedikit manis. Saat melihat ayahnya, anak laki-lakiku itu langsung mengambur ke pelukan Mas Andra. Ada sedikit nyeri di dadaku melihat adegan itu.“Ayah, Ayah! Fadil kangen, Yah!” seru Fadil sembari memeluk erat Mas Andra.Mas Andra tak henti-hentinya menciumi Fadil dan balas memeluk erat. “Ayah juga
“Nai!” teriak Mas Andra saat mobil tiba-tiba saja berhenti.“Bunda …” panggil Fadil. Suaranya sedikit bergetar.Aku terdiam, tangan menggenggam erat setir. Kuperiksa lewat kaca spion dalam, Fadil tidak apa-apa karena memakai sabuk pengaman. Mama memandangiku dengan mulut sedikit terbuka.“Ada apa, Nai? Kok kamu berhenti mendadak? Apa nabrak sesuatu?” tanya Mas Andra dengan wajah khawatir.Aku menatap lurus ke mata Mama. Wanita tua itu mengerjap cepat. Sepertinya ia paham kalau perasaanku sedang tak bagus.“Kalau Mama gak bisa diam, aku terpaksa mengusir Mama keluar dari mobil,” bisikku, cukup kuat untuk terdengar di telinganya.“A-apa? Kamu mau usir Mama?” Ia terperanjat.“Aku muak dengan ocehan Mama. Kalau Mama ikut cuma untuk merusak suasana, belum terlambat untuk pulang dengan Mas Andra. Biar aku, Fadil, Abah dan Umi saja yang pergi,” ucapku dengan wajah serius.“Wah, wah, wah. Hebat banget kamu, ya. Berani kamu ngusir Mama sama Andra? Bener-bener sombong kamu!” Bukannya introspeks
Bergeming, aku pura-pura tak mendengar. Apakah Mas Andra pikir aku akan luluh dengan ucapan manis itu?“Mas udah sembuh, Nai. Obatnya juga sudah habis. Badan Mas udah sehat. Kamu mau kan Nai, kita baikan?” Akhirnya kalimat itu terucap lagi. Mas Andra tak ingin berpisah.“Jangan kamu pikir aku akan luluh ya, Mas. Seujung kuku pun aku takkan mau kembali ke kamu,” tolakku tegas.Wajah Mas Andra tampak kecewa.”Tapi kenapa, Nai? kamu gak kasihan sama Fadil?”“Justru karena aku kasihan sama Fadil, Mas! Aku gak mau anakku malu karena punya ayah seorang pezinah! Asal kamu tahu, ya. Perempuan yang sering tidur denganmu itu terus-terusan mengirimkan pesan menjijikkan ke WA!”Mas Andra gelagapan, salah tingkah. “Aku udah gak berhubungan lagi sama mereka, Nai! Kamu tolong pahami. Mas akan berubah menjadi lebih baik, untuk kamu juga Fadil. Jangan seperti ini, Nai!” Mas Andra masih terus berusaha membujuk.“Kamu tahu sifatku kan, Mas. Kalau aku sudah yakin untuk memutuskan sesuatu, maka akan sulit
Setelah perjalanan yang terasa sangat panjang, Fadil akhirnya sudah ditangani di ruang emergency. Kami hanya bisa menunggu di luar. Umi dan Abah terus-terusan memelukku sembari berzikir. Mas Andra terduduk di lantai, sementara Mama tak tampak batang hidungnya.“Mi, gimana kalau Fadil gak bangun, Mi? Nai gak sanggup, Mi,” tanyaku di sela isakan.“Astaghfirullah. Jangan ngomong gitu, Nai. Terus berdoa yang terbaik! Umi yakin pertolongan Allah itu dekat. Jangan berpikiran buruk, Nai,” ucap Umi kalut, menyadarkan aku.Ingin rasanya aku menghambur ke ruangan di mana Fadil berada. Memastikan kalau anakku masih berada di dunia ini. Tepat saat aku berdiri dari bangku tunggu, pintu ruangan IGD terbuka lebar.“Keluarga Fadil!” panggil sosok berjubah putih itu.Kami semua sontak berdiri. Setengah berlari aku mendekat, sampai hampir terjatuh. Tangan Mas Andra cekatan memegangi, tapi segera kutepis.“Maaf, orang tua Fadil yang mana?” tanya dokter tersebut.“Saya, Dok!” Aku dan Mas Andra menjawab b
Mas Andra terlihat sudah dalam posisi duduk bersandar rileks di kursi. Belum sempat petugas memasang peralatan pada lengannya, aku masuk ke ruangan. Alis Mas Andra bertaut melihat kehadiranku. Begitu juga dengan petugas yang perhatiannya tampak teralihkan.“Sus, tunggu!” sergahku cepat.“Ada apa, Bu?”“Mau apa kamu, Nai?” Mas Andra turut bertanya.“Suami saya ini tidak bisa mendonorkan darah!” ucapku tegas.Sekarang giliran si petugas yang memandangiku heran.“Maksudnya bagaimana, Bu?”“Iya, maksud kamu apa sih, Nai? buang-buang waktu aja!” Wajah Mas Andra tampak kesal.“Dia punya penyakit sifilis, Sus!”Tiga orang petugas yang berada di dalam ruangan sekarang mengarahkan pandangan ke arahku. Suster yang sedang menyiapkan selang dan jarum langsung terdiam di tempat.“Si-sifilis? Bapak ini menderita sifilis?” ulangnya.“Iya, kurang lebih dua minggu lalu suami saya diperiksa dan hasilnya positif sifilis. Tolong, Sus, saya akan cari pendonor lain!” Aku tergesa mengejar waktu.“Apa yang d
“Ndra, Mama mau pulang! Mama naik Grab aja! Minta uang ongkos!” Suara Mama terdengar sampai ke telingaku.“Ma, masa kondisi Fadil lagi kayak gini Mama malah mau pulang sendiri?” protes Mas Andra.“Mama capek, Ndra. Lagian di sini kan, udah banyak yang jaga! Mama juga gak ngapa-ngapain!” Mama merengut tak terima.Tanganku mengepal kuat melihat tingkah Mama yang memuakkan. Lihat saja nanti. kalau ada apa-apa terjadi padanya, seujung kuku pun aku takkan peduli! Aku bersumpah demi Fadil dan hidupku sendiri.“Ck, ya sudah. Mama pulang, terus rumah diberesin sedikit, Ma. Nanti Andra nyusul pulang!” ucap Mas Andra.“Iya, iya. Mana duitnya!”Mas Andra tampak mengeluarkan selembar uang warna merah. Tak lama kemudian Mama sudah memasukkan uang tersebut di dalam tasnya. Tanpa basa-basi, ia lewat begitu saja di depanku, Umi, dan Abah.Jangankan pamit atau mengucapkan apapun, melirik ke arah kami pun ia tampak tak sudi. Rahang Abah mengeras. Sementara aku menahan diri dengan sisa kewarasan yang ma
Setelah melapor pada petugas lab, akhirnya Mama sudah duduk untuk melakukan tes golongan darah. Aku dan Mas Andra menunggu di bangku luar. Perasaanku tak menentu. Doa tak henti-henti aku ucapkan dalam hati.Menit-menit berlalu, terasa begitu lambat. Aku sungguh tak sabar untuk tahu hasilnya. Kalau pun darah Mama tak cocok dengan Fadil, semoga ada kabar baik dari Widya atau siapa pun itu. Kulirik Mas Andra, ia memejamkan mata sembari bersandar pada bangku. Entah apa yang ia pikirkan.Sepuluh menit berlalu, akhirnya Mama keluar dari ruangan lab dengan membawa sebuah kartu kecil berbentuk persegi panjang. Senyuman bangga terukir di bibirnya. Harapanku membuncah. Jika Mama tersenyum, maka pastilah kabar baik yang ia bawa.“Bagaimana, Ma?” tanya Mas Andra yang langsung bangkit dan mendekat Mama.“Hmm. Nih, lihat. Darah Mama B-. Kata petugasnya Mama bisa langsung donor darah kalau tekanan darahnya bagus,” ucap Mama.“Alhamdulillah! Serius, Ma? Ya Allah, alhamdulillah. Kalau gitu, ayo, Ma. L
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah mulus Mbak Della. Aku sampai sedikit terperanjat, tak menyangka Mas Andra akan sekasar itu. Padahal tadi dia memanggil Mbak Della dengan panggilan ‘Sayang’.“M-mas, kamu nampar aku?” tanya perempuan itu dengan suara bergetar.“Tutup mulut busukmu itu, Della! Sejak kapan aku merayu kamu, hah? Kamu aja yang keganjenan setiap hari godain aku! Termasuk hari ini tadi!” geram Mas Andra seolah dialah yang paling benar.Aku hanya berdiri mematung menyaksikan pertengkaran di antara pasangan tak halal itu. Rupanya Mas Andra benar-benar pengecut dan ingin membuatku percaya kalau yang salah hanyalah Mbak Della.“Kamu keterlaluan, Mas! Bu Naira, saya berani sumpah kalau kami melakukan ini atas dasar suka sama suka! Saya gak bohong, Bu!” teriak Mbak Della setengah menangis.Aku manggut-manggut mendengarkan keluhannya. Kenapa sekarang menangis? Tangan Mas Andra kembali terangkat ke arah wajah Mbak Della. Saat itu juga aku bersuara.“Cukup, Mas! Kamu bole
Apakah ini hari di mana pernikahanku dan Mas Andra akan berakhir sepenuhnya? Kurasa, setelah ini nanti, dia tak akan punya kekuatan lagi untuk mengelak. Bukannya aku senang karena Mas Andra terbukti melakukan hal yang tidak senonoh, tetapi itu memang perbuatan yang dia lakukan sendiri dalam keadaan sadar dan tanpa tekanan dari siapapun. Tak ada yang memaksanya untuk bertindak tidak terpuji dengan Mbak Della. Bahkan, yang membawa perempuan itu ke rumah ini adalah Mama dan Mas Andra sendiri. Setelah aku mengirimkan rekaman yang pertama, Abah sempat mencoba menelpon, tetapi aku tolak. Meski demikian, aku segera mengirimkan pesan padanya. [Bah, Nai mau gerebek Mas Andra hari ini. Jangan telpon dulu ya, Bah. Nanti Nai kabari lagi] Aku tahu kedua orang tuaku di sana pasti khawatir. Sejujurnya aku pun tak tahu bagaimana reaksi Mas Andra nanti. Aku harus siap dengan segala kemungkinan terburuk. [Kamu hati-hati, Nai. Abah akan nyusul kamu ke sana sendirian. Biar Fadil sama umimu di rumah]
(PoV Andra)“Kamu itu jadi suami yang tegas sedikit sama Naira! Lihat dia semakin ngelunjak aja!” omel Mama setelah Naira dan Fadil berlalu dengan mobil.Aku menghembuskan napas berat. Sebenarnya malas sekali mendengarkan omelan Mama seperti ini. Namun, aku juga tak kuasa untuk menahan Naira. Mobil itu memang miliknya, aku gunakan bekerja setiap hari.Jadi, di akhir pekan jika dia mau menggunakan kendaraan roda empat itu, aku tak bisa mencegah. Apalagi kalau hanya sekedar untuk mengantar Mama arisan.“Sudahlah Ma, kan udah Andra bilang, nanti Andra bayarin uang taksi. Pokoknya Mama tenang aja!” ucapku berusaha meredakan emosi Mama.Wajahnya masih memerah dan ditekuk sedemikian rupa. Terlihat jelas kalau Mama marah dan kesal. Mau bagaimana lagi?“Bukan masalah itu, Andra! Lihatlah kamu gak punya wibawa sebagai suami! Naira itu gak kerja apa-apa di rumah! Kerjanya ongkang-ongkang kaki aja! Main sama Fadil! Makan, tidur! Tapi masih aja kamu kasih uang belanja!” Mata Mama melotot saat m
Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan sebelah kiri. Sekarang, Mama pasti sudah berangkat ke acara arisannya. Entah mengapa, aku yakin sekali kalau Mbak Della tak ikut kali ini.Kalau perkiraanku tepat, berarti hanya ada Mas Andra dan perempuan itu saja di rumah. Apalagi tadi Mas Andra mengatakan kalau dia akan memberikan ongkos taksi pada Mama.Bayangan lingerie-lingerie milikku yang sudah berpindah tempat di bawah ranjang Mbak Della dalam keadaan tak karuan, kembali terlintas. Seketika mual kembali menyerang dan membuat mata berair.Apakah aku marah? Ataukah lebih ke merasa jijik? Mungkin gabungan dari keduanya. Marah karena dia sudah lancang, dan jijik karena paham akan perbuatan mereka.Mbak Della tidak mungkin memasukkan laki-laki lain ke dalam rumah. Dia tak akan punya nyali untuk melakukan hal itu. Yang selama ini sudah bermain kucing-kucingan denganku, adalah Mas Andra.Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang, tak ingin terburu-buru ataupun terlalu santai. Takutnya,
“Kamu cuma berdua sama Fadil aja, Nai?” tanya Umi begitu aku sampai.“Iya, Mi. Suntuk aja di rumah, jadi main ke sini, deh!” ucapku sembari masuk.Fadil sudah sejak sampai tadi berpindah ke gendongan kakungnya. Mereka langsung berjalan ke halaman belakang untuk melihat pohon mangga yang sedang berbuah begitu lebat.“Gimana di sana, Nai? Aman? Katanya udah ada pembantu baru, kan?”Sampai di dapur, aku langsung membuka tudung nasi Umi. Selera makan sontak timbul melihat sayur asem, gorengan tempe, dan sambal terasi. Tanpa ragu aku mengambil piring dan sendok.“Ya, gitulah, Mi. Mau dibilang aman, ya aman. Tapi, semenjak ada pembantu baru itu, suasana rumah jadi aneh,” ujarku, tangan sibuk menyendokkan nasi dan lauk pauk ke piring.Umi ikut duduk dan hanya menatapku saja. Dia sudah maklum dengan kebiasaanku yang langsung memeriksa tudung saji begitu sampai di rumah.“Aneh gimana, Nai? Perasaan kamu aja, kali. Sama Andra, udah baikan?” selidiknya.Aku yang sudah mulai mengunyah, terpaksa t
Malam itu aku tertidur pulas sampai-sampai tak bangun seperti biasanya. Padahal, aku masih ingin mengintai Mbak Della dan Mas Andra. Adzan subuh yang berkumandang memaksaku membuka mata, lalu bangkit dari pembaringan.Fadil masih tertidur lelap. Kurapikan selimut agar menutupi badannya lebih rapat. Hujan rintik-rintik di luar, membuat udara dingin serasa menusuk.Saat keluar dari kamar, aku mencium aroma sabun dan shampoo. Siapa sangka kalau Mas Andra sudah bangun. Sosoknya sedang berdiri sambil bersiul pelan, mengeringkan rambut yang basah.Mengherankan, di saat dingin seperti ini, dia tahan mencuci rambut pagi-pagi sekali. Aku ingat sekali dengan kebiasaan Mas Andra. Dulu, saat kami masih harmonis, dia selalu mencuci rambut pagi-pagi sekali jika malamnya kami selesai bertempur.Namun sekarang, apa alasannya? Otakku tak bisa untuk diajak berprasangka baik. Pastilah ada sesuatu yang dia sembunyikan.Tatapan mata kami bertemu. Mas Andra terpaku di tempatnya dengan mata sedikit melebar.
Sudah beberapa malam ini aku selalu terbangun dari jam 1 dini hari hingga subuh. Mungkin karena belum beruntung, aku tak menemukan hal-hal aneh. Setiap kali aku memeriksa ke kamar di jam-jam acak, Mas Andra tampak sedang tertidur pulas.Namun, aku tak putus asa. Bisa jadi saat ini Mbak Della dan Mas Andra sedang menjaga jarak karena insiden baju tidur kemarin. Kurasa mereka menganggap keadaan sedang tak aman sehingga harus berhati-hati. Jika mereka berdua licik, maka aku harus selangkah lebih maju.Pagi ini, saat kami semua sedang berkumpul, Mas Andra menyerahkan amplop berwarna cokelat. Satu untukku, satu untuk Mama, dan satu lagi untuk Mbak Della.“Ini uang belanja kamu, ini untuk Mama, dan yang ini gaji Mbak Della,” ucap Mas Andra yang sudah berpenampilan rapi dan siap berangkat ke kantor.“Makasih,” jawabku singkat. Paling tidak, dia masih sadar untuk menafkahiku meskipun kami sedang perang dingin.“Makasih, Pak Andra. Makasih.” Mbak Della mendekap amplop itu dengan wajah berbinar
Merasa pusing, aku terduduk lemas di pinggir ranjang berukuran kecil tempat pembaringan Mbak Della. Membayangkan kalau benda empuk itu mungkin saja menjadi saksi bisu perbuatan terlarang, lagi-lagi aku meradang.Aku yakin kalau ini adalah salah satu petunjuk yang sengaja Tuhan berikan untukku. Jika tidak, mungkin sampai sekarang aku tak akan pernah tahu ke mana larinya pakaian-pakaian dinas malam itu.Setelah berpikir sejenak, dengan cepat aku mengeluarkan ponsel dan mengambil beberapa foto pakaian yang penuh najis dan noda. Dalam kepalaku terus terpikir kalau hal ini nanti akan berguna di masa yang akan datang. Tanganku masih gemetar saking gugupnya.Saat yakin kalau foto-foto itu sudah tersimpan dalam folder tersembunyi, aku mengembalikan ponsel ke dalam saku. Ah, sungguh gila apa yang aku saksikan saat ini.Suara Mama dan Mbak Della yang terdengar di depan, menyadarkan aku. Setelah memastikan keadaan kamar Mbak Della sudah terlihat seperti sedia kala, aku segera keluar dengan tenan
Berminggu-minggu sudah aku pulang ke rumah. Semuanya terasa hampa. Untung saja di sana ada Fadil, yang jadi tempatku mencurahkan rasa sayang. Dia jugalah yang membuat aku bertahan di tengah-tengah Mama dan Mas Andra.Mas Andra terus mendiamkan aku sejak kejadian aku menolak tidur satu kamar. Sampai saat ini pun, aku belum pernah sekali pun tidur dengannya lagi. Entah sampai kapan kami akan terus-terusan seperti ini. Aku pun enggan untuk memulai bicara dengannya.Hubungan pernikahan ini terasa sudah benar-benar tak sehat, tetapi aku masih mencari cara untuk mengakhiri semuanya. Sembari memperhatikan perkembangan Fadil yang semakin sehat dan lincah seiring waktu.Hari ini rumah terasa lengang. Mas Andra sudah berangkat ke kantor, sementara Mbak Della menemani Mama berbelanja. Mertuaku itu ngotot mengajak Mbak Della yang dia nobatkan sebagai asisten pribadi.Aku tak protes sama sekali, malah bersyukur karena bisa menikmati waktu bersantai dengan Fadil di rumah. Saat dia sedang bermain di