Obat terbaik dari sebuah penyakit adalah pikiran yang positif. Semakin banyak energi baik yang kita hasilkan, maka rasa sakit yang merupakan energi negatif itu akan berubah menjadi energi yang positif.
Jika kita malah semakin banyak berpikiran buruk, maka itu akan menekan energi positif yang ada pada kita dan itu hanya akan membuat proses pemulihan kita berjalan lambat.
Kira-kira itulah yang dikatakan oleh guruku di sekolah saat menerangkan jenis tanaman obat yang bisa kita temui di hutan. Yah, aku akui, aku memang tak sepintar Deinn dan sedewasa Albert, tapi aku sudah pastikan bahwa Ivanoff masih setingkat di bawahku. Ha ha!
"Aaron! Jangan lupa meminum obatmu!" teriak Ibu dengan nyaring dari luar. Aku yang memang senang mengunci diri dalam kamar lantas melirik jam dinding yang bergambar karakter kartun favoritku; Mickey Mouse, yang sudah menunjukkan pukul 7 malam.
"Baik, Bu!" teriakku sambil membuka laci meja belajar, mencari botol obat berlabel PTSD yang selalu kusimpan rapi di dalam laci yang rapat. Kondisiku ini dikabarkan bisa berlangsung berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, tergantung dari pengobatanku saat ini.
Oh, astaga, sudah lewat lima menit! Hampir saja aku lupa meminum obat itu sebelum tidur.
Aku tidak boleh telat meminumnya walau hanya sehari saja. Aku lalu melirik segelas air putih yang sudah tersedia di atas meja. Sudah menjadi kebiasaanku untuk selalu menyediakan air minum di sana agar sewaktu-waktu ketika aku merasa haus, aku tak perlu lagi bersusah payah turun ke bawah dan mencari air. Setelah mendapatkan obatnya, aku langsung duduk di tepi ranjang dan mulai menelan satu butir.
Aku kembali memperhatikan jam dinding sambil tetap meminum air. Jam warna hitam dengan jarum berwarna merah itu merupakan hadiah pemberian ayahku di hari ulang tahunku yang jatuh pada tanggal 11 Januari minggu lalu.
Usiaku kini genap tujuh tahun, seminggu yang lalu aku sudah merayakan ulang tahunku di rumah ini secara kecil-kecilan. Tak banyak yang bisa kuundang ke pesta ini selain teman terdekatku saja. Aku hanya bisa mengundang Elena, Ivan, Albert dan juga Deinn yang memang merupakan orang-orang yang sudah kenal cukup lama denganku saat ini.
Yah, itu karena aku hampir tak memiliki teman dekat lagi selain mereka berempat.
Aku memang meminum obat ini secara rutin, namun bukan berarti itu akan membatasi setiap gerakku. Tak ada seorang pun dari teman-temanku yang tahu tentang penyakit ini. Sebenarnya itu wajar, mengingat sakit ini muncul setelah kejadian yang menurutku sangat memalukan.
Semua ini berawal dari peristiwa yang terjadi tiga tahun yang lalu, di mana saat itu aku dihadapi dengan sesuatu yang begitu menakutkan dan berhasil membangkitkan rasa takutku. Aku yang memang mudah dikuasai oleh rasa takut yang berlebihan dengan segera berakhir dengan buruk. Aku juga tak menyangka jika ketakutanku pada hal-hal seperti cerita hantu bisa membuatku paranoid dan melakukan hal-hal di luar kebiasaan.
Ketakutanku sudah masuk tahap yang mengancam nyawa, sangat berakibat fatal jika tak segera ditangani dengan baik.
Setelah kejadian itu, aku harus meminum obat yang diberikan oleh seorang dokter yang telah datang jauh-jauh dari kota Mezhdurechensk ke desa yang ada di dalam hutan ini, hanya untuk mendiagnosa dan memberi obat untuk menyembuhkan penyakitku.
Kau tahu? Dia memberikanku stok obat yang banyak sekali, sampai-sampai aku tak perlu lagi memikirkan uang untuk membeli semua obat yang kelihatannya mahal itu. Pendapatku saat pertama kali melihatnya, dia begitu aneh. Karena tiba-tiba saja dia sudah menghampiri rumahku dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada kami sekeluarga yang jelas-jelas tak pernah memanggilnya secara khusus ke desa.
Entah bagaimana pria berkumis tipis itu bisa datang kemari dan mengetahui semua yang seharusnya tidak dia ketahui.
Ibuku sangat terkejut saat dokter itu menjelaskan apa yang terjadi padaku sebelum aku mendapatkan trauma di kepala. Dia benar-benar tahu secara detail, bahkan aku yang mengalaminya saja baru tahu setelah mendengar penjelasannya. Keluargaku yang merupakan saksi mata kejadian itu saja tak bisa menjelaskan dengan baik ketika kuajukan pertanyaan kepada mereka. Namun, pria bertopi itu ... dia tahu semua jawabannya. Benar-benar luar biasa.
Nenekku bahkan menganggap dokter itu sebagai seorang cenayang masa depan dan meminta resep rahasia umur panjang darinya. Aku berharap dalam hati, semoga Nenek tak mendapatkan resep itu. Jika nenekku berhasil mendapatkannya, entah apa yang akan terjadi padaku nanti seandainya beliau tetap ada dan terus mengisahkan cerita seram padaku.
Aku bahkan berpikir, apakah Nenek akan mulai bercerita bahkan setelah aku menikah dan melakukan malam pertama?
Ah, bukan berarti aku membenci Nenek. Hanya saja ... semua akan jadi rumit jika itu sampai terjadi bahkan setelah aku tumbuh dewasa. Privasiku akan terganggu, bahkan jika yang melakukannya adalah nenekku sendiri.
Sebab, dialah yang menjadi penyebab rasa takutku pada hari itu.
***
Ketika aku berusia empat tahun, Nenek menceritakan sebuah kisah padaku, tentang seorang anak nakal yang tidak pernah percaya dengan keberadaan hantu, sampai dia menemukan kebenaran yang mengerikan. Aku tak ingat jalan cerita lengkapnya, tapi intinya adalah orang tua anak itu memperingatkan sang anak untuk selalu memeriksa kolong tempat tidurnya, tapi anak itu tak peduli dan selalu mengabaikan apa yang orang tuanya katakan.
Hingga suatu malam, ketika semua anggota keluarganya terlelap di kamar tidur masing-masing, anak yang pembangkang itu tidak bisa tidur karena terganggu oleh suara berisik yang muncul di dalam kamarnya. Anak yang keras pendirian itu pun mencoba menajamkan indra pendengarannya sekali lagi sampai akhirnya ia mengetahui sumber suara itu dengan jelas.
Suara berisik yang mengganggu itu terdengar seperti lenguh kesakitan seseorang. Kadang berubah menjadi embusan napas yang berat dan suara itu berada tepat di bawah kolong ranjang sang anak.
Ketika dia mengintip ke bawah karena rasa penasaran yang begitu besar terhadap sesuatu yang sedari tadi mengusiknya, ia menemukan sepasang mata bulat berwarna merah sedang menatapinya dengan tajam. Suara berat yang keluar dari sosok itu berasal dari dadanya yang terbelah, membuat paru-parunya tertekan lantai dan dia mencoba meraup udara sebanyak yang ia bisa.
Sesekali sosok itu akan melenguh karena merasakan sakit. Suaranya seperti seseorang yang tengah sekarat, napas seakan menghilang dari tubuhnya, namun bukan itu yang mengerikan.
Sosok itu menatap sang anak tanpa kedip, dengan seulas senyum yang begitu mengerikan tersungging rapi di bibirnya. Tatapan matanya seolah sanggup mengambil alih kesadaran, membuat sang anak tak bisa melakukan apa pun atas dirinya sendiri, bahkan untuk menarik tubuhnya ke atas saja dia tak bisa, karena sudah kehilangan seluruh kekuatannya untuk bisa melarikan diri dari tempat itu. Bahkan, untuk berteriak memanggil orang tuanya saja anak itu tidak bisa. Lidahnya menjadi kaku dan sulit digerakkan.
Tak sampai hitungan menit anak itu bertatapan dengan sosok mengerikan yang dilihatnya, dia sudah ditarik lebih dulu oleh sosok mengerikan yang kulit tangannya saja melepuh karena terbakar hebat, sang anak pun terjatuh dari ranjang dengan suara yang keras. Sosok itu langsung menyeret tubuh anak malang yang tak sempat meminta maaf kepada orang tuanya dan naik ke atap rumah dengan gerakan yang aneh. Anak itu menghilang bersama dengan sosok yang tak bisa dilihat oleh mata orang biasa.
Cerita itu begitu mengerikan, sampai-sampai aku yang masih kecil saat itu terus menangis tanpa henti ketika membayangkan akan ada sosok yang sedang menungguku di bawah ranjang. Kengerian dari cerita itu terus membayangiku hingga berhari-hari kemudian. Bahkan kata ibu, pada suatu malam yang sepi, aku yang tidur sendirian tiba-tiba saja menangis hebat dan kabur dari rumah, berlari menuju gerbang desa dalam keadaan berpakaian tidur serta bertelanjang kaki. Aku berlari sambil berteriak histeris tanpa sebab.
Sebelum menuju gerbang desa itu, aku bahkan terjun ke lubang galian yang tidak terlalu dalam dan mengotori wajahku dengan tanah sembari menangis sesenggukan. Aku benar-benar di luar kendali, seperti orang yang kerasukan iblis. Itulah aku dahulu.
Sejak saat itu, tiap kali mendengar sesuatu yang tidak seharusnya aku dengar, atau ketika aku bermimpi serta berhalusinasi secara berlebihan, maka aku akan meminum obat penenangku sebelum tidur—setiap dua kali dalam seminggu. Rutinitas ini terus kulakukan hingga hari ini, tiga tahun berlalu, dan obat yang harus kuminum masih belum habis juga.
Meski telah meminum obat, nyatanya aku masih dihinggapi rasa takut. Ketakutan berlebihan yang hinggap di hati ini akan kembali lagi ketika mengingat cerita di mana ada seorang anak yang diculik oleh makhluk tak kasatmata yang bersembunyi di bawah ranjangnya. Kengeriannya masih terbayang sesekali—dan itu sangat menakutkan.
Aku kemudian meraih sebuah senter dan menyalakannya, lalu menyorotkan senter itu ke bawah ranjang, memastikan tidak akan ada sesuatu yang akan bersembunyi di sana. Akan menjadi mimpi buruk jika ada monster atau hantu yang sedang menungguku di kolong ranjangku sendiri.
Setelah memastikan semuanya aman, aku lalu mematikan lampu kamar. Katanya, tidur dalam keadaan gelap itu baik untuk kesehatan, dan memang ketika aku mencoba tidur pertama kali dengan lampu kamar yang dimatikan, keesokan harinya tubuhku akan terasa lebih segar dan bertenaga.
Aku menarik selimut hingga menutupi setengah wajah. Aku percaya jika kita bersembunyi di balik selimut, hantu atau monster tidak akan bisa menemukan kita. Suasana kamarku jadi sedikit menakutkan ketika lampunya mati, walaupun ada sinar bulan yang menembus masuk ke jendela yang ditutup tirai putih, tapi seolah-olah akan ada makhluk halus yang bisa muncul kapan saja di samping ranjangku.
Aku memejamkan mata dan mulai menghitung domba. Berharap dalam hati, semoga tidak ada hal menakutkan yang akan mengganggu tidurku malam ini.
Aaron Demien, bodohnya kau sampai melupakan hal penting bahwa malam itu adalah malam bulan purnama.
Tepat setelah tujuh tahun berlalu sejak saat itu.
***
"Aaron, bangun."
Aku tiba-tiba terjaga saat kurasakan ada yang sedang menyentuh tubuhku, itu seperti tangan seseorang, telapak tangannya terasa dingin, bahkan rasa-rasanya seperti menembus kulitku yang tertutup piyama panjang.
Aku membuka mata sedikit dan kepalaku langsung sakit saat melihat cahaya yang jatuh di retina mata. Ternyata aku sedang menghadap jendela yang terbuka lebar, dan sinar bulan yang terang langsung menyorot ke arahku. Aneh, rasanya aku sudah menutup tirai itu tadi sebelum tidur.
"Bangunlah, Aaron ...." Bisikan lirih itu kembali terdengar. Aku yang sudah sadar sepenuhnya dengan cepat menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh. Rasa kantukku sudah tergantikan dengan rasa takut yang mencekam.
Aneh, aneh, aneh! Apa ini halusinasi lagi?! Padahal aku sudah minum obat!
"Bangun, Aaron!" Aku terkesiap saat suara itu terdengar lagi dan bersamaan dengan itu tubuhku diguncang dengan tenaganya yang luar biasa. Aku dapat merasakan kuku panjang tangannya terasa menusuk kulitku. Ini tak nyata! Ini tak nyata! Makhluk itu ada di kamarku dan saat ini sedang mengusikku!
"Tolong, jangan ... jangan ganggu. Pergilah, nanti kuberi daging yang banyak," racauku tak jelas. Aku benar-benar meringkuk di dalam selimut layaknya bayi dalam perut. Entah ini ilusi atau tidak, yang jelas bisikan itu sudah tak terdengar lagi. Apa makhluk yang mengeluarkan suara seperti suara wanita tua itu sudah pergi?
Aku berusaha mengintip dari celah selimut yang sengaja kusingkap sedikit, dan melihat keadaan di sekitar.
Tiba-tiba suara geraman pun muncul dari samping ranjang. "Hei, Aaron! Kau ini! Jika kau belum juga bangun dari ranjangmu sekarang, Nenek akan membawaku ke Neraka!"
Mataku membola seketika. "Nenek?!" seruku kaget dan refleks keluar dari selimut, bantal-bantalku bahkan terlempar hingga ke ujung ranjang. Aku yang sudah duduk seketika dihadapkan dengan wajah Nenek yang dipenuhi keriput, keringat dingin dengan cepat membasahi pipi dan leherku.
Apa yang dilakukan Nenek di kamar ini? Ke mana perginya makhluk itu?
"Sedang apa Nenek di sini?" tanyaku padanya. Aku segera mengedarkan pandanganku ke sekitar. Apa hantu itu sudah pergi? Apa Neneklah yang mengusirnya? Otakku tak bisa berpikir jernih sekarang.
Nenek hanya menatapku tanpa berniat menjawabnya. Dapat kulihat kulit bawah matanya yang menghitam dan terlihat cekung. Kapan terakhir kali nenekku tidur, ya? Dia semakin menakutkan saja.
Aku pun membuang napas lelah, sepertinya aku memang berhalusinasi lagi tadi. Ketika aku menyadari yang ada di sampingku kini hanyalah sosok yang ingin kuhindari, aku pun mulai merasa ngantuk. Aku lebih memilih untuk melanjutkan tidurku daripada harus berhadapan dengannya yang kutakuti. Biar saja aku menjadi cucu yang durhaka.
"Ikutlah, Aaron. Semuanya sudah menunggumu." Nenek dengan cepat menahan tanganku saat dilihatnya aku memejamkan mata lagi. Aku kemudian melirik jam, masih pukul 2 dini hari, tapi kenapa Nenek bersikeras menyuruhku bangun? Apa dipikirkan sudah pagi, ya?
"Cepat bangun, Pemalas!" Nenek memukulku bertubi-tubi dengan bantal. Tidak sakit, tapi itu sudah cukup untuk mencegahku tidur kembali. Ya, cara itu berhasil, sebab dia sukses membuatku turun dari ranjang.
Mataku masih berat, dan sendi di lututku masih lemah. Jiwaku belum sepenuhnya kembali padaku. Aku lalu melirik Nenek, dan melihatnya sedang tersenyum lebar—tepatnya menyeringai menakutkan, seraya menarik tanganku, dan menuntunku keluar dari kamar.
Kali ini, kupercayakan Nenek membawaku menuruni tangga, aku cukup memejamkan mata sambil melanjutkan tidurku yang tadi sempat terganggu. Suara bisik-bisik aneh kembali terdengar, semakin dekat kami dengan sumbernya, semakin kumengenali suaranya yang memang sudah sangat familier di telinga. Aku lalu membuka mata sesaat setelah Nenek berhenti melangkah.
Ibuku sedang berdiri di depanku sambil tersenyum manis. "Cepatlah, Aaron. Kami sudah lama menunggu," ucapnya lembut seperti biasa. Ayahku kemudian datang menghampiri dan mengambil alihku dari tangan Nenek.
Kini aku berdiri di samping Ayah yang menggenggam tanganku dengan erat, aku juga melihat semua anggota keluargaku sudah berada di luar rumah, termasuk paman Sean dan bibi Jean. Aku bahkan baru menyadari jika semuanya kompak mengenakan jubah panjang berwarna hitam dengan tudung yang menutupi setengah wajah.
Hanya satu yang kurang dari penampilan mereka saat ini, yaitu sabit panjang. Sepertinya hanya aku saja yang tidak mengenakan kostum seperti seorang Grim Reaper, memakai sandal pun tidak.
"Aku akan mengambil sendalku—" Perkataanku terpotong begitu saja ketika Ayah langsung menyeretku pergi. Aku kebingungan. "Tapi, Ayah, Aaron belum menggunakan sendal ...."
"Kau tak membutuhkan apa pun malam ini," ucapnya tegas dan terus melangkahkan kakinya menuju hutan. Sedangkan Nenek dan yang lainnya mengekor di belakang kami tanpa suara. Masing-masing dari mereka membawa obor kayu dan juga lentera. Mereka membawaku menuju gerbang di sebelah Utara desa tanpa alas kaki sama sekali. Jahat!
"Kita mau ke mana?" tanyaku setelah melewati gerbang yang sepi dari penjagaan. Padahal pemuda di sana tidak pernah sekalipun meninggalkan posnya. Begitu melewati gerbang yang merupakan perbatasan antara desa dan hutan Lakebark, lolongan anjing di dalam hutan pun menyambut kami. Tak ada yang tahu apa yang sedang menunggu kami saat ini di depan sana.
"Bu, kita mau ke mana?" tanyaku lagi, tapi ibuku hanya tersenyum. Tak terlihat seperti ingin menjawab pertanyaan anaknya yang masih kecil ini. Aku sudah benar-benar muak dengan mereka semua. Tidak Ayah, tidak pula Ibu, semua diam membisu. Tak ada seorang pun di antara mereka yang mau memberitahuku tujuan kami memasuki hutan ini.
Apa karena aku hanyalah anak-anak yang akan mengacaukan semuanya? Tidak adil!
Suara hewan-hewan malam kembali menyambut kami begitu keluargaku memasuki kawasan hutan. Jalan yang kulalui dipenuhi dengan dedaunan kering dan ranting-ranting kecil yang menyayat kulit. Bisa kurasakan ada duri yang menusuk telapak kakiku yang tak memakai alas sama sekali. Rasanya sakit dan tidak nyaman. Bisa kau bayangkan kaki tertusuk duri kecil dan ketika kau gunakan untuk berjalan durinya akan menusuk kulitmu semakin dalam? Kalau kau mengerti rasanya, aku pun demikian.
Oh, sampai kapan kami berjalan dalam kegelapan hingga sampai di tujuan? Aku lebih mengeluhkan kakiku yang tertusuk duri kecil. Rasanya tidak enak sekali.
"Ibu, kakiku sakit," aduku kepada wanita anggun yang sudah melahirkanku ke dunia ini, tujuh tahun yang lalu. Aku tadi sudah meminta kepada Ayah untuk menyerahkanku kepada Ibu, karena Ayah begitu dingin ketika diajak bicara. Sekarang tanganku digenggam erat oleh tangan Ibu yang selembut malaikat. "Ada duri yang menusuk kakiku."
Tak seperti Ayah, Ibu dengan sigap berhenti dan menyuruhku duduk di tanah. Mengangkat kakiku yang sakit dan mencari sesuatu yang menusuk telapak kakiku sedari tadi. Entah bagaimana dia bisa mengeluarkan sesuatu yang menusukku itu dan menarikku agar berdiri dan melanjutkan perjalanan seperti tak pernah ada sesuatu yang terjadi. Kami bahkan berada tak terlalu jauh dari rombongan yang sengaja melambatkan langkahnya agar kami bisa menyusul tanpa harus berlari.
"Ibu, bisakah kita pulang saja? Aaron mengantuk, Bu ...." Aku mencoba membujuknya.
"Kau tak bisa kembali, karena tak lama lagi ... kita semua akan tiba di sana, hadir dalam perjamuan itu." Nenek yang kulihat tadi sedang berjalan di samping Ayah yang jauh di depan, tiba-tiba saja sudah mengejutkanku dengan kehadirannya di sebelah kanan. Wajahnya yang keriput membuatku terkejut begitu menoleh ke arahnya. Aku tentu saja kaget dan refleks bersembunyi di balik jubah yang Ibu kenakan.
Lagi-lagi Nenek menakuti cucunya yang penakut! Hampir saja kukira kemunculannya tadi adalah tanda hantu akan muncul, tapi apa yang tadi Nenek katakan, ya? Aku tak mengerti.
Ini benar-benar berada di luar harapanku, aku bahkan tak pernah membayangkan akan berada di hutan Lakebark pada malam hari. Kondisi di mana aku dikelilingi oleh pepohonan dengan tinggi yang menjulang, serta malam hari tanpa bintang-bintang. Dua hal yang sangat kutakuti, yaitu kegelapan dan juga hutan terlarang. Kini aku berada di tengah-tengahnya, mengantarkan diri kepada sesuatu yang akan membangkitkan rasa takutku selama ini. Padahal aku selalu berharap agar bisa hidup tenang dan dijauhkan dari segala sesuatu yang berbahaya, misalnya terjebak di dalam hutan saat hari sudah gelap. Sayangnya, aku benar-benar masuk ke hutan itu dan dapat mendengar berbagai suara mengerikan yang silih berganti menyapa gendang telingaku. Aku masuk ke dalamnya tanpa mengenakan peralatan yang bisa melindungiku dari sesuatu yang mungkin saja akan membuat trauma masa kecilku kembali, aku masuk dengan hanya menggunakan piyama tidur
Aku tak percaya ini! Apa yang ada di atas itu benar-benar Ivanoff? Anak yang selalu menakutiku? Sahabat baikku?! Astaga! Ini bencana! Meski aku tahu jika dia ternyata benar Ivanoff, aku masih tak menyangka jika dia menjadi bagian ritual gila ini. Aku juga syok ketika tahu dialah orang yang mengenakan jubah paling beda dari yang lain, dan terlihat seperti seorang pemimpin. Setelah pulang dari tempat ini, aku akan memborbardirnya dengan banyak pertanyaan! Seperti apa yang dia lakukan di atas panggung dan mengenakan jubah paling beda dari yang lain? Sial, entah mengapa aku iri! Awalnya aku tak peduli dengan pakaian apa datang ke tempat itu, tapi setelah melihat Ivan mengenakan pakaian yang bagus, aku benar-benar ingin mengenakan jubah hitam yang sama. Maksudku, apa bagusnya memakai pakaian yang tak sama dengan yang lain? Lihat aku, aku malah memakai baju tidur! Aish, aku iri. Dan, apa-apaa
Hal pertama yang kulihat ketika membuka mata adalah langit malam dan dahan pepohonan yang rimbun. Hari masih gelap dan aku rasa malam kali ini lebih panjang dari malam-malam yang kulewati sebelumnya. Entah kenapa, seolah-olah malam ini berbeda dari malam lainnya. Hal kedua yang kurasakan saat itu adalah seluruh badanku terasa lengket. Seperti ada yang meresap pada kain satin baju tidur yang aku kenakan. Tidak hanya terasa di punggung saja, bahkan aku bisa merasakan sesuatu yang basah itu mengotori tubuh bagian belakangku juga. Rasanya menjijikkan. Aku berbaring dengan kedua tangan di sisi tubuh, tapi aku sendiri tak bisa merasakan kedua kakiku. Rasanya seperti kesemutan, tapi aku tak merasakan apa-apa selain kaki yang tidak bisa diangkat meski sudah mencoba mengangkatnya dengan hati-hati. Ah, sudahlah, setidaknya aku bisa berbaring lebih lama lagi di sini tanpa perlu repot-repot beranjak dan membuatku pusing lagi.
"Elena!" Aku berteriak di tengah hutan mencari keberadaan sahabat karibku. Mustahil aku bisa mengabaikan gadis kecil itu, dia jauh lebih penakut dan aku akan menemaninya bersama ketakutannya itu! "Elen!" "Elen! Di mana kau?!" Aku yang telah selesai memeriksa keadaan Deinn, Albert dan juga Ivan dengan segera menuruni panggung dan kemudian memanggil-manggil sahabat perempuanku. Aku tahu, seharusnya sejak awal aku cari dulu Elena baru kemudian beranjak mendatangi ketiga sahabatku yang lain. Sampai saat itu aku belum juga melihat Elena. Aneh, padahal tadi dia sedang bersandar pada pohon dan aku sendirilah yang sudah memindahkannya ke sana, tapi saat aku kembali Elena sudah tidak ada di sana. Aku pun memutari area itu dan tanpa sadar telah menginjak sesuatu. "Elen!" pekikku tanpa sadar. Ternyata yang tak sengaja kuinjak itu adalah tangan
Aku dan Elena melanjutkan aksi nekat kami dan memilih jalan kaki saja menuju desa. Toh, tak ada alat transportasi lain ke desa kami selain berjalan kaki dan harus kuakui, perjalanan ini akan sangat melelahkan!"Aaron," panggil Elena pelan di sela-sela langkah kaki kami pulang ke desa. Ekspresi gadis itu terlihat cemas. "Apa tak apa pergi sendirian seperti ini tanpa ditemani orang dewasa?"Aku langsung meringis mendengar pertanyaan itu. Jika dipikir-pikir sekali lagi ... apa yang Elena katakan itu ada benarnya juga.Seharusnya tadi aku membangunkan mereka semua dan pulang bersama ke desa, agar dalam perjalanan kami semua akan aman dan tidak perlu merasa takut berada di dalam hutan gelap yang menakutkan. Tapi lihat perbuatanku ini! Aku malah bertindak ceroboh dan malah menempatkan Elena ke dalam bahaya.Aahh, Aaron! Rasanya aku ingin memaki diriku sendiri, tapi itu bukan sesuatu yang baik."Aaron, a-aku takut."Elena menempel padaku dan ingin
"Cepat, Len! Kita harus lari lebih cepat!" Aku memberi perintah kepada sahabatku, meneriakinya untuk menambah laju kecepatan kami. Bukan aku saja yang saat ini berlari tergesa-gesa. Di sebelahku ada Elena, sahabatku sejak kecil. Aku membawanya ikut serta dalam pelarian ini, lari dari "mereka" yang begitu mengerikan. Tak bisa kutebak apakah mereka masih ada di belakang dan berlari mengejar kami.Hahh ... hahh ... harus bagaimana lagi ini?! Sendi-sendi di kakiku seperti mau lepas! Tapi aku tak bisa berhenti sekarang! Aku lelah dan haus!"Ayo lari lebih cepat lagi, Len!" Aku menarik tangan Elena lebih kuat, aku bahkan tak sadar telah meremas pergelangan tangan mungilnya."Tu-tunggu, Aaron!" Gadis itu meringis kesakitan, entah karena perbuatanku yang terus menarik tangannya atau karena batu-batu kecil yang menusuk telapak kaki. Aku tahu sepertinya aku terlalu kasar dengannya, tapi aku benar-benar panik sekarang, dan indra pendengaranku seolah ditulikan! Aku tak meme
Sial! Tadi itu benar-benar mengerikan!Kini aku percaya apa yang nenekku katakan! Semua! Semua yang dia katakan, mulai sekarang aku akan selalu mempercayainya! Tak peduli jika yang dikatakannya itu terdengar mustahil, aku akan tetap percaya terhadap apa yang nenekku yakini!Ya, anggaplah aku ini pengecut! Karena aku memang seorang penakut, pecundang yang memalukan, tapi aku benar-benar ketakutan! Sangat. Ini saja aku sudah berlari tak tentu arah, tak tahu ke mana kaki ini membawa. Aku hanya ingin berlari melarikan diri, menghindar dari mereka yang mungkin saja akan menargetkanku setelah mendapatkan sahabatku.Ah, Elena, maafkan aku yang lemah dan penakut ini. Seharusnya aku tadi melawan mereka dan menyelamatkanmu. Andai saja aku berani dan meraih tanganmu tanpa rasa takut, mungkin kau masih ada di sisiku dan berlari menuju tempat yang sama denganku saat ini.Rasa-rasanya aku seperti seorang iblis berwajah malaikat. Maksudku seperti Samael, dia adalah sala
Mereka bersembunyi jauh di dalam kegelapan .... Menunggu hingga kau bangun dan terjaga dari lelap. Dengan mata besarnya yang berwarna merah menyala, tubuh kecil yang diselimuti lendir hijau dan lengket, serta kuku di tangan dan kaki yang begitu panjang. Mereka bukanlah makhluk yang senang berburu sendirian. Sendiri membuat mereka tak berdaya, namun jika bersama dengan semuanya, mereka akan semakin kuat dan kuat. Tak peduli sehebat apa teknik seseorang untuk berubah, mereka tetap tidak akan mau mengerti. Sebab, mereka lebih sering mencari mangsa bersama kelompoknya. Mereka lincah, bahkan mampu berlari dengan kedua kakinya layaknya manusia, bisa mengeluarkan raungan keras seperti sang Alpha, sanggup mencabik mangsa dengan mulut yang dibekali gigi super tajam. Mereka bertubuh kecil dan sering dianggap tak berbahaya, namun sebaliknya, mereka adalah makhluk yang keji dan buas.
Sial! Tadi itu benar-benar mengerikan!Kini aku percaya apa yang nenekku katakan! Semua! Semua yang dia katakan, mulai sekarang aku akan selalu mempercayainya! Tak peduli jika yang dikatakannya itu terdengar mustahil, aku akan tetap percaya terhadap apa yang nenekku yakini!Ya, anggaplah aku ini pengecut! Karena aku memang seorang penakut, pecundang yang memalukan, tapi aku benar-benar ketakutan! Sangat. Ini saja aku sudah berlari tak tentu arah, tak tahu ke mana kaki ini membawa. Aku hanya ingin berlari melarikan diri, menghindar dari mereka yang mungkin saja akan menargetkanku setelah mendapatkan sahabatku.Ah, Elena, maafkan aku yang lemah dan penakut ini. Seharusnya aku tadi melawan mereka dan menyelamatkanmu. Andai saja aku berani dan meraih tanganmu tanpa rasa takut, mungkin kau masih ada di sisiku dan berlari menuju tempat yang sama denganku saat ini.Rasa-rasanya aku seperti seorang iblis berwajah malaikat. Maksudku seperti Samael, dia adalah sala
"Cepat, Len! Kita harus lari lebih cepat!" Aku memberi perintah kepada sahabatku, meneriakinya untuk menambah laju kecepatan kami. Bukan aku saja yang saat ini berlari tergesa-gesa. Di sebelahku ada Elena, sahabatku sejak kecil. Aku membawanya ikut serta dalam pelarian ini, lari dari "mereka" yang begitu mengerikan. Tak bisa kutebak apakah mereka masih ada di belakang dan berlari mengejar kami.Hahh ... hahh ... harus bagaimana lagi ini?! Sendi-sendi di kakiku seperti mau lepas! Tapi aku tak bisa berhenti sekarang! Aku lelah dan haus!"Ayo lari lebih cepat lagi, Len!" Aku menarik tangan Elena lebih kuat, aku bahkan tak sadar telah meremas pergelangan tangan mungilnya."Tu-tunggu, Aaron!" Gadis itu meringis kesakitan, entah karena perbuatanku yang terus menarik tangannya atau karena batu-batu kecil yang menusuk telapak kaki. Aku tahu sepertinya aku terlalu kasar dengannya, tapi aku benar-benar panik sekarang, dan indra pendengaranku seolah ditulikan! Aku tak meme
Aku dan Elena melanjutkan aksi nekat kami dan memilih jalan kaki saja menuju desa. Toh, tak ada alat transportasi lain ke desa kami selain berjalan kaki dan harus kuakui, perjalanan ini akan sangat melelahkan!"Aaron," panggil Elena pelan di sela-sela langkah kaki kami pulang ke desa. Ekspresi gadis itu terlihat cemas. "Apa tak apa pergi sendirian seperti ini tanpa ditemani orang dewasa?"Aku langsung meringis mendengar pertanyaan itu. Jika dipikir-pikir sekali lagi ... apa yang Elena katakan itu ada benarnya juga.Seharusnya tadi aku membangunkan mereka semua dan pulang bersama ke desa, agar dalam perjalanan kami semua akan aman dan tidak perlu merasa takut berada di dalam hutan gelap yang menakutkan. Tapi lihat perbuatanku ini! Aku malah bertindak ceroboh dan malah menempatkan Elena ke dalam bahaya.Aahh, Aaron! Rasanya aku ingin memaki diriku sendiri, tapi itu bukan sesuatu yang baik."Aaron, a-aku takut."Elena menempel padaku dan ingin
"Elena!" Aku berteriak di tengah hutan mencari keberadaan sahabat karibku. Mustahil aku bisa mengabaikan gadis kecil itu, dia jauh lebih penakut dan aku akan menemaninya bersama ketakutannya itu! "Elen!" "Elen! Di mana kau?!" Aku yang telah selesai memeriksa keadaan Deinn, Albert dan juga Ivan dengan segera menuruni panggung dan kemudian memanggil-manggil sahabat perempuanku. Aku tahu, seharusnya sejak awal aku cari dulu Elena baru kemudian beranjak mendatangi ketiga sahabatku yang lain. Sampai saat itu aku belum juga melihat Elena. Aneh, padahal tadi dia sedang bersandar pada pohon dan aku sendirilah yang sudah memindahkannya ke sana, tapi saat aku kembali Elena sudah tidak ada di sana. Aku pun memutari area itu dan tanpa sadar telah menginjak sesuatu. "Elen!" pekikku tanpa sadar. Ternyata yang tak sengaja kuinjak itu adalah tangan
Hal pertama yang kulihat ketika membuka mata adalah langit malam dan dahan pepohonan yang rimbun. Hari masih gelap dan aku rasa malam kali ini lebih panjang dari malam-malam yang kulewati sebelumnya. Entah kenapa, seolah-olah malam ini berbeda dari malam lainnya. Hal kedua yang kurasakan saat itu adalah seluruh badanku terasa lengket. Seperti ada yang meresap pada kain satin baju tidur yang aku kenakan. Tidak hanya terasa di punggung saja, bahkan aku bisa merasakan sesuatu yang basah itu mengotori tubuh bagian belakangku juga. Rasanya menjijikkan. Aku berbaring dengan kedua tangan di sisi tubuh, tapi aku sendiri tak bisa merasakan kedua kakiku. Rasanya seperti kesemutan, tapi aku tak merasakan apa-apa selain kaki yang tidak bisa diangkat meski sudah mencoba mengangkatnya dengan hati-hati. Ah, sudahlah, setidaknya aku bisa berbaring lebih lama lagi di sini tanpa perlu repot-repot beranjak dan membuatku pusing lagi.
Aku tak percaya ini! Apa yang ada di atas itu benar-benar Ivanoff? Anak yang selalu menakutiku? Sahabat baikku?! Astaga! Ini bencana! Meski aku tahu jika dia ternyata benar Ivanoff, aku masih tak menyangka jika dia menjadi bagian ritual gila ini. Aku juga syok ketika tahu dialah orang yang mengenakan jubah paling beda dari yang lain, dan terlihat seperti seorang pemimpin. Setelah pulang dari tempat ini, aku akan memborbardirnya dengan banyak pertanyaan! Seperti apa yang dia lakukan di atas panggung dan mengenakan jubah paling beda dari yang lain? Sial, entah mengapa aku iri! Awalnya aku tak peduli dengan pakaian apa datang ke tempat itu, tapi setelah melihat Ivan mengenakan pakaian yang bagus, aku benar-benar ingin mengenakan jubah hitam yang sama. Maksudku, apa bagusnya memakai pakaian yang tak sama dengan yang lain? Lihat aku, aku malah memakai baju tidur! Aish, aku iri. Dan, apa-apaa
Ini benar-benar berada di luar harapanku, aku bahkan tak pernah membayangkan akan berada di hutan Lakebark pada malam hari. Kondisi di mana aku dikelilingi oleh pepohonan dengan tinggi yang menjulang, serta malam hari tanpa bintang-bintang. Dua hal yang sangat kutakuti, yaitu kegelapan dan juga hutan terlarang. Kini aku berada di tengah-tengahnya, mengantarkan diri kepada sesuatu yang akan membangkitkan rasa takutku selama ini. Padahal aku selalu berharap agar bisa hidup tenang dan dijauhkan dari segala sesuatu yang berbahaya, misalnya terjebak di dalam hutan saat hari sudah gelap. Sayangnya, aku benar-benar masuk ke hutan itu dan dapat mendengar berbagai suara mengerikan yang silih berganti menyapa gendang telingaku. Aku masuk ke dalamnya tanpa mengenakan peralatan yang bisa melindungiku dari sesuatu yang mungkin saja akan membuat trauma masa kecilku kembali, aku masuk dengan hanya menggunakan piyama tidur
Obat terbaik dari sebuah penyakit adalah pikiran yang positif. Semakin banyak energi baik yang kita hasilkan, maka rasa sakit yang merupakan energi negatif itu akan berubah menjadi energi yang positif. Jika kita malah semakin banyak berpikiran buruk, maka itu akan menekan energi positif yang ada pada kita dan itu hanya akan membuat proses pemulihan kita berjalan lambat. Kira-kira itulah yang dikatakan oleh guruku di sekolah saat menerangkan jenis tanaman obat yang bisa kita temui di hutan. Yah, aku akui, aku memang tak sepintar Deinn dan sedewasa Albert, tapi aku sudah pastikan bahwa Ivanoff masih setingkat di bawahku. Ha ha! "Aaron! Jangan lupa meminum obatmu!" teriak Ibu dengan nyaring dari luar. Aku yang memang senang mengunci diri dalam kamar lantas melirik jam dinding yang bergambar karakter kartun favoritku; Mickey Mouse, yang sudah menunjukkan pukul 7 malam. "Baik, Bu!" teriakku
Birdben adalah desa di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Tak ada yang spesial di desaku ini. Bahkan pemukiman manusia yang terletak di dalam hutan ini pun tak lebih luas dari lapangan golf skala sedang. Yang membedakan desaku dari desa-desa di wilayah lain seperti desa Nyalzh, desa Azwath, dan desa Banshee yang letaknya ada di sebelah Utara dan Selatan hanyalah pagar kayu setinggi 20 meter yang bertujuan melindungi kami semua dari serangan makhluk asing. Contohnya seperti serigala, beruang, atau dari serangan goblin yang telah menjadi momok warga desa ini sejak puluhan tahun yang lalu. Walau hanya terbuat dari kayu, setidaknya pagar tersebut bisa melindungi kami semua dari ancaman makhluk buas di luar sana. Tapi, kenapa tidak dibuat dari batu saja, ya? Bukankah batu lebih kuat dan kokoh? Bahkan jika ada banteng yang membenturkan kepala beserta tanduknya ke dinding, maka dinding itu tidak akan runtuh. Yah,