"Perempuan kayak kamu ini memang cuma bisa bawa sial. Belum sebulan kakak ipar saya meninggal,tapi Papa Romi sudah menjual rumah ini. Kamu emang hanya mau enaknya aja. Mentang-mentang papanya Romi udah pikun dan tua, kamu nggak mau ngurusin lagi?!"
"Saya nggak pernah berpikir seperti itu, Tante. Kalau memang saya-"
"Halah, nggak usah jawab kamu! Emang susah sih kalau mantan cewek malam. Maunya ya cuma senang-senang!"
Aku hanya bisa menghela napas panjang sambil menatap wanita separuh baya di hadapanku. Namanya Tante A Eng. Dia adalah tante dari suamiku Romi. Saat ini om dan tante suamiku memang sedang berada di rumah kami. Rumah mertuaku tepatnya.
Mama mertuaku baru saja meninggal dunia sebulan yang lalu karena kanker serviks yang dideritanya. Selama ini kami- tinggal di ruko yang dijadikan rumah sekaligus tempat usaha. Papa mertuaku yang memang sudah berusia 77 tahun memang sudah pikun dan gampang terhasut.
Tanpa setauku dan Romi suamiku, papa mertuaku ternyata sudah menjual ruko yang saat ini kami tempati. Semuai itu karena hasutan adik-adik papa mertuaku. Dulu ketika mama masih ada, adik-adik papa tidak ada yang berani. Setelah mama meninggal, yang mereka incar adalah harta papa mertuaku.
Romi suamiku adalah anak tunggal, dan yang aku tangkap adik-adik papa mertuaku ini ingin menguasai uang papa. Mereka mengatakan jika aku tidak mungkin mau merawat papa yang sudah pikun. Sehingga dengan alasan ingin dirawat oleh adik-adiknya papa menjual ruko.
“Tante, Vina nggak pernah kok minta ini itu sama aku. Jadi, nggak ada alasan kalau tante menuduh Vina matre dan hanya mau harta aja. Buktinya kemarin waktu mama sakit, Vina kan yang urusin. Sampai ganti pampers mama pun dia yang kerjain,” kata Romi.
“Kamu aja yang buta, kalau dia mau urus papa kamu mana mungkin kemarin kalian bertengkar?!” Kali ini suami A Eng yang bersuara.
Aku hanya menghela napas panjang. Ya, sebelum papa menjual rumah ini aku dan papa memang sempat adu mulut.
Tapi, aku mempunyai alasan. Aku meminta papa untuk diam saja, jangan bolak balik mencuci handuk pelanggan. Hari itu pelanggan toko pangkas rambut kami cukup ramai. Biasanya memang aku yang mencuci handuk kecil bekas mereka mencuci muka.
Tetapi, putra kecilku yang baru berusia 9 bulan rewel sehingga aku harus menenangkannya terlebih dahulu. Tetapi, rupanya papa tidak sabaran. Lalu aku menegurnya karena aku tidak mau orang menilai aku dan suamiku anak dan mantu tidak berbakti. Tetapi, beliau tidak terima dan terjadilah pertengkaran itu.
Hal itu rupanya sampai ke telinga adik-adik almarhum mama. Sehingga mereka tiba-tiba saja datang dan marah.
"Om, Papa sama sekali nggak bilang kalau rumah ini dijual. Jadi, ini bukan salahnya kami," kata Romi menjelaskan.
“Dasar perempuan tak tahu diri! Pintar kamu yaa jerat keponakanku, memang kamu perempuan malam, perempuan rendah! Romi, buka mata kamu, papa kamu sampai jual rumah ini dan mau ikut adiknya di Jakarta pasti karena nggak diurus sama perempuan ini. Istri kamu ini cuma mau morotin kamu aja,” maki perempuan yang sudah sedari tadi ingin memuntahkan seluruh emosinya kepadaku.
Ingin rasanya aku balas memaki, tapi demi menghargai suamiku aku memilih diam. Percuma saja bicara kepada orang yang memang tidak menyukai kita bukan?
Hanya saja, adik-adik kandung almarhum papa Romi ingin menguasai harta. Sehingga mereka memanas-manasi papa Romi untuk menjual rumah dengan alasan menantunya pasti tidak mau mengurusnya.
Papa Romi yang memang sudah pikun menuruti saja ucapan adik-adiknya. Dan hal ini membuat adik-adik almarhum istrinya murka. Dan mereka pun menyalahkan Aku. Mereka pikir Aku yang berbuat kurang ajar dan tidak mau mengurus papa mertuanya.
“Tante, tolong jangan kasar begitu sama Vina, dia pilihan hidupku, tidak ada hubungannya dengan pekerjaannya dan juga dia tidak serendah itu. Kalau perlu diingatkan lagi, siapa yang mengurus mama sejak mama kambuh penyakitnya? Vina, kan?” ucap Romi dengan suara rendah. Aku yakin saat ini suamiku juga sedang menahan emosinya.
“Lihat kamu yaa! Lihat, keponakan saya menjadi pembangkang gara-gara kamu! Pasti kamu sudah mengguna-gunai keponakan saya sampai dia tidak bisa lagi cari perempuan yang lebih baik!” kata tante A Eng.
"Tante, selama ini saya yang merawat almarhum mama dengan baik sebelum beliau meninggal. Jika saya memakai guna-guna untuk apa saya merawat almarhum dulu?" jawabku pada akhirnya.
“Gara-gara kamu papanya Romi
jadi jual rumah! Dasar perempuan sial!” Om Romi pun ikut memaki.Aku hanya bisa menghela napas panjang. Dulu, almarhum mama Romi juga tidak terlalu setuju dengan hubunganku dan Romi. Tapi, pada akhirnya beliau bisa menerimaku dengan tangan terbuka karena beliau bisa melihat bagaimana ketulusanku merawat beliau.
Adik-adik beliau yang lain pun akhirnya bisa menerimaku. Hanya pasangan suami istri yang satu ini memang sedikit berbeda. Raju, om nya Romi sebenarnya sangat baik, hanya saja beliau ini termasuk suami-suami takut istri. Jadilah segala sesuatu dikendalikan sang istri.
Dulu sebelum menikah aku adalah seorang DJ dan bisa dibayangkan tanggapan banyak orang tentang wanita malam seperti apa, bukan?
Padahal, Romi sendiri adalah DJ juga, dan dia tahu betul bagaimana karakterku. Aku hanya bekerja sebagai DJ, tidak lebih. Memang benar ada DJ yang juga menjual diri, tetapi bukan aku orangnya.
“Ini ‘kan yang kamu mau, Vin? Setelah rumah dan toko ini dijual, Romi mau kerja apa? Selama ini Romi nggak kerja. Sekolah aja tamat SMA, kalau toko dan rumah ini dijual mau kerja apa? Kalian mau tinggal di mana? Uang hasil penjualan rumah ini pun kalau dikasi kalian pasti akan habis. Apa lagi perempuan macam kamu!"
Kembali Aku menarik napas panjang, dunia sering tidak adil kepadaku. Hanya karena pekerjaanku sebagai DJ dulu keluarga suamiku terkadang memandang sebelah mata.
“Buka lebar-lebar mata kamu, Romi! Kamu itu cuma diperdaya perempuan ini, dia cuma mau menghabiskan harta mendiang mama kamu, buktinya papa kamu menjual rumah dan toko usahanya. Pikir Romi, pikir!” kata tante Romi sambil menunjuk-nunjuk dahinya.
“Papa jual rumah ini kami nggak tau. Tau-tau saya dipanggil ke notaris. Nggak ada hubungannya sama Vina. Istriku sama sekali tidak pernah meminta apa-apa, bahkan dari mama sakit keras sampai mama meninggal Aku tidak pernah menuntut apa-apa!” Nada suara Romi mulai meninggi, matanya memerah basah.
“Oooh … Buta memang kau yaa? Perempuan ini memang sudah membutakan kau, Romi! Siapa yang paling diuntungkan dari penjualan rumah itu selain perempuan ini, hah? Dia yang akan mengangkangi harta orang tuamu, sadar kamu!” timpal Raju dengan nada suara yang tak kalah tingginya.
“Kalau saya mau menguasai harta Romi, saya tidak akan mau bersusah payah mengurus mama ketika sakit. Siapa yang merawat papa selama ini? Membuang bekas air kencingnya, memasak makanan? Kalian? Tidak kan? Hanya karena satu kesalahan saya yang bertengkar dengan beliau lalu saya dicap tidak mau merawat? Justru saya bertengkar dengan papa karena saya mau papa istirahat. Tolong kalau mendengar sesuatu itu jangan setengah-setengah,” ujarku mulai kesal.
“Sudah … Sudah, hentikan perdebatan ini, saya memutuskan menjual rumah ini karena memang mau saya. Saya mau tinggal di Jakarta dan ngga mau tinggal satu rumah sama Romi. Biar bagaimana pun dia sudah menikah, berkeluarga, punya anak pula, biarkan dia hidup mandiri dan menjadi kepala keluarga yang baik,” sahut Hengky ayah Romi. Akhirnya lelaki tua itu membuka mulutnya.
Paman dan Tante Romi memandang kesal kepada lelaki yang sudah memasuki usia senja itu. Mereka sebenarnya tahu jika dalang penghasut itu adalah adik-adik dari papa mertuaku sendiri. Namun, kekesalan dan kemarahannya justru dilampiaskan kepadaku. Memang menyebalkan sekali.
“Dengar sendiri kan, Om, Tante? Kami sama sekali tidak tau menau dengan rencana papa menjual rumah ini,” kata Romi sementara Hengky hanya diam dan memilih masuk ke dalam kamarnya.
Untung saja saat ini anakku sudah tidur lelap, jadi tidak terganggu dengan pertengkaran yang saat ini terjadi.
“Terserah kalianlah. Memang susah kalau anak tidak mau berbakti sama orang tua,” kata A Eng lagi.
Tanpa berpamitan lagi mereka pun langsung pulang. Aku dan Romi saling berpandangan.
“Maaf ya, adik mama yang satu itu memang begitu,” kata Romi.
“Ya, aku bingung aja kenapa aku yang jadi disalahkan. Aku nggak pernah tau kalau papa mau jual rumah kalau kamu nggak kasi tau. Kenapa aku yang dibilang hasut papa buat jual rumah ini?” ujarku sambil mengempaskan tubuhku di sofa.
Malam merangkak semakin naik, jika dulu aku melewati malam dengan semarak musik kini dunianya sudah berubah. Malam-malamnya kini dilewati dengan celoteh si kecil, obrolan menjelang tidur dengan suamiku juga mimpi-mimpi indah meskipun sering diinterupsi oleh tangisan si kecil yang haus atau mengganti popoknya.“Kita mau pindah ke mana? Papa sudah fix jual rumah ini, kan?” tanyaku pada suamiku. Romi menganggukkan kepalanya.Sebenarnya kami masih ada satu ruko lagi. Dan ruko itu atas nama almarhum mama Romi dan memang sudah diberikan kepada Romi. Tetapi, posisinya ruko itu belum disemen dan juga tidak ada kamar apa lagi kamar mandi. Di cat saja belum. Baru berbentuk bangunan setengah jadi. "Rumah ini harus sudah dikosongkan dalam waktu dua minggu oleh pemiliknya yang baru," kata Romi.“Trus?”“Ya mau nggak mau kita pindah ke ruko yang di tanjung pinang. Besok aku cari tukang bangunan yang bisa borongan deh buat semen dan cat rumah itu. Lantai satunya aja dulu yang penting bisa buat
Papa memang menepati perkataannya dengan memberikan kami modal usaha. Romi membuka usaha furniture. Ada satu tukang yang bekerja dengan kami. Tapi, jujur saja, aku masih ragu karena yang pertama ruko kami masuk ke dalam lorong bukan pinggir jalan. Yang kedua suamiku belum berbakat di bidang ini. Jadi aku sedikit cemas. Awalnya memang ada yang membeli lemari buatan suamiku, apa lagi memang suamiku membuat lemarinya dari bahan yang bagus. Tetapi, lemari dan furniture itu perputaran uangnya lama, tidak setiap hari orang membeli lemari sementara kebutuhan kami setiap hari. Apa lagi Leo sedang dalam masa pertumbuhan. Bayi berusia 10 bulan itu kan memerlukan gizi. Dia hanya mau minum ASI sampai usia 7 bulan saja. Aku sendiri tidak tau kenapa padahal ASI ku lumayan banyak. Dan ternyata tepat saat Leo berusia 11 bulan aku hamil kembali. “Leo kan masih kecil banget ya, padahal aku pikir lepas KB nggak langsung jadi lagi,” kataku saat melihat tespack
Jika wanita setengah baya di hadapanku ini bukanlah tante dari suamiku mungkin aku sudah mencabik-cabik wanita ini. Bagaimana mungkin dia bisa mengatakan aku penjilat. Jika aku ini penjilat mungkin sudah sejak lama aku tidak mau mengurus mama dan juga Papa. Tapi buktinya apa aku selalu merawat mereka dengan baik, bukan? Dulu pun ketika aku sedang hamil besar aku mengantarkan almarhum Mama berobat ke Jakarta. Jika aku memang penjilat tidak mungkin itu aku lakukan. Atau ketika aku mengantar beliau ke Jakarta aku tukar saja obatnya dengan obat yang lain supaya beliau bertambah sakit tapi ini kan tidak. Bahkan aku rela berjalan jauh hanya untuk mengambil sampel darah mama ke laboratorium di RSCM.Untuk yang hapal denah di RSCM pasti tau jika dari loket BPJS ke lab itu cukup jauh. Dan waktu itu aku sedang hamil 7 bulan. Apa seperti itu bisa dilakukan oleh seorang penjilat?Memang lidah Tidak bertulang dan wanita di hadapanku ini ucapannya tidak bisa dikontrol sama sekali
"Iya, Papa memang beli tanah di samping home stay ini. Hanya memang bukan atas nama papa," kata papa saat kami berkumpul makan malam."Kalau kamu mau, kamu bisa bangun tanah itu buat bikin rumah makan. Di sini rumah makan emang banyak. Tapi, pengunjung juga banyak loh, Romi. Apa lagi katanya Vina dulu pernah buka rumah makan di rumah lama kalian yang dijual," kata Tante Siska. "Iya, Vina suka masak dan buat kue, jadi kami sempat buka rumah makan dan kue-kue online gitu. Sayang belum terlalu laris trus rumahnya keburu dijual," kata Romi melirik ke arah papanya. Yang dilirik hanya diam seolah tidak terjadi sesuatu. Ya aku bisa memaklumi karena memang papa itu sudah pikun. Usianya sudah 77 tahun . Sudah pikun dan sudah kembali seperti anak kecil."Maafkan papa, ya," kata paman Syongky kepada kami. "Saya nggak masalah kok, yang paling penting dari pihak keluarga papa nggak lagi menyalahkan saya. Atau saya dibilang tidak mau merawat papa," ujarku kepada paman Syongky.
Jujur saja saat, ini aku bingung bagaimana jika tanah yang dibeli oleh papa itu kelak menjadi sengketa.Bukankah tanah itu dibeli bukan atas nama papa atau atas nama suamiku? Alasan utama adik ipar Papa membeli tanah itu karena di pulau seribu katanya tidak boleh ada orang luar yang membeli tanah di sana. Harus orang yang sudah memiliki KTP di pulau Tidung itu yang membeli tanah.Jika pembelinya dari luar, maka tanah itu bisa menjadi sengketa ... kira-kira seperti itulah. Tetapi aku juga tidak mengerti. Apakah hal itu benar atau hanya akal-akalan saja, yang jelas aku pribadi hanya merasa heran kenapa Papa membeli tanah itu jika tidak bisa atas namanya?"Terus, kalau misalkan ... amit-amit ya Papa meninggal. Lalu tanah itu mau diapain? Emang kamu bisa ngomong kalau itu tanah punya kamu?" kataku kepada Romi setelah kami kembali dari pulau Tidung.Romi mengangkat bahunya."Nggak tahu, nanti kita pikirin aja. Toh untuk sekarang kita kan masih punya uang dan masih bisa usaha juga." Aku h
“Yang, aku diterima kerja! Wajahku langsung sumringah saat Romi mengatakan jika ia baru saja diterima bekerja. Aku langsung memeluk suamiku itu dan mencium pipinya.“Wah, selamat ya. Tuh, kan aku juga bilang apa. Harusnya dari kemarin kamu kerja aja, coba kalau waktu itu langsung kerja kita masih punya uang simpanan, loh. Jadi nggak susah-susah amat,” ujarku lirih. Ya, terkadang ada rasa penyesalan kenapa waktu itu aku tidak menyarankan Romi untuk bekerja saja dan uang yang diberikan papa itu didepositokan.“Iya namanya juga hidup kadang di atas kadang di bawah, Sayang. Tapi, nggak apa-apalah kita mulai lagi semuanya dari nol,” kata Romi dengan santai. Inilah sifat Romi yang terkadang tidak aku sukai,dia terlalu santai. Aku hanya menganggukan kepala perlahan sambil tersenyum ... yah segalanya memang harus dimulai dari nol. Terkadang ada sedikit penyesalan yang terbit dalam hatiku, kenapa sih waktu itu aku nggak sabaran. Seharusnya aku mungkin bisa menahan emosi saat mengha
“Ya ampun, Yuk, ini kok banyak banget cucian? Terus ini cucian piring banyak banget, perasaan tadi Leo belum makan. Terus udah gitu kok piringnya numpuk gelas kotor juga numpuk. Terus ini cucian baju siapa aja?” tanyaku kepada Ayukk Neneng.Aku sangat terkejut, saat aku turun ke lantai bawah dan melihat Ayuk yang bekerja di rumahku sedang mencuci banyak sekali pakaian kotor. Dan juga di wastafel tempat cuci piring, menumpuk piring dan gelas.Saat aku membuka kulkas dan hendak mengambil batu es, ternyata batu es nya habis dan cetakan batu esnya sama sekali belum diisi. Begitu juga dengan botol-botol air minum di kulkas semuanya kosong.Sudah sebulan ini selalu saja begitu. Aku jadi merasa lebih lelah dari biasanya. Memang ini hanya masalah kecil. Tetapi, jika dibiarkan pasti akan menjadi kebiasaan.“Itu kerjaannya si Beiby, dari kemarin juga kayak gitu. Kalau habis makan, cucian piringnya ditumpukin di situ. Terus ini juga baju-baju kotor punya dia,” kata Ayukk.Aku menepuk dahiku den
Pada akhirnya, Romi pun terpaksa pulang. Karena perutku yang sering kram ditambah lagi keluhanku mengenai Beiby yang semakin bertindak seenaknya. Bahkan ia pernah dengan sengaja membawa sejumlah ekstasi ke rumah.Hal itu makin membuatku dan Romi kesal. Tetapi, untuk mengusirnya dari rumah selalu tidak ada kesempatan. Dia seperti sengaja pulang malam menjelang dia berangkat kerja sehingga membuat kami tidak sempat bicara kepadanya. Dan pagi itu tepat tanggal 5 november 2016, pagi saat terbangun aku merasakan mules dan keluar flek. Tanpa berpikir panjang, Romi membawaku ke rumah sakit Bhayangkara Jambi. Pada saat diperiksa ternyata masih pembukaan 1. "Nggak bisa pulang dulu, Dokter?" tanyaku kepada dokter Hanif. Dokter yang sudah menanganiku sejak anak pertama dulu. "Sebaiknya jangan. Nanti kalau pulang ke rumah lalu ada apa-apa bagaimana? Lebih baik di rumah sakit saja dulu," kata dokter.Romi tersenyum seolah mengerti keresahanku. "Ada Ayuk yang jagain Koko Leo. Tenang aja," ujar
Seorang kawan Romi yang bernama Yongki mengajak Romi untuk Investasi bitcoin dengan nama Wx coin. Karena percaya Romi mengerahkan sisa uang yang mereka punya sebesar 60jt kepada Yongki. Ternyata,di tengah jalan, itu adalah penipuan. Uang mereka hilang. Dan mereka juga kena tipu oleh seorang kawan yang bernama Memed. Memed mengajak Investasi untuk berjualan mie celor, tenyata uang dimakannya. Mereka benar-benar di tipu sana sini. Romi pun karena ada bisnis jadi mengundurkan diri dari pekerjaan. Semua menjadi kacau. Akhirnya satu persatu apa yang bisa mereka jual mereka jual. Mobil,perhiasan,semuanya. Romi pun mulai mencoba peruntungan sebagai driver grab dan gocar. Mobilnya rental dari salah seorang kawan mereka yang bernama Ko Johan. Puji Tuhan berjalan lancar, namun tidak lama bonus grab dan gocar ditiadakan, mereka tidak sanggup lagi membayar rentalnya. Dan dengan sisa modal yang ada, Vina pun membuka usaha kuliner kuberi nama Warung Bandung Tea. Vina daftarkan ke Gojek dan
“Namanya adalah WXC coin. Sistem mereka ini seperti multi level marketing. Sekali bahwa orang-orang yang ikut investasi ini adalah orang yang ingin cepat mendapatkan keuntungan. Dan aku yakin sekali kalau koko ikut, pasti bisa dapat keuntungan yang cukup lumayan.”Siang itu, Romi kedatangan tamu bernama Yongki. Dia adalah teman Romi sejak SMA dulu. Dan tujuannya datang ke rumah adalah untuk meyakinkan Romi dengan bisnis yang baru itu."Aku pernah mempelajari tentang bitcoin. Dan aku memang pernah mendapat sedikit keuntungan. Tapi, yang aku ikuti itu tidak ada yang namanya merekrut orang. Ya, aku hanya membeli lewat Internet kemudian, ketika harganya naik, aku menjual bitcoinku, kemudian uangnya aku withdraw, ya cukup menguntungkan memang, aku mendapat keuntungan sekitar dua juta. Tapi setelah itu, aku tidak mau membeli lagi. Karena setelah aku pelajari perlu sekali ketelitian dan kerajinan kita memantau harga coin yang kita miliki. Saat harga sedang naik, kita lebih baik cepat menjual
Aku menghela nafas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Bayangan tentang ibu mertuaku itu selalu membekas dalam ingatanku. Apa yang pernah Mama berikan kepadaku terlalu berkesan untuk dilupakan. Tidak ada bayangan seorang mertua yang jahat kepada menantunya dalam diri mama. Bahkan beliau tidak pernah memarahiku, dia selalu memperlakukanku seperti anaknya sendiri. Dan entah mengapa rasanya sekarang terasa begitu berat tanpa Mama lagi. Apalagi Papa sudah memutuskan untuk tinggal di pulau seribu bersama adik-adiknya. Terkadang aku sedikit menyesal kenapa tidak bisa menahan emosi pada waktu itu. Tetapi jika dilihat dari kacamataku sendiri. Pada waktu itu aku baru saja melahirkan, harus merawat Mama yang juga sedang sakit. Ditambah Papa yang tidak pengertian sebagai orang tua. Rasanya memang aku tidak sanggup. Dan lagi yang aku lakukan untuk papa hanya ingin beliau tidak bekerja itu saja. Apakah salah?Tiba-tiba saja ponselku berdering. Aku melihat dari pesan BlackBerry ku ada s
Hanya 3 minggu Mama di Jakarta. Dan beliau pulang dengan surat rujukan. Akhirnya dokter di Jakarta menyarankan untuk di Jambi saja. Aku sudah lemas, aku merasa takut. Aku takut mama tidak kuat lagi dengan penyakitnya. Hal yang pertama yang Mama lakukan ketika pulang adalah menggendong cucunya. Ia tampak gembira bisa menggendong Leo. Kasur Leo selalu disimpan di ruang tengah. Karena Mama tidak mau tidur di kamar. Jadi siang hari Leo akan tidur di kasurnya dengan dipasang kelambu diruang tengah supaya mama bisa selalu melihat cucunya. Aku tidak melarang,aku tau beliau ingin menghabiskan waktu bersama cucunya. Dan, hari itu tepat tanggal 20 mei 2015 , Mama kembali menjalani operasi kecil. Ginjal mama sudah kena. Dan kaki serta perut beliau kembali membengkak, kali ini jauh lebih parah dari sebelumnya.Dan, ketika pulang dari Rumah Sakit, adik ipar Mama yang bernama Aeng, membawa Bhante ke rumah untuk sama-sama berdoa. Beberapa adik dan keponakan Mama juga datang untuk sama- sama
Ternyata 2 minggu setelah aku pulang, Mama juga pulang. Kaki dan perut Mama tidak bengkak lagi, karena sudah di lakukan penyedotan. Aku nggak ngerti apa istilah dalam bahasa kedokterannya. Tapi, bulan depan Mama harus kembali lagi ke Jakarta. Aku senang, karena Mama tidak nampak kesakitan. Meskipun badannya aku liat semakin kurus."Bulan depan aku ke Jakarta lagi. Katanya cek up. Aku minta di Jambi alatnya nggak ada,"kata Mama."Abis ini, Mama jangan ngapa-ngapain. Udah diam aja, istirahat. Nggak usah ke pasar atau ngapa-ngapain. Kan ada ayuk juga yang ngerjain semua,"kataku. Aku ingat, dokter bilang, bahwa perut dan kaki mama bisa membengkak kembali,jika banyak melakukan aktivitas. Tapi, ya bukan Mama kalau bisa diam. Kaki Mama itu ada rodanya. Ada saja yang di kerjakan. Mulai dari bongkar-bongkar lemari, cari baju- baju bekas Romi waktu bayi sampai mainan-mainan Romi ketika kecil. Semua dia bongkar. Padahal aku sudah bilang untuk istirahat. Satu waktu malah keliling pasar sa
Setelah 2 minggu kami berada di Jakarta, adik bungsu Mama yang bernama Ciu Ahui pun datang ke Jakarta. Aku yang menjemput beliau dari Bandara. Kebetulan hari itu selasa dan Mama kebetulan tidak ada jadwal pemeriksaan. Rabu pagi, sore aku akan pulang ke Jambi. Tapi,pagi hari nya aku harus tetap mengantar Mama dan ciu Ahui dulu ke Rumah sakit. Supaya Ciu Ahui tidak bingung nanti. Oya, jika kalian tidak tau, ciu itu artinya Paman. Sama dengan acek atau susuk artinya paman juga. Aku juga tidak terlalu paham sih untuk panggilan dalam bahasa Hokien. Aku ikutan Romi aja. Dia panggil apa ya aku ikut panggil begitu. Dan, rabu pagi aku sudah bangun dari pukul 4 pagi. Aku membereskan dulu semua pakaianku. Dan merapikan semua surat- surat mama. Sebenarnya, berat untuk meninggalkan Mama. Tapi, kondisiku juga sudah tidak memungkinkan untuk tetap bersama beliau. Salah-salah jika aku sampai melahirkan di Jakarta, kasian Mama. Bagaimana beliau dapat mengurusku nanti."Tolong urus Papa ya, kasi
Data yang diperlukan oleh pihak RSCM sudah keluar. Namun, data itu harus di pelajari lagi oleh tim dokter yang menangani Mama.Dan itu harus menunggu lagi selama beberapa hari. Aku dan Mama mendapatkan tempat kos tidak jauh dari RSCM.Tiap pagi kami bisa naik bajaj. Jam 5 pagi, kami sudah di RS, karena antrian bagi pasien BPJS itu panjang sekali. Kalau ingin dapat no antrian cepat ya harus datang pagi. Jadi, biaa kalian bayangkan. Aku dalam kondisi hamil 7 bulan, ikut antri di halaman Rumah Sakit bersama Mama. Tapi, Tuhan itu baik. Aku berkenalan dengan seorang Ibu. Ia juga mengantar Ibunya berobat. Dan, hampir setiap hari, Ibu itu yang berdesakan menggantikan aku, supaya perutku tidak terhimpit. Kadang, datang jam 5 pagi, kami bisa di periksaA dokter jam 10 pagi. Tergantung antriannya lagi. Betul- betul perjuangan. Untungnya, bayi dalam kandunganku betul- betul bisa di ajak kerjasama. Aku selalu bilang padanya, "Sayang, kita kan antar Ama berobat, jadi jangan rewel ya. Anteng
Aku merasa bahagia dengan apa yang saat ini aku dapatkan. Jika pada awalnya aku takut, karena cerita orang di luar sana tentang menantu versus mertua. Aku nampaknya harus banyak bersyukur. Mama memperlakukan aku dengan amat sangat baik. Beliau memperlakukan aku seperti anaknya. Terkadang, saat beliau pergi ke pasar, selalu beliau bertanya , apa yang ingin ku makan. Romi juga lebih perhatian dan menjagaku dengan baik. Tentu saja, kami tidak mau merasakan kehilangan untuk kedua kalinya. Namun, sekarang ini yang aku khawatir kan bukan kondisi bayi dalam kandunganku. Setiap bulan pertumbuhan nya baik dan sehat. Di tambah lagi, Romi selalu mencukupi asupan gizi yang aku makan. Bahkan mama mertuaku selalu memperhatikan makananku. Dan, saat ini aku mengkhawatirkan kondisi kesehatan Mama. Terakhir dokter mengatakan bahwa harapan untuk beliau hidup hanya 40 persen. Kankernya sudah menyebar. Sekarang mungkin baru kelenjar getah beningnya. Lama kelamaan akan menyerang ginjalnya dan t
Pukul 6 pagi Vina terbangun karena mendengar suara jendela kamar yang dibuka. Ia bergegas keluar kamar, dilihatnya Mama sedang menjerang air. Mama termasuk ibu yang masih tradisional. Air minum, ya dimasak."Pagi, Ma. Maaf kesiangan. Ada yang bisa dibantu, Ma?" Sapa Vina. Mama tersenyum."Bisa tidur semalam? Kau liatin aku dulu pagi ini, nanti besok-besok baru kau yang kerjain, ya." Vina menghapalkan setiap urutan yang dibuat Mama. Mulai dari memasak air,membuatkan susu untuk Romi ,sereal buat Papa. Dan, yang terakhir membuang isi pispot Papa. Rupanya, di malam hari Papa tidak pernah keluar kamar untuk buat air kecil. Sehingga disediakan pispot di kamar, di dekat ranjangnya.Pantas saja, semalam Vina sempat melihat pispot di dekat ranjang."Dia tu jorok. Kalau pipis buang sembarang. Sering aku marahin," ujar Mama. "Nggak usah sapu pel, Vina. Nanti kan ada ayuk yang datang buat kerjain semuanya," kata Mama saat Vina hendak mengambil sapu."Oooh, ada ayuk ya, Ma?""Iya. Jadi nggak u