Rumah orang tua Diana baru saja sepi dari para kerabat yang datang menghadiri acara arisan keluarga yang mereka adakan usai waktu Magrib tadi.
“Ibu, Ayah. Ada yang ingin aku bicarakan,” pinta Diana begitu hanya mereka bertiga yang tersisa di ruang tengah rumah orang tuanya.“Mengenai apa, Diana? Ada masalah di kantormu kah?” tanya sang ibu sambil menatap putri sulungnya.“Bukan masalah di kantor, Bu. Hm … ini mengenai Denny. Ibu masih ingat ‘kan sama dia? Teman dekatku waktu kuliah dulu yang beberapa kali datang ke rumah ini.”“Oh, iya, Ibu ingat kok, apalagi pas kamu nikah sama Rey dulu, dia ‘kan yang datang mabuk-mabukan ke pesta kalian?” Ratih tertawa kecil mengingat pemuda yang datang ke pesta pernikahan anak sulungnya itu.“Iya, Bu, dulu aku memang meninggalkannya dan lebih memilih Mas Rey. Hm … empat bulan lalu aku ketemu Denny lagi pas acara reunian di kampus. Setelah Mas Rey meninggal, Denny jadi seriAda yg gak bisa nahan kayaknya, wkwkwk
“Denny! Aku tidak akan menghalangi apa yang kau inginkan saat ini, tapi setelah ini aku tidak akan pernah mau menemuimu lagi,” ancam Diana begitu ada kesempatan buatnya untuk bicara di tengah-tengah aksi Denny di atas tubuhnya. Denny tertegun mendengar ancaman wanita yang sudah dibuatnya tidak berdaya. Berlahan ia melonggarkan jepitan tangannya di tubuh langsing Diana yang sudah terlihat pasrah tidur di atas jok mobil yang sudah direbahkan oleh laki-laki itu tadi. Tangannya pun kemudian kembali menarik tuas jok untuk menegakkan kembali sandarannya. Diana diam saja melihat Denny yang kemudian mengancingkan kembali baju yang dilepas paksa oleh pria itu tadi. “Maafkan aku, Na. Tadi temanku mengajak minum sebelum ketemu kamu. Aku benar-benar minta maaf ya, gak bisa kontrol emosiku barusan.” Denny mencium tangan Diana lama dengan napas yang masih terlihat memburu. Ia benar-benar sedang berusaha untuk tenang. “Aku mau pulang dulu, Den,” j
Denny menemui ibunya ke kamar. Terlihat sang ibu sedang melipat mukenanya, sepertinya baru saja selesai melaksanakan salat Zuhur. “Denny? Kamu pulang? Tumben?” Yanny bertanya dengan heran, karena biasanya jarang sekali sang putra pulang ke Balikpapan setiap minggu. “Iya, Ma. Aku ngajak Diana ke sini, mau kuperkenalkan sama Mama,” jawab Denny sembari menyalami dan mencium tangan ibunya. “Mama ‘kan sudah bilang tidak mau dia jadi menantu mama, kenapa lagi kamu ajak dia ke sini sih, Den?” Yanny bertanya dengan malas, bahkan kemudian ia menuju ranjangnya, bersiap untuk istirahat siang. “Ma … jangan gitu dong, Ma. Tolong temui Diana sebentar. Kami udah jauh-jauh dari Samarinda ke sini lho, Ma,” bujuk Denny menyusul duduk di samping mamanya. Ia lalu meraih tangan sang ibu dengan tatapan memohon. “Baiklah, mama hanya sekedar menghormati tamu yang datang ke rumah ini, bukan berarti mama setuju dia menjadi calon
Begitu Diana turun dari mobil yang membawanya ke bandara, ia langsung berjalan menuju pintu keluar penumpang bandara. Sekitar lima meter wanita yang sedang kecewa itu bisa melihat Ivan yang berdiri menunggu tidak jauh dari pintu keluar. “Mas Ivan!” teriak Diana sembari melambaikan tangan. Ivan langsung melihatnya, segera pria tingi kekar itu berjalan menemui Diana sambil membawa koper kecilnya. “Ada acara apa ke Balikpapan, Bu?” tanya Ivan dengan tersenyum senang. Ia tidak menyangka akan bertemu Diana di Balikpapan dan akan pulang bersama dengan atasannya itu ke Samarinda. “Ibu-ibu! Kita bukan di lingkungan kantor lho, ya?” protes Diana dengan memanyunkan bibir seksinya. “Ya, deh. Hm … kenapa jauh-jauh menjemput aku ke sini? Belum juga sampe seminggu pisahnya?” goda Ivan lagi, membuat Diana yang sedang cemberut tersenyum lebar. “Mana mobilnya, Mas? Udah pesan ‘kan?” Diana mengalihkan pembica
Diana baru saja akan beranjak tidur sekitar pukul sepuluh malam ketika ponselnya berbunyi. Denny yang menghubunginya. “Hallo ….” Diana bicara seolah-olah seperti orang baru tidur terbangun kembali. “Udah tidur aja, Na.” “Iya, capek banget bolak balik dari Balikpapan tadi,” jawab Diana dengan sengaja menguap. “Maaf ya, tadi kamu jadi kecewa gara-gara mamaku.” “Gak apa-apa, Den. Namanya juga orang tua tentu akan memilih yang terbaik buat pendamping anaknya. “Bagiku kamu yang terbaik, Na.” “Makasih, Den. Kamu masih menilaiku seperti itu, tapi kita harus melihat kenyataan, hm … maaf ya, Den. Sepertinya aku menyerah kali ini.” “Tidak bisa kah kita terus bersama, Na. Kita sudah sangat dewasa untuk menentukan kebahagiaan kita sendiri.” “Itulah yang aku belum bisa, Den. Terlalu banyak yang harus aku pertimbangkan. Orang tuaku, perusahaanku, dan aku harus memberi contoh
Denny masih berdiri termangu menatap mobil yang membawa wanitanya pergi dari hadapannya. Hatinya benar-benar sakit menerima kenyataan pahit ini. Cinta tulusnya untuk Diana, kembali berdarah lagi seperti tujuh tahun yang lalu. Dulu Diana juga pergi meninggalkannya sama seperti saat ini ketika memberitahukan bahwa wanita itu akan menikah dengan laki-laki lain. Denny tahu, Diana selalu tegas dalam hal itu. Ia yakin wanita yang dicintainya itu akan melakukan apa yang diinginkannya, yaitu menjauh dari Denny. Lamunan Denny terhenti oleh suara ponselnya yang berbunyi. Terlihat di layar ponsel, adik bungsunya memanggil. “Kenapa, Karin?” Denny dengan malas mengangkat panggilan itu. “Mama pingsan, Kak!” “Apa?! Pingsan?” Denny tersentak kaget menyambung suara teriakan adiknya di seberang sana. “Iya, sejak Kak Denny berangkat ke Samarinda tadi pagi, mama terus menangis di kamarnya. Barusan aku mau ajak sarapan, ternyata
Sudah dua minggu lamanya Denny tidak juga menghubungi Diana. Meski masih penasaran, akhirnya Diana pun membiarkan saja. Ia pikir Denny pasti sudah menerima keputusannya agar mereka tidak melanjutkan hubungan lagi. Namun, ketenangan Diana akhirnya terusik, ketika Denny tiba-tiba mengirim pesan padanya. Saat itu Diana sedang asyik menonton serial Mak Beti yang sebulan terakhir ini selalu ditontonnya di chanel youtube yang tersambung di televisi dalam kamarnya. Acara humor yang dibuat oleh youtuber terkenal Arief Muhammad itu cukup mampu membuat Diana terhibur di tengah kesepian yang menderanya. Malam Minggu ini pun hanya dihabiskannya untuk menonton acara itu. Teman LamaNa, apa kabar? Semoga kamu selalu sehat, yaaNa, aku mengajukan pindah kerja ke Balikpapan.Sekarang aku sedang cuti. Ibuku sakit dan sempat dirawatdi rumah sakit selama seminggu.Na, sebenarnya aku ingin pamit dan bertemu kamu untukterakhir kalinya, tap
Diana menatap wajah tampan dengan berewok tipis yang tercukur rapi itu dengan pandangan lembut. Hatinya benar-benar ajaib, bisa dengan begitu cepatnya berpindah ke sosok yang terus saja memberi kemesraan padanya saat ini. “Kamu serius, Mas? Bagaimana dengan keluargamu? Apakah nanti mereka juga akan setuju kamu menikahi seorang janda beranak empat?” “Kamu lupa, Diana. Aku juga seorang duda dengan satu orang anak. Malah orang tuaku di Jawa sana akan senang melihat aku menikah kembali, daripada aku hidup sendiri di sini. Sudah setahun lho, aku tidur hanya memeluk guling,” jawab Ivan sambil tersenyum menawan. Tangan kekarnya kembali memeluk tubuh Diana erat, seakan ia ingir lebur bersama tubuh langsing milik bos nya di kantor itu. “Aku bahagia bersamamu, Mas. Dalam sekejab, kamu bisa mengobati luka hatiku.” Diana kembali merebahkan kepalanya di bahu kekar itu. “Aku juga sangat bahagia malam ini, terima kasih sudah menerimaku di hatim
Diana dan Ivan mengajak anak-anak mereka ke arena bermain yang terdapat di Bigmall Samarinda. Pasangan yang sedang dimabuk asmara itu kemudian menitipkan pengawasan anak-anak mereka kepada dua orang babysitter yang ikut diajak Diana. Keduanya kemudian menunggu di restoran Amerika yang tidak terlalu jauh dari tempat itu.Mereka duduk berdampingan di kursi sofa yang tersedia di restoran itu. Usai memesan minuman, tangan Ivan langsung meraih tangan wanita yang duduk di sampingnya. Diana menatap wajah tampan yang sejak semalam sudah mulai menyita pikirannya. Menyingkirkan bayangan almarhum suaminya dan mantan pacarnya sekaligus. Ia pun masih heran bercampur takjub akan hatinya yang bisa beralih secepat itu kepada pria yang ada di sisinya kini. “Nanti setelah kita resmi menikah, kamu mau bulan madu ke mana, Sayang?” tanya Ivan sembari mencium jemari tangan Diana. Matanya tiada lepas memandang wajah cantik nan mempesona sang kekasih. Bagai mimpi
“Istri saya hamil, Dok?” Willy bertanya kaget, ia tak menyangka kalau Vinda begitu cepat mengandung anaknya. Memang sih, sudah sebulan terakhir ini ia tak pernah lagi memakai pengamannya saat berhubungan dengan Vinda. Willy menoleh pada Vinda yang juga tampak terkejut mendengar ucapan sang dokter. Ia langsung memeluk tubuh istrinya, “Kamu hamil, Sayang.” “Iya, Mas. Aku senang sekali mendengarnya, Mas ….” Vinda balas memeluk suaminya dengan erat. Bahkan, tak lama kemudian terdengar isak tangisnya. Ia benar-benar sangat bersyukur bisa mengandung anak dari pria yang sangat dicintainya itu. “Untuk lebih jelasnya usia kehamilan Bu Vinda, saya buatkan surat rekomendasi ke dokter kandungan ya, Pak.” Suara dokter pria berusia sekitar empat puluhan itu terdengar bicara pada pasangan yang sedang berbahagia itu. “Jadi untuk obat-obatan serta vitamin, nanti akan dapat resep dari dokter kandungan.” “Baik, Pak. Kalau begitu kami pamit dulu,” ujar Willy sembari memb
Willy mengandeng tangan Vinda menuju ruang makan. Kedua orang tuanya sudah menunggu di sana. “Akhirnya … mantu baru mama datang juga.” Eva langsung menyapa sang menantu dengan ceria, membuat Vinda yang begitu gugup sedikit tenang mendapatkan sambutan hangat dari ibu mertuanya. Vinda langsung menghampiri Eva, mencium tangan wanita paruh baya yang tadi malam juga sudah mengobrol dengannya via telepon genggam. “Iya, Bu. Maaf sudah menunggu.” “Gak apa-apa, Vin. Papa dan mama juga baru duduk di sini kok,” balas Eva sembari melirik suaminya yang tampak menatap tajam istri dari Willy itu. Eva tak peduli, ia kembali menatap pada sang menantu. “Vin, kamu harus biasakan panggil kami mama dan papa kayak Willy, ya?” Vinda menganggukkan kepalanya, ia kemudian melirik ayah mertuanya, berusaha menenangkan dirinya sebelum melangkah ke Hartono. Vinda mengulurkan tangan, ingin menyalami pria gagah berusia enam puluh lima tahun itu. Hartono melirik dingin tangan V
“Aku akan ikut kamu pulang ke Semarang akhir bulan ini.” Willy merapikan rambut Vinda yang berantakan, usai permainan panas mereka barusan. Keduanya masih tidur berdempetan di sofa ruang tamu. “Aku ingin berkenalan dengan orang tuamu.”“Serius mau ikut, Mas? Kantor gimana? Masa kita pergi bersamaan?” Vinda menatap wajah tampan berkeringat itu dengan senyum bahagia di bibirnya.“Emangnya, kamu mau ke Semarang berminggu-minggu?” protes Willy sembari bangkit dari atas tubuh Vinda. Tanpa memberi aba-aba, tubuh yang masih terkulai lemas di sofa itu diangkatnya dan dibawa ke dalam kamar. “Cukup semalam aja di sana, kita berangkat Sabtu pagi, pulang lagi Minggu sore, okey?”“Cepat banget?” Vinda membulatkan matanya sembari memeluk erat leher kokoh Willy yang sedang membawanya menuju kamar.“Masa kamu tega biarin aku pulang duluan ke sini, sih? Aku ma
Vinda refleks melihat jam tangannya mendengar ucapan Willy. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi lewat sepuluh menit. “Ehm … jam sembilan, Mas ada janji ketemu Pak Rocky di kantor, jadi sepertinya gak keburu mampir-mampir segala.”“Eh, iya, hampir aku lupa, gak mungkin juga kan? Kita hanya main setengah jam doang, masa celup sebentar langsung check out,” ucap Willy sembari memukul setir mobilnya sedikit kesal, padahal hasratnya sudah terasa sampai ke ubun-ubun membayangkan tubuh mulus Vinda yang tak pernah terasa bosan untuk dinikmatinya. “Kamu harus cepat-cepat jadi istriku, Vin. Biar tiap bangun tidur kita bisa olah raga dulu.”Vinda menyembunyikan senyum gelinya dengan rasa panas yang menjalar di wajahnya mendengar ucapan Willy yang gak ada remnya. Cewek itu memalingkan wajahnya ke jendela di sebelahnya, pura-pura memperhatikan orang-orang yang berjalan di trotoar.Akhirnya sepuluh menit
“Mama kenal banget kok, sama dia.” Willy menjawab dengan senyum yang terbit di ujung bibirnya. Terbayang wajah cantik Vinda dalam kepalanya. “Benarkah? Ayo, kasih tahu mama, Wil!” Eva bertanya penuh semangat. Baginya yang penting Willy mau segera menikah. Agar pikirannya bisa tenang. Ia sudah capek selalu mengkhawatirkan putra ketiganya itu. “Sabar, Ma? Nanti deh, dia pasti akan aku kenalkan secara resmi pada papa dan Mama sebagai calon istri aku.” Willy mendekatkan duduknya ke dekat sang ibu, lalu meraih tangan ibu yang sudah melahirkannya tiga puluh tiga tahun yang lalu itu. “Mama janji akan merestui siapa pun yang aku pilih untuk pendamping hidupku kan?” “Tentu saja, Wil. Mama percaya, pasti kamu memilihnya karena mencintai dia kan? Jadi untuk apa mama akan menghalangi kebahagiaan putra mama sendiri.” Eva menatap putra tercintanya dengan senyum tulus. “Makasih, Ma.” Willy mencium tangan ibunya penuh haru. Wan
Diana mengelus tangan kekar suaminya yang memeluk tubuh polosnya dengan erat dari belakang. Bibirnya tersenyum mendengar dengkuran halus Ivan dengan napas hangatnya yang terasa menerpa leher jenjang Diana. Setengah jam yang lalu, mereka baru saja selesai bertempur dalam kenikmatan. Ivan pun langsung tertidur pulas setelah itu, tapi Diana masih terbangun.Berlahan, Diana mendorong tangan besar Ivan, lalu berusaha melepaskan diri dengan sedikit susah karena perutnya yang sudah sangat membuncit. Di usia kehamilannya yang sudah sembilan bulan itu, aktivitas ranjangnya dengan sang suami tak pernah berkurang. Ivan malah semakin bergairah melihat sang istri dengan perut buncitnya. Mereka pun bermain aman dengan posisi yang juga sangat menyenangkan bagi Diana, posisi doggy style.Diana yang berhasil duduk di pinggir ranjang, lalu memasang piyama tidurnya yang tergeletak di atas ranjang, ia ingin membersihkan diri ke kamar mandi. Namun, saat ia ingin berdiri perutny
Willy membuka matanya pelan, ia mengumpulkan semua kesadarannya, mendapatkan dirinya yang terbaring di tempat yang ia sangat kenal. Dua atau tiga kali dalam seminggu ia selalu terbangun di sana setiap paginya.Willy menoleh pada seseorang yang tidur menempel di tubuhnya dalam selimut yang sama, bahkan kaki cewek itu terasa menimpa sebagian tubuhnya bagian bawah. Tangan itu pun memeluk perut polosnya dengan erat. Willy tersenyum, ia sudah hafal akan cara cewek itu tidur.“Ehm … Bapak udah bangun?” Vinda membuka matanya begitu merasakan sebuah ciuman hangat di keningnya. Senyum wanita cantik itu melebar begitu mendapatkan wajah tampan yang menatapnya penuh arti.“Bukan hanya aku yang udah bangun, kakimu juga membangunkan yang lain,” dengus Willy dengan suaranya yang berat dan seksi.“Oh, maafkan, kakiku yang selalu gak sopan ini.” Vinda baru menyadari bahwa kakinya masih nangkring di a
“Vin, kamu jemput aku ke Tunjungan bentar.” Willy menghubungi Vinda--sekretarisnya begitu kepalanya terasa semakin berat. Ia telah mencoba untuk menyetir sendiri, tapi sepertinya ia tak bakal sampai di rumah jika terus memaksa membawa mobilnya itu pulang. Vinda turun dari ojek online begitu melihat mobil bosnya yang terparkir di jalan seberang plaza terbesar nomor dua di Kota Surabaya itu. Wanita bertubuh langsing itu mengetuk jendela mobil beberapa kali, sampai mengintip di jendela kaca sembari menutup kedua sisi wajahnya, agar ia bisa melihat sang bos di dalam mobil. Tak hilang akal, Vinda menghubungi Willy dengan ponselnya dan berhasil membuat Willy yang ketiduran di belakang kemudi bergerak bangun. Lalu, menoleh ke jendela mobil yang kembali diketuk oleh Vinda. Willy membuka pintu mobil dan keluar dengan sedikit sempoyongan, ia beralih duduk ke kursi penumpang di belakang kemudi. Vinda yang berdiri di dekat pintu mobil, kemudian langsung masuk dan dud
“Kamu?” Susana mendelik melihat pasiennya yang masuk pertamakali setelah usai jam istirahat adalah wanita yang telah menganggu rumah tangganya lima bulan yang lalu. “Hai … Dokter cantik? Apa kabar?” Elina dengan santai mengulurkan tangannya mengajak sang dokter berjilbab coklat muda itu bersalaman. Susana dengan enggan menerima uluran tangan wanita yang tampak sok akrab padanya. Ia tertegun begitu melihat ke tubuh wanita cantik yang mendatanginya itu. “Ka-kamu hamil lagi?” “Iya, dong … makanya saya ke sini, soalnya dulu saat pertama hamil, kan Dokter yang periksa. Jadi saya rindu, Dokter memeriksa kehamilan saya lagi.” Elina semakin senang mengganggu istrinya Denny itu. Ia berusaha menahan senyumnya. “Kamu hamil bukan dengan suami saya, kan?” Susana bertanya pelan. Hatinya langsung berkecamuk karena mengingat suaminya ke Samarinda lima bulan yang lalu yang ia yakini untuk menemui wanita yang ada di depannya saat ini. “Menurut Dokter bagaimana?