Diana menatap wajah tampan dengan berewok tipis yang tercukur rapi itu dengan pandangan lembut. Hatinya benar-benar ajaib, bisa dengan begitu cepatnya berpindah ke sosok yang terus saja memberi kemesraan padanya saat ini.
“Kamu serius, Mas? Bagaimana dengan keluargamu? Apakah nanti mereka juga akan setuju kamu menikahi seorang janda beranak empat?”“Kamu lupa, Diana. Aku juga seorang duda dengan satu orang anak. Malah orang tuaku di Jawa sana akan senang melihat aku menikah kembali, daripada aku hidup sendiri di sini. Sudah setahun lho, aku tidur hanya memeluk guling,” jawab Ivan sambil tersenyum menawan. Tangan kekarnya kembali memeluk tubuh Diana erat, seakan ia ingir lebur bersama tubuh langsing milik bos nya di kantor itu.“Aku bahagia bersamamu, Mas. Dalam sekejab, kamu bisa mengobati luka hatiku.” Diana kembali merebahkan kepalanya di bahu kekar itu. “Aku juga sangat bahagia malam ini, terima kasih sudah menerimaku di hatimCinta satu malam, wkwkw
Diana dan Ivan mengajak anak-anak mereka ke arena bermain yang terdapat di Bigmall Samarinda. Pasangan yang sedang dimabuk asmara itu kemudian menitipkan pengawasan anak-anak mereka kepada dua orang babysitter yang ikut diajak Diana. Keduanya kemudian menunggu di restoran Amerika yang tidak terlalu jauh dari tempat itu.Mereka duduk berdampingan di kursi sofa yang tersedia di restoran itu. Usai memesan minuman, tangan Ivan langsung meraih tangan wanita yang duduk di sampingnya. Diana menatap wajah tampan yang sejak semalam sudah mulai menyita pikirannya. Menyingkirkan bayangan almarhum suaminya dan mantan pacarnya sekaligus. Ia pun masih heran bercampur takjub akan hatinya yang bisa beralih secepat itu kepada pria yang ada di sisinya kini. “Nanti setelah kita resmi menikah, kamu mau bulan madu ke mana, Sayang?” tanya Ivan sembari mencium jemari tangan Diana. Matanya tiada lepas memandang wajah cantik nan mempesona sang kekasih. Bagai mimpi
“Ayo, Mas. Kita ke hotel Horison sebelah aja. Biar aku suruh Leo yang jemput anak-anak kesini,” balas Diana tak kalah semangatnya. Darahnya juga sudah menumpuk di kepala, kembali menutupi akal sehatnya, sesuatu yang minta pelepasan. Ia juga ingin menghilangkan semua resah yang melanda saat ini. Diana kembali ke tempat duduknya semula, sembari merapikan blusnya yang sudah tak karuan oleh tangan liarnya Ivan barusan, sedangkan Ivan menyandarkan kepalanya di jok mobil sambil memejamkan matanyanya. Ia berusaha keras menurunkan hasratnya yang membara. Diana baru saja akan menghubungi Leo, sepupunya yang sudah biasa menjemput anak-anaknya sekolah tiap hari, ketika malah ada nada panggil masuk ke ponselnya. Dari Sinta, babysitter anaknya. “Iya, Hallo, Sinta. Ada apa?" tanya Diana sedikit terburu. “A-anu, Bu. Kevin jatuh pas main trampolin, Bu.” “Kevin jatuh?! Bagaimana keadaannya sekarang?” Diana bertanya kaget.
Ivan dan Diana baru saja selesai makan malam bersama anak-anak mereka ketika tamu yang tidak mereka duga datang tiba-tiba. Kedua orang tua Diana. “Bagaimana keadaan Kevin?” tanya ibunya Diana begitu sang putri datang menghampiri orang tuanya yang baru datang. “Enggak apa-apa katanya dokter, Bu. Kok Ibu tahu?” Diana balik bertanya heran. “Tadi sore ibu telpon kamu, tapi gak diangkat, terus ibu telpon ke Sinta. Katanya kamu lagi bawa Kevin ke dokter,” balas Ratih sembari melangkah ke ruang tengah yang menjadi satu dengan ruangan makan. Orang tua Diana cukup kaget begitu melihat ada Ivan yang masih duduk bersama anak-anak di kursi makan. Ivan segera bangkit dan menyalami orang tua Diana. “Eh, ada Ivan di sini?” tanya Ratih heran. “Iya, Bu. Tadi saya bertemu Diana dan anak-anak di arena bermain Bigmall, terus sekalian ke sini, habis antar Kevin ke dokter. “Oh gitu? Untung ada kamu juga di
Diana baru saja selesai mengunci pintu rumahnya begitu kedua orang tuanya pulang dari rumahnya, ketika terdengar suara ponselnya berbunyi dari arah meja ruang tengah. Ia bergegas berjalan menghampiri benda yang terus bernyanyi dengan ringtone yang masih suaranya Rimar Idol.“Hallo, Masku, Sayang?” Diana langsung menjawab dengan mesra panggilan dari sang kekasih hati.“Hallo … calon istriku? Sudah tidur?”“Belum, Mas. Ayah dan ibu baru saja pulang.” Diana mengempaskan tubuhnya di sofa dan menyelonjorkan kedua kakinya ke atas sofa panjang itu. Lalu meletakkan kepalanya berbantalkan tangan sofa.“Hm … terus bagaimana? Kamu sudah kasih tahu orang tuamu belum tentang hubungan kita?”“Sudah, Mas. Kebetulan ayah dan ibu datang gara-gara papa juga telepon mereka sore tadi setelah telepon aku. Ayah dan ibu mau tahu jawabanku atas lamaran Willy.&rd
Diana baru saja selesai menata meja makan, ketika Ivan kembali muncul di rumahnya ketika jam istirahat tiba.“Kok, gak telpon dulu tadi, Mas? Untung aku udah selesai siapin makan siangnya,” sambut Diana begitu kekasih hatinya itu berdiri di hadapannya. Ia sedikit mendongak memandang pria tinggi tegap itu.“Iya, soalnya aku udah rindu lagi ingin lihat kamu,” jawab Ivan sembari mencubit hidung mancung Diana.“Bisa aja ngerayunya. Yuk, Mas. Kita langsung ke ruang makan aja,” ajak Diana sembari menggandeng tangan pemilik hatinya yang baru itu.“Anak-anak udah pada makan?” tanya Ivan begitu hanya mereka berdua yang makan bersama.“Sudah pada makan barusan, sekarang mereka lagi di lantai atas sama pengasuhnya,” jawab Diana sembari mengambilkan makanan untuk calon suaminya.“Ada kabar lagi nggak dari Pak Hartono dan Willy?” tany
“Bagaimana hasilnya?” tanya Ivan begitu ia baru saja tiba di rumah Diana sepulang dari bekerja sekitar pukul setengah enam sore. “Dih, gak sabaran amir?” Diana tertawa geli begitu mendengar ucapan dari kekasihnya itu. “Iya, dong? Penasaran tahu,” balas Ivan sembari mencium jidat mulus calon istrinya yang sudah segar karena satu jam sebelum sang kekasih pulang kerja, wanita cantik itu sudah mandi dan berdandan. “Bentar ya, Mas. Aku ambilin orange juice ya, tadi udah aku siapin,” ucap Diana sembari melepaskan tubuhnya dari pelukan Ivan. “Mantep tuh, pasti seger kayak kamu,” balas Ivan tersenyum senang. “Iya, dong? Biar calon suamiku tetap sehat.” Diana meninggalkan Ivan yang sudah duduk di kursi tamu. Tidak berapa lama kemudian ia sudah membawa nampan berisi segelas minuman dan sepiring kue yang sudah ia siapkan. Lalu Diana pun duduk di sebelah sang kekasih di kursi pan
Hari Selasa, Diana kembali tidak masuk bekerja, nyeri perut yang selalu dirasakannya saat tamu bulanannya datang, membuatnya malas melakukan aktivitas apapun. Pagi itu Ivan masih mampir sebentar untuk sarapan bersamanya. Bertemu dengan calon suaminya itu, membuat Diana melupakan rasa nyerinya.Setelah Ivan berangkat ke kantor, Diana kembali malas-malasan. Ia merebahkan diri di sofa yang terdapat di kamarnya sendiri. Ia melewatkan waktu bermainnya bersama Kellan dan Jane yang sudah belajar berjalan kini di usia yang hampir satu tahun. Suara dering ponselnya sedikit mengagetkan Diana yang kini berbaring dengan mata terpejam sembari menikmati alunan musik yang disukainya. Ternyata yang menghubungi adalah ibunya. “Hallo, Bu ….” “Diana, kamu di kantor?” “Aku di rumah, Bu. Gak ke kantor hari ini, lagi datang bulan,” balas Diana sembari mematikan televisi. “Oh, gitu. Terus Pak Hartono jadi datan
Pada hari Sabtu siang, Ivan menjamu seluruh keluarga inti Diana juga kedua orang tuanya untuk merayakan pernikahannya dengan Diana di sebuah restoran yang juga menyediakan ruangan khusus untuk acara-acara spesial. Hadir juga mantan mertua Ivan yang datang bersama putri kecil Ivan di acara itu. Keduanya juga ikut bahagia melihat mantan menantu yang mereka sayangi sudah menemukan istri lagi, menggantikan posisi putri mereka yang kini berada di Amerika bersama suami keduanya. Usai acara makan-makan dan berfoto bersama, Ivan dan Diana mengantar pulang keluarga mereka ke rumah masing-masing. Sekitar jam tujuh malam Ivan menjemput sang istri ke tempat tinggalnya, lalu keduanya melanjutkan acara mereka berdua, honeymoon di hotel Aston Samarinda, seperti yang sudah dijanjikan Ivan pada Diana kala pertamakali mereka berkencan. Orang tua Diana bersedia menjaga cucu-cucu mereka dengan menginap di rumah Diana, selama putri sulung mereka yang sedang b
“Istri saya hamil, Dok?” Willy bertanya kaget, ia tak menyangka kalau Vinda begitu cepat mengandung anaknya. Memang sih, sudah sebulan terakhir ini ia tak pernah lagi memakai pengamannya saat berhubungan dengan Vinda. Willy menoleh pada Vinda yang juga tampak terkejut mendengar ucapan sang dokter. Ia langsung memeluk tubuh istrinya, “Kamu hamil, Sayang.” “Iya, Mas. Aku senang sekali mendengarnya, Mas ….” Vinda balas memeluk suaminya dengan erat. Bahkan, tak lama kemudian terdengar isak tangisnya. Ia benar-benar sangat bersyukur bisa mengandung anak dari pria yang sangat dicintainya itu. “Untuk lebih jelasnya usia kehamilan Bu Vinda, saya buatkan surat rekomendasi ke dokter kandungan ya, Pak.” Suara dokter pria berusia sekitar empat puluhan itu terdengar bicara pada pasangan yang sedang berbahagia itu. “Jadi untuk obat-obatan serta vitamin, nanti akan dapat resep dari dokter kandungan.” “Baik, Pak. Kalau begitu kami pamit dulu,” ujar Willy sembari memb
Willy mengandeng tangan Vinda menuju ruang makan. Kedua orang tuanya sudah menunggu di sana. “Akhirnya … mantu baru mama datang juga.” Eva langsung menyapa sang menantu dengan ceria, membuat Vinda yang begitu gugup sedikit tenang mendapatkan sambutan hangat dari ibu mertuanya. Vinda langsung menghampiri Eva, mencium tangan wanita paruh baya yang tadi malam juga sudah mengobrol dengannya via telepon genggam. “Iya, Bu. Maaf sudah menunggu.” “Gak apa-apa, Vin. Papa dan mama juga baru duduk di sini kok,” balas Eva sembari melirik suaminya yang tampak menatap tajam istri dari Willy itu. Eva tak peduli, ia kembali menatap pada sang menantu. “Vin, kamu harus biasakan panggil kami mama dan papa kayak Willy, ya?” Vinda menganggukkan kepalanya, ia kemudian melirik ayah mertuanya, berusaha menenangkan dirinya sebelum melangkah ke Hartono. Vinda mengulurkan tangan, ingin menyalami pria gagah berusia enam puluh lima tahun itu. Hartono melirik dingin tangan V
“Aku akan ikut kamu pulang ke Semarang akhir bulan ini.” Willy merapikan rambut Vinda yang berantakan, usai permainan panas mereka barusan. Keduanya masih tidur berdempetan di sofa ruang tamu. “Aku ingin berkenalan dengan orang tuamu.”“Serius mau ikut, Mas? Kantor gimana? Masa kita pergi bersamaan?” Vinda menatap wajah tampan berkeringat itu dengan senyum bahagia di bibirnya.“Emangnya, kamu mau ke Semarang berminggu-minggu?” protes Willy sembari bangkit dari atas tubuh Vinda. Tanpa memberi aba-aba, tubuh yang masih terkulai lemas di sofa itu diangkatnya dan dibawa ke dalam kamar. “Cukup semalam aja di sana, kita berangkat Sabtu pagi, pulang lagi Minggu sore, okey?”“Cepat banget?” Vinda membulatkan matanya sembari memeluk erat leher kokoh Willy yang sedang membawanya menuju kamar.“Masa kamu tega biarin aku pulang duluan ke sini, sih? Aku ma
Vinda refleks melihat jam tangannya mendengar ucapan Willy. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi lewat sepuluh menit. “Ehm … jam sembilan, Mas ada janji ketemu Pak Rocky di kantor, jadi sepertinya gak keburu mampir-mampir segala.”“Eh, iya, hampir aku lupa, gak mungkin juga kan? Kita hanya main setengah jam doang, masa celup sebentar langsung check out,” ucap Willy sembari memukul setir mobilnya sedikit kesal, padahal hasratnya sudah terasa sampai ke ubun-ubun membayangkan tubuh mulus Vinda yang tak pernah terasa bosan untuk dinikmatinya. “Kamu harus cepat-cepat jadi istriku, Vin. Biar tiap bangun tidur kita bisa olah raga dulu.”Vinda menyembunyikan senyum gelinya dengan rasa panas yang menjalar di wajahnya mendengar ucapan Willy yang gak ada remnya. Cewek itu memalingkan wajahnya ke jendela di sebelahnya, pura-pura memperhatikan orang-orang yang berjalan di trotoar.Akhirnya sepuluh menit
“Mama kenal banget kok, sama dia.” Willy menjawab dengan senyum yang terbit di ujung bibirnya. Terbayang wajah cantik Vinda dalam kepalanya. “Benarkah? Ayo, kasih tahu mama, Wil!” Eva bertanya penuh semangat. Baginya yang penting Willy mau segera menikah. Agar pikirannya bisa tenang. Ia sudah capek selalu mengkhawatirkan putra ketiganya itu. “Sabar, Ma? Nanti deh, dia pasti akan aku kenalkan secara resmi pada papa dan Mama sebagai calon istri aku.” Willy mendekatkan duduknya ke dekat sang ibu, lalu meraih tangan ibu yang sudah melahirkannya tiga puluh tiga tahun yang lalu itu. “Mama janji akan merestui siapa pun yang aku pilih untuk pendamping hidupku kan?” “Tentu saja, Wil. Mama percaya, pasti kamu memilihnya karena mencintai dia kan? Jadi untuk apa mama akan menghalangi kebahagiaan putra mama sendiri.” Eva menatap putra tercintanya dengan senyum tulus. “Makasih, Ma.” Willy mencium tangan ibunya penuh haru. Wan
Diana mengelus tangan kekar suaminya yang memeluk tubuh polosnya dengan erat dari belakang. Bibirnya tersenyum mendengar dengkuran halus Ivan dengan napas hangatnya yang terasa menerpa leher jenjang Diana. Setengah jam yang lalu, mereka baru saja selesai bertempur dalam kenikmatan. Ivan pun langsung tertidur pulas setelah itu, tapi Diana masih terbangun.Berlahan, Diana mendorong tangan besar Ivan, lalu berusaha melepaskan diri dengan sedikit susah karena perutnya yang sudah sangat membuncit. Di usia kehamilannya yang sudah sembilan bulan itu, aktivitas ranjangnya dengan sang suami tak pernah berkurang. Ivan malah semakin bergairah melihat sang istri dengan perut buncitnya. Mereka pun bermain aman dengan posisi yang juga sangat menyenangkan bagi Diana, posisi doggy style.Diana yang berhasil duduk di pinggir ranjang, lalu memasang piyama tidurnya yang tergeletak di atas ranjang, ia ingin membersihkan diri ke kamar mandi. Namun, saat ia ingin berdiri perutny
Willy membuka matanya pelan, ia mengumpulkan semua kesadarannya, mendapatkan dirinya yang terbaring di tempat yang ia sangat kenal. Dua atau tiga kali dalam seminggu ia selalu terbangun di sana setiap paginya.Willy menoleh pada seseorang yang tidur menempel di tubuhnya dalam selimut yang sama, bahkan kaki cewek itu terasa menimpa sebagian tubuhnya bagian bawah. Tangan itu pun memeluk perut polosnya dengan erat. Willy tersenyum, ia sudah hafal akan cara cewek itu tidur.“Ehm … Bapak udah bangun?” Vinda membuka matanya begitu merasakan sebuah ciuman hangat di keningnya. Senyum wanita cantik itu melebar begitu mendapatkan wajah tampan yang menatapnya penuh arti.“Bukan hanya aku yang udah bangun, kakimu juga membangunkan yang lain,” dengus Willy dengan suaranya yang berat dan seksi.“Oh, maafkan, kakiku yang selalu gak sopan ini.” Vinda baru menyadari bahwa kakinya masih nangkring di a
“Vin, kamu jemput aku ke Tunjungan bentar.” Willy menghubungi Vinda--sekretarisnya begitu kepalanya terasa semakin berat. Ia telah mencoba untuk menyetir sendiri, tapi sepertinya ia tak bakal sampai di rumah jika terus memaksa membawa mobilnya itu pulang. Vinda turun dari ojek online begitu melihat mobil bosnya yang terparkir di jalan seberang plaza terbesar nomor dua di Kota Surabaya itu. Wanita bertubuh langsing itu mengetuk jendela mobil beberapa kali, sampai mengintip di jendela kaca sembari menutup kedua sisi wajahnya, agar ia bisa melihat sang bos di dalam mobil. Tak hilang akal, Vinda menghubungi Willy dengan ponselnya dan berhasil membuat Willy yang ketiduran di belakang kemudi bergerak bangun. Lalu, menoleh ke jendela mobil yang kembali diketuk oleh Vinda. Willy membuka pintu mobil dan keluar dengan sedikit sempoyongan, ia beralih duduk ke kursi penumpang di belakang kemudi. Vinda yang berdiri di dekat pintu mobil, kemudian langsung masuk dan dud
“Kamu?” Susana mendelik melihat pasiennya yang masuk pertamakali setelah usai jam istirahat adalah wanita yang telah menganggu rumah tangganya lima bulan yang lalu. “Hai … Dokter cantik? Apa kabar?” Elina dengan santai mengulurkan tangannya mengajak sang dokter berjilbab coklat muda itu bersalaman. Susana dengan enggan menerima uluran tangan wanita yang tampak sok akrab padanya. Ia tertegun begitu melihat ke tubuh wanita cantik yang mendatanginya itu. “Ka-kamu hamil lagi?” “Iya, dong … makanya saya ke sini, soalnya dulu saat pertama hamil, kan Dokter yang periksa. Jadi saya rindu, Dokter memeriksa kehamilan saya lagi.” Elina semakin senang mengganggu istrinya Denny itu. Ia berusaha menahan senyumnya. “Kamu hamil bukan dengan suami saya, kan?” Susana bertanya pelan. Hatinya langsung berkecamuk karena mengingat suaminya ke Samarinda lima bulan yang lalu yang ia yakini untuk menemui wanita yang ada di depannya saat ini. “Menurut Dokter bagaimana?