"Assalamualaikum!"Rumah Rasti sepi tidak seperti biasanya. Semoga saja ada Rasti di rumah, aku sudah sangat kangen kepadanya. Biarpun kami tinggal satu desa dan berdekatan tetapi jarang berjumpa karena kesibukan masing-masing.Tok ... tok ... tok.Pintu berulang kali aku ketuk tapi tidak ada tanda-tanda bahwa di dalam sana ada penghuninya.Mondar mandir dari pintu dapur ke pintu depan, hening. Karena lelah, akhirnya aku duduk di kursi teras. Entah kenapa saat ini tubuhku gampang lelah. Padahal makanan yang aku konsumsi makanan sehat dan cukup bergizi.Setelah beberapa saat aku menunggu di teras, kaki ini hendak beranjak pergi. Tiba-tiba terdengar langkah kaki dari dalam rumah. Ceklek.Pintu terbuka lebar, Rasti keluar dengan memakai kerudung instan berwarna navy. Tumben anak itu dirumah saja memakai jilbab, padahal biasanya pakaian dia kenakan sangat mini. Baju pendek, tipis dan pas badan, yang menampakkan lekukan tubuh."Sinta!" Rasti kaget melihat kedatanganku secara tiba-tiba."
"Bu, nanti siang Sinta mau belanja, barang-barang di warung banyak yang sudah kosong," ujarku pada ibu saat melipat mukenah setelah mengerjakan salat subuh berjamaah."Naik apa, Nak?" tanya beliau seraya beranjak dari duduknya dan menuju ke dapur untuk menyiapi sarapan."Kayak biasalah, Bu." ujarku sembari mengikuti ibu dari belakangnya."Hari ini hari minggu, di jalan desa rame anak-anak muda balapan liar. Kamu jangan bawa motor sendirian, Ibu khawatir." "Iyalah, Bu. Nanti Sinta naik becak ajalah." Kuputuskan naik becak saja, kebetulan aku pun sedang malas membawa motor sendiri.Jam masih menunjukkan di angka 07.00, waktu aku untuk memberi pakan ikan dan ayam.Saat sedang asyik memberi makan ikan tiba-tiba ponselku berdering. Ternyata dari Akmal kawan sekolahku dulu. "Ini dengan Sinta ya?" tanya Akmal diseberang sana."Iya, ini siapa?" Aku juga penasaran dengan nomor asing yamg masuk ke ponselku."Aku Akmal. Masak kamu sudah lupa dengan cowok ganteng yang sering mendapat rangking p
"Assalamualaikum." Diri ini berdiri di ambang pintu, mencari keberadaan bocah-bocah kecil yang sedari tadi meminta makan pada ayahnya, pak Slamet."Wa alaikum salam, eh Mbak sudah selesai beli pulsanya?" tanya pak Slamet. Seraya mempersilahkan aku masuk."Masuk, Mbak. Istri saya masih dikamar, sedang menyusui si bontot." ujarnya sembari menggelar tikar usang. Ruang tamu dengan lantai sudah pecah-pecah dan berpasir, tidak layak dikatakan sebuah rumah."Udah, Pak. Anak-anak mana?" tanyaku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan."Mereka lagi tidur, Mbak," jawab pak Slamet. Aku sempat berfikir, 'apakah untuk menghalau rasa lapar, jadi anak-anaknya disuruh tidur saja?'"Pak, ini saya bawa nasi bungkus. Tolong bangunkan saja mereka. Kasian juga tidur dalam keadaan perut masih lapar." Aku sodorkan bungkusan plastik yang berisikan nasi bungkus dan ayam goreng serta soto medan."Terima kasih banyak, Mbak. Saya tidak tau bagaimana cara membalas kebaikan Anda," ujar pak Slamet, terlihat matany
Hari ini becak motor yang aku pesan untuk pak Slamet sudah selesai dimodifikasi. Sekarang lelaki paruh baya tersebut, sudah bisa narik kendaraan roda tiga itu dengan mesin, tidak lagi mendayung."Mbak Sinta, terima kasih telah banyak membantu saya sekeluarga, semoga Allah membalas kebaikan mbak Sinta denga rezeki yang berlimpah," ungkap pak Slamet."Terima kasih, Pak atas doanya," jawabku."Ayo, anak-anak ada yang mau naik becak keliling kota, gak." tawarku pada ketiga anak pak Slamet. Sebelum mengais rezeki di kota, alangkah baiknya menyenangkan hati anak-anak dahulu. Semoga dengan begitu rezeki pak Slamet akan semakin lancar."Bapak tenang aja, ya? Bensinnya full tank!" ujarku menjawab kekhawatiran di wajah lelaki beranak empat itu."Gak usah, Mbak. Kami sudah terlalu banyak merepotkan mbak Sinta," ujar lelaki berambut ikal itu tertunduk. Terlalu banyak beban yang dipikul itu semua terlihat dari tatapan matanya."Bukan saya yang isi kok, Pak. Itu bonus dari agen karena kita sudah me
Hari ini, aku mengajak ketiga anak pak Slamet untuk berjalan-jalan mengelilingi kota dengan mobil yang baru aku beli beberapa minggu yang lalu. Mereka berebutan duduk di kursi paling depan. "Kak, aku minta duduk di depan aja. Ya kan, Tante." Mereka satupun tidak ada yang mau kalah, aku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah kedua anak pak Slamet. Sementara Rina tidak banyak menuntut. Dia bersedia duduk dimana saja. Yang penting bisa sampai ke tujuan dengan selamat katanya. "Gak boleh. Kakak duluan yang duduk di depan," ucap Rangga seraya mendorong Aska sang adik. "Rangga, Aska. Jangan begitu, Nak. Kalian berdua kenapa berantem saja sih." sentak bu Marni kesal. "Mau duduk di depan atau belakang gak ada beda. Tetap kalian itu sampenya bersamaan kan?" Mereka berdua mengangguk dan akhirnya yang duduk di depan bukan Rangga atau Aska melainkan Rina. "Bu Marni kami berangkat dulu ya. Besok anak-anak saya antar pulang. Insya Allah." kataku pada bu Marni yang sedang menggendong anak
"Kak Agnes, apa kabarnya?" Berusaha menyapa mantan kakak iparku, mengharap beliau sudah melupakan semua masalah yang pernah terjadi diantara kami."Baik, Sin. Kamu sendiri apa kabarnya?" jawabnya ramah seraya mengulurkan tangan untuk bersalaman."Kabar baik juga, Kak. Niken sini sama Tante, Sayang." Aku melambaikan tangan mengajak Niken untuk mendekat. Walau bagaimanapun Niken itu merupakan anak dari abangku, penerus generasi Hadiningrat.Niken mendekati kami dengan takut-takut. Mungkin masih teringat bagaimana kami telah membuat dia terluka di masa lalu. Aku menyesal telah menganiaya dia, sungguh kejam aku dimasa itu. Semoga saja mereka sudah memaafkan segala kesalahanku di masa lalu."Ibu, apa kabar? Ibu sehat kan?" tanyanya seraya berjalan mendekati ibu yang sedang berdiri di dekat petugas karcis dan mengulurkan tangan untuk bersalaman. Ibu menyambutnya dengan setengah hati."Sehat," jawab ibu kurang ramah. Mungkin ibu masih sakit hati terhadap kak Agnes."Rangga, Aska, Rina, sini
Hari ini, Sinta akan datang berkunjung ke rumahku. Katanya dia kangen bermain dengan Niken dan ingin bersilaturrahmi, mempererat hubungan yang pernah terputus dimasa lalu.TokTok Tok"Assalamualaikum," terdengar suara yang tidak asing lagi di telingaku."Wa alaikum salam," jawabku dari dalam seraya melangkahkan kaki menuju pintu dan membukanya."Sinta? Baru sampe ya? Kamu sendirian saja?" tanyaku seraya mengedarkan pandangan mencari keberadaan kawan yang menemani Sinta. Ternyata dia memang sendirian kemari."Iya, Kak. Aku sendirian. Ibu gak bisa ikut, gak ada yang menunggu warung." jawabnya."Oh ya udah. Masuk yuk." ajakku seraya mengapit tangan kurusnya dan menuntun duduk di kursi ruang tamu.Sinta ikut berjalan masuk ke dalam dan kami duduk berhadapan. Rasanya canggung juga, selama ini bagaikan musuh bebuyutan tetapi hari ini kami berdua bagaikan sahabat lama yang sudah lama tidak pernah bertemu."Kamu kelihatan sangat kurus sekarang, Sin. Kamu sehat-sehat saja kan?" tanyaku khawa
Setelah mendapat remisi, akhirnya aku bisa bebas bersyarat. Dengan hati bahagia aku bisa kembali menghirup udara bebas.Ingin segera pulang dan menjumpai Siska sang belahan jiwa.Malam berganti terasa begitu lama. Membayangkan berdua melepaskan rindu yang sudah sekian lama kupendam sendiri.Mata ini susah untuk kupejam. Akhirnya aku mengambil mushaf alquran dan membaca surah yasin berulang kali sampai mata ini bisa terpejam.Pagi menyapa dan aku menyambutnya dengan riang gembira karena hari ini merupakan hari terakhir aku berada di sel tahanan ini dan semoga aku tidak akan kembali lagi kemari.Setelah berkemas akhirnya aku keluar juga dari hotel prodeo. Bagaikan mimpi buruk aku berada di sana.Segera aku keluar dengan suka cita. Tak berapa lama ada taxi lewat dan aku menyetopnya. Diri ini tidak seperti tahanan yang lain, sering dikunjungi keluarga dan saat bebas begini di jemput oleh keluarga, istri dan anak. Diri ini bagaikan sebatang kara di muka bumi ini."Pak, ke alamat ini ya?"
Tiga tahun sudah berlalu sejak mas Rama meminta hak asuh Niken jatuh ke tangannya. Sekarang lelaki yang pernah menjadi suamiku itu tidak mempersoalkan lagi Niken tinggal sama dia atau ikut denganku. Baginya yang penting buah hati kami berdua bahagia dan tidak kurang kasih sayang sedikit pun dari kedua orang tuanya."Ma, besok Niken mau nginap di rumah papa!" ujar Gadis berusia tiga belas tahun itu seraya duduk disebelah aku yang sedang menonton drama korea."Dijemput kan?" tanyaku memastikan. Bukan aku tidak mempercayai kepada Niken, tetapi untuk memastikan keamanannya saja."Iya, Ma. Dijemput besok siang dari sekolah. Kayak biasalah, Ma. Papa menelpon Mama jika kami sudah berangkat," jelas Niken panjang lebar."Kalau di jemput, ya udah gak apa-apa," ujarku."Mama gak ngajar hari ini? Kok santai banget nonton drakor?" tanya gadis kecilku yang sudah menginjak remaja tersebut."Mama gak enak badan tadi, Nak." Ketika berbincang-bincang dan menyantap makanan yang di beli oleh Niken sepul
"Biar saja Niken bersama saya, Mas," ujarku disaat mas Rama meminta izin untuk membawa Niken tinggal bersamanya."Kenapa kamu keberatan Niken bersama aku, Nes? Niken kan anak aku juga. Apa kamu takut dia akan kelaparan jika tinggal bersama aku? Enggak, Nes. Apapun akan kulakukan untuk membahagiakan darah dagingku. Aku bukan lagi Rama yang dulu," tegas Mas Rama."Saya tau Mas juga sayang sama Niken. Bapak mana sih yang gak sayang sama darah dagingnya sendiri? Tapi Mas, kalau Niken bersama saya, saya pastikan Mas akan lebih leluasa mencari rejeki tanpa kepikiran Niken bakal tinggal sama siapa di rumah," ucapku mencoba meyakinkan mantan lelaki yang pernah sangat aku cintai waktu itu."Kamu tenang saja. Niken akan aku bawa kemana saja aku pergi, Nes." Nampaknya mas Rama sangat menginginkan Niken untuk tetap tinggal bersamanya. Dan aku bukan seorang ibu yang bisa hidup terpisah dengan anak yang masih butuh perlindungan kedua orang tuanya. Jangan tinggal terpisah, tidak berjumpa sehari saj
"Papa!" Niken berteriak kencang dan berlari ke arahku saat dia sudah keluar dari pintu gerbang sekolah. Hari ini aku menjemputnya dan akan menginap semalam dirumah sesuai janji kami kemarin sore."Niken!" Aku renggangkan kedua tangan seraya berjongkok, kemudian memeluk putri cantikku. Aku mengangkatnya tinggi dan membawa kepelukan. Niken tertawa serta menjerit kesenangan. Hanya inilah yang bisa aku lakukan untuk membuatnya bahagia. "Papa mau mengajak Niken menjumpai nenek, mau?" tanyaku sambil tetap menggendong bocah berusia sepuluh tahun itu."Mau ... mau," jawabnya antusias. Dia tidak tahu jika neneknya sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa."Tadi udah bilang sama papa Raka dan mama kan bahwa Niken akan dijemput Papa?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan."Udah, Pa!" seru Niken dengan mimik lucunya.Merasa tidak enak hati, akhirnya aku menelpon Agnes dan Raka untuk memastikan bahwa Niken sudah meminta izin kepada kedua orang tuanya menginap di rumahku."Gak apa-apa, Mas. Kas
Hari lahiranku, rasanya akan segera tiba. Saat hendak sarapan, aku merasakan ada cairan keluar dari jalan lahir. Cairan kental berwarna merah muda. Karena rasa sakit belum begitu terasa, aku masih menyempatkan mengantar Niken berangkat ke sekolah, setelahnya singgah ke klinik bersalin untuk menanyakan perihal yang aku rasakan saat ini. "Ini tanda-tanda mau melahirkan, Bu. Cuma masih lama karena masih pembukaan satu," ucap bu Bidan. "Kalau begitu, saya pulang dulu untuk menyiapkan keperluan bayi saya, Bu." pamitku pada wanita muda berusia lima tahun di atas aku. "Boleh, Bu. Hmmm ... Raka gak ikut, Bu?" tanya bu bidan. Beliau sangat mengenal keluarga kami, apalagi anaknya merupakan sahabat Niken di sekolah dan juga merupakan anak didikku juga. "Belum saya beritahu, Bu. Kasihan merepotkan," ucapku seraya beranjak dari tempat tidur kamar pasien. "Jangan gitu, bu Agnes. Suaminya harus diberitahu juga, kan buatnya bersama-sama. Masak lahiran sendirian," ucap bu bidan terdengar sedikit
Setelah salat subuh, aku memasak nasi goreng untuk sarapan. Hari ini, aku buat agak banyak karena ingin memberi sedekah sedikit untuk pekerja karena ibu sudah di temukan.Setelah membagikan sarapan, ku rebahkan tubuh ini di gubuk kecil dekat kolam ikan. Angin bertiup lembut menghadirkan rasa kantuk pada mata ini. Hingga tak sadar, diri ini terlelap. Sebuah dering telpon membuat ku terjaga. Nama Niken tertera disana. Aku segera mengangkat dan mengucapkan salam."Papa, jadi jemput Niken hari ini?" tanya gadis kecilku."Jadi dong! Anak Papa dimana sekarang?" Kubalik bertanya."Udah di dekat rumah Papa, nih," jawabnya."Ya udah. Papa jemput dimana ni? Atau langsung ke rumah aja ya, Nak?" titahku."Jemput di mini market sejahtera ya, Pa! Niken tunggu disitu." "Baik, tunggu Papa ya?" Aku menutup telpon dan bergegas pergi.Niken sedang menunggu di bangku di teras mini market tersebut. Dia nampak seperti kebingungan. Mungkin takut tidak jadi ku jemput."Niken!" "Papa!" Niken berteriak kenca
Aku sangat kaget melihat mantan mertua berjalan sepanjang rel kereta api. Beliau menghitung batu kerikil yang berada di rel tersebut. Aku mengikuti wanita yang telah menjadikan aku menjanda dari belakang, karena ku pandang bu Lastri bagaikan orang yang sedang linglung. "Bu, mau kemana?" tanyaku saat melihat wanita berkerudung coklat susu itu menuju ke arah pemakaman."Mau menemani anak saya. Kasian dia sendirian di dalam situ." Tunjuknya ke area tempat pemakaman. "Apa? Ah enggak-enggak saja ibu? Ibu pulang aja ya? Biar saya telpon mas Rama untuk menjemput Ibu ya?" "Apa hak kamu menyuruh aku pulang?" Karena tidak bisa di ajak bicara baik-baik akhirnya aku menelpon mas Rama, anaknya yang jelas-jelas lebih tahu apa yang terjadi pada bu Lastri."Mas, mantan mertua saya nampaknya sedang depresi. Dia mau masuk ke area pemakaman," ucapku pada mas Raka melalui sambungan telpon."Jadi bagaimana?""Mas, bisa bantu saya? Saya mau menelpon mas Rama untuk menjemput ibunya. Saya yakin dia gak t
"Rama, kawanin Ibu ke toko ponsel sebentar. Ibu mau membeli ponsel tercanggih." titah ibu membuat aku bertanya-tanya. "Untuk apa, Bu? Kan ponsel Ibu masih bagus?" "Ibu mau menelpon Sinta, Nak. Ibu sudah sangat rindu sama permata hati Ibu." Suara ibu serak seakan ada tangisan yamg sedang ditahankan."Ibu berhentilah meratapi kepergian Sinta. Kasian dia tersiksa di sana," ucapku dengan air mata sudah menganak sungai tidak dapat lagi aku tahankan. Cobaan hidup terberat dalam hidupku adalah ditinggal pergi ayah untuk selamanya dan sekarang menyusul adik semata wayangku, Sinta."Ibu tidak meratapi Sinta. Hanya ingin menelpon dia aja, menanyakan kabar dia. Apa ada yang salah?" tanya wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini dengan tatapan kosong."Ibu, Sinta sudah enggak ada lagi di dunia ini. Mana bisa di telpon sih, Bu. Kita sudah berbeda alam dengannya," ujarku seraya memijat lembut betis wanita yang sangat aku sayangi itu."Berbeda alam? Hahaha. Kita sudah berbeda alam, Nak. Jadi ba
"Bu, jenazah Sinta mau dimandikan," ungkap Rama membuyarkan lamunanku."Jenazah? Apa maksud kamu, Rama? Jangan sok tau kamu. Sinta belum mati. Dia hanya tidur saja. Pengaruh obat bius." Ku tepis tangan Rama yang berusaha memeluk bahu ini. "Bu, ikhlasin Sinta. Jangan beratin jalannya," ucap Romi, mantan suami Sinta. Air matanya berlinang. Pasti dia itu berpura-pura sedih. Aku tahu itu. Tidak mungkin dia menangisi anakku yanag sudah menjadi mantan di dalam hidupnya. Apalagi sekarang dia sudah memiliki pengganti Sinta."Ugh ... ini semua gara-gara kamu. Keluar kau dari rumahku." Seketika kudorong tubuh Romi hingga dia hampir terjatuh mengenai tubuh anakku yang masih terbaring diruang tamu."Bu, maafkan saya, tapi saya masih mencintai Sinta. Tidak ada yang bisa menyamainya." tutur Romi membuat aku semakin jijik melihatnya. Tidak perlu lagi ucapan itu keluar dari mulut sampahnya.Jika dia tidak menceraikan Sinta dan menikah dengan wanita lain, tidak mungkin Sinta akan menjajakan diri kepa
Rasanya duniaku hampir runtuh. Siang ini ada seseorang datang ke rumah, memberi kabar bahwa Sinta anak yang sangat aku sayangi, jatuh pingsan dipasar waktu berbelanja keperluan warung.Sekarang dia sudah di bawa ke rumah sakit, menurut informasi yang aku terima Sinta belum sadar dan terpaksa di rawat di ruang ICCU.Dan yang membuat aku hampir berhenti bernafas saat dokter mengatakan penyakit yang diderita Sinta. Penyakit menular seksual yang sangat mematikan itu.Aku malu, anak yang selama ini selalu aku banggakan ternyata selama di kota bekerja sebagai penjaja seks komersial. Putri semata wayang yang kubanggakan, kusayangi dia sepenuh hati, dia sangat ku manja bahkan semua yang dia inginkan pasti aku penuhi, tak peduli dari mana uang itu aku peroleh, yang penting anakku bahagia. Tak kusangka nasib dia seburuk ini."Bu, bagaimana kondisi Sinta?" tanya Rama. Anak yang tidak pernah aku harapkan kehadirannya dimuka bumi ini menanyakan kabar adiknya."Masih belum sadarkan diri," jawabku