"Halo, Ma, ada apa?" tanya Burhani pada Farah dengan khawatir ditelpon.”Ya ampun. Sudah jadi dokter bukannya bantu orangtua, malah bikin susah."Dion memasang wajah menghina tanpa dosa. Bagai yang dilakukannya ada benar. Sungguh membuat Burhani sangat emosi."Apa maksudmu?""Apa kau tahu apa yang sedang menimpa kedua orangtuaku? Apa kau ada dibelakangnya?"Burhani menarik kerah baju Dion."Cari tahu saja sendiri. Bukankah selama ini kau tidak pernah percaya padaku?""Kau memang bia**b! Dasar penghianat! Pecundang!”"Terserah sebutan apa yang akan kau berikan padaku.""Kau memang pantas!" Burhani berdecak sebal.Baru saja dia akan melayangkan bogem, tapi tidak tertahan denger kedatangan Alena."Maaf kepada Pak Dokter Burhani, sepertinya tidak mempunyai otak dan tidak memenuhi kriteria sebagai dokter," Alena menepuk bahu Burhani kuat. "Mungkin anda bisa memilih untuk mengundurkan diri dari rumah sakit ini!""Apa maksudmu?""Semua yang aku katakan sudah jelas. Ayah yang mana dengan teg
"Dok, tolong ada pasien yang sedang membutuhkan penanganan!" teriak asisten baruku, Fadil.Dua tahun telah berlalu, aku masih menjadi seorang dokter, tapi berbeda dengan dulu. Setelah Diana dan anak-anak pergi, hidupku hanya diselimuti oleh penyesalan dan sepi. Tanpa ada bahagia ataupun senyuman.Tidak hanya mereka saja yang menjauh, tapi juga orangtuaku ikut terdiam. Mereka seolah tidak melihatku ketika aku berkunjung ke rumahnya. Padahal dulu, hubungan kita tidak seperti ini."Baik!" segera aku berlari dari kantin rumah sakit ke ruangan. Tapi kosong. Tidak ada pasien di sini."Dimana pasiennya?" teriakku keluar."Di sini!" Fadil muncul dari ruangan sebelah, itu adalah ruangan Dion."Kenapa disana?""Dokter Dion tidak masuk, dia mengalami pendarahan di lengannya."Aku langsung melakukan penanganan pada pasien, seorang bocah yang kuperkirakan mungkin baru berusia enam tahun. Sama seperti umur Fahri sekarang.Ya Allah, Nak, kalian dimana? Papa merindukanmu.***Beberapa bulan yang lalu
"Aku ingin kau merestuiku untuk menikahi Milla," ucapku mengutarakan hadiah yang kuinginkan dari Diana sebagai hadiah pernikahan. Tapi istriku malah diam dan senyumannya perlahan menghilang.Bukannya tadi dia sudah setuju akan memberikan apapun yang kuinginkan. Beberapa menit sebelumnya aku melihat Diana terdiam di depan tempat tidur anak-anak."Tepat sebulan lagi, usia pernikahan kita genap mencapai lima tahun dengan dua anak lelaki yang tampan. Sungguh merupakan anugrah terindah. Aku pikir" ucapku pada Diana, wanita yang sudah menemaniku selama lima tahun ini. Kupeluk erat tubuhnya sambil memandangi kedua wajah bocah lelakiku."Ya dan aku juga bersyukur mempunyai suami sepertimu, Mas." Diana tersenyum padaku. Sangat manis. Ditambah dengan lesung pipi yang membuatnya semakin cantik."Aku ingin meminta sesuatu darimu, Diana." lirihku pelan. Sungguh aku tidak berani menatapnya."Katakan saja, Mas. Apapun itu, aku akan mencoba untuk memberikannya," jawabnya hangat.Tapi sekarang dia su
Diana terdiam sambil menatap foto pernikahannya lima tahun lalu yang menempel di dinding rumahnya dengan tangan menyentuh dada. Saat ini hatinya sangat sakit dan hancur dengan permintaan Burhani semalam. Dia pikir lima tahun sudah cukup untuk menumbuhkan cinta di hati suaminya untuk dia dan anak-anak, ternyata tidak semudah itu.”Aku izinkan," lirih Diana pelan. Hanya itu kata yang mampu keluar dari bibirnya. Sakit. Tentu saja. Lelaki yang dia kita sangat mencintainya ternyata hanyalah ilusi. Bahkan dia harus menerima kenyataan pahit kalau suaminya mencintai kekasih masa kecilnya.Diana sadar kalau dirinya hanyalah orang kampung yang tidak mungkin bisa memenangkan hati seorang dokter. Mustahil. Itulah kata yang cocok.Tanpa sadar matanya kembali mengembun ketika menatap kedua anaknya yang masih sangat membutuhkan kasih sayang orangtua yang utuh."Maafkan Mama yang tidak mampu untuk mempertahankan Papa agar hanya mencintai kalian. Ternyata hatinya kembali tersentuh oleh seseorang yang
"Kok tumben Mas, bekalnya habis terus," ucap Diana heran sambil membawa sebuah rantang susun ke dapur."Iya, Mas makannya bareng teman-teman," jawabku kaku. Beberapa hari ini aku sudah berbohong pada Diana. Dia tidak tahu kalau akhir-akhir ini aku membantu Milla dan anak-anaknya.Tidak mungkin bagiku untuk memberitahukannya. Karena ini pasti akan melukai hati dan perasaannya."Oh iya, Mas boleh minta bekal lebih tidak?" pintaku padanya yang langsung menghentikan aktivitas yang dilakukannya. Karena biasanya bekal yang kubawa akan ada sisa. Karena beberapa hari ini, aku memberikan bekalnya kepada anak-anak Milla. Mereka terlihat kasihan."Ya, sudah," jawabnya singkat.Kupikir Diana akan bertanya lebih lanjut. Ternyata tidak. Baguslah, aku jadi bisa lebih leluasa. Dia memang istri yang baik. Tapi sayangnya aku belum mencintainya."Fahri katanya kangen sama kamu, Mas.""Sama aku juga. Beberapa hari ini di rumah sakit banyak banget pasien," ucapku berbohong.Tapi Diana sama sekali tidak me
”Papa minta maaf ya, Mas, Bang," lirihku sambil kembali mencium mereka bergantian.”Mas sudah tidak terlalu ingin bertemu dengan Papa," ucap Fahri tajam. Ah, aku lupa kalau selama ini anak sulungku sangat peka terhadap keadaan."Mas ’gak boleh bicara seperti itu. Walau bagaimanapun Papa adalah Papa kalian," Diana ikut bicara. Aku tidak tahu terbuat dari apa hatinya itu. Dia sama sekali tidak marah, bahkan malah memberikan pengertian untuk anak-anak."Maafkan Mas, Ana," lirihku pelan. Kugenggam kedua tangannya dan menciumnya berkali-kali. Semoga dia bisa memaafkanku."Abang masih kangen, kok, sama Papa,” sahut Faiz. Dia beranjak turun dari duduknya dan berjalan ke arahku.Ketika aku merentangkan kedua tangan, Faiz malah melewatiku dan memeluk tangan Diana."Meskipun Abang tidak mengerti apa yang dibicarakan orang-orang ketika di rumah sakit, tapi Abang tahu kalau itu adalah hal yang tidak baik. Karena Mama sampai menangis,” ucapnya yang sudah seperti anak dewasa."Maafkan aku, Diana."
"Apa kau menyesali perbuatanmu kemarin?" Dion menatapku lekat. Sangat dekat. Jika ada yang melihatnya mungkin akan menyangka kalau aku dan dia memiliki hubungan yang spesial."Tentu saja, tidak."Jawabanku yang seharusnya bukan masalah malah membuat raut wajahnya terlihat marah."Ayolah, Dion. Aku juga di sana membantu anak-anak yang sedang kesusahan itu. Apalagi mereka belum pernah merasakan kasih sayang dari seorang ayah," jelasku padanya. Menurutku hal yang kulakukan tidaklah salah. Anak-anakku punya segalanya. Mereka juga punya Diana yang selalu berada di dekat mereka dan memberikan apapun yang diinginkannya.Aku tidak perlu khawatir akan hal ini.Tapi anak-anaknya Milla, mereka terlantar dan segala apapun yang mereka inginkan, harus mereka dapatkan dengan bekerja keras. Tanpa kasih sayang seorang ayah dan juga sangat tidak terurus."Membantu kau bilang? Apa kau pikir membantu itu harus dengan menikahi? Apa harus dengan menelantarkan anak-anakmu?" Dion menatapku tajam. Ada apa den
Dengan setengah berlari, aku memasuki perumahan sederhana yang kuberikan untuk Milla dan anak-anaknya. Dengan cepat aku membuka pintu rumah dan menyapu keberadaan Azka.Semua ruangan ruangan yang ada di rumah ini aku buka. Sampai terlihat Azka yang terdiam di pojokan dengan kedua lutut ditekuknya."Azka!" panggilku sambil mendekat ke arahnya."Om Doktel." Dia menyahut dengan mata berbinar. Azka memang tidak selancar Faiz yang sudah lancar melapalkan huruf 'r' diusia satu tahun.Aku langsung mendekat dan membawanya ke dalam pelukanku. "Azka kenapa?"tanyaku pada bocah yang menatapku nanar itu.Sementara Milla, dia hanya menatap kami dengan mata yang sembab. Sepertinya dia baru habis menangis. Andai saja aku tidak datang, mungkin ini akan menjadi pertanda yang tidak baik. Bisa saja akan mengganggu psikologis Azka, ataupun Milla."Azka kangen Papa, Om.""Aku minta maaf, Mas," ucap Milla tidak enak hati."Sudahlah, Mil. Lagian kita juga akan segera menikah. Kamu tidak perlu sungkan," ucapk
"Dok, tolong ada pasien yang sedang membutuhkan penanganan!" teriak asisten baruku, Fadil.Dua tahun telah berlalu, aku masih menjadi seorang dokter, tapi berbeda dengan dulu. Setelah Diana dan anak-anak pergi, hidupku hanya diselimuti oleh penyesalan dan sepi. Tanpa ada bahagia ataupun senyuman.Tidak hanya mereka saja yang menjauh, tapi juga orangtuaku ikut terdiam. Mereka seolah tidak melihatku ketika aku berkunjung ke rumahnya. Padahal dulu, hubungan kita tidak seperti ini."Baik!" segera aku berlari dari kantin rumah sakit ke ruangan. Tapi kosong. Tidak ada pasien di sini."Dimana pasiennya?" teriakku keluar."Di sini!" Fadil muncul dari ruangan sebelah, itu adalah ruangan Dion."Kenapa disana?""Dokter Dion tidak masuk, dia mengalami pendarahan di lengannya."Aku langsung melakukan penanganan pada pasien, seorang bocah yang kuperkirakan mungkin baru berusia enam tahun. Sama seperti umur Fahri sekarang.Ya Allah, Nak, kalian dimana? Papa merindukanmu.***Beberapa bulan yang lalu
"Halo, Ma, ada apa?" tanya Burhani pada Farah dengan khawatir ditelpon.”Ya ampun. Sudah jadi dokter bukannya bantu orangtua, malah bikin susah."Dion memasang wajah menghina tanpa dosa. Bagai yang dilakukannya ada benar. Sungguh membuat Burhani sangat emosi."Apa maksudmu?""Apa kau tahu apa yang sedang menimpa kedua orangtuaku? Apa kau ada dibelakangnya?"Burhani menarik kerah baju Dion."Cari tahu saja sendiri. Bukankah selama ini kau tidak pernah percaya padaku?""Kau memang bia**b! Dasar penghianat! Pecundang!”"Terserah sebutan apa yang akan kau berikan padaku.""Kau memang pantas!" Burhani berdecak sebal.Baru saja dia akan melayangkan bogem, tapi tidak tertahan denger kedatangan Alena."Maaf kepada Pak Dokter Burhani, sepertinya tidak mempunyai otak dan tidak memenuhi kriteria sebagai dokter," Alena menepuk bahu Burhani kuat. "Mungkin anda bisa memilih untuk mengundurkan diri dari rumah sakit ini!""Apa maksudmu?""Semua yang aku katakan sudah jelas. Ayah yang mana dengan teg
Milla menarik ujung baju Dea dan menamparnya berkali-kali karena tidak terima dikatakan sebagai pembantu. Burhani yang melihat semakin geram dengan sikap Milla yang berubah drastis.'Masih terasa hangat di pikiran kalau beberapa minggu lalu aku menikahi seorang wanita cantik dan lemah lembut, bukan wanita gemb*l dan kasar ini! Kemana Milla yang dulu?'batin Burhani dongkol.Merasa dirinya sudah ditindas, Dea langsung menonjok perut Milla lumayan keras hingga dia terpental lumayan jauh. "Jangan kau pikir aku diam kau bisa melakukan apapun padaku! Berani membuat masalah denganku, kau akan tamat!" ancam Dea serius. Kedua matanya yang tajam dan berwarna merah menatap Milla tanpa berkedip.Burhani bahkan dibuat diam dengan sikap Dea, sekaligus kaget dengan yang dilakukan gadis itu. Sungguh tidak menyangka wanita yang dia kira hanya berani berkata-kata saja, ternyata mampu bertindak.Dia pun mengacungkan kedua jempol tangannya kepada Dea. Bukti kalau Burhani kini sama sekali tidak mencintai
Berbeda dengan Milla yang sedang terpuruk, Diana justru tertawa terbahak-bahak ketika melihat video yang dikirimkan oleh Radit melalui aplikasi hijau."Hahaha ... benar aku tidak menyangka kalau Milla yang cantik jelita itu akan mengalami hal seperti ini." Diana masih terkikik.Fahri dan Faiz yang hanya bisa mendengar tertawa Diana membuatnya bingung."Mama kenapa, Mas?" Faiz berjalan ke arah Fahri. Tampak ada rasa takut di wajahnya. Mungkin dia mengira ada sesuatu yang mengganggu pikiran Diana ataupun terjadi sesuatu.Fahri menoleh, "Mungkin Mama lagi senang," ucapnya mencoba menghilangkan kekhwatiran yang ada di wajah Faiz. Padahal aslinya dia juga sangat takut terjadi sesuatu pada Diana ataupun memang ada hal mistis. Namun, dia tetap saja menjaga harga dirinya. Bagi Fahri, seorang kakak itu harus terlihat lebih keren dan berani daripada adiknya. Apalagi usia di antara mereka lumayan agak jauh, membuat gengsi Fahri semakin tinggi.”Hahaha."Lagi-lagi tawa Diana terdengar sangat kera
Aku sungguh tidak kuat menjadi ketika menyaksikan kebisuan putra yang dulu selalu aku banggakan. Memang aku telah melakukan kesalahan yang sangat besar, tapi apakah harus mendapatkan balasan yang sangat cepat?Rasanya baru kemarin aku bermain bersama mereka. Apalagi lelaki tampan yang bernama Delon ini mengaku sebagai calon istri dari istri dan anak-anakku.Ah, mungkin sekarang aku hanyalah menyandang status sebagai mantan suaminya. Meskipun dia memutuskan perceraian secara sepihak.Beberapa kali aku mengajak Fahri dan Faiz untuk bicara, tapi perkataanku bagai melayang tertiup angin. Kedua anakku yang dulu sangat ceria dan aktif, kini berubah menjadi pendiam.Dalam waktu singkat, aku harus menghadapi cobaan yang bertubi-tubi. Sudah dikhianati kedua sahabatku, ditinggalkan istri dan anak-anakku, serta dibohongi Milla. Wanita yang kupikir lembut dan baik seperti bidadari ternyata hanyalah iblis yang menyamar sebagai malaikat.Tanpa bisa kutahan, air mata ini luruh begitu saja. Kupikir k
"Tidak! Tidak mungkin wanita hina itu berubah dalam waktu yang sangat dekat untuk menjadi ratu.""Tidak. Aku yakin mereka semua hanya membohongiku. Mana ada berubah dalam hitungan hari? Pasti semuanya hanyalah isu. Ya, benar. Semuanya hanya isu."Beberapa kali Milla mengatakan kata-kata yang sama. Berat baginya menerima kebenaran siapa Diana yang sebenarnya. Padahal dia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri media cetak dan sosial mengabarkan hal itu. Tapi tetap saja hati dah pikirannya tidak bisa menerima hal itu."Apa kau tahu direktur utama yang baru? Aku sungguh tidak menyangka kalau Dirut dari F2 Group adalah seorang wanita muda yang cantik," ucap salah seorang wanita di sebuah jalanan yang penuh dengan orang-orang."Sama. Aku juga sangat tidak menyangka, apalagi beliau sepertinya terlihat sangat rendah hati," ucap yang lainnya.Hati Milla menjadi semakin penuh kebencian dan dengki. Matanya pun semakin memerah serta lebih tajam. Ia pun kembali melakukan sepeda motornya menuj
Milla berteriak mengumpat setelah mengetahui kalau Diana sebenarnya adalah orang kaya. Dia benar-benar sudah sangat kecewa dengan dirinya sendiri yang sudah merendahkan Diana.Padahal berbagai cara sudah dilakukannya untuk membuat Diana jatuh dan semakin terpuruk, bahkan enggan untuk bertahan. Tapi ternyata, dia bukanlah orang sembarangan bisa disentuh begitu saja.Rasa kecewa tidak dapat disembunyikan lagi dari wajahnya yang dalam waktu sekejap berubah menjadi amarah."Pantas saja selama ini kau baik-baik saja setelah apa yang telah aku lakukan!" geram Milla ketika hendak berjalan di antara kerumunan orang.Secara tidak sengaja, Burhani ternyata berada di dekatnya dan mendengar umpatan istri kedua yang sudah membuatnya melupakan istri dan kedua putranya."Apa sebenarnya yang sudah kubela dari wanita ini? Dia tidak lebih hanya seorang penghancur!" lirihnya geram dan sangat kesal. Namun tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.Bagi Burhani, kata penghancur adalah kata yang paling t
"Maaf, Pak, kami akan segera tutup," ucap salah seorang karyawan restoran.Burhani mengangkat wajahnya menatap sayup seorang karyawan wanita yang tengah berdiri di sampingnya. "Tahun berapa restoran ini di bangun dan diresmikan?"Karyawati tersebut tampak heran dengan pertanyannya, dia merasa pertanyaan yang bagus ini harusnya dilontarkan dengan wajah yang cerah dan tersenyum. Bukan seperti wajah orang yang ada di sampingnya ini. Kusam dan sama sekali tidak ada senyuman. Justru malah terlihat sendu dan akan menangis.Apa karena orang ini terharu?Beberapa kali pertanyaan itu muncul dalam benaknya, tapi tetap saja ekspresi itu tidak pantas."Bisa jawab atau tidak? Oh, mungkin anda karyawan baru di restoran ini?" Burhani menatap remeh. Dia merasa kesal karena pekerja wanita ini hanya menatapnya dan tidak mengatakan apapun.Wanita yang di depannya tersenyum ramah, dia seolah tidak peduli dengan kata-kata yang menyakitkan dari Burhani, "Perkenalkan, saya Deswina, manager di sini dan sekal
Beberapa kali Burhani meyakinkan kalau apa yang dilihatnya tidak nyata. Dia sama sekali tidak menerima kalau istri yang selama ini bersamanya ternyata tidak terbuka dalam beberapa hal.Dia merasa telah dibohongi setelah sekian tahun lamanya.Kedua tangannya mengepal kuat dan matanya menatap ke arah Diana, Dion, dan kedua putranya bergantian. Tidak terkecuali kedua orang tuanya Diana yang dulu ketika akad nikah mengakui pekerjaan mereka adalah petani, tapi ternyata dari keluarga Gardan Pradipta.Dion tersenyum penuh kemenangan ketika melihat bagaimana reaksi Burhani. "Saatnya kau sadar dan menerima kekalahan. Pada dasarnya semua orang akan menebus semua dosa yang dilakukannya di masa lalu. Tapi hanya DP saja." gumamnya pelan sambil terkekeh.”Jujur awalnya saya sangat kecewa. Tapi kedua orangtua terus meyakinkan saya kalau ini memang jalan terbaik dari yang maha kuasa. Banyak juga para ibu yang mengalami hal sama seperti saya yang memberikan kata-kata mutiara dan beberapa pengalamannya