Meksipun aku bisa mengeceknya sendiri, tetapi aku lebih memilih untuk membangunkan Mas Arif lebih dulu. Biar kita keluar berdua nanti. "Mas, sudah jam empat." Mas Arif hanya menggeliat. Matanya sempat terbuka sedikit, tetapi kembali tertidur. "Mas, ada orang yang berteriak di luar sambil menggedor-gedor pintu. Aku takut kalau keluar sendiri," bisikku di telinganya. Mas Arif kembali membuka mata. Kali ini langsung bangun dan duduk. Kelemahan Mas Arif memang kalau aku mengatakan takut. Karena semenjak gadis dan menjadi istrinya, aku memang mempunyai sikap yang penakut. Jangankan pergi ke warung, ke kamar mandi saja aku harus diantar, dan Mas Arif adalah orang yang selalu setia menemaniku. "Siapa kira-kira yang ada di luar?" tanyanya sambil mencoba untuk duduk. "Tidak tahu, Mas. Apa mungkin hantu?" tanyaku pura-pura takut. "Mana ada hantu jam empat begini, bentar lagi juga magrib. Mereka pasti langsung berlari ketika adzan subuh berkumandang," ucapnya tertawa kecil. "Kamu kan sel
"Aku punya orangtua. Kalian tidak berhak menghakimi adikku seperti itu!" teriakan seorang anak mengentikan langkah Diana. Dia tahu betul siapa pemilik suara ini. Namun, dia ragu untuk melangkah."Bohong! Kalau kalian punya Papa, tunjukan pada kami. Baru kami akan percaya," ucap salah satu dari anak-anak.'Bukankah mereka hanya anak-anak? Kenapa perkataan mereka sangat menyakitkan. Bahkan menembus jantung.'Diana memegang dadanya yang terasa sakit mendengar perkataan anak itu. Tapi justru membuat dia menahan langkahnya. Bukan karena Diana jahat. Tapi karena dia tahu betul bagaimana sifat putranya jika berada dalam situasi seperti ini.Bisa saja Fahri akan menangis ketika melihat Mamanya datang. Dia memang mempunyai sifat yang lebih seperti orang dewasa, tapi tetap saja dia akan bertingkah seperti anak-anak lainnya yang akan menangis jika dalam posisi seperti ini."Punya atau pun tidak, itu tidak ada hubungannya dengan kalian. Ini urusan keluarga kita. Siapa kalian berhak ikut campur da
Posisi duduk dokter Burhani yang sedikit menyamping ke arah Azka membuatnya tidak bisa melihat anak-anak yang sedang melihat ke arahnya. Berbeda dengan Milla. Dia menatap tajam dan mengepalkan kedua tangannya.Merasa heran dengan sikap Milla dan beberapa kali dipanggil tidak menyahut membuat dokter Burhani menoleh ke arah yang ditatap Milla.”Mas, Abang," panggilnya lirih. Dia tidak percaya kalau anak-anak yang sangat dirindukannya kini ada di depan matanya. Tapi belum sempat dokter Burhani berdiri dari duduknya, mobil yang membawa Fahri dan Faiz melaju cepat. Bahkan tidak membiarkannya melihat plat nomor mobilnya."Kamu kenapa, sih, Mas?" tanya Milla pura-pura tidak tahu."Aku melihat Fahri dan Faiz di mobil yang barusan.""Mana ada!""Aku melihatnya dengan kedua bola mataku sendiri, Milla. Aku juga merasa kau tadi melihatnya.""I-tu tidak mungkin, Mas. Bukankah mereka ada di rumahmu?" ucap Milla kaku dan mencoba mengalihkan pembicaraan."Mereka pergi! Diana sudah menghasut mereka ag
"Ma! Mama! Papa!" panggilku setengah berteriak."Ma! Pa!" kembali aku memanggil ketika masih tidak ada jawaban.Tapi tetap saja masih tidak ada jawaban dan rumah dalam keadaan hening dan sunyi."Bibi!" Aku bergerak menuju dapur untuk menemukan Bi Minah dan menanyakan kedua orangtuaku."Ada apa, Mas?" tanyanya yang nampak kebingungan dengan kedatanganku. Bahkan menurutku terlalu berlebihan, seolah menyembunyikan sesuatu."Mama sama Papa kemana, Bi?""Tidak tahu, Mas," jawabnya dengan nada yang bergetar.Tunggu! Kalau tidak tahu, tidak mungkin ekspresinya akan seperti ini. Pasti ada yang tidak beres."Bohong dosa, lho, Bi.""Emang Mas tidak pernah berbohong?" tanya Bibi yang membuatku terdiam. Kembali aku mengingat ketika sering berbohong kepada Diana dan anak-anak hanya untuk bertemu Milla dan anak-anaknya.Tapi, bukannya kalau berbohong untuk kebaikan itu boleh?!"Em, namanya manusia, Bi," jawabku kikuk. Awalnya aku berniat untuk mencari tahu apa yang sedang disembunyikan oleh Bibi, t
"Mas, aku mohon padamu dengan sangat untuk tidak bertemu dengan Mas Fandy," pinta Mila dengan terisak. Semenjak pulang dari kafe beberapa saat yang lalu, keadaan Milla sangat kacau. Dia terus merengek dan merengek. Untungnya anak-anak juga faham, termasuk Azka. Dia sama sekali tidak menanyakan Mamanya."Sudahlah, Milla. Mas janji tidak akan bertemu dengan Fandy dilain waktu. Sekarang kamu istirahat, ya."Setelah aku berjanji tidak akan menemui Fandy, Milla tersenyum lebar dan langsung memejamkan matanya. Tidak lama, dia sudah mendengkur halus.Aku langsung beranjak dan turun ke bawah. Kebetulan jam baru saja menunjukkan pukul tujuh malam. Baru saja aku hendak membuka pintu luar, Radit muncul dari arah kamarnya.Dia langsung berlari mengejarku."Ada apa? Papa mau pergi ke rumah besar.""Apa Papa mendengarkan saranku waktu itu?" pertanyaan Radit membuatku diam. Karena awalnya aku berpikir kalau perkataanya waktu itu hanyalah kata-kata biasa."Apa Mama Diana, Fahri, dan Faiz masih ada di
"Ma, Pa, aku akan pergi ke kampung untuk bertemu Diana dan anak-anak. Aku rindu mereka dan akan meminta maaf karena telah menyakitinya," ucapku antusias.Kedua orangtuaku tidak merespon. Mereka hanya saling tatap."Kenapa, Ma, Pa?" tanyaku heran."Mereka menatapku sendu, "Semuanya sudah terlambat!""Terlambat? Apanya?" tanyaku lagi. Tapi mereka kembali diam. Tidak bersuara sama sekali."Ma, Pa, tidak ada kata terlambat jika kita mau berubah. Aku juga yakin kalau Diana akan memaafkanku dan menganggap semua ini tidak pernah terjadi di antara kita," jelasku.Meskipun aku sendiri ragu, tapi sifat Diana membuatku kembali yakin kalau dia pasti bisa memaafkanku. Dia bukan wanita picik. Tidak seperti Milla. Tapi sejahat apapun Milla, dia tetap istriku dan sebisa mungkin aku akan mencoba untuk berusaha adik di dalam segala hal.Bismillah. Semoga saja bisa."Aku akan ke atas dulu untuk bersiap dan akan segera menghubungi Milla," lanjutku antusias.Bergegas aku menuju kamar dengan gembira. Memas
Dengan langkah gontai, aku kembali menuju mobil. Duduk dan merenungi apa yang sudah aku lakukan kepada Diana dan anak-anak. Bagaimana caraku mendapatkan izin Diana untuk menikahi Milla hanya kerena cinta buta yang aku sendiri tidak tahu apakah rasa itu masih tinggal, atau pun sudah menghilang.Namun, dengan bodohnya aku percaya kalau dia setuju. Bahkan aku melupakan tanggung jawab pada mereka dan selalu ada di rumah Milla dengan alasan anak-anaknya membutuhkanku. Tapi aku lupa, kalau Fahri dah Faiz lebih membutuhkan. Apalagi sebelum Milla kembali, kita sering bermain bersama.Aku sungguh merasa geram kepada diriku sendiri. Kenapa aku begitu bodoh? Padahal banyak orang yang jelas-jelas sudah mengingatkanku.Tanganku mengepal kuat dan memukul stir mobil berkali-kali. Sakit, tapi tidak berdarah. Sama seperti mereka yang sudah kusakiti. Meskipun tidak terlihat, tapi kuyakin kalau mereka sangat terluka.Kini aku sudah tidak yakin kalau Diana akan menerimaku kembali.Aku kembali melajukan m
Dokter Alena menatap dokter Burhani dengan wajah terkejutnya. Walaupun semua itu hanya pura-pura. Karena ia sudah merencanakan ini semua tanpa sepengetahuan Fahri atau pun Diana.Kini, dia tidak bisa lagi membiarkan dokter Burhani menyakiti anak-anak sahabatnya lagi.Diana dan dokter Alena adalah teman di SMA dulu. Sebenarnya ia juga sangat menyayangkan dengan keputusan Diana lima tahun beberapa bulan lalu ketika hendak memutuskan menerima perjodohan dengan dokter Burhani.Menurut pemahamannya, laki-laki berbeda dengan perempuan. Jika sudah menikah, maka ia akan melupakan cinta pertamanya dan menguburnya dalam. Hingga tidak ada reaksi spesial ketika melihatnya lagi.Berbeda dengan laki-laki. Mereka menganggap cinta pertama adalah hal yang istimewa, langka, dan harus dipertimbangkan. Padahal lelaki tersebut sudah berkeluarga. Tapi dia berusaha sebisa mungkin untuk kembali bersama wanita yang dicintainya itu.Kini rasa hormat dokter Alena pada Burhani telah sirna dan yang tertinggal ha
"Dok, tolong ada pasien yang sedang membutuhkan penanganan!" teriak asisten baruku, Fadil.Dua tahun telah berlalu, aku masih menjadi seorang dokter, tapi berbeda dengan dulu. Setelah Diana dan anak-anak pergi, hidupku hanya diselimuti oleh penyesalan dan sepi. Tanpa ada bahagia ataupun senyuman.Tidak hanya mereka saja yang menjauh, tapi juga orangtuaku ikut terdiam. Mereka seolah tidak melihatku ketika aku berkunjung ke rumahnya. Padahal dulu, hubungan kita tidak seperti ini."Baik!" segera aku berlari dari kantin rumah sakit ke ruangan. Tapi kosong. Tidak ada pasien di sini."Dimana pasiennya?" teriakku keluar."Di sini!" Fadil muncul dari ruangan sebelah, itu adalah ruangan Dion."Kenapa disana?""Dokter Dion tidak masuk, dia mengalami pendarahan di lengannya."Aku langsung melakukan penanganan pada pasien, seorang bocah yang kuperkirakan mungkin baru berusia enam tahun. Sama seperti umur Fahri sekarang.Ya Allah, Nak, kalian dimana? Papa merindukanmu.***Beberapa bulan yang lalu
"Halo, Ma, ada apa?" tanya Burhani pada Farah dengan khawatir ditelpon.”Ya ampun. Sudah jadi dokter bukannya bantu orangtua, malah bikin susah."Dion memasang wajah menghina tanpa dosa. Bagai yang dilakukannya ada benar. Sungguh membuat Burhani sangat emosi."Apa maksudmu?""Apa kau tahu apa yang sedang menimpa kedua orangtuaku? Apa kau ada dibelakangnya?"Burhani menarik kerah baju Dion."Cari tahu saja sendiri. Bukankah selama ini kau tidak pernah percaya padaku?""Kau memang bia**b! Dasar penghianat! Pecundang!”"Terserah sebutan apa yang akan kau berikan padaku.""Kau memang pantas!" Burhani berdecak sebal.Baru saja dia akan melayangkan bogem, tapi tidak tertahan denger kedatangan Alena."Maaf kepada Pak Dokter Burhani, sepertinya tidak mempunyai otak dan tidak memenuhi kriteria sebagai dokter," Alena menepuk bahu Burhani kuat. "Mungkin anda bisa memilih untuk mengundurkan diri dari rumah sakit ini!""Apa maksudmu?""Semua yang aku katakan sudah jelas. Ayah yang mana dengan teg
Milla menarik ujung baju Dea dan menamparnya berkali-kali karena tidak terima dikatakan sebagai pembantu. Burhani yang melihat semakin geram dengan sikap Milla yang berubah drastis.'Masih terasa hangat di pikiran kalau beberapa minggu lalu aku menikahi seorang wanita cantik dan lemah lembut, bukan wanita gemb*l dan kasar ini! Kemana Milla yang dulu?'batin Burhani dongkol.Merasa dirinya sudah ditindas, Dea langsung menonjok perut Milla lumayan keras hingga dia terpental lumayan jauh. "Jangan kau pikir aku diam kau bisa melakukan apapun padaku! Berani membuat masalah denganku, kau akan tamat!" ancam Dea serius. Kedua matanya yang tajam dan berwarna merah menatap Milla tanpa berkedip.Burhani bahkan dibuat diam dengan sikap Dea, sekaligus kaget dengan yang dilakukan gadis itu. Sungguh tidak menyangka wanita yang dia kira hanya berani berkata-kata saja, ternyata mampu bertindak.Dia pun mengacungkan kedua jempol tangannya kepada Dea. Bukti kalau Burhani kini sama sekali tidak mencintai
Berbeda dengan Milla yang sedang terpuruk, Diana justru tertawa terbahak-bahak ketika melihat video yang dikirimkan oleh Radit melalui aplikasi hijau."Hahaha ... benar aku tidak menyangka kalau Milla yang cantik jelita itu akan mengalami hal seperti ini." Diana masih terkikik.Fahri dan Faiz yang hanya bisa mendengar tertawa Diana membuatnya bingung."Mama kenapa, Mas?" Faiz berjalan ke arah Fahri. Tampak ada rasa takut di wajahnya. Mungkin dia mengira ada sesuatu yang mengganggu pikiran Diana ataupun terjadi sesuatu.Fahri menoleh, "Mungkin Mama lagi senang," ucapnya mencoba menghilangkan kekhwatiran yang ada di wajah Faiz. Padahal aslinya dia juga sangat takut terjadi sesuatu pada Diana ataupun memang ada hal mistis. Namun, dia tetap saja menjaga harga dirinya. Bagi Fahri, seorang kakak itu harus terlihat lebih keren dan berani daripada adiknya. Apalagi usia di antara mereka lumayan agak jauh, membuat gengsi Fahri semakin tinggi.”Hahaha."Lagi-lagi tawa Diana terdengar sangat kera
Aku sungguh tidak kuat menjadi ketika menyaksikan kebisuan putra yang dulu selalu aku banggakan. Memang aku telah melakukan kesalahan yang sangat besar, tapi apakah harus mendapatkan balasan yang sangat cepat?Rasanya baru kemarin aku bermain bersama mereka. Apalagi lelaki tampan yang bernama Delon ini mengaku sebagai calon istri dari istri dan anak-anakku.Ah, mungkin sekarang aku hanyalah menyandang status sebagai mantan suaminya. Meskipun dia memutuskan perceraian secara sepihak.Beberapa kali aku mengajak Fahri dan Faiz untuk bicara, tapi perkataanku bagai melayang tertiup angin. Kedua anakku yang dulu sangat ceria dan aktif, kini berubah menjadi pendiam.Dalam waktu singkat, aku harus menghadapi cobaan yang bertubi-tubi. Sudah dikhianati kedua sahabatku, ditinggalkan istri dan anak-anakku, serta dibohongi Milla. Wanita yang kupikir lembut dan baik seperti bidadari ternyata hanyalah iblis yang menyamar sebagai malaikat.Tanpa bisa kutahan, air mata ini luruh begitu saja. Kupikir k
"Tidak! Tidak mungkin wanita hina itu berubah dalam waktu yang sangat dekat untuk menjadi ratu.""Tidak. Aku yakin mereka semua hanya membohongiku. Mana ada berubah dalam hitungan hari? Pasti semuanya hanyalah isu. Ya, benar. Semuanya hanya isu."Beberapa kali Milla mengatakan kata-kata yang sama. Berat baginya menerima kebenaran siapa Diana yang sebenarnya. Padahal dia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri media cetak dan sosial mengabarkan hal itu. Tapi tetap saja hati dah pikirannya tidak bisa menerima hal itu."Apa kau tahu direktur utama yang baru? Aku sungguh tidak menyangka kalau Dirut dari F2 Group adalah seorang wanita muda yang cantik," ucap salah seorang wanita di sebuah jalanan yang penuh dengan orang-orang."Sama. Aku juga sangat tidak menyangka, apalagi beliau sepertinya terlihat sangat rendah hati," ucap yang lainnya.Hati Milla menjadi semakin penuh kebencian dan dengki. Matanya pun semakin memerah serta lebih tajam. Ia pun kembali melakukan sepeda motornya menuj
Milla berteriak mengumpat setelah mengetahui kalau Diana sebenarnya adalah orang kaya. Dia benar-benar sudah sangat kecewa dengan dirinya sendiri yang sudah merendahkan Diana.Padahal berbagai cara sudah dilakukannya untuk membuat Diana jatuh dan semakin terpuruk, bahkan enggan untuk bertahan. Tapi ternyata, dia bukanlah orang sembarangan bisa disentuh begitu saja.Rasa kecewa tidak dapat disembunyikan lagi dari wajahnya yang dalam waktu sekejap berubah menjadi amarah."Pantas saja selama ini kau baik-baik saja setelah apa yang telah aku lakukan!" geram Milla ketika hendak berjalan di antara kerumunan orang.Secara tidak sengaja, Burhani ternyata berada di dekatnya dan mendengar umpatan istri kedua yang sudah membuatnya melupakan istri dan kedua putranya."Apa sebenarnya yang sudah kubela dari wanita ini? Dia tidak lebih hanya seorang penghancur!" lirihnya geram dan sangat kesal. Namun tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.Bagi Burhani, kata penghancur adalah kata yang paling t
"Maaf, Pak, kami akan segera tutup," ucap salah seorang karyawan restoran.Burhani mengangkat wajahnya menatap sayup seorang karyawan wanita yang tengah berdiri di sampingnya. "Tahun berapa restoran ini di bangun dan diresmikan?"Karyawati tersebut tampak heran dengan pertanyannya, dia merasa pertanyaan yang bagus ini harusnya dilontarkan dengan wajah yang cerah dan tersenyum. Bukan seperti wajah orang yang ada di sampingnya ini. Kusam dan sama sekali tidak ada senyuman. Justru malah terlihat sendu dan akan menangis.Apa karena orang ini terharu?Beberapa kali pertanyaan itu muncul dalam benaknya, tapi tetap saja ekspresi itu tidak pantas."Bisa jawab atau tidak? Oh, mungkin anda karyawan baru di restoran ini?" Burhani menatap remeh. Dia merasa kesal karena pekerja wanita ini hanya menatapnya dan tidak mengatakan apapun.Wanita yang di depannya tersenyum ramah, dia seolah tidak peduli dengan kata-kata yang menyakitkan dari Burhani, "Perkenalkan, saya Deswina, manager di sini dan sekal
Beberapa kali Burhani meyakinkan kalau apa yang dilihatnya tidak nyata. Dia sama sekali tidak menerima kalau istri yang selama ini bersamanya ternyata tidak terbuka dalam beberapa hal.Dia merasa telah dibohongi setelah sekian tahun lamanya.Kedua tangannya mengepal kuat dan matanya menatap ke arah Diana, Dion, dan kedua putranya bergantian. Tidak terkecuali kedua orang tuanya Diana yang dulu ketika akad nikah mengakui pekerjaan mereka adalah petani, tapi ternyata dari keluarga Gardan Pradipta.Dion tersenyum penuh kemenangan ketika melihat bagaimana reaksi Burhani. "Saatnya kau sadar dan menerima kekalahan. Pada dasarnya semua orang akan menebus semua dosa yang dilakukannya di masa lalu. Tapi hanya DP saja." gumamnya pelan sambil terkekeh.”Jujur awalnya saya sangat kecewa. Tapi kedua orangtua terus meyakinkan saya kalau ini memang jalan terbaik dari yang maha kuasa. Banyak juga para ibu yang mengalami hal sama seperti saya yang memberikan kata-kata mutiara dan beberapa pengalamannya