Part 14 “Resmi, kenapa berdiri di balik tembok?” Sebuah suara membuatku kaget dan menghadap belakang. Ibu mertua sudah berdiri sambil menatap tajam wajahku. “Aduh, Mas, lupa kasih tahu. Tadi mbak Resmi kesini pas Maghrib.” Aku masih sempat mendengar suara Makmur. “Sudah, masuk kamar sana! Kamu besok pagi buta diantar suaminya Wati buat pulang. Soalnya mau banyak tamu dari Jakarta yang datang kesini. Butuh kamar banyak, daripada kamu tidak ada tempat mending pulang.” Sebuah kalimat pengusiran yang terdengar menyakitkan. Aku mendekap tubuh Dinis semakin erat. Mas Harno tiba-tiba sudah ada di sebelah kami. Mata ini menatapnya lekat. Pria tampan yang sudah hampir setahun tidak berjumpa, semakin terlihat gagah. Badannya sedikit berisi. Baju yang dipakai pun bagus. Rasa rindu dan marah bercampur menjadi satu. Aku tidak tahu, mana yang harus ku luapkan. Kami memang sering bertengkar. Mas Harno bukan orang yang romantis, dan juga tidak terlalu perhatian. Wataknya sedikit keras. Akan teta
Part 15 Kokok ayam berbunyi saling sahut menyahut--membuatku terjaga dari tidur yang hanya sebentar. Setelah mas Harno keluar kamar, aku tidak dapat tidur. Sempat keluar tengah malam mencari keberadaannya, ternyata suami yang sudah lama meninggalkanku itu tidur di kamar Makmur. Aku keluar kamar untuk mengambil air wudhu dan langsung berpapasan dengan Wati. “Mbak, Kang Udin sudah siap mengantarkan mbak Resmi pulang,” katanya tanpa peduli aku yang belum sadar penuh. Ternyata ucapan ibu mertua yang mengatakan kalau aku akan diantar pulang oleh suami Wati, benar terjadi. Di sini cukup paham, kalau aku sudah tidak berarti lagi di keluarga ini. Tidak perlu memaksa untuk dianggap ada, karena akan menambah sakit hati ini. “Tapi anak-anakku masih tidur, Wati. Aku kasihan sama Dinis kalau disuruh jalan kaki.” “Gak papa, nanti Kang Udin akan bantu gendong Dinis.” “Wati, aku tidak tahu, atas alasan apa kalian memperlakukan kami seperti ini. Kamu pun sama-sama wanita. Jika di posisiku sek
Part 16 Sepanjang hari setelah sampai rumah, aku masih memikirkan kalimat yang diucapkan Udin saat hendak berpisah tadi. Menimbang-nimbang keputusan yang hendak kuambil, apakah aku akan kesana atau tidak. Memperhitungkan dampak baik buruknya. Akan tetapi, rasa penasaran mendorong hati untuk mantap kembali ke rumah itu lagi. “Besok aku akan kesana, tetapi harus bersama dengan seseorang yang bisa kupercaya. Agar jika ada sesuatu yang menimpa, aku punya teman menghadapi,” ucapku seorang diri. Miyanti, sosok yang paling tepat kuajak ikut serta ke rumah keluarga mas Harno. Dia janda yang anaknya sudah besar dan sudah bekerja di Jakarta. Ia menikah sejak masih belia, beda denganku yang sampai bergelar perawan tua. Rumah Miyanti juga cukup jauh dari rumahku, jadi akan aman dari keingintahuan mbak Darmi. Pembenci memang seperti itu, selalu ingin tahu apa yang sedang dialami oleh orang yang dibencinya. Tadi siang saja, ia sudah datang ke rumah. Alih-alih ingin memberi perhatian, bahasa yang
Part 17 Wajah yang menampakkan kemarahan itu langsung mencari kain di lemari dan menutupnya ke atas tubuh mas Harno. "Terlalu kamu, Resmi! Beraninya kamu masuk ke rumah orang tanpa permisi dan membuat onar." Ibu mertua mengatakan ini rumah orang? Semakin mempertegas statusku dirumah ini. "Lepaskan Marni!" perintah ibu mertua lagi. Ya Rabb, wanita di hadapanku ini, apa dia tidak memposisikan diri jika menjadi aku? "Jadi emak tahu tentang hubungan mereka?" tanyaku asih menjambak rambut perempuan bernama Marni. "Aku tidak perlu menjawab pertanyaan kamu, Resmi. Lepaskan Marni!" "Oh jadi emak kemarin melarangku menempati kamar ini, kemudian mengusir aku dan anak-anak, itu karena kamar ini akan dijadikan tempat zina?" tanyaku sinis. "Itu bukan urusan kamu. Ini rumahku. Aku tidak perlu menjawab pertanyaan kamu, Resmi." Pandangan ibu mertua beralih pada mas Harno. "Bangunlah, Harno! Pakai bajumu dan seret wanita ini keluar. Kita sepertinya harus memberi pelajaran sama dia agar tidak l
Part 18 Sampai rumah, Dinis sudah menyiapkan mie instan rebus di atas meja. "Aku dapat upah karena bantu bu guru tadi. Aku buat beli mie biar ibu gak capek makan," katanya. Kupandang anak perempuan yang memakai celana pendek lusuh dengan perasaan tercabik-cabik. "Mbak mau hidup bahagia?" tanyaku pada dia. "Yang penting bisa hidup sama ibu," jawabnya polos. "Kalau ibu ajak pergi, apa Mbak mau?" "Asalkan sama ibu, aku akan mau kemana saja." Brak! Pintu dibuka paksa. Mbak Darmi berdiri dengan wajah yang menahan amarah. “Kamu habis dari mana lagi, Resmi? Kamu dari rumah Harno? Iya? Jawab!” hardiknya tanpa memperhatikan perasaan Dinis. “Kemana aku pergi, itu bukan urusan mbak Darmi. Dinis, pergi keluar, ajak adikmu! Mbak, jika mau bicara tunggu anakku keluar.” “Biar saja mereka tahu kelakuan kamu yang tidak tahu malu.” “Dinis, cepat ajak Hasbi keluar. Jangan dekat-dekat sama Fariha. Ibu takut kamu akan dianiaya.” “Resmi! Jaga bicara kamu!” “Mbak Darmi yang harus mendidik Fari
Part 19 Seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun lebih, duduk di atas kursi roda memandang jendela yang ada di hadapan. “Pak, saya sudah membawa orang yang akan menggantikan saya,” ucap Sumi hati-hati. Lelaki itu tidak menoleh. Membuat jantungku berdebar kencang. Takut kalau reaksi yang tidak terduga ia berikan terhadapku. “Dia seperti kamu atau tidak?” “Insya Allah iya, Pak. Silakan kalau bapak mau kenalan,” jawab Sumi dengan tenang. Pria itu berbalik. Bukan seorang yang tampan, tidak juga jelek, sedang-sedang saja. Namun begitu, wajahnya cukup teduh dipandang. Lelaki dengan sorot mata tajam itu menatapku lekat. “Aku sedang mencari orang yang merawatku sampai aku sembuh. Hanya sampai sembuh saja. Setelah itu, kamu boleh pergi. Tetapi, aku tidak tahu kapan akan sembuh. Maka dari itu, aku berharap, Sumi adalah orang terakhir yang meninggalkanku. Jika kamu bersedia untuk merawatku sampai batas waktu yang tidak ditentukan, maka aku akan menerimamu. Tetapi jika tidak, sebelu
Part 20Aku duduk termenung di dalam bus yang kami tumpangi. Menyaksikan pemandangan yang terlewati. Sawah seolah berlari melewatiku. Perasaan yang bercampur membaur menjadi satu. Antara lega akan mendapatkan tempat baru, sedih karena harus meninggalkan tanah kelahiran, risau dengan tanah warisan yang ku tinggalkan, dan juga sakit hati karena dikhianati.“Setelah ini, kamu berangkat pakai uang sendiri ya, resmi. Aku sudah tidak menanggung ongkos kamu lagi,” kata Sumi membuat lamunanku buyar.Aku menoleh dan tersenyum pada wanita di sampingku sambil mengangguk pelan.“Aku senang sebenarnya bekerja dengan pak Harun dan bu Normi. Tetapi anak-anakku sudah tidak mau ditinggal. Suamiku juga sudah mulai merintis jualan bubur ayam di Jakarta, jadi aku diminta untuk di rumah saja,” kata Sumi.Aku menanggapi tetap dengan senyuman. Dia orang yang beruntung menurutku. Masih memiliki orang tua dan punya suami yang setia.Kami sampai di terminal terakhir yang menyediakan angkutan ke desa pukul sepu
Part 21 Lelaki yang sudah membuatku sakit hati itu duduk dengan santainya, lalu menyulut rokok dan menyesap perlahan. Tubuhnya disandarkan pada kursi, memandang langit-langit atap rumah. “Buatkan kopi,” perintahnya tanpa merasa bersalah sama sekali. Dinis tiba-tiba menyusul dan memegang erat lenganku. “Resmi, buatkan kopi!” Perintah itu diucapkannya sekali lagi. Tidak seperti orang yang sedang marah. Aku jadi curiga. “Aku tidak punya kopi. Kamu sudah tahu, jika kamu tidak ada, bahkan gula saja jarang sekali membeli,” jawabku dingin. “Dinis, belikan bapak kopi!” ucapnya sambil melempar selembar uang ke atas meja. Dinis bergeming, malah semakin mempererat pegangan di lenganku. “Dinis!” mas Harno memanggil dengan nada tinggi. “Kamu mau memarahi dia lagi? Siapa yang menyuruh kamu datang? Tidak ada. Bukankah kamu sudah bahagia bersama dengan keluarga kamu? Kenapa kembali kesini? Di sini tidak ada kopi. Di rumahmu banyak sekali kenikmatan makanan, jadi jangan mencari di rumah orang
Part 49Suasana kota Surabaya sangat ramai malam hari. Harun sudah berganti kostum memakai celana dan kaos yang berbeda, tetapi tetap terlihat menawan di mata Resmi.“Besok kamu pagi-pagi aku antar ke salon, ya? Aku akan mengajak kamu ke undangan pernikahan anak temanku. Kamu jangan kaget, karena tamu yang hadir memang dari kalangan atas.”“Memangnya teman Pak Harun yang punya hajat, bekerja sebagai apa?”“Dia kapolresta. Istrinya seorang dokter.”Resmi menunduk dan memainkan jari-jarinya. Merasa sangat rendah dan semakin penasaran dengan sosok Harun sebenarnya.“Dulu aku punya bisnis di bidang properti. Aku dan temanku membangun bisnis bersama. Usaha yang kami kelola di bidang pembangunan perumahan. Aku dan temanku membeli lahan milik warga yang tidak produktif, lalu kami memasarkannya. Jika ada yang berminat, baru kami membangun rumah sesuai model yang diinginkan orang itu. Sebelum ini, aku sudah sampai di Surabaya juga. Kalau di Surabaya, yang kami bangun rumah kontrakan, lalu menye
Part 48Resmi telah kembali pada rutinitas sebelumnya. Namun, ada yang berbeda, karena ia akan menjadi nyonya di rumah itu, maka sekarang urusan rumah juga menjadi tanggung jawabnya. Seperti menyediakan bahan makanan, membayar pembantu, listrik dan lain-lain. Di awal kepergian saja, Harun langsung memberikan uang nafkah padanya. Benar-benar Upik Abu yang berubah menjadi Cinderella.Dua minggu setelah kepergian Harun, Resmi akhirnya mendapatkan akta cerai yang dikirim melalui pos. Hatinya sangat lega dan bahagia. Ia pun langsung memberitahukan hal ini pada Normi.“Ya sudah, berarti sembilan puluh hari dari hari ini, kamu akan menikah dengan Harun. Tidak usah menghitung bulan dan hari baik. Karena semua hari itu baik untuk menikah. Nanti Ibu yang akan memberitahu Harun.” Normi sangat bahagia mendengar kabar ini. “Ah, lihat akta cerai kamu dulu. Kapan itu tanggalnya? Maksudnya tanggal kamu benar-benar sudah bercerai dari lelaki itu.”“Ini keluarnya sepuluh hari yang lalu, Bu,”“Berarti k
Part 47“Aku sudah merindukan kamarku,” kata Dinis sambil meregangkan kedua tangan di depan rumah.Resmi tersenyum melihat tingkah anaknya yang menganggap rumah majikannya sebagai rumah sendiri. Meskipun sudah ada kesepakatan hubungan dengan Harun, tak lantas membuat wanita itu percaya diri.“Bapak punya sesuatu yang spesial untuk kalian,” kata Harun membuat langkah Dinis berhenti.Gadis kecil itu berbalik dan menatap pria yang berdiri di samping pintu mobil. “Apa?” tanyanya.“Berhenti dulu,” kata Harun. “Tutup mata kamu, sini Bapak bantu,” lanjutnya.Satu telapak tangan saja sudah bisa menutup wajah mungil Dinis. Hasbi yang tertidur lelap diangkat oleh sang ibu.“Apa sih, aku penasaran,” seru Dinis.Resmi yang tidak tahu apa-apa memilih diam dan mengikuti keduanya dari belakang. Ia kaget saat Harun membawa anak sulungnya menuju kamar utama di rumah itu. ruangan pribadi yang ia pikir itu dipersiapkan untuk anak Harun yang sudah lama meninggalkan rumah. Sesekali ia masuk hanya untuk me
Part 46Harun seakan memiliki semangat yang seribu kali lipat untuk melanjutkan hidup. Setelah kepulangan Normi dengan membawa kabar buruk, lelaki itu mulai pergi menemui kolega yang telah lama tidak dijumpainya. Ia mencari peluang bisnis baru yang sedang ramai saat ini.Lelaki itu juga mulai menata rumah. Dua kamar yang kosong dicat kembali serta dibelikan kasur dan lemari yang baru. Warna pink dipilihnya untuk satu kamar yang paling besar ukurannya dibandingkan kamar lain.“Gordennya juga harus warna pink, Harun, Itu pantas untuk kamar cewek,” sahut Normi saat melihat dalam kamar. “Kalau kamar Hasbi, harus warna biru, yang teduh.“Ah, iya, Bu. Kamar ini juga harus ada AC, biar Dinis nyaman saat tidur,” sambung Harun.“Tapi sepertinya mereka akan lama di desa,” ucap Normi.“Yang penting mereka kembali ke rumah ini, Bu. Ah iya, Bu, aku besok mau pergi ke Surabaya. Mau menemui teman. Rencananya aku akan membuka dealer motor bekas untuk sementara ini. Sambil melihat peluang bisnis yang
Part 45“Siapa yang datang, Resmi?” Normi bertanya sambil mengusap mata, pandangannya sering mengabur jika malam hari.“Aku suaminya Resmi. Anda siapa di rumahku?” Harno balik bertanya.“Apa kamu bilang? Ini rumahmu? Ini rumahku,” bentak Resmi.“Oh, jadi kamu suami tidak bertanggung jawab yang membelikan mukena anak saja tidak bisa? Sampai istri harus masuk penjara, memangnya kamu kemana? Kenapa sekarang pulang?” Normi yang geram langsung memberondong Harno dengan pertanyaan menyudutkan.“Jaga ucapan, Anda! Jangan macam-macam di rumah orang. Resmi, siapa wanita tua ini?”“Harno, ayo ikut aku,” ajak Resmi sambil menarik lengan pria yang masih menjadi suaminya sebelum terjadi perdebatan panjang. “Bu, jaga anak-anak di dalam!”“Bu? Berlagak sekali kamu, resmi panggil orang ini Bu?”“Ikuti aku, atau kami akan ramai-ramai memukul kamu, Harno?” ancam Resmi.Harno mengekor, mengikuti langkah Resmi menuju samping rumah.“Mau apa kamu kesini?” tanya Resmi lagi.“Jelas mau pulang lah, aku kange
bu dan anak itu pulang dengan perasaan yang kecewa.“Uang bapakmu sudah habis untuk pesta pernikahan Imah, Harno. Untuk biaya tujuh bulanan dan juga lahiran, kamu coba cari. Belum lagi Siti yang terancam jadi janda. Harno, apa kamu tidak bisa berbuat apapun?”Semakin hari, Harno semakin dibuat tidak nyaman dengan segala permasalahan yang terjadi. Ia memilih pergi beberapa hari, menginap di berbagai rumah orang di kecamatan Resmi. Hingga akhirnya, ia mendengar kabar jika Resmi sudah mengajukan gugatan cerai.“Jadi dia sudah pulang?” tanya Harno.“Iya, Resmi sudah berubah menjadi cantik sekarang.”Harno langsung berdiri dan meminta salah satu orang yang membawa motor untuk mengantar.“Mau kemana kamu, Harno?”“Pulang ...,” teriaknya dari atas motor yang sudah berjalan.‘Gak bisa, Resmi tidak boleh meminta cerai dari aku disaat keadaanku seperti ini. Murni sudah pergi menjauh dan aku tidak punya uang untuk menemui. Imah sedang hamil dan butuh biaya banyak. Mbak Siti juga terancam jadi j
Part 44“Resmi ....” Normi kembali memanggil sosok yang diam di hadapannya.“Bu, saya belum pernah merasakan kasih sayang sosok seorang ibu. Kenal dengan Bu Normi, saya memang sedikit merasakan bagaimana memiliki tempat untuk bersandar, sekalipun Bu Normi statusnya adalah majikan dan saya hanya seorang pembantu. Saya sebenarnya takut suatu ketika akan dicampakkan lagi jika memutuskan untuk menikah kembali. Tetapi seiring berjalannya waktu, saya sudah bisa merasakan bahwa kalian tulus menyayangi dan menampung kami. Saya tidak tahu bila harus berpisah dengan kalian. Permintaan Bu Normi membuat saya sangat terharu. Tetapi kenapa Bu Normi yang meminta ini padaku? Bukan Pak Harun langsung?” Dengan suara lirih, Resmi menjawab.“Harun yang memintaku untuk mengatakan ini. Harun tidak berani karena kondisinya dia bukan pria yang sempurna,” sahut Normi dengan binar bahagia karena merasa lamarannya disambut oleh Resmi. “Jadi, Resmi, kamu ‘kan intinya? Menerima permintaanku untuk menjadi menantu
Dimana ada gula, maka disanalah semut akan berkerumun. Perumpamaan seperti itu pantas bagi kondisi Dinis saat ini. Ia yang sudah menjelma bak seorang putri di kalangan anak kampungnya, mendadak jadi idola. Idola anak seusianya.Satu per satu teman datang untuk mengajaknya bermain. Mengaku sebagai teman, mengingatkan pada kenangan-kenangan yang telah dilalui bersama, tetapi mereka lupa pernah memperlakukan Dinis dengan tidak baik.“Kamu dulu ingat gak, suka ambil mangga yang jatuh di pinggir jalan.”“Ramai ya, waktu itu? Seru. Kamu mau ambil mangga kesana lagi gak? Sekarang lagi musim mau matang lho ....”“Iya, Dinis, kita kesana lagi yuk ....”Dinis sampai bingung harus mendengarkan siapa, karena semua seakan berebut untuk berbicara.“Mau Dinis?”Dinis menggeleng. “Aku sudah bosan makan mangga. Eyang sering membelikan,” jawabnya.“Terus kamu pengen main apa?”“Main bola kasti?”Dinis menggeleng.“Main masak-masakan?”Dinis menggeleng lagi.“Kamu pengen main apa, Dinis? Bilang saja. Na
Part 43Resmi kembali menjadi buah bibir, tetapi kali ini bukan karena keburukannya. Melainkan nasib baik yang menghampiri.Dinis yang kebetulan keluar rumah, langsung diwawancarai oleh ibu-ibu komplek dengan beragam pertanyaan. Kebetulan ada Darmi di sana.“Jadi kamu tidak dijual Dinis?” Mulut-mulut kotor masih saja bertanya demikian.“Tidak. Aku di sana sama Ibu di rumah Eyang Nyonya.”“Eyang Nyonya itu wanita tua tadi ya? Siapa sih dia?”“Eyang Nyonya itu majikan kami. Ibu dulu jadi pembantu, tapi sekarang sudah tidak. Karena Ibu pintar, sekarang Ibu jadi, jadi apa ya? Jadi pengurus tokonya Eyang. Terus, Eyang cari pembantu lagi buat bersih-bersih rumah. Ibu juga gak pernah nyuci baju lagi sekarang. Semuanya dikerjakan Mbok Jum.”“Kamu di sana sekolah tidak, Dinis?” darmi yang sedari tadi diam, kali ini ikut bertanya.“Sekolah. Aku malah sekolah di sekolahan yang paling bagus. Kata Eyang karena aku pintar. Kemarin aku dapat piala, juara satu.”“Kamu betah? Gak pengin pindah lagi ke