Aku benar-benar dibuat jengkel oleh Gus Sami. Bisa-bisanya ia membuatku menderita selama ini. Kutinggalkan saja ia sendirian di Rumah Sakit. Usai pertengkaran singkat itu aku langsung menuju butik menggunakan jasa sopir Ojol.Sesampainya di butik, aku langsung menyibukkan diri. Mengecek stock opname bahan baku, data pesanan, stock opname barang produksi, dan sebagainya. Yang penting saat ini aku sibuk agar otakku kembali dingin.Menenggelamkan diri diantara angka-angka laporan keuangan dan laporan bulanan membuatku sedikit melupakan kejengkelanku pada Gus Sami. Tetapi kalimat Mita kembali membuatku mengingat kelakuan lelaki yang telah meninggalkan jejak di hatiku itu."Oh ya. Tadi pagi bendahara Pak Yusuf menghubungi kami. Mereka tidak akan menuntut ganti rugi dan tidak lagi minta kompensasi," kata Mita antusias. Aku mengangguk malas yang membuat Mita mengerjap."Sebentar. Siapa tadi? Bendahara Pak Yusuf?""Iya. Pak Yusuf. Pelanggan pertama kita yang masih s
Aku sudah kembali beraktivitas seperti biasa meskipun kadang-kadang kepalaku masih terasa sakit. Setelah aku konsultasikan keluhanku itu pada dokter dijelaskan bahwa hal itu bukan masalah berat. Trauma yang pernah dialami kepalaku pasca benturan itu tidak mungkin bisa hilang dalam waktu sekejap sehingga kadang masih terasa sakit. Tetapi dokter berpesan agar aku tetap tidak memakai bantal saat tidur.Hari ini aku mengecek beberapa proyek yang sudah tiga pekan ini kupercayakan pada Pelaksana Lapangan. Setelah itu aku menuju kantor yayasan sekaligus menunggu kedatangan Sakta. Untuk proyek yang ada di Temanggung rencananya akan aku cek bersama Sakta sekaligus ia rencanakan desain interiornya.Aku masih mereview beberapa laporan proyek yang sedang kami kerjakan saat tiba-tiba pintu ruanganku dibuka dari luar. Aku sudah akan marah karena sikap orang yang membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu menurutku adalah perbuatan yang tidak sopan. "Kebiasaan," sungu
Kantor sudah cukup ramai meskipun masih sangat pagi untuk ukuran jam kerja. Jika ada tahapan seperti saat ini, kami memang harus siap bekerja dua puluh empat jam. Sehingga datang ke kantor sangat pagi dan pulang hampir subuh bukan hal asing bagi kami. Sudah seminggu ini dilakukan sortir SS sehingga kantor sangat ramai oleh banyaknya tenaga borong sortir. Seperti biasa, setelah meletakkan tas di ruangan, aku menuju kantin untuk sarapan. Baru beberapa kali menyuap sarapanku, Sakta menelepon."Assalamualaikum, Na.""Wa'alaikumussalam.""Bisa ikut aku mengantar motor Sami? Biar baliknya kesini aku ada teman di jalan.""Hari ini aku nggak bisa. Kerjaan padat banget.""Berangkat malam aja, pulang besok. Besok nggak kerja 'kan?"Besok memang hari libur, tapi nanti malam aku sudah terlanjur janji makan malam bersama Haidar. Menggantikan makan malam yang dulu tertunda karena Gus Sami jatuh saat di rumah sakit."Sor
Hari ini adalah puncak tahapan yang akan menjadi hari yang sangat sibuk bagi kami. Hari ini bahkan aku mempersiapkan baju ganti untuk nanti malam dan membawa serta bantal. Usai briefing pagi, kami menuju daerah yang akan kami monitoring. Sebelumnya kami memastikan kecukupan logistik pada tempat yang akan kami tuju. Aku mendapat jatah monitoring bersama Mbak Salsa, Divisi Hukum, Iqbal, Kasubbag Divisiku, dan Damar sebagai sopir kami. Tempat yang kami monitoring berada di daerah atas sehingga kami berangkat lebih awal dibandingkan tim lainnya. Kami meninggalkan kantor dengan agak tergesa karena ada logistik untuk rekapitulasi yang kurang. Dan pada saat mencapai setengah perjalanan aku baru menyadari jika ponselku tertinggal di kantor. Mbak Salsa kemudian mengabarkan di grup kantor, jika ada yang berkepentingan denganku bisa menghubungi melalui dirinya.Tempat monitoring kami cukup jauh. Berada di atas bukit. Beberapa kali aku dan Mbak Salsa saling berpegan
"Aku nggak mau kamu sakit, Ri." Skak Mat untuk diriku. Dan aku hanya bisa mendesah kasar.Aku menghabiskan nasi udukku sambil menggeram marah sehingga menghabiskan makananku seperti orang kesetanan."Makannya pelan-pelan, Cha. Nanti kamu bisa terse ....""Uhuk. Uhuk." Ketiga lelaki itu seketika menyodorkan minumannya masing-masing. Aku hanya memandangi mereka sekilas, lalu mengambil minumanku dan menyesapnya beberapa kali."Aku tersedak bukan gara-gara makan cepat tapi gara-gara kamu bicara padaku," protesku pada Gus Sami."Ck. Kalian setiap kali bertemu pasti seperti kucing dan tikus," tukas Sakta."Tom dan Jerry," sela Haidar. Ia tersenyum bangga setelah merasa menemukan istilah yang tepat untuk kalimat Sakta."Biasanya yang seperti itu selalu berakhir dengan berjodoh.""Sakta!" Aku melotot tidak terima pada Sakta.Kulihat perubahan ekspresi pada wajah Haidar. Senyum yang tadi tersemat langsung menghilang. Ia seperti mulai mempelajari
Suara gedoran di pintu rumahku menggagalkan tidur pagiku. Aku menyeret kakiku malas menuju pintu. Seraut wajah kesal kudapati dibalik pintu yang kubuka."Astaghfirullah, Richa. Masih belum mandi?"Aku kembali menyeret kakiku masuk ke rumah tanpa bersuara."Cepatlah, segera mandi dan ganti baju. Pak Yusuf sudah menunggu kita." Mita mendorongku untuk segera masuk ke kamar mandi."Ada urusan apalagi sama Pak Yusuf?" tanyaku tidak mengerti."Ya Allah. Kamu ini cantik-cantik tapi pikun. Hari ini kita akan membicarakan konsep peragaan busana dan batikmu, Richa." Ia menyebutkan kata Richa dengan super double a. Aku meringis lalu mengambil handuk dan masuk kamar untuk mandi dan ganti pakaian.Setelah mengenakan rok jeans, blouse putih berbahan satin dan pashmina hijau artichoke serta sedikit sapuan make up, kami segera bersiap menuju tempat yang dijanjikan Gus Sami."Kamu yang nyetir, ya. Aku mau melanjutkan tidur." Aku menyerah
"Jahat!" hardikku saat Gus Sami sudah berada di hadapanku, meskipun senyuman masih tetap kusematkan di bibirku dengan menebar tatapan mata pada para tamu yang hadir."Aku tahu, Kamu tidak mungkin akan mempermalukan diri sendiri," ucapnya sambil terus menyunggingkan senyum kemenangan. Rasanya aku ingin meledak karena kemarahan yang coba kutahan.Kurasakan semua mata memandang kearahku. Maka kuikuti saja permainan Gus Sami. Ia mengulurkan tangannya namun kuabaikan. Aku berdiri dan berjalan lebih dulu menuju panggung. Ia melebarkan langkahnya untuk menjajariku. Riuh rendah tepuk tangan menggema megiringi langkah kami."Jangan salahkan aku. Kamu sendiri yang menolak membicarakan ini," bisik Gus Omar yang kini telah melangkah disampingku."Kamu tidak pernah katakan ini!""Kamu lupa aku pernah memintamu untuk bertemu membicarakan posisi Nabhan di hotel ini. Kamu terlalu sibuk dengan pacarmu." Aku menghentikan langkahku dan memandang kearah Gus
Hatiku berdebar seiring dengan langkah kakiku dari tempat parkir menuju rumah makan yang telah ditentukan Haidar. Ini bukan pertama kalinya aku akan bertemu dengan orang tua calon suamiku, tetapi rasanya tetap saja sama. Bahkan kali ini debaran jantungku lebih susah kukendalikan dibanding saat akan bertemu orang tua Gus Sami kala itu. Ada banyak kekhawatiran berputar-putar diotakku. Kekhawatiran terbesarku adalah jika mereka tidak bisa menerima statusku yang janda beranak satu sedangkan anak lelaki satu-satunya yang mereka banggakan adalah seorang pria mapan dengan status sosial yang cukup dipandang oleh masyarakat. Pada umumnya orang tua sulit memberikan restu pada anaknya yang masih perjaka menikah dengan seorang janda, apalagi memiliki seorang anak.Rumah makan di salah satu pusat perbelanjaan itu sudah terlihat. Sejenak kupejamkan mata sambil merapal doa-doa. Dan berkali-kali aku menarik napas dalam untuk mengurangi debar jantungku. Tetapi kemunculan Haidar yang sepertinya memang
Aku dan Gus Sami sudah bersiap untuk sarapan dan mengikuti paket trip hari ini. Beberapa kali Gus Sami mendial nomor ponsel Nabhan tapi tetap tidak ada jawaban."Mah, tolong hubungi kamar Gus Nabhan.""Kamar 102 'kan?" Setelah sekian lama tetap tidak ada jawaban. "Nggak diangkat, Gus.""Ya sudah. Nanti kita ketuk aja pintu kamarnya."Kami segera keluar kamar dan menuju ruang makan. Kakiku urung berjalan ke pintu kamar Nabhan karena mataku telah menangkap sosoknya sedang berada di jalan berpaving yang diapit oleh taman. Ia sedikit terengah, sepertinya habis lari pagi. Aku tersenyum melihatnya serajin itu."Pantas nggak bisa dihubungi, lha lagi olahraga dil
Suara deheman seseorang membuat kami menoleh."Dasar pengantin baru, maunya kayak perangko.""Hei, Gus Nadzim." Dua laki-laki itu kemudian saling memeluk."Ini istriku, Icha."Laki-laki yang dipanggil Gus Nadzim itu mengangguk sopan padaku. "Namanya sama dengan mantanku," ucapnya datar."Ayolah, kejar dia.""Gila aja aku merusak rumah tangga orang.""Siapa tahu dia menunggu keajaiban langit, sama seperti dirimu yang memutuskan untuk tidak menikah."Aku mengernyit mendengar dialog dua lelaki didek
Beberapa kali Gus Sami menawarkan agar aku berbuka saja, tetapi aku bersikukuh untuk melanjutkan puasaku."Papah nggak tega lihat Mamah lemah seperti itu. Papah khawatir Mamah kenapa-kenapa.""Nggak apa-apa, Gus. Aku bersyukur banget karena adik bayi bisa ikut belajar puasa. Salah satu bentuk pendidikan prenatal ya seperti ini."Perutku kembali mual, rasanya ingin muntah. Gus Sami memegangi tangan kananku dengan lembut, sementara tangan kanannya tetap memegang setir mobil.Beberapa kali ia memperhatikan deretan toko di sepanjang jalan yang kami lalui. Tiba-tiba ia meminggirkan mobilnya di depan sebuah apotek."Tunggu sebentar, ya."
"Apa kita akan menikah?" ulangnya."Apa Gus e inginkan selain itu?""Jangan main-main Kamu, Cha.""Mamah nggak sedang nge-prank kita 'kan?" Nabhan memandangku waspada.Aku telah memikirkan semuanya dengan matang dan yang terpenting aku telah meminta petunjuk pada Allah."Beberapa kali, setelah sholat istikharah aku bermimpi kita bertiga sedang berada di tempat yang sama, beraktivitas dan bercanda bersama. Aku yakin itu sebuah petunjuk."Keduanya terpekik. Nabhan tiba-tiba sudah menghambur memelukku."Kita menikah besok." Suara Gus Sami mengurai pelukanku pada Nabhan."Gus e apa-apaan? Nggak bisa secepat itu. Harus cari hari baik dulu," protesku. Aku masih belum bisa menerima jika tiba-tiba besok statusku sudah berubah. Meskipun aku sudah mengambil keputusan itu tetapi aku tetap butuh penyesuaian dan menata hati."Semua hari itu baik, Sayang." Nabhan menjerit bahagia mendengar panggilan Papahnya untukku, sementara aku mungkin sudah seperti kepiting rebus."Setidaknya menunggu setelah R
"Tunggu di batas kota aja. Kasihan kalau kesini, terlalu jauh." Aku mengangguk. Segera kuambil dompet dan kunci mobil."Aku keluar sebentar. Kupastikan pekerjaanku hari ini beres." Mbak Reza mengacungkan dua jempol tangannya ke udara.Aku mengetikkan nama resto tempat aku akan menunggu Gus Sami dan Nabhan sambil berjalan menuju parkiran.Belun ada sepuluh menit, aku sudah sampai di resto yang aku maksud. Setelah memarkir mobil aku kembali mengabarkan jika telah sampai di resto sambil berjalan menuju pintu masuk resto."Mbak Richa?" Sebuah suara memaksaku mengalihkan pandangan dari layar ponselku menuju sumber suara."Ibu? Mas Haidar?" Aku segera meraih tangan p
"Hatiku sudah hancur berkeping-keping sejak aku memutuskan untuk meninggalkan suami dan anakku. Dan tahukah Kamu Gus, jika sesuatu yang telah hancur berkeping-keping itu tidak akan mungkin bisa kembali utuh seperti sediakala. Meskipun kepingan-kepingan itu bisa disatukan kembali tetap akan meninggalkan bekas.""Luka ini terlalu dalam, Gus. Luka ini telah membawa pergi semua kebahagiaanku. Meskipun senyuman selalu tersemat dibibirku, sejatinya itu hanya untuk menutup luka menganga yang ada disini." Aku menepuk dadaku yang terasa sangat nyeri.Tiba-tiba Gus Sami meraih pundakku dan menenggelamkan kepalaku didadanya. Munafik jika aku mengatakan tidak merindukan pelukannya. Apalagi Gus Sami yang sekarang jauh lebih peduli dan berperasaan. Aku bahkan diam saja dan menikmatinya. Ada rasa nyaman yang tidak ingin kulepaskan.
Setelah membujuk Nabhan agar sementara waktu menginap di hotel, kemudian aku mengantar Icha pulang kerumahnya.Sepanjang setengah perjalanan kulihat Icha sangat murung. Beberapa kali terdengar ia menghela napas sambil mengarahkan pandangan matanya keluar jendela."Maafkan Nabhan, Cha."Tanpa menoleh Ia menjawab, "Ya, Gus. Aku sudah memaafkannya." Tangisnya kini mulai pecah."Sudah, dong. Jangan nangis! Namanya juga anak-anak, maunya semua keinginannya dituruti."Icha hanya mengangguk. Tangan kanannya membekap mulutnya sementara pundaknya terguncang-guncang.Rasanya ingin kurengkuh pundak itu dalam pelukank
Beberapa kali Nabhan tersenyum kearah kami sambil terus mengalunkan Shalawat Asnawiyah. Ia benar-benar membuatku bangga. Pada perhelatanAkhirus Sanahpesantrennya kali ini Ia mendapatkan banyak penghargaan. Predikat santri paling disiplin, juara lomba pidato bahasa Arab, juara lomba debat bahasa Inggris, dan juara lombastory telling. Sekarang duduk dipanggung dengan memegang mikrofon dan melantunkan shalawat Nabi.Banyak orang tua yang iri pada kami. Melalui tatapan mata maupun dengan terang-terangan mengatakan itu."Putranya hebat, ya Mah," ucap seorang ibu yang duduk disebelahku.Sementara seorang bapak yang duduk didepan Gus Sami bilang, "Apa rahasianya bisa punya anak hebat seperti itu.""Rahasianya ... Doa Mamahnya," ucap Gus
"Cukup lama kita nggak ketemu. Sebulan lebih, kayaknya. Gimana kabarmu? Makin kurus aja."Aku hanya tersenyum. "Kabarmu gimana?" tanyaku balik."Ditanya bukannya menjawab malah balik tanya.""Kabarku baik. Tumben ngajak ketemu. Mau ngasih undangan?" godaku."Maunya sih. Tapi harus memastikan dulu hubungan kalian.""Apa maksudnya 'kalian'?""Kamu dan Sami lah. Siapa lagi."Aku terkekeh. "Apa korelasinya undangan pernikahanmu dengan hubunganku dan Gus Sami?""Aku harus memastikan dulu Kamu bersama orang yang tepat. Aku nggak mungkin membiarkanmu hi