Gerbang Kudus Kota Kretek yang megah itu menyambut kedatangan kami. Gerbang yang didesain menyerupai daun yang memayungi sisi kiri dan kanan ruas jalan dengan tinggi duabelas meter dari permukaan jalan serta lebar duapuluh satu meter dan panjang empatpuluh delapan koma tujuhpuluh lima meter merupakan replika daun tembakau yang dibuat menggunakan bahan stainless khusus yang didatangkan dari Australia. Replika daun tembakau memiliki lima puluh sembilan tulang di sisi kanan dan kiri yang melambangkan rukun islam dan walisongo. Sedangkan struktur empat penyangga replika daun tembakau didesain menyerupai bunga cengkih, yang semakin menegaskan bahwa Kudus adalah Kota Kretek.
Kulirik jam tangan Gus Sami menunjuk angka tujuh kurang sedikit. Kupikir Sakta sudah bangun dan bisa kutitipi Nabhan untuk hari ini. Untuk hari-hari berikutnya kupikirkan nanti saja. Kuambil ponselku dari sling bag,
Sabtu Minggu ini Nabhan masih menghabiskan liburan jedanya di Kudus. Liburan diantara Ujian Madrasah dan Ujian Nasional. Nabhan dan teman-temannya mendapat kesempatan liburan jeda supaya mereka bisa refreshing untuk menghadapi Ujian Nasional nantinya.Sementara itu karena ada tahapan maka setiap Sabtu Minggu kantor tetap buka sehingga kami tetap masuk sesuai jadwal piket. Secara kebetulan aku mendapatkan jadwal piket di hari Sabtu ini. Aku tidak mau mengecewakan Nabhan, tetapi aku juga harus tetap profesional. Kupikir Mbak Reza bisa menolongku.Aku baru saja hendak melangkah ke ruangan Mbak Reza tetapi Mas Riko sudah terlebih dulu masuk ke ruanganku. "Papanya Nabhan ganteng ya?" Aku hanya mengerutkan dahi demi mendengar kalimatnya. "Aku melihatnya kemarin," lanjutnya.
Soto Kerbau di warung langgananku terasa sangat hambar. Entah karena tukang masaknya ganti atau resep yang dipakai tidak seperti biasanya atau karena pikiranku penuh dengan ingatan saat Gus Sami tertawa lepas pada dokter Nisa di poliklinik waktu itu atau mungkin syaraf-syaraf lidahku sudah mulai rusak.Makanan yang memenuhi mangkuk kecil itu hanya kuaduk-aduk. Kutambahkan satu sendok penuh sambal, kembali kuaduk-aduk. Berharap soto di hadapanku rasanya sesuai ekspektasiku, namun tetap saja hambar kecuali rasa pedas yang cukup menyengat tenggorokanku.Es teh satu gelas tetap tidak mampu mengusir rasa panas di tenggorokanku. Mulutku mendesis-desis kepedasan.Gus Sami menoleh ke arahku dan mengangsurkan gelas es tehnya. "Jangan kebanyakan sambal, nanti asam lambungmu naik."
"Mbak Richa sementara tidur di rumah saya saja," kata Bu RT memutus keheningan antara diriku dan Sakta."Ya, Na. Hanya sementara sampai traumamu hilang," kata Sakta menimpali.Belum juga aku menjawab sudah mulai terdengar suara-suara gaduh dari arah pintu rumahku. Mataku membelalak ketika menangkap sesosok lelaki yang kedua tangannya disatukan dengan kabel ties dan dikawal Babinsa. Sementara bapak-bapak yang lain mengaraknya dari belakang. "Mas Bagas?" gumamku pelan tapi mungkin sempat tertangkap telinga Sakta.Seketika Sakta berdiri dan membalikkan tubuhnya. Aku segera meraih tangannya sebelum ia kalap dan menghajar Mas Bagas."Mbak Richa mengenalnya?" tanya Pak Babinsa."Tidak, Pak. Bawa saja dan berikan huku
My Sunshine?Bagaimana mungkin Gus Sami menyimpan nomorku dengan nama itu? Setelah sekian tahun?Suara seorang perawat membuyarkan lamunanku, "Keluarga Tuan Sami Yusuf Abdillah." Aku pun bergegas menuju perawat yang duduk di sebelah dokter jaga sebelum sampai di brankar Gus Sami. "Ya, Bu. Saya keluarga Pak Sami." Perawat tersebut lalu menjelaskan prosedur pelayanan serta tindakan yang akan diberikan pada Gus Sami, meminta tanda tangan persetujuan, dan memintaku mendaftar pada bagian pendaftaran rawat inap serta memilih kamar untuk perawatan Gus Sami."Baik Ibu. Sementara kami lakukan CT Scan pada pasien, ibu bisa menyelesaikan administrasinya pada bagian pendaftaran." Aku mengangguk lalu menuju ruang pendaftaran rawat inap.Sambil menunggu antrian
"Sakta?" ucapku dan Gus Sami hampir berbarengan. Aku menoleh kearah Gus Sami yang terlihat kikuk. Melalui tatapan mata, aku minta penjelasan. Bagaimana mungkin ia menyebut nama Sakta. Tapi ia hanya membeku di tempatnya. Mataku bergantian menatap Gus Sami dan Sakta. Kedua lelaki itu terlihat bingung. Aku tahu, ada yang tidak beres diantara keduanya. "Ooh. Jadi kalian saling kenal?" "Kenapa selama ini seolah Kamu tidak mengenal Papahnya Nabhan setiap kali kita menatap foto mereka berdua?" cicitku pada Sakta. Ia melotot kearah Gus Sami yang dibalas dengan tatapan yang hampir sama. "Pertemuan awal ketika kita di Bis waktu itu...." Kepalaku mulai berdenyut sakit mengingat pertemuan awal dengan Sakta yang seolah kebetulan ternyata sudah mereka rencanakan. 'Ternyata Kamu sengaja mengikutiku?" Aku menjeda kalimatku. Menarik napas untuk sedikit menyingkirkan sesak di dada. Aku menggelengkan kepala kuat. Kini kepalaku terasa dicengkeram, memikirkan apa saja rencana yang telah mereka jalank
Aku segera mandi air hangat dan mengganti baju kerjaku dengan kaos panjang all size dan celana kulot. Tubuhku sudah terasa segar kembali setelah seharian berkutat dengan pekerjaan. Tetapi masih ada satu tugas yang harus kuselesaikan malam ini. Kupikir masih cukup waktu jika kukerjakan setelah Isya. Aku melihat jatah makan malam Gus Sami yang belum tersentuh. Overbed table itu masih penuh dengan makanan.Aku mendorong overbed table mendekati brankar. Menaikkan sedikit sandaran dan duduk di tepi brankar. Sementara Gus Sami sibuk dengan ponselnya."Makan dulu, Gus."Ketukan di pintu membuat kami mengalihkan pandangan kearah sumber bunyi."Tolong bayarkan, Cha." Gus Sami menyerahkan dua lembar uang pecahan seratus ribu. Sementara satu tangannya memegang dompet."Dompet itu ...?" Kembali terdengar ketukan di pintu. Aku menyambar dua lembar uang merah itu dan segera membuka pintu. Seorang kurir delevery order berdiri di depan pintu de
Suara khas Icha yang sedikit serak itu makin familiar ditelingaku. Ia punya jadwal rutin membaca Ratib Al Hadad setiap selesai membaca wirid usai sholat Subuh. Suaranya yang sedikit serak membuat bacaan Ratib itu menjadi semakin indah.Suaranya terjeda sebentar saat ada panggilan di ponselnya, namun rupanya ia hanya me-reject panggilan masuk itu. Lalu suaranya kembali terdengar membaca kumpulan dzikir yang disusun oleh Syaikh Abdullah bin 'Alawi bin Muhammad al-Haddad dari Hadramaut itu. Ia masih khusyuk membaca dzikirnya meskipun beberapa kali terjeda panggilan masuk yang selalu berakhir di-reject.Aku pun ikut mengaminkan saat ia membaca doa Ratibul Hadad. Usai membaca qasidah sebagai penutup dzikir, Icha tampak menelepon seseorang."Wa'alaikumussalam. Maaf, tadi masih ada sedikit kesibukan," ucap Icha pada seseorang diseberang teleponnya."....""Jangan hari ini.""....""Malam aku nggak bisa. Aku harus jagain teman yang sedang dirawat di rumah sa
Aku benar-benar dibuat jengkel oleh Gus Sami. Bisa-bisanya ia membuatku menderita selama ini. Kutinggalkan saja ia sendirian di Rumah Sakit. Usai pertengkaran singkat itu aku langsung menuju butik menggunakan jasa sopir Ojol.Sesampainya di butik, aku langsung menyibukkan diri. Mengecek stock opname bahan baku, data pesanan, stock opname barang produksi, dan sebagainya. Yang penting saat ini aku sibuk agar otakku kembali dingin.Menenggelamkan diri diantara angka-angka laporan keuangan dan laporan bulanan membuatku sedikit melupakan kejengkelanku pada Gus Sami. Tetapi kalimat Mita kembali membuatku mengingat kelakuan lelaki yang telah meninggalkan jejak di hatiku itu."Oh ya. Tadi pagi bendahara Pak Yusuf menghubungi kami. Mereka tidak akan menuntut ganti rugi dan tidak lagi minta kompensasi," kata Mita antusias. Aku mengangguk malas yang membuat Mita mengerjap."Sebentar. Siapa tadi? Bendahara Pak Yusuf?""Iya. Pak Yusuf. Pelanggan pertama kita yang masih s
Aku dan Gus Sami sudah bersiap untuk sarapan dan mengikuti paket trip hari ini. Beberapa kali Gus Sami mendial nomor ponsel Nabhan tapi tetap tidak ada jawaban."Mah, tolong hubungi kamar Gus Nabhan.""Kamar 102 'kan?" Setelah sekian lama tetap tidak ada jawaban. "Nggak diangkat, Gus.""Ya sudah. Nanti kita ketuk aja pintu kamarnya."Kami segera keluar kamar dan menuju ruang makan. Kakiku urung berjalan ke pintu kamar Nabhan karena mataku telah menangkap sosoknya sedang berada di jalan berpaving yang diapit oleh taman. Ia sedikit terengah, sepertinya habis lari pagi. Aku tersenyum melihatnya serajin itu."Pantas nggak bisa dihubungi, lha lagi olahraga dil
Suara deheman seseorang membuat kami menoleh."Dasar pengantin baru, maunya kayak perangko.""Hei, Gus Nadzim." Dua laki-laki itu kemudian saling memeluk."Ini istriku, Icha."Laki-laki yang dipanggil Gus Nadzim itu mengangguk sopan padaku. "Namanya sama dengan mantanku," ucapnya datar."Ayolah, kejar dia.""Gila aja aku merusak rumah tangga orang.""Siapa tahu dia menunggu keajaiban langit, sama seperti dirimu yang memutuskan untuk tidak menikah."Aku mengernyit mendengar dialog dua lelaki didek
Beberapa kali Gus Sami menawarkan agar aku berbuka saja, tetapi aku bersikukuh untuk melanjutkan puasaku."Papah nggak tega lihat Mamah lemah seperti itu. Papah khawatir Mamah kenapa-kenapa.""Nggak apa-apa, Gus. Aku bersyukur banget karena adik bayi bisa ikut belajar puasa. Salah satu bentuk pendidikan prenatal ya seperti ini."Perutku kembali mual, rasanya ingin muntah. Gus Sami memegangi tangan kananku dengan lembut, sementara tangan kanannya tetap memegang setir mobil.Beberapa kali ia memperhatikan deretan toko di sepanjang jalan yang kami lalui. Tiba-tiba ia meminggirkan mobilnya di depan sebuah apotek."Tunggu sebentar, ya."
"Apa kita akan menikah?" ulangnya."Apa Gus e inginkan selain itu?""Jangan main-main Kamu, Cha.""Mamah nggak sedang nge-prank kita 'kan?" Nabhan memandangku waspada.Aku telah memikirkan semuanya dengan matang dan yang terpenting aku telah meminta petunjuk pada Allah."Beberapa kali, setelah sholat istikharah aku bermimpi kita bertiga sedang berada di tempat yang sama, beraktivitas dan bercanda bersama. Aku yakin itu sebuah petunjuk."Keduanya terpekik. Nabhan tiba-tiba sudah menghambur memelukku."Kita menikah besok." Suara Gus Sami mengurai pelukanku pada Nabhan."Gus e apa-apaan? Nggak bisa secepat itu. Harus cari hari baik dulu," protesku. Aku masih belum bisa menerima jika tiba-tiba besok statusku sudah berubah. Meskipun aku sudah mengambil keputusan itu tetapi aku tetap butuh penyesuaian dan menata hati."Semua hari itu baik, Sayang." Nabhan menjerit bahagia mendengar panggilan Papahnya untukku, sementara aku mungkin sudah seperti kepiting rebus."Setidaknya menunggu setelah R
"Tunggu di batas kota aja. Kasihan kalau kesini, terlalu jauh." Aku mengangguk. Segera kuambil dompet dan kunci mobil."Aku keluar sebentar. Kupastikan pekerjaanku hari ini beres." Mbak Reza mengacungkan dua jempol tangannya ke udara.Aku mengetikkan nama resto tempat aku akan menunggu Gus Sami dan Nabhan sambil berjalan menuju parkiran.Belun ada sepuluh menit, aku sudah sampai di resto yang aku maksud. Setelah memarkir mobil aku kembali mengabarkan jika telah sampai di resto sambil berjalan menuju pintu masuk resto."Mbak Richa?" Sebuah suara memaksaku mengalihkan pandangan dari layar ponselku menuju sumber suara."Ibu? Mas Haidar?" Aku segera meraih tangan p
"Hatiku sudah hancur berkeping-keping sejak aku memutuskan untuk meninggalkan suami dan anakku. Dan tahukah Kamu Gus, jika sesuatu yang telah hancur berkeping-keping itu tidak akan mungkin bisa kembali utuh seperti sediakala. Meskipun kepingan-kepingan itu bisa disatukan kembali tetap akan meninggalkan bekas.""Luka ini terlalu dalam, Gus. Luka ini telah membawa pergi semua kebahagiaanku. Meskipun senyuman selalu tersemat dibibirku, sejatinya itu hanya untuk menutup luka menganga yang ada disini." Aku menepuk dadaku yang terasa sangat nyeri.Tiba-tiba Gus Sami meraih pundakku dan menenggelamkan kepalaku didadanya. Munafik jika aku mengatakan tidak merindukan pelukannya. Apalagi Gus Sami yang sekarang jauh lebih peduli dan berperasaan. Aku bahkan diam saja dan menikmatinya. Ada rasa nyaman yang tidak ingin kulepaskan.
Setelah membujuk Nabhan agar sementara waktu menginap di hotel, kemudian aku mengantar Icha pulang kerumahnya.Sepanjang setengah perjalanan kulihat Icha sangat murung. Beberapa kali terdengar ia menghela napas sambil mengarahkan pandangan matanya keluar jendela."Maafkan Nabhan, Cha."Tanpa menoleh Ia menjawab, "Ya, Gus. Aku sudah memaafkannya." Tangisnya kini mulai pecah."Sudah, dong. Jangan nangis! Namanya juga anak-anak, maunya semua keinginannya dituruti."Icha hanya mengangguk. Tangan kanannya membekap mulutnya sementara pundaknya terguncang-guncang.Rasanya ingin kurengkuh pundak itu dalam pelukank
Beberapa kali Nabhan tersenyum kearah kami sambil terus mengalunkan Shalawat Asnawiyah. Ia benar-benar membuatku bangga. Pada perhelatanAkhirus Sanahpesantrennya kali ini Ia mendapatkan banyak penghargaan. Predikat santri paling disiplin, juara lomba pidato bahasa Arab, juara lomba debat bahasa Inggris, dan juara lombastory telling. Sekarang duduk dipanggung dengan memegang mikrofon dan melantunkan shalawat Nabi.Banyak orang tua yang iri pada kami. Melalui tatapan mata maupun dengan terang-terangan mengatakan itu."Putranya hebat, ya Mah," ucap seorang ibu yang duduk disebelahku.Sementara seorang bapak yang duduk didepan Gus Sami bilang, "Apa rahasianya bisa punya anak hebat seperti itu.""Rahasianya ... Doa Mamahnya," ucap Gus
"Cukup lama kita nggak ketemu. Sebulan lebih, kayaknya. Gimana kabarmu? Makin kurus aja."Aku hanya tersenyum. "Kabarmu gimana?" tanyaku balik."Ditanya bukannya menjawab malah balik tanya.""Kabarku baik. Tumben ngajak ketemu. Mau ngasih undangan?" godaku."Maunya sih. Tapi harus memastikan dulu hubungan kalian.""Apa maksudnya 'kalian'?""Kamu dan Sami lah. Siapa lagi."Aku terkekeh. "Apa korelasinya undangan pernikahanmu dengan hubunganku dan Gus Sami?""Aku harus memastikan dulu Kamu bersama orang yang tepat. Aku nggak mungkin membiarkanmu hi