“Umi.. Kalau ketemu Mbak Tiana, katanya mau Umi dijewer, sampai telinganya putus?!”Degh!Tatiana berulang kali mengerjapkan kelopak matanya.Dijewer?Sampai putus?!Wanita yang berhasil menyempurnakan kebahagiaan keluarga besarnya itu, kontan menangkup kedua telinganya dari balik jilbab. Ia bergerak cepat untuk melindungi organ miliknya, yang sedang diincar oleh sang ibu mertua.“Mas..” Tatiana juga merengek.“Ndak mungkin dijewer sampe putus, Dek..” Kekeh Khoiron. Pria itu membiarkan sang istri berlindung dibelakang tubuhnya.“Ih, Mas..”Tidak sampai putus, sama dengan tetap ditarik kan daun telinganya?! Tidak ada bedanya dong kalau begitu. Ia sama-sama disiksa. Padahal ia tak pernah berniat untuk membohongi ibu mertuanya. Semua murni karena papa dan mamanya ingin memberikan kejutan pada besan mereka.“Sini makane Nduk, sama Mbah aja. Umi mu nggak bakalan berani jewer.”Tatiana mengangguk. Ia berlari kecil, menghampiri Kyai Dahlan yang duduk di atas kursi goyangnya.“Tolong lindungi
Jemari Khoiron tidak sedetik pun melepas genggamannya pada tangan Tatiana. Pria yang tengah dilingkupi perasaan bahagia itu selalu berdiri disamping istrinya sejak tiba dari pasar hewan. Ia terus mengawal Tatiana, kemana pun sang istri ingin pergi.“Adek ndak lelah?”“Mas capek?” tanya Tatiana, kembali. Suaminya belum beristirahat. Dia menjadi imam saat shalat subuh, lalu bergegas mencari hewan-hewan yang akan keluarga besar Al Hidayah masak.“Sama sekali nggak, Adek. Mas seneng liat Adek semangat begini.”Semalam Kyai Dahlan telah membagi kabar bahagia keluarganya. Khusus hari ini, kegiatan belajar di pondok sengaja diliburkan. Kyai Dahlan meminta kerabat, pengurus serta para santrinya untuk membantu mensukseskan acara tasyakuran kehamilan Tatiana. Makanan yang mereka masak secara bersama-sama itu kelak akan dinikmati dan dibagi-bagikan kepada warga sekitar pesantren.Tidak Tatiana dan Khoiron sangka, anggota besar keluarga Al Hidayah menyambut antusias gelaran tersebut. Mereka menguc
Brandon bergerak gelisah di atas pembaringannya. Ia merasa seperti ada satu bagian di dalam hati kecilnya yang terus meronta-ronta.Jam didinding kamar yang dirinya tempat telah menunjukkan pukul 3 dini hari, tapi sejak selesainya doa bersama untuk kehamilan Tatiana, ia sama sekali tak bisa beristirahat. Matanya terus terjaga, tak mau terpejam barang sedetik pun.“Gue kenapa sih?” Monolog Brandon, bertanya pada diri sendiri. Ia kebingungan. Apa yang dirinya rasakan sungguh aneh.Lingkungan disekitarnya tidak-lah sunyi. Telinganya bahkan dapat menangkap suara orang yang sedang mengaji, tapi mengapa ia seakan merasakan kehampaan. Terdapat lubang kosong yang menariknya masuk, seakan menjadikannya satu-satunya manusia yang tersisa di bumi.Brandon semakin tidak tenang karena berada sendirian di dalam kamar. Ia memilih bangkit, menuruni tempat pembaringannya. Ia harus mencari keramaian agar tak terus merasakan kesunyian.Kehampaan dan kesunyian yang menghampirinya begitu menyiksa. Mungkin
Brandon cucunya, Mbah...“Brandon?!” Gumam Kristina— Mama Brandon. “Ah, yang punya nama Brandon kan bukan anak nakal itu aja kan, ya?!”Soraya mengangguk. Sama seperti nama putrinya, di dunia ini ada banyak gadis yang memiliki nama serupa.“Tapi itu suara Mbah Yai, Mah, Tan..” Tatiana ikut menimbrung. Ia mengenali suara yang terdengar. “Umi.. Mas Khoir memang punya saudara yang namanya Brandon juga?!”“Ndak, tuh, Ti. Sepupu-Sepupu Khoir ndak ada yang namanya Brandon Immanuel. Dari pihak Umi juga ndak.” Karena meski tidak ke-arab-arab-an, tetap tidak ada satu pun diantara keponakannya yang memiliki nama belakang Immanuel.“Immanuel?!” Pekik Tatiana, Soraya dan Kristina bersamaan.“Loh, iya.. Itu barusan disebut sama Mbah mu..” Tiga wanita berkerudung beda warna itu tertegun. Ada banyak Brandon Immanuel, tapi yang berada di lingkungan pondok Al Hidayah pasti hanya satu orang.Kamu sadar saat membuat keputusan ini? Apakah ada pihak lain yang memaksa kamu?Saya sadar, Mbah. Keputusan ini
“Mas, kata Mbah, Brandon nanti mau dites bacaan surat-surat pendek buat sholat, ya?!”“Iya, Adek.”Dua tanduk langsung tumbuh dimasing-masing sisi kepala Tatiana. Ujung sudut matanya mengeluarkan kilat bersama bintang-bintang kecil yang bersinar.‘Hehehe.. Waktunya pembalasan, Wahai Manusia Terkutuk!’ Setan-Setan jahanam di dalam hati Tatiana membantin. Mereka beserta tuannya bergembira karena telah menemukan cara untuk membalaskan dendam.Selain merasakan penderitaannya pada awal-awal belajar shalat, Brandon pun akan merasakan kejamnya pembulian atas kekecewaan yang pria itu sebabkan. Dalam kamus Tatiana, dendam harus dituntaskan. Jika tidak, mungkin dirinya bisa menjadi hantu gentayangan ketika meninggal nanti.“Adek.. Kenapa ekspresinya begitu?!”“Eh?!” Tatiana tersadar dari lamunannya. Sial sekali! Iya terlalu bersemangat sehingga lupa, jika suaminya yang baik hati, bisa kapan pun mengendus rencana balas dendamnya.Hohoho!Bukan apa-apa. Khoiron Nabawi pasti tidak akan membiarkan
“UMI! MAS KHOIR JAHAT! UMIII!!”Umi Aisyah dan semua orang berbondong-bondong menyambangi kamar keduanya. Tidak tertinggal pula Brandon yang membantu Kyai Dahlan untuk berjalan lebih cepat dari kemampuan beliau.“Khoiron Nabawi! Kamu apain Mantunya, Umi?!” “Astagfirullah!” Khoiron bergegas masuk ke dalam kamar mandinya. Ia sedang bertelanjang dada. Suatu kondisi yang tidak layak diperlihatkan kepada non mahramnya.Sedangkan Tatiana, perempuan itu menghamburkan dirinya ke dalam pelukan Umi Aisyah. “Mas Khoir nakal, Umi!” Adunya tak menjelaskan apa pun.Di dalam kamar mandi, Khoiron cepat-cepat mengenakan kembali pakaiannya yang basah. Beruntung pakaiannya tidak langsung dirinya rendam tadi. Jadi masih ada yang bisa dirinya kenakan untuk menutupi auratnya.“Kenapa, Nduk?! Kenapa sampe nangis isek-isekkan gini?!” tanya Kyai Sholeh.Jika Tatiana begitu dipedulikan para mertuanya, Mama Soraya pun melakukan hal serupa kepada Khoiron. Perempuan yang melahirkan Tatiana itu mendekati menantu l
Tiga puluh hari telah berlalu. Waktu berjalan begitu cepat, hingga tak satu pun manusia menyadarinya. Tidak terasa, liburan perkuliahan pun juga sudah tiba. Seperti janjinya kepada sang ibu mertua, Tatiana akan menghabiskan hari-hari liburnya di pondok pesantren Al Hidayah.Kali ini— demi mempersingkat waktu, Khoiron memilih pulang menggunakan pesawat udara. Pria itu memikirkan kesehatan kakeknya. Beliau sudah terlalu tua untuk menempuh perjalanan jarak jauh. Tidak baik jika memaksakan pulang dengan mengendarai kendaraan pribadi. Belum lagi keadaan istrinya yang tengah berbadan dua. Khoiron tak tega terhadap keduanya.Terdapat perubahan besar yang Khoiron ambil, begitu pula dengan Tatiana yang memutuskan mengambil cuti kuliahnya. Untuk mengurangi rasa khawatir sang istri, Khoiron rela melepaskan gelarnya sebagai seorang pengajar.Ya— pada akhirnya, Khoiron menerima tawaran yang diberikan oleh papa mertuanya. Papa Tatiana itu mengatakan jika dirinya tidak lagi muda. Beliau ingin pensi
Mutia— Dosen yang mengampu salah satu mata kuliah Tatiana itu dengan percaya dirinya memperkenalkan diri. “Saya rekan mengajar Pak Khoiron di Jakarta, Pak Kyai, Bu Nyai.”“Oh, begitu.” Umi Aisyah menjadi orang pertama yang menanggapi perkenalan terlambat Mutia. “Dosennya menantu saya juga kan ya?” Beliau mempertanyakan apa yang terlewat untuk diperkenalkan wanita yang menjadi tamunya.“Ben-Benar..”“Wah, kebetulan sekali ini.” Menyematkan senyuman, Umi Aisyah lantas menanyakan bagaimana Tatiana ketika di kampus. Dan sebuah hal tidak terduga justru menjadi jawaban dari mulut Mutia.“Sebelumnya saya ingin meminta maaf, Bu Nyai. Bukan maksud saya menjelek-jelekkan. Saya hanya ingin berterus terang tanpa kebohongan. Kalau ditanyakan bagaimana Tatiana, menantu Bu Nyai cukup bermasalah di kampus. Dia anak nakal.”Tatiana mengepalkan jari-jarinya. Brandon ternganga dan Khoiron sendiri terdiam dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di dalam otaknya. Sedang anggota keluar lain yang mendengar
“Mas Adnan, emang Ibu salah ya?”Tatiana menyangga kepalanya menggunakan tangan. Ia tidur menyamping, menatap putranya kesayangannya.“Jawab dong, Mas. Ibu nggak salah kan, ya?”Khoiron mengulum bibirnya. Istrinya sedang mencari pembenaran, hanya saja kepada orang yang salah.Apa yang istrinya harapkan dari seorang bayi mungil tak berdosa? Pembelaan?! Jelas Adnan belum bisa melakukannya. Putranya mereka masih tak memiliki daya untuk hal itu. Tunggu usianya bertambah, nanti Adnan akan dapat diajak berkomunikasi.“Adnan, mah! Ibu hopeless nih. Ayah juga ngambek ke Ibu. Ibu jadi nggak ada temennya, Mas.”“Kok bawa-bawa Ayah, Bu? yang ngambek bukannya Ibu, ya?”“Mas diem!”Lucu sekali istrinya. Dia yang mogok bicara pada semua orang, tapi malah mengaku menjadi pihak tersakiti. Mana mengelabui anak sendiri. Sungguh nakal!“Mas dianggurin nih?! Mentang-mentang sudah punya Mas Adnan sekarang.”“Aduh! Ada yang ngomong, siapa sih! Ganggu quality time aku sama anakku aja deh!”Khoiron terkikik.
“Uh, gemesinnya anak Ibu. Ibu pengen gepengin kamu, Dek.”Khoiron yang baru saja memasuki kamar, kontan berlari mendekati ranjang. “Adek! Istighfar! Jangan gepengin Adnan!” Ucap, pria itu panik. Gemasnya sang istri sungguh membahayakan. Masa anak sendiri mau dibuat gepeng.“Bercanda, Mas Khoir!”“Huh!” Khoiron melepaskan napasnya. Ia pikir istrinya serius ingin menggepengkan anak mereka.“Umi gimana, Mas? Udah dipanggilin dokter belum?”“Udah sadar kok..” Khoiron mendudukan dirinya disamping Tatiana. Tangannya yang besar menggenggam telapak kecil anak lelakinya. “Nggak sampai harus manggil dokter. Umi cuman kaget aja, Dek.”Jangan kan uminya, abinya kalau berada di kamar, pasti juga akan ikut pingsan. Ia tidak mengira kalau kenakalan istrinya sampai bisa membuat heboh satu komplek.“Hehe.. Mama dulu juga pingsan, Mas.” Cengir Tatiana. Mamanya sampai dilarikan ke rumah sakit saat rumahnya di demo. Akhirnya masalah diselesaikan oleh orang tua Brandon. Mereka hanya perlu mengganti mobil
“Adek— Kenapa nangis? Masih sakit?”Tatiana menggelengkan kepalanya. Tidak ada lagi sakit yang dirinya rasakan. Semua rasa sakit itu telah terbayar kontan seluruhnya.“Kenopo, Nduk? Ngomong ke Mbah.”Tidak hanya Khoiron, Kyai Dahlan dan semua orang yang menjaga Tatiana ikut dibuat bertanya-tanya.“Huwaaaa!!”“Oeek!”Jeritan Tatiana lalu bersaing dengan tangis anak lelaki yang dirinya lahirkan satu jam lalu.“TIANA!” Hardik Soraya. Gara-gara suara melengking Tatiana, cucu lelakinya kaget dan terbangun.Tatiana yang dimarahi kontan saja tambah kejar. Tangisnya semakin keras lagi ketika pintu ruang perawatannya terbuka, menampilkan sosok Brandon dan Zahra.“Mas Khoir, hwaaa!!”“Adek, Ya Allah. Sebenernya Adek kenapa? Bilang ke Mas, Dek.” Pinta Khoiron. Anak mereka membutuhkan ibunya, tapi bagaimana bisa mendiamkan anak lelakinya kalau Tatiana saja histeris tanpa sebab.“Kenapa baby lahirnya lebih cepat, hiks! Harusnya waktu mereka nikahan!!” Tatiana terisak-isak sembari mencengkram kemej
“Bosen!” Berengut Tatiana.Semua orang berkegiatan di luar sedangkan dirinya menjadi makhluk mati segan, hidup tak mau. Selain tidur dan menonton drama-drama, ia tak melakukan apa pun di rumah.Mama dan papa yang biasanya menemani kesehariannya, hari ini mendadak memiliki acara bersama teman-teman mereka. Ia ditinggalkan tanpa perasaan.“Sebenernya, gue ini hamil apa lumpuh?! Masa mau ngapa-ngapain dilarang? Mau ikut juga nggak boleh! Parah mereka!”Tatiana bosan maksimal. Zahra dan Brandon masih kuliah. Sejak mempunyai hubungan signifikan dengan adik iparnya, sahabatnya itu berubah menjadi sangat rajin.Brandon hampir tidak menerima usulannya untuk membolos. Ajakannya tadi ditolak mentah-mentah, padahal ia sudah memohon agar Brandon skip kelas terakhirnya hari ini. Hasilnya malah dibalas dengan sebuah quote tidak nyambung.Inilah Jalan Kebenaran.Sedikit agak-agak memang Brandon sekarang. Perubahannya tak seasyik dulu, meski perubahaan tersebut Tiana anggap baik. Setidaknya Brandon t
Betapa senangnya Tiana. Di lingkungan pondok pesantren milik keluarga suaminya, orang-orang begitu ramah terhadapnya. Tidak hanya itu, mereka pun menghormatinya. Tak lagi memandangnya sebelah mata seperti dulu.“Sore Ning Tiana, Ning Zahra.” Sapa sekumpulan santriwati ketika melewatinya“Sore..” Tatiana melambai-lambaikan tangannya sebagai balasan. Saat ini dirinya sedang jalan-jalan sore ditemani oleh adik iparnya.“Coba aja di komplek hawanya seadem ini ya, Ra. Betah Mbak jalan kaki jauh.”“Mau disini aja Mbak, selama hamil? Umi pasti seneng loh bisa jagain Mbak Tiana.”“Nggak mau ah!” Ucap Tatiana. Ia ini tipe istri yang tidak bisa berjauhan dari suami tampannya. Ditinggal bekerja seharian saja sudah rindu, apalagi kalau harus tidak bertemu beberapa hari. Terkena mala rindu yang ada nantinya.“Pengen nggak pulang, tapi Mas Khoirnya harus kerja.”Kalau Tatiana pikir-pikir lagi, semenjak suaminya bergabung di perusahaan, intensitas mereka bertemu jadi berkurang. Di kampus mereka bisa
Tatiana menggosok kedua matanya. Ia yakin jika indera penglihatannya tidak salah. Ia melihat Zahra menyunggingkan senyuman sesaat sebelum menundukkan kepalanya.Beberapa detik yang lalu, adik iparnya itu masih menangis sesenggukkan. Tatiana jelas tahu alasan mengapa Zahra menangis. Dia tidak ingin menikah dengan orang yang tak dicintai— kata lainnya, Zahra sudah memiliki seseorang di dalam hatinya.‘Tapi kok?’ bingung Tatiana, masih belum dapat mencerna perubahaan yang terjadi pada diri sang adik ipar.“Monggo-Monggo, masuk ke dalam.” Ajak Kyai Dahlan, mempersilahkan para tamunya. Pria paruh baya itu turut membawa serta cucu perempuannya. Hari ini Zahra merupakan bintang utama yang akan duduk disampingnya. Nanti setelah lamaran selesai, barulah dirinya menyambut hangat kedatangan cucu kesayangannya.Ruang tamu Ndalem yang tak luas, kini terpenuhi oleh kerabat-kerabat dekat yang Tatiana kenali. Perempuan itu duduk ditengah-tengah mama dan ibu mertuanya.Suaminya sendiri duduk tak jauh
Tepat satu minggu telah berlalu sejak pertemuan keduanya dengan Brandon di café. Brandon mengatakan jika pemuda itu akan secepatnya bertandang, membawa orang tuanya ke pondok pesantren.Selama tujuh hari itu pula, Khoiron sebagai kakak juga menyampaikan amanat kakeknya. Memberitahukan Zahra tentang niat baik seorang pemuda terhadapnya.Seperti apa yang sudah Khoiron terangkan kepada sang istri, Zahra menerimanya. Meski pun belum mengetahui siapa gerangan yang meminang dirinya, adik Khoiron itu memasrahkan seluruhnya pada kakeknya. Hal tersebut merupakan bentuk baktinya. Zahra yakin, pilihan kakeknya tidak mungkin salah.“Mas.. Mas Khoir ngerasa nggak sih, kalau akhir-akhir ini, Zahra tuh keliatan murung banget?”Jika Tatiana tak salah menilai, keceriaan Zahra meredup sejak suaminya memberitahukan khitbah atas diri sang adik ipar. Zahra memang pendiam, tapi diamnya kali ini terasa berbeda. Tatiana dapat merasakan kesedihan dalam
“Cantiknya Mas, masih ngambek ya?!”Khoiron melakukan toelan pada lengan Tatiana. Semalam dirinya diusir dari kamar. Istrinya itu tidak mau berbagi ranjang dengan orang menyebalkan seperti dirinya. Meski tak bertahan sampai pagi, tetap saja istrinya marah. Sekarang wanitanya sedang mogok bicara. Setiap kali diajak berinteraksi, dia akan mencari cara untuk membalas perilakunya tadi malam.“Ra, kayak ada yang ngomong! Siapa sih?!” Tatiana menjauhkan lengannya. Ia lalu membersihkan jejak sentuhan Khoiron, membuat Khoiron terkekeh dengan aksi yang Tatiana lakukan.“Kamu, Ti. Nggak boleh gitu kalau ngambek. Dosa loh, Ti.” Tegur Januar.“Buat hari ini, Tiana berani dosa!”Tatiana benar-benar kesal. Semalam sudah sampai tahap pengusiran pun, suaminya bertahan dengan kebungkamannya. Kekesalan Tatiana bertambah karena dirinya tak bisa tidur tanpa laki-laki itu.Alhasil, Tatiana harus sedikit me
“Mas Khoir..” Suara lembut Tatiana mengalun, membuat Khoiron menutup berkas yang tengah dirinya baca.“Dalem, Adek.” Sahut Khoiron tak kalah lembut. Kepalanya berputar, melihat sang istri yang duduk menghadapnya di atas ranjang mereka.“Pripun, Sayang? Adek butuh sesuatu?” tanya Khoiron.“Adek mau cerita.”Senyum Tatiana yang meneduhkan hati Khoiron, menjalar pada diri laki-laki itu. Sudut bibirnya melengkung dan kepalanya mengangguk. “Nggih.. Sebentar ya. Mas simpan berkasnya dulu.” Tuturnya sebelum menyimpan kembali berkas-berkas pekerjaannya ke dalam tas.Begini saja rasa cinta Tatiana bertambah menjadi berkali-kali lipat. Suaminya selalu menyediakan banyak waktu untuknya meski dalam keadaan sibuk sekali pun. Tatiana merasa begitu dicintai karena hal sekecil itu.“Sambil Mas pijitin kakinya ya, Dek. Adeknya rebahan aja.”“Nggak