Mutia— Dosen yang mengampu salah satu mata kuliah Tatiana itu dengan percaya dirinya memperkenalkan diri. “Saya rekan mengajar Pak Khoiron di Jakarta, Pak Kyai, Bu Nyai.”“Oh, begitu.” Umi Aisyah menjadi orang pertama yang menanggapi perkenalan terlambat Mutia. “Dosennya menantu saya juga kan ya?” Beliau mempertanyakan apa yang terlewat untuk diperkenalkan wanita yang menjadi tamunya.“Ben-Benar..”“Wah, kebetulan sekali ini.” Menyematkan senyuman, Umi Aisyah lantas menanyakan bagaimana Tatiana ketika di kampus. Dan sebuah hal tidak terduga justru menjadi jawaban dari mulut Mutia.“Sebelumnya saya ingin meminta maaf, Bu Nyai. Bukan maksud saya menjelek-jelekkan. Saya hanya ingin berterus terang tanpa kebohongan. Kalau ditanyakan bagaimana Tatiana, menantu Bu Nyai cukup bermasalah di kampus. Dia anak nakal.”Tatiana mengepalkan jari-jarinya. Brandon ternganga dan Khoiron sendiri terdiam dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di dalam otaknya. Sedang anggota keluar lain yang mendengar
“Mbak Lia, hati-hati. Kata temen ku yang tadi tugas di Ndalem, Mbak yang itu pelakor.”“Pelakor?”“Iya, Mbak.. Dia kesini mau godain Gus Khoir katanya.”“Hus,” Lia menyentuh punggung tangan juniornya di pondok, “ndak boleh suudzon,” ucapnya, memperingati agar tidak berpikiran buruk. Bagaimanapun juga, mereka merupakan tamu sang guru.“Serius, Mbak. Dia denger sendiri waktu tamunya ngobrol. Sampai nggak habis pikir loh temen ku.”“Wis-Wis.. Ayo kita ke masjid. Sebentar lagi adzan magrib.” Ajak Lia. Tidak ada yang perlu dirisaukan dari para tamu tersebut. Ia yang pernah mencoba peruntungan dengan tanpa malunya saja tidak berhasil. Gus mereka bukan laki-laki yang mudah digoda. Beliau begitu mencintai Ning Tatiana.Melewati Khalifa dan Mutia, Lia beserta santri lainnya menundukkan kepala. “Amit, Mbak.” Ucap mereka sopan sedikit membungkuk.“Kalian mau shalat di masjid ya?”“Betul, Mbak.” Jawab Lia mewakili adik-adiknya.“Kami boleh bareng?”“Monggo silahkan.”Di depan pagar masjid yang me
“Umi, Tiana mau tunggu Mas Khoir.”“Kamu ini, Nduk. Ya wis.. Zahra temenin Mbak Mu. Umi, Mbah, sama Abi pulang dulu.” Pesan Umi Aisyah sebelum meninggalkan kedua anak perempuannya di pelataran masjid.Abinya sempat mengatakan jika Khoiron sedang berbincang dengan pengurus ponpes di dalam. Tatiana tidak ingin meninggalkan suaminya, seperti Khoiron yang selalu menunggu saat dirinya keluar terlambat.“Duduk aja ya, Mbak. Jangan berdiri terus.” Ujar Zahra. Gadis itu membimbing kakak ipar kesayangannya untuk menduduki kursi tak jauh dari mereka.Kapala Tatiana menangkap sosok yang membantunya. “Kamu sini...” panggilnya membuat segerombolan santriwati menghampirinya.“Dalem, Ning.”“Kamu ke Ndalem ya... Bilang aja ke Umi disuruh saya. Minta di ambilin 5 kotak cake. Terserah Umi yang mana aja gitu.” Ia ingat janjinya, tapi tak bisa segera pulang karena suaminya belum terlihat.“Nggih, Ning Tiana. Ning mari..” Pamit mereka sebelum berlalu.Sepuluh menit Tatiana menunggu dan Khoiron beserta Br
“Lifah, kamu liat sendiri kan?! Dua anak itu pinter banget bersilat lidah. Mereka bener-bener manipulatif, Lif.”Khalifa geram— bahkan menggunakan mata telanjang sekali pun, orang lain akan mengetahui siapa sosok yang ciri-cirinya sedang Mutia sebutkan.Plak!“Sadar, Mut! Sing eling jadi manusia!”Tidak pernah Mutia bayangkan sahabatnya akan menampar dirinya. “Fah.. Jangan bilang kamu percaya sama kata-kata mereka?!” Memegangi bekas tamparan Khalifa, Mutia bertanya dengan wajah sarat akan kesedihan.“Kalau aku nggak percaya, bisa kamu sebutin alasan apa yang membuat kamu ngerengek minta diantar ke sini?!”“Penelitian, Fah.. Apa itu nggak cukup?!”“Seperti kataku, Mut. Penelitianmu bahkan nggak menguntungkan pihak yayasan kamu.” Sepertinya disini dirinyalah yang bodoh. Khalifa merasa menjadi manusia dengan otak yang dangkal sekarang. “Kampusmu yayasan katolik, Mutia. Untuk apa mereka menyetujui penelitian tentang perilaku santri?! Ada banyak penelitian yang lebih berkaitan dengan dunia
“Mas.. Adek pinjem HP-nya dong.”Selayaknya remaja kebanyakan yang memang suka sekali menunjukkan hasil kemenangannya, Tatiana ingin membuat memberikan hadiah terakhir untuk Mutia. Meski tidak bisa melihat ekspresi dosennya secara langsung, setidaknya ia bisa menambah kekesalan yang ada pada dirinya.“Boleh buat story IG kan, Mas?”Sejak mereka terbang, segelintir ide-ide jahil berhamburan di otaknya. Berhubung mereka masih ada di bandara, Tatiana akan menyematkan lokasi mereka.“Boleh.. Tapi nggak boleh muka Adek, ya.. Takut ain, Sayang.”Tatiana mengangguk. Itulah sebab mengapa media sosial suaminya tidak pernah mengunggah potret siapa pun. Meski memiliki banyak pengikut, media sosial suaminya terkesan seperti akun tanpa awak. Tidak ada postingan selama beberapa waktu ini. Terakhir suaminya mengunggah kata-kata, meminta doa restu atas pernikahan mereka.“Foto bandaranya kok, Mas.”Brandon yang mengerti akal bulus Tatiana menggelengkan kepalanya. Sahabatnya itu pasti ingin mencari ke
Rasa nyaman Tatiana rasakan saat Khoiron membelai perutnya. Pria itu sedang membacakan sebuah surat dikala Tatiana sibuk menggulirkan layar ponselnya.“Adem banget liatnya ya, Pah. Dulu waktu Mama hamil Tiana, Papa nggak pernah kayak Khoiron.” Ucap Soraya membuat Januar menatap istrinya dengan tatapan bersalah.Januar jelas berbeda dengan menantunya. Pemuda itu diasuh dan diberikan asupan pendidikan agama sedari kecil, sedangkan dirinya hanyalah pemuda salah gaul yang hanya mengerti cara mempertahankan bisnis orang tuanya.“Maaf ya, Mah. Dulu waktu kita baru-baru nikah, Papa masih anak begajulan kayak Brandon.”“Loh! Om! Kok Brandon dibawa-bawa sih!” Potong Brandon cepat, masuk ke dalam pembicaraan. Sedari tadi dirinya anteng membaca buku. Tahu akan diseret pada hal-hal keji dirinya tidak akan menetap usai belajar mengaji bersama abangnya.“Kamu contoh paling deket, Bran.. Masa Papamu?! Papamu mudanya anak
Menemani Khoiron memasak bakso?Zzz…Air liur Tatiana menjadi saksi dari ucapannya saat melepas kepergian sang suami.Tiga puluh menit wanita itu bergulat dengan antusiasmenya sendiri. Terus berceloteh tentang betapa gentle-nya Khoiron pada adik iparnya. Namun tak berselang tiga puluh menit dari kepergian Khoiron, matanya terpejam untuk mengarungi indahnya alam mimpi.Hal tersebut sampai membuat Zahra terperangah. Pasalnya suara kakak iparnya perlahan-lahan menghilang, tergantikan oleh dengkuran halus.Ternyata, oh, ternyata— wanita cantik yang memiliki usia satu tahun di atasnya itu terlelap.Memastikan jika sang kakak tidak akan asal-asalan dalam memenuhi permintaan ngidam keponakannya, Zahra pun memberitahukan kondisi Tatiana saat ini. Kakaknya memiliki banyak waktu untuk berbelanja sehingga tak perlu terburu-buru.“Selamat bobok, Mbak Tiana, ponakannya Tante. Nanti kalau Papa Khoir udah pulang,
Tragedi ngidam bakso homemade menjadi pelajaran tersendiri untuk Brandon. Pemuda itu tidak akan pernah menerima kebaikan hati suami sahabatnya. Selelah apa pun dirinya, keinginan ia harus melakukan sesuai dengan keinginan Lord Tatiana.Gara-Gara Tatiana, saldo rekening Brandon menjadi sangat mengenaskan.Pemuda itu dihukum tak mendapatkan santunan dari orang tuanya selama satu bulan penuh. Belum lagi ceramahan di setiap sisi yang merusak gendang telinganya. Brandon kapok! Benar-benar kapok.Tatiana adalah sebenar-benarnya trouble maker. Kehamilan perempuan itu mendukung untuk melakukan penindasan terhadap pria-pria lemah. Terutama Brandon dan Khoiron. Sekarang keduanya bagaikan pengikut setia Tatiana. Macam-Macam sedikit, para pelindung Tatiana yang akan turun tangan.Bayangkan saja, sikap un-rasional Tatiana didukung oleh dua generasi sebelumnya. Tiga pasang orang tua dan generasi lainnya adalah Kyai Dahlan&mdash
“Ibu..”Tatiana mengangkat kedua tangannya ke atas.Tidak, tidak!— Ia tidak akan terpengaruh dengan raut memelas suami tercintanya. Pria itu harus merasakan betapa spektakulernya kelakuan anak mereka saat menginginkan sesuatu.‘Enak aja! Bikinnya bareng-bareng, masa bagian puyengnya, Ibu yang paling banyak.’ Dumel Tatiana, membantin.“Mau ini, Ayah! Mas Adnan mau ini.” Keras kepala Adnan dengan menunjuk satu unit mobil yang sedang dipamerkan pada lantai dasar sebuah Mall ternama di Jakarta.Tatiana terkekeh sembari memalingkan wajahnya. Biarlah ia berdosa. Namun wajah frustasi suaminya sangatlah menghibur jiwa emak-emaknya.“Beliin! Mas Adnan mau punya mobil yang pintunya 2, Ayah.”“Ya Allah, Mas.. yang pintunya 4 kan udah punya.”“Kan empat, nggak dua!” Ngeyel Adnan, membalas kata-kata sang ayah.“Mas..”“Enggak dalem!” potong anak itu menolak panggilan Khoiron.Khoiron menatap lembut kedua mata putranya yang membola. “Kok begitu jawab ke Ayahnya, Mas?” Sama seperti tatapannya, suara
Mendekati pukul lima sore hari, Tatiana, Adnan dan Soraya— ketiganya tampak rapi, berjajar pada halaman luas kediaman mereka.Barisan vertikal yang ketiganya bentuk itu, merupakan pemandangan yang sehari-harinya akan terlihat jika saja tidak turun hujan kala hari hari kerja berlangsung.Di dalam barisan itu, ketiganya akan melakukan sebuah penghormatan besar kepada dua orang terkasih yang telah rela menghabiskan waktunya untuk bekerja keras agar mereka dapat hidup enak.Mereka akan menunggu kepulangan para pencari nafkah. Menyambut keduanya dengan senyum hangat supaya seluruh lelah yang merajai diri mereka sirna.Dalam hal ini, tradisi itu dibentuk setelah si kecil Adnan terlahir ke dunia. Sebuah kebiasaan kecil yang pada akhirnya terus dipertahankan dan menjadi rutinitas harian yang keberadaannya tak pernah ditinggalkan oleh Tatiana dan mamanya.“Itu mobil Ayah.” Seru Adnan, gembira. “Opa sama Ayah pulang, ye-ye-ye-ye!” Anak itu melompat kegirangan, merasa tak sabar untuk menyambut a
Tatiana tak pernah berhenti dibuat istighfar oleh atraksi anak laki-lakinya. Si kecil yang kini menginjak usia 5 tahun itu mempunyai banyak sekali tingkah. Kulit di dadanya mungkin sudah menipis saking seringnya dibelai secara mandiri karena kelakuan membagongkannya.“Ibu nyerah, Mas Adnan!” Tatiana mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Ia menyerah, mengibarkan benderah putih ke angkasa.Ayah anak itu baru saja pergi beberapa menit yang lalu, dan si kecil sudah kembali berulah.Adnan memang sangat tahu caranya menguji batas kesabaran ibunya. Dia mencari momen terbaik saat satu-satunya manusia yang ditakutinya tak lagi berada di rumah.“Mas, Ya Allah! Ikan koinya Ibu loh, mati itu ntar Mas!” lontar Tatiana, lemas tak bertenaga.Tatiana pikir dengan dirinya menyatakan kekalahkannya, putranya akan berbaik hati untuk hengkang dari kolam kesayangannya. Namun ternyata, ia salah. Anak itu tetap melanjutkan kegiatan merusuhnya.“Mas Adnan baik loh, Ibu. Mas kan lagi bantu ikan koinya Ibu napas.
Holla, temen-temen.Setelah banyak merenung, Qey mohon maaf karena pada akhirnya, cerita Gus! I Lap Yuh! ini akan tamat sesuai dengan naskah aslinya.Keputusan ini diambil karena beberapa aspek, khususnya dari segi kesehatan Qey yang tampaknya tidak mumpuni untuk mengerjakan 3 on going sekaligus.Takutnya, seluruh karya termasuk judul ini malah akan terbengkalai nantinya. Jadi, Qey putuskan untuk hanya meng-uploud ekstra partnya saja dan mengurungkan niat untuk melangkah ke seasion 2-nya. Bagi pembaca baru, cerita ini sudah ada sequelnya, judulnya Pelet Cinta Lolita!, ya. Disitu menceritakan kisah cintanya Mas Adnan dengan Female Lead, Lolita. Bu Tatik & Ayah Khoir ada disana juga kok, jadi kangen kalian sama pasangan ini akan sedikit terobati nantinya.Segitu aja ya temen-temen. Mohon doanya untuk kesembuhan Qey. Semoga diakhir tahun ini, sakitnya Qey ditutup dengan penutupan tahun. Doain Qey sehat dan pulih sedia kala ya. Amin, Amin.Terima kasih atas perhatiannya, Semua.Salam Saya
Hai, semua. This is Qey.Kemarin saat Qey up chapter untuk ending, kebetulan ada kakak yang mengusulkan untuk dilanjutkan ke Season 2-nya. Untuk kakak-kakak yang lain bagaimana? Season 2-nya akan fokus ke Bu Tatik & keluarga kecilnya, termasuk Mas Adnan versi bocil ya. Karena untuk cerita Mas Adnan sendiri, versi dewasanya sudah ada tuh dijudul "Pelet Cinta Lolita." Kebetulan Mas Adnan tokoh utama prianya disana. Qey membutuhkan masukan sebelum akhirnya memutuskan apakah naskah chapter spesial yang ada akan tetap dijadikan chapter ekstra, atau digunakan untuk melanjutkan ke Season 2. Jadi, please komen ya semua. Terima kasih atas perhatiannya.
“Mas.. Zahra cantik ya?”Kepala Khoiron mengangguk, “iya, Dek,” ucapnya menjawab pertanyaan sang istri kepadanya.Pria itu meremas tangan Tatiana yang berada di dalam genggamannya, lalu kembali berucap, “tapi istri Mas ini, jauh lebih cantik.”Dibalik niqab yang dirinya kenakan, senyum seindah mekarnya bunga di musim gugur, menghiasi wajah Tatiana.“Mas ini! Zahra ratunya hari ini!” Tutur Tatiana, pura-pura menghardik Khoiron. Ia tidak ingin dibuat salah tingkah di momen bersejarah sahabat dan adik iparnya. Kalau pun ada kebahagiaan, seharusnya itu berasal dari acara penting mereka berdua. Bukannya dari hasil gombalan suaminya.Khoiron pun memalingkan wajahnya ke kanan. Ia menatap kedua manik Tatiana dalam. “Mas nggak mau bohong. Ibunya Mas Adnan wanita paling cantik. Ratunya Mas setiap hari.”“Uhuk!”Suara batuk dibelakang mereka menyadarkan Tatiana, jika saat ini keduanya tengah berada di dalam kerumunan santri-santri yang tengah menemani Zahra.“Ya Allah, Mas! Malu.”“Gus Khoir tern
Di dalam kamus Khoiron, ia tidak mengenal apa itu pamali. Pamali hanyalah sebuah culture yang keberadaannya terus dipertahankan dari tahun ke tahun. Namun ia tetap tidak bisa membawa Adnan pergi ke luar rumah terlalu lama. Bagaimana pun, usia Adnan masih beberapa hari. Daya tahan tubuhnya masihlah belum sekuat orang dewasa.“Adek, kita sepertinya nggak bisa bawa Mas Adnan ke kampus.”“Loh, kenapa Mas?”“Mas Adnannya masih kecil, Ibu. Pamernya ditunda saja dulu ya?”Tatiana adalah wanita yang mudah untuk diberikan pengertian. Istrinya mungkin sedikit keras kepala dalam beberapa hal, tapi dia bukan seseorang yang akan mengorbankan orang terkasih demi kesenangan pribadinya.“Mas Adnannya bisa sakit, Ibu. Urusan Brandon, biar ayah yang ngomong ke dia. Dia pasti nggak akan berani nakal.”“Nurut ya, buat Mas Adnan kecil kita.”“Kalau Ayah ngomong buat Mas Adnan, gimana Ibu bisa nggak nurut.” Tutur Tatiana sembari menyandarkan dirinya pada dada bidang Khoiron.Anaknya adalah sosok paling pen
“Mas Adnan, emang Ibu salah ya?”Tatiana menyangga kepalanya menggunakan tangan. Ia tidur menyamping, menatap putranya kesayangannya.“Jawab dong, Mas. Ibu nggak salah kan, ya?”Khoiron mengulum bibirnya. Istrinya sedang mencari pembenaran, hanya saja kepada orang yang salah.Apa yang istrinya harapkan dari seorang bayi mungil tak berdosa? Pembelaan?! Jelas Adnan belum bisa melakukannya. Putranya mereka masih tak memiliki daya untuk hal itu. Tunggu usianya bertambah, nanti Adnan akan dapat diajak berkomunikasi.“Adnan, mah! Ibu hopeless nih. Ayah juga ngambek ke Ibu. Ibu jadi nggak ada temennya, Mas.”“Kok bawa-bawa Ayah, Bu? yang ngambek bukannya Ibu, ya?”“Mas diem!”Lucu sekali istrinya. Dia yang mogok bicara pada semua orang, tapi malah mengaku menjadi pihak tersakiti. Mana mengelabui anak sendiri. Sungguh nakal!“Mas dianggurin nih?! Mentang-mentang sudah punya Mas Adnan sekarang.”“Aduh! Ada yang ngomong, siapa sih! Ganggu quality time aku sama anakku aja deh!”Khoiron terkikik.
“Uh, gemesinnya anak Ibu. Ibu pengen gepengin kamu, Dek.”Khoiron yang baru saja memasuki kamar, kontan berlari mendekati ranjang. “Adek! Istighfar! Jangan gepengin Adnan!” Ucap, pria itu panik. Gemasnya sang istri sungguh membahayakan. Masa anak sendiri mau dibuat gepeng.“Bercanda, Mas Khoir!”“Huh!” Khoiron melepaskan napasnya. Ia pikir istrinya serius ingin menggepengkan anak mereka.“Umi gimana, Mas? Udah dipanggilin dokter belum?”“Udah sadar kok..” Khoiron mendudukan dirinya disamping Tatiana. Tangannya yang besar menggenggam telapak kecil anak lelakinya. “Nggak sampai harus manggil dokter. Umi cuman kaget aja, Dek.”Jangan kan uminya, abinya kalau berada di kamar, pasti juga akan ikut pingsan. Ia tidak mengira kalau kenakalan istrinya sampai bisa membuat heboh satu komplek.“Hehe.. Mama dulu juga pingsan, Mas.” Cengir Tatiana. Mamanya sampai dilarikan ke rumah sakit saat rumahnya di demo. Akhirnya masalah diselesaikan oleh orang tua Brandon. Mereka hanya perlu mengganti mobil