“Umiiiii!! Tiana sama Mas Khoir mau punya kecebong!!”‘Kecebong?!’Tatiana mengangguk. Dirinya begitu antusias. Saking tidak sabarannya, ia menghubungi ibu mertuanya. Padahal pemeriksaan saja belum dilakukan sebab masih menunggu nomor antrian. ‘Istri kamu kepengenannya aneh-aneh banget, Ir. Ndak bisa pelihara hewan yang normal sitik opo, Le? Masa kecebong to?!’“Kok hewan, Umi?” Protes Tatiana, mencebikkan bibirnya. “Umi tega banget cucunya disamain sama hewan!”‘Cucu?!’‘Mbak Tiana hamil?’Sebuah teriakan menggema. Itu suara Zahra, sang adik ipar.Layar ponsel Tatiana tak lagi menampilkan wajah sang ibu mertua. Layar itu sepenuhnya berganti dengan kecantikan yang jauh lebih muda.‘Zahra mau punya keponakan, Mbak?’Malu-Malu Tatiana menjawabnya dengan lirih, “iya..” Tangannya menggapai-gapai sang suami agar mendekat. Ia gugup setengah mati.‘Masya Allah… Abiiiii! Mbah Yaiiiii!’Zahra sepertinya sedang berlari untuk mencari Kyai Dahlan dan Kyai Sholeh. Hal itu terbukti dari isi layar T
"Brandon udah disuruh ke rumah kan, Mas?!" "Sudah, Sayang." Soraya dan Januar menggelengkan kepala. Brandon sudah selayaknya saudara kembar bagi Tatiana. Keduanya tak memerlukan ikatan darah untuk menjalin tali persaudaraan yang erat. Mereka saling menjaga satu sama lain. Tidak hanya itu saja, merusak bumi pun, mereka bersama-sama. Mereka bahu-membahu, mengacaukan kedamaian para orang tua. Keduanya adalah kembar seiras versi dewasa. Lihat saja betapa bergantungnya Tatiana pada pemuda itu. Seperti Ipin yang tak bisa hidup tanpa Upin, begitu pula mereka berdua."Dia kayaknya khawatir banget, Mas. Maksa pengen ke rumah sakit segala. Kan jadi nggak surprise nanti." "Pasti ada yang lapor ke Brandon kalau kamu pingsan, Dek." Jawab Khoiron tak melepaskan netranya dari jalanan. Papa mertuanya meminta mereka pulang menggunakan kendaraan yang sama, sedangkan mobil miliknya kendarai oleh supir pribadi beliau."Udah pasti itu, Mas. HP aku aja penuh sama chat dia.""Kalian ini ya.. Coba kalau
“Mas!” Tatiana mengacakkan kedua lengannya dipinggang. “Ada hubungan spesial apa, kamu sama dia?” Satu tangannya kini menunjuk pada wajah sang sahabat.“Ngaku kamu, Mas!”“Ngaco lo, Ti! Gue masih doyan cewek!” balas Brandon tidak terima. Berbeda dengan Khoiron yang memilih diam, Brandon merasa harus membela dirinya sendiri. Memang ia dan dosennya martabak telur, sampai ada jenis spesialnya segala.“Gue nggak percaya! Gue mencium bau-bau kebusukan disini!” Ngeyel Tatiana.Feeling-nya mengatakan jika antara suami dan sahabatnya menjalin hubungan melebihi dosen dengan mahasiswanya.Dibalik tembok yang menghubungkan ruang tamu dengan ruangan lainnya, Januar dan Soraya mengintip ketiga anak manusia itu. Keduanya lantas berghibah-ria.“Tiana mode nggak hamil aja udah bikin kepala pusing ya, Pah?! Apalagi sekarang. Papa liat tuh wajahnya Khoiron, kayak tertekan banget ngadepin anak kita.”“Papa juga kasihan, Mah. Nyampe nggak ya umurnya dia, sampe anak mereka kuliah nanti?”“Ragu, Mama, Pah.
Penghuni Pondok Pesantren Al-Hidayah dikejutkan dengan masuknya 2 buah mobil mewah, ke area tempat mereka menuntut ilmu. Mereka mulai bertanya-tanya, siapakah gerangan orang-orang yang berada di dalamnya.“Sopo ya kuwi [Siapa ya itu]?”“Plat-nya B— dari Jakarta itu,” seloroh seorang santri. “Mungkin Ning Tatiana..”“Ndak mungkin,” sangkal salah satu santri yang lain. “Kan berangkat dari Ndalem, Ning pake mobilnya Gus Khoir. Beda. Itu Alphard semua. Gus mobilnya Pajero.”“Loh! Menowo nganggo [Siapa tahu menggunakan] mobil orang tuanya Ning Tatiana? Iso wae! Ning Tatiana anaknya wong sugih kok [Bisa saja! Ning Tatiana anaknya orang kaya soalnya].”“Tetep ndak, yo!” Ngeyel santri yang sebelumnya menyebutkan brand mobil milik Khoiron. “Aku saksi waktu Ning Tatiana baru dianter sama keluarganya ke sini. Orang tuanya pakai mobil sedan.”“Apik tapine [Bagus tapinya]?”“Yo apik sih!”Seperti biasa, bisik-bisik santri dengan tingkat rasa ingin tahu yang tinggi menyambut kedatangan para tamu. S
“Umi.. Kalau ketemu Mbak Tiana, katanya mau Umi dijewer, sampai telinganya putus?!”Degh!Tatiana berulang kali mengerjapkan kelopak matanya.Dijewer?Sampai putus?!Wanita yang berhasil menyempurnakan kebahagiaan keluarga besarnya itu, kontan menangkup kedua telinganya dari balik jilbab. Ia bergerak cepat untuk melindungi organ miliknya, yang sedang diincar oleh sang ibu mertua.“Mas..” Tatiana juga merengek.“Ndak mungkin dijewer sampe putus, Dek..” Kekeh Khoiron. Pria itu membiarkan sang istri berlindung dibelakang tubuhnya.“Ih, Mas..”Tidak sampai putus, sama dengan tetap ditarik kan daun telinganya?! Tidak ada bedanya dong kalau begitu. Ia sama-sama disiksa. Padahal ia tak pernah berniat untuk membohongi ibu mertuanya. Semua murni karena papa dan mamanya ingin memberikan kejutan pada besan mereka.“Sini makane Nduk, sama Mbah aja. Umi mu nggak bakalan berani jewer.”Tatiana mengangguk. Ia berlari kecil, menghampiri Kyai Dahlan yang duduk di atas kursi goyangnya.“Tolong lindungi
Jemari Khoiron tidak sedetik pun melepas genggamannya pada tangan Tatiana. Pria yang tengah dilingkupi perasaan bahagia itu selalu berdiri disamping istrinya sejak tiba dari pasar hewan. Ia terus mengawal Tatiana, kemana pun sang istri ingin pergi.“Adek ndak lelah?”“Mas capek?” tanya Tatiana, kembali. Suaminya belum beristirahat. Dia menjadi imam saat shalat subuh, lalu bergegas mencari hewan-hewan yang akan keluarga besar Al Hidayah masak.“Sama sekali nggak, Adek. Mas seneng liat Adek semangat begini.”Semalam Kyai Dahlan telah membagi kabar bahagia keluarganya. Khusus hari ini, kegiatan belajar di pondok sengaja diliburkan. Kyai Dahlan meminta kerabat, pengurus serta para santrinya untuk membantu mensukseskan acara tasyakuran kehamilan Tatiana. Makanan yang mereka masak secara bersama-sama itu kelak akan dinikmati dan dibagi-bagikan kepada warga sekitar pesantren.Tidak Tatiana dan Khoiron sangka, anggota besar keluarga Al Hidayah menyambut antusias gelaran tersebut. Mereka menguc
Brandon bergerak gelisah di atas pembaringannya. Ia merasa seperti ada satu bagian di dalam hati kecilnya yang terus meronta-ronta.Jam didinding kamar yang dirinya tempat telah menunjukkan pukul 3 dini hari, tapi sejak selesainya doa bersama untuk kehamilan Tatiana, ia sama sekali tak bisa beristirahat. Matanya terus terjaga, tak mau terpejam barang sedetik pun.“Gue kenapa sih?” Monolog Brandon, bertanya pada diri sendiri. Ia kebingungan. Apa yang dirinya rasakan sungguh aneh.Lingkungan disekitarnya tidak-lah sunyi. Telinganya bahkan dapat menangkap suara orang yang sedang mengaji, tapi mengapa ia seakan merasakan kehampaan. Terdapat lubang kosong yang menariknya masuk, seakan menjadikannya satu-satunya manusia yang tersisa di bumi.Brandon semakin tidak tenang karena berada sendirian di dalam kamar. Ia memilih bangkit, menuruni tempat pembaringannya. Ia harus mencari keramaian agar tak terus merasakan kesunyian.Kehampaan dan kesunyian yang menghampirinya begitu menyiksa. Mungkin
Brandon cucunya, Mbah...“Brandon?!” Gumam Kristina— Mama Brandon. “Ah, yang punya nama Brandon kan bukan anak nakal itu aja kan, ya?!”Soraya mengangguk. Sama seperti nama putrinya, di dunia ini ada banyak gadis yang memiliki nama serupa.“Tapi itu suara Mbah Yai, Mah, Tan..” Tatiana ikut menimbrung. Ia mengenali suara yang terdengar. “Umi.. Mas Khoir memang punya saudara yang namanya Brandon juga?!”“Ndak, tuh, Ti. Sepupu-Sepupu Khoir ndak ada yang namanya Brandon Immanuel. Dari pihak Umi juga ndak.” Karena meski tidak ke-arab-arab-an, tetap tidak ada satu pun diantara keponakannya yang memiliki nama belakang Immanuel.“Immanuel?!” Pekik Tatiana, Soraya dan Kristina bersamaan.“Loh, iya.. Itu barusan disebut sama Mbah mu..” Tiga wanita berkerudung beda warna itu tertegun. Ada banyak Brandon Immanuel, tapi yang berada di lingkungan pondok Al Hidayah pasti hanya satu orang.Kamu sadar saat membuat keputusan ini? Apakah ada pihak lain yang memaksa kamu?Saya sadar, Mbah. Keputusan ini
“Biar gue aja yang ngomong ke Nando. Lo tau beres aja, Ti.”“Ashiaap!” jawab Tatiana, melengkingkan nadanya. Ia akan menyiapkan gendang telinganya baik-baik, memastikan jika otak cerdiknya dapat memahami setiap kalimat yang keluar dari mulut sahabatnya.Mari kita lihat, bagaimana cara Brandon menjaga Zahra. Apa yang akan sahabatnya katakan pada Nando— Kakak tingkat sekaligus Ketua BEM Universitas mereka. Setahu Tatiana keduanya memang saling mengenal. Beberapa kali Brandon terlihat mengobrol dengan anak teknik itu saat mereka berada di kelab malam.“Gue mau ketemu Nando. Lima menit.” Ucap Brandon pada sekelompok anak BEM yang menjadi panitia ospek. “Masih di sini kan dia?”“Siapa yang nyariin gue?”Suara maskulin Brandon rupanya terdengar sampai ke dalam ruangan. Keduanya tak perlu bersusah payah melobi para kakak tingkat yang pastinya menyulitkan pergerakan.“What&r
Tragedi ngidam bakso homemade menjadi pelajaran tersendiri untuk Brandon. Pemuda itu tidak akan pernah menerima kebaikan hati suami sahabatnya. Selelah apa pun dirinya, keinginan ia harus melakukan sesuai dengan keinginan Lord Tatiana.Gara-Gara Tatiana, saldo rekening Brandon menjadi sangat mengenaskan.Pemuda itu dihukum tak mendapatkan santunan dari orang tuanya selama satu bulan penuh. Belum lagi ceramahan di setiap sisi yang merusak gendang telinganya. Brandon kapok! Benar-benar kapok.Tatiana adalah sebenar-benarnya trouble maker. Kehamilan perempuan itu mendukung untuk melakukan penindasan terhadap pria-pria lemah. Terutama Brandon dan Khoiron. Sekarang keduanya bagaikan pengikut setia Tatiana. Macam-Macam sedikit, para pelindung Tatiana yang akan turun tangan.Bayangkan saja, sikap un-rasional Tatiana didukung oleh dua generasi sebelumnya. Tiga pasang orang tua dan generasi lainnya adalah Kyai Dahlan&mdash
Menemani Khoiron memasak bakso?Zzz…Air liur Tatiana menjadi saksi dari ucapannya saat melepas kepergian sang suami.Tiga puluh menit wanita itu bergulat dengan antusiasmenya sendiri. Terus berceloteh tentang betapa gentle-nya Khoiron pada adik iparnya. Namun tak berselang tiga puluh menit dari kepergian Khoiron, matanya terpejam untuk mengarungi indahnya alam mimpi.Hal tersebut sampai membuat Zahra terperangah. Pasalnya suara kakak iparnya perlahan-lahan menghilang, tergantikan oleh dengkuran halus.Ternyata, oh, ternyata— wanita cantik yang memiliki usia satu tahun di atasnya itu terlelap.Memastikan jika sang kakak tidak akan asal-asalan dalam memenuhi permintaan ngidam keponakannya, Zahra pun memberitahukan kondisi Tatiana saat ini. Kakaknya memiliki banyak waktu untuk berbelanja sehingga tak perlu terburu-buru.“Selamat bobok, Mbak Tiana, ponakannya Tante. Nanti kalau Papa Khoir udah pulang,
Rasa nyaman Tatiana rasakan saat Khoiron membelai perutnya. Pria itu sedang membacakan sebuah surat dikala Tatiana sibuk menggulirkan layar ponselnya.“Adem banget liatnya ya, Pah. Dulu waktu Mama hamil Tiana, Papa nggak pernah kayak Khoiron.” Ucap Soraya membuat Januar menatap istrinya dengan tatapan bersalah.Januar jelas berbeda dengan menantunya. Pemuda itu diasuh dan diberikan asupan pendidikan agama sedari kecil, sedangkan dirinya hanyalah pemuda salah gaul yang hanya mengerti cara mempertahankan bisnis orang tuanya.“Maaf ya, Mah. Dulu waktu kita baru-baru nikah, Papa masih anak begajulan kayak Brandon.”“Loh! Om! Kok Brandon dibawa-bawa sih!” Potong Brandon cepat, masuk ke dalam pembicaraan. Sedari tadi dirinya anteng membaca buku. Tahu akan diseret pada hal-hal keji dirinya tidak akan menetap usai belajar mengaji bersama abangnya.“Kamu contoh paling deket, Bran.. Masa Papamu?! Papamu mudanya anak
“Mas.. Adek pinjem HP-nya dong.”Selayaknya remaja kebanyakan yang memang suka sekali menunjukkan hasil kemenangannya, Tatiana ingin membuat memberikan hadiah terakhir untuk Mutia. Meski tidak bisa melihat ekspresi dosennya secara langsung, setidaknya ia bisa menambah kekesalan yang ada pada dirinya.“Boleh buat story IG kan, Mas?”Sejak mereka terbang, segelintir ide-ide jahil berhamburan di otaknya. Berhubung mereka masih ada di bandara, Tatiana akan menyematkan lokasi mereka.“Boleh.. Tapi nggak boleh muka Adek, ya.. Takut ain, Sayang.”Tatiana mengangguk. Itulah sebab mengapa media sosial suaminya tidak pernah mengunggah potret siapa pun. Meski memiliki banyak pengikut, media sosial suaminya terkesan seperti akun tanpa awak. Tidak ada postingan selama beberapa waktu ini. Terakhir suaminya mengunggah kata-kata, meminta doa restu atas pernikahan mereka.“Foto bandaranya kok, Mas.”Brandon yang mengerti akal bulus Tatiana menggelengkan kepalanya. Sahabatnya itu pasti ingin mencari ke
“Lifah, kamu liat sendiri kan?! Dua anak itu pinter banget bersilat lidah. Mereka bener-bener manipulatif, Lif.”Khalifa geram— bahkan menggunakan mata telanjang sekali pun, orang lain akan mengetahui siapa sosok yang ciri-cirinya sedang Mutia sebutkan.Plak!“Sadar, Mut! Sing eling jadi manusia!”Tidak pernah Mutia bayangkan sahabatnya akan menampar dirinya. “Fah.. Jangan bilang kamu percaya sama kata-kata mereka?!” Memegangi bekas tamparan Khalifa, Mutia bertanya dengan wajah sarat akan kesedihan.“Kalau aku nggak percaya, bisa kamu sebutin alasan apa yang membuat kamu ngerengek minta diantar ke sini?!”“Penelitian, Fah.. Apa itu nggak cukup?!”“Seperti kataku, Mut. Penelitianmu bahkan nggak menguntungkan pihak yayasan kamu.” Sepertinya disini dirinyalah yang bodoh. Khalifa merasa menjadi manusia dengan otak yang dangkal sekarang. “Kampusmu yayasan katolik, Mutia. Untuk apa mereka menyetujui penelitian tentang perilaku santri?! Ada banyak penelitian yang lebih berkaitan dengan dunia
“Umi, Tiana mau tunggu Mas Khoir.”“Kamu ini, Nduk. Ya wis.. Zahra temenin Mbak Mu. Umi, Mbah, sama Abi pulang dulu.” Pesan Umi Aisyah sebelum meninggalkan kedua anak perempuannya di pelataran masjid.Abinya sempat mengatakan jika Khoiron sedang berbincang dengan pengurus ponpes di dalam. Tatiana tidak ingin meninggalkan suaminya, seperti Khoiron yang selalu menunggu saat dirinya keluar terlambat.“Duduk aja ya, Mbak. Jangan berdiri terus.” Ujar Zahra. Gadis itu membimbing kakak ipar kesayangannya untuk menduduki kursi tak jauh dari mereka.Kapala Tatiana menangkap sosok yang membantunya. “Kamu sini...” panggilnya membuat segerombolan santriwati menghampirinya.“Dalem, Ning.”“Kamu ke Ndalem ya... Bilang aja ke Umi disuruh saya. Minta di ambilin 5 kotak cake. Terserah Umi yang mana aja gitu.” Ia ingat janjinya, tapi tak bisa segera pulang karena suaminya belum terlihat.“Nggih, Ning Tiana. Ning mari..” Pamit mereka sebelum berlalu.Sepuluh menit Tatiana menunggu dan Khoiron beserta Br
“Mbak Lia, hati-hati. Kata temen ku yang tadi tugas di Ndalem, Mbak yang itu pelakor.”“Pelakor?”“Iya, Mbak.. Dia kesini mau godain Gus Khoir katanya.”“Hus,” Lia menyentuh punggung tangan juniornya di pondok, “ndak boleh suudzon,” ucapnya, memperingati agar tidak berpikiran buruk. Bagaimanapun juga, mereka merupakan tamu sang guru.“Serius, Mbak. Dia denger sendiri waktu tamunya ngobrol. Sampai nggak habis pikir loh temen ku.”“Wis-Wis.. Ayo kita ke masjid. Sebentar lagi adzan magrib.” Ajak Lia. Tidak ada yang perlu dirisaukan dari para tamu tersebut. Ia yang pernah mencoba peruntungan dengan tanpa malunya saja tidak berhasil. Gus mereka bukan laki-laki yang mudah digoda. Beliau begitu mencintai Ning Tatiana.Melewati Khalifa dan Mutia, Lia beserta santri lainnya menundukkan kepala. “Amit, Mbak.” Ucap mereka sopan sedikit membungkuk.“Kalian mau shalat di masjid ya?”“Betul, Mbak.” Jawab Lia mewakili adik-adiknya.“Kami boleh bareng?”“Monggo silahkan.”Di depan pagar masjid yang me
Mutia— Dosen yang mengampu salah satu mata kuliah Tatiana itu dengan percaya dirinya memperkenalkan diri. “Saya rekan mengajar Pak Khoiron di Jakarta, Pak Kyai, Bu Nyai.”“Oh, begitu.” Umi Aisyah menjadi orang pertama yang menanggapi perkenalan terlambat Mutia. “Dosennya menantu saya juga kan ya?” Beliau mempertanyakan apa yang terlewat untuk diperkenalkan wanita yang menjadi tamunya.“Ben-Benar..”“Wah, kebetulan sekali ini.” Menyematkan senyuman, Umi Aisyah lantas menanyakan bagaimana Tatiana ketika di kampus. Dan sebuah hal tidak terduga justru menjadi jawaban dari mulut Mutia.“Sebelumnya saya ingin meminta maaf, Bu Nyai. Bukan maksud saya menjelek-jelekkan. Saya hanya ingin berterus terang tanpa kebohongan. Kalau ditanyakan bagaimana Tatiana, menantu Bu Nyai cukup bermasalah di kampus. Dia anak nakal.”Tatiana mengepalkan jari-jarinya. Brandon ternganga dan Khoiron sendiri terdiam dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di dalam otaknya. Sedang anggota keluar lain yang mendengar