"Kenapa kamu nggak segera mencari tumbal itu? apa kamu mau melarat terus-menerus.""Maaf Mbah! saya tidak tega melakukan itu. Tapi saya janji akan mencari gantinya." Atika sedikit ketakutan karna ternyata Mbah Rondo berubah wujud. Badanya, yang tadi utuh seketika kepalanya terlepas, dari badanya. Usus beserta organ dalamnya bergelantungan, dan itu sangat membuat Atika merasa ketakutan."Aaaaakh," buk! ibu kenapa?" Mail menguncang-guncangkan tubuh ibunya."Huhh," Atika membuang napas kasarnya. Dan ternyata ia mimpi lagi. " Ibu nggak apa-apa nak. Sudah jam berapa ini?" Tanya Atika."Sudah malam buk." Jawab Mail. Atika menijit-mijit kepalanya, pantas saja ia mimpi buruk. Ternyata ia ketiduran dari mulai sore tadi."Buang anak itu buang." Pekik warga, yang berbondong-bondong melewati rumah Atika. Atika dan Mail, yang mendengar suara keributan itu segera keluar rumah untuk melihatnya."Ada apa itu berisik-berisik?" Atika segera membuka pintu. Betapa terkejutnya saat melihat Sandi diarak sa
"Kenapa kamu nggak segera mencari tumbal itu? apa kamu mau melarat terus-menerus.""Maaf Mbah! saya tidak tega melakukan itu. Tapi saya janji akan mencari gantinya." Atika sedikit ketakutan karna ternyata Mbah Rondo berubah wujud. Badanya, yang tadi utuh seketika kepalanya terlepas, dari badanya. Usus beserta organ dalamnya bergelantungan, dan itu sangat membuat Atika merasa ketakutan."Aaaaakh," buk! ibu kenapa?" Mail menguncang-guncangkan tubuh ibunya."Huhh," Atika membuang napas kasarnya. Dan ternyata ia mimpi lagi. " Ibu nggak apa-apa nak. Sudah jam berapa ini?" Tanya Atika."Sudah malam buk." Jawab Mail. Atika menijit-mijit kepalanya, pantas saja ia mimpi buruk. Ternyata ia ketiduran dari mulai sore tadi."Buang anak itu buang." Pekik warga, yang berbondong-bondong melewati rumah Atika. Atika dan Mail, yang mendengar suara keributan itu segera keluar rumah untuk melihatnya."Ada apa itu berisik-berisik?" Atika segera membuka pintu. Betapa terkejutnya saat melihat Sandi diarak sa
"Ternyata Dini belum juga lahiran. Lama bila harus menunggu dia, bisa-bisa Mbah Rondo ngamuk," Gumam Atika."Kalau begini lebih baik kita ajukan rujukan saja. Bahaya kalau nunggu lebih lama lagi," Ucap bidan muda, cantik itu."Nggak, saya nggak mau operasi. Saya takut," Pekik Dini."Gimana ini Mbah?" Tanya Bidan muda itu. Ia binggung, sedangkan pembukaan terus masih buka 5. "Lebih baik kamu operasi saja nduk. Semua demi kebaikan anakmu." Bujuk Mbah Karsem."Kok jadi Mbah, yang ngatur! kan, yang lahiran saya," Bentak Dini. Sembari menahan sakit."Gimana apa Dini sudah lahiran," Wanita paruh baya, yang gayanya elit datang menghampiri mereka. Siapa lagi kalau bukan Mamanya Dini, dan Yuni."Ini buk! Dininya nggak mau dioperasi. Sedangkan pembukaan masih terus 5. Tapi dia nggak sanggup menahan sakit. Kamu jadi binggung, kalau dia teriak-teriak terus." Jelas bidan muda, yang bernama Ranti itu."Ma! Dini nggak mau operasi Ma. Dini takut," Ucap Dini. Sembari menahan Isak tanggis nya."Kamu
Suara oranng-orang membaca Yasin sudah terdengar. Semua orang sudah pada datang untuk melayat, kerumah Dini."Kamu dirumah saja ya nak. Ibu mau melayat dulu " Ucap Atika. Ia segera memakai kerudungnya."Ibu cantik sekali kalau tiap hari pakai gitu." Ucap Mail."Kamu bisa aja nak. Makasih ya! Udah bilang ibu cantik." Atika tersenyum, dan sedikit tersipu. Selama menikah, dengan Daut belum pernah dirinya dipuji seperti itu."Ningsih sudah Dateng belum ya! aku males disana kalau nggak ada kawan. Apalagi kalau ada Mirna. Untung juga Yuni nggak ada kalau ada pasti bakal diusir sekalian aku," Gumam Atika.Sesampainya disana Atika langsung duduk disebelah kanan pojok. Matanya tertuju kepada Diwan. Namun karna suasana sedang, lagi mendung-mendungnya Diwan sama sekali tidak begitu melirik Atika. Ia malah fokus untuk menenangkan Dela, ibu mertuanya."Kamu sudah lama?" Tanya Ningsih, yang baru saja datang."Baru aja kok. Oh iya nanti si Dini mau dimakamkan kemana?" Atika sedikit keceplosan."Kamu
"Sepertinya Mail sudah tidur. Aku harus segera menyanggupi persugihan itu. Aku nggak mau Mail, anakku menjadi korban atas keegoisanku," Gumam Atika.Atika segera pergi meninggalkan rumahnya, dan berjalan ditengah gelapnya jalan kearah pemakaman."Kira-kira ada yang berjaga nggak ya? apalagi kemarin udah ketauan kalau makam Karin aku bongkar. Ah, tapi aku nggak bisa menunda lagi. Aku harus nekat, dan harus tetap menjalankannya." Gumamnya.Setelah sampai tepat didepan makan Dini. Atika segera mencangkul tanah itu. Ia sudah membawa cangkul dari rumahnya sendiri. Ia juga sengaja hanya membawa senter mini agar cahayanya tidak begitu terang, dan tidak diketahui orang."Whusss!" Angin semilir lewat dari tengkuknya. Dan itu membuat bulukuduk Atika berdiri seketika. Dengan susah payah, dan dengan tenaga dalam Atika mencangkul tanah, yang begitu lembab. Karena Musim hujan."Sudah mati saja masih merepotkan. Kenapa kemarin kamu mati nggak ninggalin ari-ari bayimu." Gumam Atika."Ti!" Terdengar s
"Hduhhh! rasanya tulangku remuk semua,", Lirih Atika saat bangun pagi. Ia membuka pintu depan rumahnya. Matanya tertuju kepada bercak darah, yang tercecer dihalaman rumahnya."Darah!" Mata Atika seketika membulat. Menyaksikan darah, yang berceceran, namun sudah sedikit mengering. Warnanyapun sudah hampir memudar karena terkena air hujan tadi malam."Aku harus cepat-cepat menghilangkan darah itu. Malah arahnya mengarah kerumahku lagi. Untung saja aku melihatnya." Gumamnya. Ia segera menaburkan ceceran darah itu menggunakan pasir. Agar tidak terlihat lagi."Atika!" Panggil seseorang dari belakangnya. Saat ia sudah selesai. " Deg, jantungnya berdenyut ada rasa takut, saat ingin menoleh."Aku mau nempah baju. Katanya kamu pintar menjahit.""Bu Ambar!"Jawab Atika. Ternyata, yang datang Ambar istri kepala desa."Gimana bisa?" Tanya Ambar lagi."Bisa sih buk! tapi," "Tenang bahanya saya yang beli. Dan ini DP nya saya kasih," Ucap wanita itu. Sembari memberikan sebuah amplop putih berisi ua
"Kamu nggak ikut mandikan Dini?" Tanya Ningsih. "Nggak, ah. Jijik aku." Ucap Atika. Sebetulnya bukanya jijik. Ia hanya malas saja. Bila melihat zenazah Dini. "Jangan gitulah. Diakan sudah nggak ada. Kalau nggak kita, yang mandikan siapa lagi?" "Kalian sajalah! aku males." Jawab Atika. Ia malah pergi begitu saja."Atika! Kamu nggak ikut kedalam?" Tanya Diwan."Nggak," Jawab Atika datar. Ia berusaha mencoba menghindar dari Diwan."Tunggu!" Tangan Diwan menangkap lenganya."Kenapa?" Atika tidak menoleh. "Kamu kenapa berusaha terus menghindar?" Akhirnya Diwan buka mulut."Maaf Wan! jangan seperti ini. Malu dilihat orang." Akhirnya Atika berani menoleh, kearah Diwan."Aku cuma tanya! kenapa kamu menghindar? aku punya salah?" "Nggak apa-apa. Aku cuma nggak mau menjadi perusak hubungan orang!""Sudahlah. Nanti aku jelaskan. Sekarang bukan waktu, yang tepat," Ucap Diwan. Atika berusaha menelan Salvianya. Ada perasaan, yang tidak dapat dibendung disana. Tapi ia sadar ia bukan tipe Diwan.
"Sebulan kemudian""Lihat Atika dia udah beli bahan bangunan. Uang dari mana ya?" Nyinyir Mirna. Tak sengaja melihat rumah Atika sudah dipenuhi bahan-bahan bangunan."Palingan warisan," Jawab Yuni. "Atau jangan-jangan dikasih sama Diwan, suami kamu!" Ketus Mirna."Apaan sih! kok suamiku. Mana mau suamiku sama dia." Pekik Yuni."Kan kamu, yang fitnah dia kalau dia ada main sama suamimu! bisa jadi kan memang benar," Ketus Mirna."Suamiku nggak seperti itu ya, Mir," Yuni mulai kesal. Dengan ucapan Mirna."Makanya Yun. Kalau suami udah bek, jangan difitnah. Lihat sekarang kayaknya jadi kenyataan deh." Tambah Mirna lagi."Kamu kok malah nyalahin aku?" Bentak Yuni."Kamu ngapain marah sama aku? emang benar kok, yang aku bilang. Kamu sudah fitnah mereka," Pekik Mirna. Tak terima dirinya dibentak Yuni."Tapi nggak usah nyalahin aku lah. Terserah ku Mail fitnah kayak mana. Nggak ada ruginya sama kamu kan?" "Sombong. Bentar lagi pun kamu bakal dicerai sama suamimu," Ucap Mirna lagi."Plak!" S
"Aku kecewa sama Mama!" Pekik Yuni. Airmatanya menetes begitu derasnya."Maafkan Mama Kak. Mama terpaksa melakukan ini, karna nggak da jalan lain. Papamu pergi meninggalkan kita, mama nggak rela hidup tanpa harta Kak." Lirih Dela. Ia ingin sekali meyakinkan Yuni, agar Yuni bisa mengerti kondisinya."Sekarang aku tau, siapa dibalik pembongkaran makam Dini!" Yuni menepis tangan Dela."Maafkan Mama, Mama hanya ingin memperdaya Atika. Kamu tau, kan kalau Papamu itu lebih memilih mereka dibanding kita.""Tapi nggak harus mengorbankan Dini juga Ma!" Pekik Yuni. Ia tidak terima adiknya disakiti oleh siapapun, ia sangat menyayangi Dini adiknya."Mama tau Mama salah. Tapi Maam menyesal." Kalau Atika tidak mencari tumbal untuk Mama, maka Mama, dan kamu yang akan celaka Kak.""Maksut Mama apa sih? Yuni nggak ngerti Ma. Yuni nggak abis fikir dengan jalan pikiran Mama."Dela menunduk. Sejak awal memang ia tidak menyukai Diwan, karna Diwan itu orang yang tidak punya, dan apa adanya. "Mama nggak beg
"Sayang, sadar." Diwan mencoba membuka jemari tangan Atika yang terkepal sangat kuat. "Lepasin! lepasin saya, hahahahaa." Atika malah tertawa terpingkal-pingkal. Dan itu sangat membuat Diwan merinding, seluruh bulukuduknya naik."Siapa kamu? kenapa kamu mengusil istri saya?" Tanya Diwan lagi."Kamu tidak perlu tau siapa saya! hanya istrimulah yang tau siapa saya!" "Astaghfirullah, kamu mau saya, kasih hadiah?" Mulut Diwan mulai membacakan ayat suci Al-Quran, dan tanganya tetap memijit jari-jari Atika yang terkepal."Hahahaha," Seluruh tubuh Atika bergetar hebat, dan mengambang diatas Awang. Diwan sangat merasa panik, karna takut Atika akan terjatuh."Brukkkk," Benar saja Iblis itu menjatuhkan tubuh Atika, tepat dimeja kaca."Katakan siapa kamu? kamu jangan main-main dengan saya!" Bentak Diwan. Dilihatnya kepala Atika sedikit terluka akibat terkena sudut meja."Kasih saya tumbal yang saya mau! baru saya, akan menjawab siapa saya!" Diwan mencerna suara itu, sepertinya ia mengenali sua
"Mas, aku heran deh, siapa yang bawa Mail kesana?" Ucap Atika."Mas, juga heran. Setau kita Mail nggak pernah tau jalan kerumah Daut." Jawab Diwan."Apa sih maksut Daut? ngapain dia ambil Mail?" Ucap Atika kesal."Mungkin bukan dia yang ngambil sayang. Mungkin memang Mail kesana sendiri, atau mungkin dia selama ini tau alamat Daut.""Nggak Mas. Mail nggak akan tau itu, karna memang dia nggak pernah nanyak soal bapaknya!""Lalu apa tujuan kamu sayang? setelah ini?""Biarkan saja dulu Mas. Aku yakin Daut pasti ada maksut sesuatu, dan kita nggak boleh gegabah. "Tok, tok, tok," Suara kentongan mulai berbunyi lagi dari luar. Para warga beramai-ramai membawa obor."Mereka pasti mau cari anak Ijah Mas." "Iya. Mas, tau dari pas ngelayat tadi. Tapi masa iya mereka bilang anak Ijah diculik setan kepala." Ujar Diwan. "Mereka salah faham kayaknya Mas, soalnya mereka nggak liat langsung kok. Hanya dugaan mereka saja.""Mas masih penasaran sayang." "Penasaran apa?""Penasaran sama keberadaan Mb
"Pak kalau boleh tau siapa yang meninggal?" Tanya Atika, saat ia keluar dari rumah pagi itu."Ijah Ti. katanya komplikasi." Ucap lelaki itu."Ijah? Ijah Istrinya Anto?" Tanya Atika kaget."Iya tadi malam, selesai lahiran ninggalnya.""Gimana dengan anaknya pak?" "Anaknya baik-baik saja. Tapi," Lelaki itu menghentikan ucapanya."Tapi kenapa pak?" Atika semakin penasara."Anaknya dicuri sama setan yang hanya kepala Ti!" Ucap Lelaki itu lagi."Setan kepala? maksutnya gimana pak?" "Tadi malam kami ribut-ribut memukul kentongan itu mencari keberadaan anak Ijah, yang dicuri setan kepala, tapi Sampai pagi ini nggak ada titik terangnya."Atika semakin heran, dan sedikit bertanya-tanya. Ia menelan ludahnya dengan sangat susah. "Terimakasih Pak." Atika langsung kembali kerumahnya."Apa ini kerjaan Mbah Rondo? aku memang sudah waktunya memberikan tumbal. Tapi kenapa Mbah Rondo melakukan ini? bukan cuma ari-ari saja yang diambilnya tapi bayinya juga. Keterlaluan Mbah Rondo!" Pekik Atika kesal.
Ijah terus meringkuk kesakitan diperutnya. Keringat dingin sudah mencucuri seluruh tubuhnya, Bayinya juga tidak kunjung keluar. Mbah Karsem, beserta bidan yang dipanggil Atika tampak kebinggungan, dan kawalahan."Sakit Mbah!" Pekik Ijah. Ia sedari tadi terus menjerit kesakitan. Wajar jika sakitnya dua kali lipat dibanding lahiran normal biasanya."Masih sakit sekali ya perutmu?" Tanya Mbah Karsem."Masih Mbah, ini sakit sekali dan aku nggak kuat Mbah." Lirih Ijah."Gimana ini bayinya belum mau keluar juga." Ucap Mbah Karsem. "Ayo di ejankan pelan-pelan ya Mbak. Ini pembukaannya sudah lengkap kok." Ucap bidan itu."Saya nggak bisa Mbak. Ini sakit sekali.""Ayok dikit lagi kepalanya sudah kelihatan kok," Ucap Mbah Karsem. "Semangat Jah. Kamu harus bisa, kasian anakmu, kalau kamu lemah.""Owe, owe, owe," Alhamdulilah, akhirnya lahiran juga. Bayinya sehat, perempuan." Ucap Mbah Karsem. "Bayi Ijah sangat bersih, dan putih, walupun lahir perematur namun bayinya sepertinya kuat."Kepala s
"Jadi kamu pernah mau diperkosa?" Diwan menyusul Atika masuk kedalam kamar mereka.Dikilitnya Atika duduk didepan cermin besar kesayangannya. "Untuk apa kamu nanyak lagi Mas? kamu masih nggak percaya juga?" "Mas, percaya kok. Mas, hanya kasihan denganmu. Sudah ditinggal kawin oleh Daut, eh malah si Anto mau melakukan itu kepada kamu. Seandainya Mas, yang jadi Daut, sudah Mas, hajar itu Anto!"Atika hanya tersenyum kecil, mendengar ucapan Diwan suaminya."Kalau Ijah nggak bekerja lagi, siapa yang akan menggantikan dia Mas?"Tanya Atika. "Sebaiknya nggak usah ada lagi pekerja dirumah ini sayang. Biarkan Mas, saja yang membantu kamu.""Nggak bisa Mas! harus ada. Kamu tau kan, kalau pekerjaan dirumah ini nggak akan ada habisnya." "Terserah kamu. Mas, ngikut apa katamu Saja. Tapi Mas, minta tolong jangan pernah berbuat seperti itu lagi. Kasian Ijah dia jadi seperti itu. Seharusnya kita bertanggung jawab atas apa yang menimpa Ijah sayang.""Aku tau Mas, aku cuma menggertak Anto saja tadi.
"Gimana ini? kalau aku nggak ada biyaya, aku harus terima tawaran Yuni? Ahhhh, konyol sekali. Aku sudah cacat, mana mau Atika denganku walaupun hanya berpura-pura pun mungkin ia sangat jijik denganku." Ucap Daut.Ia segera meraih ponselnya, dan mencari nomor kontak Yuni yang masih tersimpan di hpnya."Ada apa?" Sahut Yuni dari sebrang, benar saja ia belum mengganti nomornya."Aku terima tawarnmu," Ucap Daut. "Kamu yakin? kenapa kamu nggak bilang dari semalam?""Aku sebetulnya nggak yakin kalau Atika mau kembali kepadaku, setelah apa yang aku perbuat Yun.""Gampang! kamu bisa perkarakan soal anakmu saja. Kamu kan masih ada anak, yang bisa kamu peralat." "Tapi, mana mungkin aku mengorbankan anakku." "Bisa saja. Asal kamu mau.""Aku akan coba Yun. Tapi setelah aku sembuh, dan keluar dari sini." Ucap Daut."Kamu harus berhasil merebut istrimu kembali, agar aku bisa mendapatkan suamiku kembali. Aku masih nggak rela mereka hianati." Lirih Yuni."Bukankah kamu sendiri yang bilang?" "Iya
"Mail, kamu kenapa nak?" Tanya Diwan. Matanya tertuju kearah Mail, yang sedang menangis dibelakang pintu dapur."Nggak papa Yah." Jawab Mail pelan. Ia tidak Berani mentap Diwan. "Astaghfirullah, kaki kamu kenapa nak?" Mata Diwan dikejutkan dengan luka lebam, disekujur betis Mail."Aw, sakit Yah," Lirih Mail, saat Diwan menyentuh betisnya."Ini siapa yang melakukanya?" Tanya Diwan serius. Ia memeluk tubuh munggil Mail.Mail terdiam, ia sangat takut untuk menjawabnya. Ia tidak mau ibunya bertengkar dengan Ayahnya karna pengaduannya."Mail jatuh Yah," Jawab Mail. Ia menundukan pandanganya."Bohong! jawab, siapa yang buat ini?" Tanya Diwan lagi. Ia sangat menyayangi Mail, ia tidak rela jika Mail disentuh oleh siapapun, walaupun ibu kandungnya sendiri."Mail nggak bohong Yah." Jawab Mail lagi, namun tiba-tiba airmatanya mengalir."Ibu yang melakukan ini kan? Mail, lihat ayah! Ayah selalu mengajarkan Mail agar tidak berbohong, karna berbohong itu adalah perbuatan dosa. Jadi jawab Ayah, sia
"Bagaimana Pak? apa sudah bisa dilunasi biyaya oprasinya?" Tanya Dokter itu lagi. "Sebentar ya Dok, saya mau hubungi keluarga saya dulu." Jawab Daut. Ia kebinggungan, kepada siapa ia harus meminjam uang. Sedangkan tabunganya juga nggak cukup untuk biyayanya."Nggak ada jalan lain. Aku terpaksa meminjam uang kepada Atika. Mudah-mudahan dia mau meminjamkan aku uang, lagian tanah yang ia gunakan masih tanahku, dan atas namaku juga." Gumamnya.Ia segera mengambil ponselnya, dan mengirimkan sms kepada Atika, berharap ada balasan dan Atika belum mengganti nomornya."Mas Daut?" Mata Atika membulat ketika ia melihat isi pesan, dari Daut."Siapa sayang?" Tanya Diwan. Namun tidak melihat kearah Atika, karna ia fokus menyetir."Bukan siapa-siapa sayang. Ini Rasti mau pinjam uang.""Rasti? pinjam uang lagi? kok aneh ya, dia pinjam uang terus. Kemaren juga dia minjam sama Mas," Ucap Diwan keceplosan."Dia minjam yang sama kamu Mas? kapan? kok aku nggak tau?" "Kemarin itu sekali." Jawab Diwan lag