"Ternyata Dini belum juga lahiran. Lama bila harus menunggu dia, bisa-bisa Mbah Rondo ngamuk," Gumam Atika."Kalau begini lebih baik kita ajukan rujukan saja. Bahaya kalau nunggu lebih lama lagi," Ucap bidan muda, cantik itu."Nggak, saya nggak mau operasi. Saya takut," Pekik Dini."Gimana ini Mbah?" Tanya Bidan muda itu. Ia binggung, sedangkan pembukaan terus masih buka 5. "Lebih baik kamu operasi saja nduk. Semua demi kebaikan anakmu." Bujuk Mbah Karsem."Kok jadi Mbah, yang ngatur! kan, yang lahiran saya," Bentak Dini. Sembari menahan sakit."Gimana apa Dini sudah lahiran," Wanita paruh baya, yang gayanya elit datang menghampiri mereka. Siapa lagi kalau bukan Mamanya Dini, dan Yuni."Ini buk! Dininya nggak mau dioperasi. Sedangkan pembukaan masih terus 5. Tapi dia nggak sanggup menahan sakit. Kamu jadi binggung, kalau dia teriak-teriak terus." Jelas bidan muda, yang bernama Ranti itu."Ma! Dini nggak mau operasi Ma. Dini takut," Ucap Dini. Sembari menahan Isak tanggis nya."Kamu
Suara oranng-orang membaca Yasin sudah terdengar. Semua orang sudah pada datang untuk melayat, kerumah Dini."Kamu dirumah saja ya nak. Ibu mau melayat dulu " Ucap Atika. Ia segera memakai kerudungnya."Ibu cantik sekali kalau tiap hari pakai gitu." Ucap Mail."Kamu bisa aja nak. Makasih ya! Udah bilang ibu cantik." Atika tersenyum, dan sedikit tersipu. Selama menikah, dengan Daut belum pernah dirinya dipuji seperti itu."Ningsih sudah Dateng belum ya! aku males disana kalau nggak ada kawan. Apalagi kalau ada Mirna. Untung juga Yuni nggak ada kalau ada pasti bakal diusir sekalian aku," Gumam Atika.Sesampainya disana Atika langsung duduk disebelah kanan pojok. Matanya tertuju kepada Diwan. Namun karna suasana sedang, lagi mendung-mendungnya Diwan sama sekali tidak begitu melirik Atika. Ia malah fokus untuk menenangkan Dela, ibu mertuanya."Kamu sudah lama?" Tanya Ningsih, yang baru saja datang."Baru aja kok. Oh iya nanti si Dini mau dimakamkan kemana?" Atika sedikit keceplosan."Kamu
"Sepertinya Mail sudah tidur. Aku harus segera menyanggupi persugihan itu. Aku nggak mau Mail, anakku menjadi korban atas keegoisanku," Gumam Atika.Atika segera pergi meninggalkan rumahnya, dan berjalan ditengah gelapnya jalan kearah pemakaman."Kira-kira ada yang berjaga nggak ya? apalagi kemarin udah ketauan kalau makam Karin aku bongkar. Ah, tapi aku nggak bisa menunda lagi. Aku harus nekat, dan harus tetap menjalankannya." Gumamnya.Setelah sampai tepat didepan makan Dini. Atika segera mencangkul tanah itu. Ia sudah membawa cangkul dari rumahnya sendiri. Ia juga sengaja hanya membawa senter mini agar cahayanya tidak begitu terang, dan tidak diketahui orang."Whusss!" Angin semilir lewat dari tengkuknya. Dan itu membuat bulukuduk Atika berdiri seketika. Dengan susah payah, dan dengan tenaga dalam Atika mencangkul tanah, yang begitu lembab. Karena Musim hujan."Sudah mati saja masih merepotkan. Kenapa kemarin kamu mati nggak ninggalin ari-ari bayimu." Gumam Atika."Ti!" Terdengar s
"Hduhhh! rasanya tulangku remuk semua,", Lirih Atika saat bangun pagi. Ia membuka pintu depan rumahnya. Matanya tertuju kepada bercak darah, yang tercecer dihalaman rumahnya."Darah!" Mata Atika seketika membulat. Menyaksikan darah, yang berceceran, namun sudah sedikit mengering. Warnanyapun sudah hampir memudar karena terkena air hujan tadi malam."Aku harus cepat-cepat menghilangkan darah itu. Malah arahnya mengarah kerumahku lagi. Untung saja aku melihatnya." Gumamnya. Ia segera menaburkan ceceran darah itu menggunakan pasir. Agar tidak terlihat lagi."Atika!" Panggil seseorang dari belakangnya. Saat ia sudah selesai. " Deg, jantungnya berdenyut ada rasa takut, saat ingin menoleh."Aku mau nempah baju. Katanya kamu pintar menjahit.""Bu Ambar!"Jawab Atika. Ternyata, yang datang Ambar istri kepala desa."Gimana bisa?" Tanya Ambar lagi."Bisa sih buk! tapi," "Tenang bahanya saya yang beli. Dan ini DP nya saya kasih," Ucap wanita itu. Sembari memberikan sebuah amplop putih berisi ua
"Kamu nggak ikut mandikan Dini?" Tanya Ningsih. "Nggak, ah. Jijik aku." Ucap Atika. Sebetulnya bukanya jijik. Ia hanya malas saja. Bila melihat zenazah Dini. "Jangan gitulah. Diakan sudah nggak ada. Kalau nggak kita, yang mandikan siapa lagi?" "Kalian sajalah! aku males." Jawab Atika. Ia malah pergi begitu saja."Atika! Kamu nggak ikut kedalam?" Tanya Diwan."Nggak," Jawab Atika datar. Ia berusaha mencoba menghindar dari Diwan."Tunggu!" Tangan Diwan menangkap lenganya."Kenapa?" Atika tidak menoleh. "Kamu kenapa berusaha terus menghindar?" Akhirnya Diwan buka mulut."Maaf Wan! jangan seperti ini. Malu dilihat orang." Akhirnya Atika berani menoleh, kearah Diwan."Aku cuma tanya! kenapa kamu menghindar? aku punya salah?" "Nggak apa-apa. Aku cuma nggak mau menjadi perusak hubungan orang!""Sudahlah. Nanti aku jelaskan. Sekarang bukan waktu, yang tepat," Ucap Diwan. Atika berusaha menelan Salvianya. Ada perasaan, yang tidak dapat dibendung disana. Tapi ia sadar ia bukan tipe Diwan.
"Sebulan kemudian""Lihat Atika dia udah beli bahan bangunan. Uang dari mana ya?" Nyinyir Mirna. Tak sengaja melihat rumah Atika sudah dipenuhi bahan-bahan bangunan."Palingan warisan," Jawab Yuni. "Atau jangan-jangan dikasih sama Diwan, suami kamu!" Ketus Mirna."Apaan sih! kok suamiku. Mana mau suamiku sama dia." Pekik Yuni."Kan kamu, yang fitnah dia kalau dia ada main sama suamimu! bisa jadi kan memang benar," Ketus Mirna."Suamiku nggak seperti itu ya, Mir," Yuni mulai kesal. Dengan ucapan Mirna."Makanya Yun. Kalau suami udah bek, jangan difitnah. Lihat sekarang kayaknya jadi kenyataan deh." Tambah Mirna lagi."Kamu kok malah nyalahin aku?" Bentak Yuni."Kamu ngapain marah sama aku? emang benar kok, yang aku bilang. Kamu sudah fitnah mereka," Pekik Mirna. Tak terima dirinya dibentak Yuni."Tapi nggak usah nyalahin aku lah. Terserah ku Mail fitnah kayak mana. Nggak ada ruginya sama kamu kan?" "Sombong. Bentar lagi pun kamu bakal dicerai sama suamimu," Ucap Mirna lagi."Plak!" S
"Dasar, wanita penggoda," Pagi itu Yuni tiba-tiba datang, dan memaki Atika."Maksut kamu apa?" Pekik Atika. Ia, yang sedang mengawasi para tukang, yang sedang merenovasi rumahnya terkejut."Kamu kan, yang menghasut suamiku? sampai dia mau mencwraikanku!" Pekik Yuni. "Menggoda? aku ini cuma wanita lusuh, dan nggak cantik sepertimu. Ngapain aku menggoda?" Pekik Atika. Memang nyatanya Yuni lebih cantik dibanding dirinya, yang hanya wanita berdaster."Jelas aku memang cantik, dan kamu masih kalah jauh. Tapi aku yakin, kamu sudah menghasut suamiku.""Cukup ya, Yun. Selama ini kamu menghinaku aku diam, dan nggak pernah melawan. Kok kamu sekarang malah menuduhku lagi,""Jelas, lah! kamu kan dendam, denganku. Kamu marah kan karna aku sudah menghancurkanmu?" Pekiknya. "Aku memang marah! tapi aku nggak pernah menggoda suamimu. Sekarang aku mau tanya. Kenapa kamu sebenci, dan sedendam itu denganku?" Ucap Atika."Kamu mau tau kenapa Saya, dan keluarga saya membencimu?" Tiba-tiba Dela menyahut d
"Ibuk jadikan kerunah Dara?" Tanya Rasti. Ia Baru saja selesai dari pekerjaannya."Jadi. Kamu antar saya kesana ya!" Atika segera bersiap-siap. Mereka berjalan kaki. Karna Atika memang belum ada kendaraan. "Dirumah Dara ada siapa saja?" Tanya Atika basa-basi."Ada suami, dan ibu mertuanya saja sih Bu!" "Selain jalan ini ada jalan potongan lain nggak?" Tanya Atika lagi.Rasti agak binggung, dengan pertanyaan Atika sebenarnya. Seperti ada yang aneh."Nggak ada buk! inj jalan satu-satunya, menuju desa kami.""Begitu!" Atika terus ikut berjalan mengikuti langkah Rasti. Sampai disebuah persimpangan mereka bertemu, dengan suami Dara."Mas, Daranya dirumah ya?" Tanya Rasti."Ada dirumah. Dia mau lahiran, dan ini Mas, disuruh menjemput dukun bayi," Jawab Agus, suami Dara."Ini, Mas. Ibu ini bos kami dikerjaan. Ibu ini mau menjenguk Dara." Ucap Rasti."Ohh, kalau begitu kamu antarkan saja. Ma, mau mnyusul dukun beranak dulu." Ucap Agus. Merekapun langsung melanjutkan perjalanannya. Sampai me