Besanan dengan keluarga pemilik toko besar di Pusat Kota Yogyakarta?
Aku hanya bisa menanggapi kelakar Andini dengan kekehan saja. Sedikit takut membayangkannya, tetapi juga tidak berani menyanggah karena takut disalahartikan oleh Andini. Apalagi kami sama-sama tahu jika si bungsu di keluarga mereka sedang mendekati Risa, adikku.“Sudah dulu, ya, Dila. Aku mau lanjut kerja dulu. Kalau dilanjut teleponnya, bisa lupa waktu aku,” kata Andini setelah cukup lama mengobrol denganku.“Halah, perusahaan punya orang tua Mbak Dini ini,” balasku menggodanya.Andini dan Astuti memang bekerja di kantor pemasaran untuk toko milik orang tuanya. Walaupun usaha itu milik orang tuanya sendiri, tetapi mereka tetap ingin diperlakukan seperti karyawan lainnya.Bahkan, mereka juga meminta posisi dari bawah sesuai dengan kemampuan mereka saat ini. Tidak berniat menggunakan privilege yang sebenarnya bisa sajAku sangat terkejut saat mendengar Mak Ijah dengan panik memintaku tidak memakan nanas potong yang dibawakan oleh Dewi. Padahal ini buat kesukaanku, tetapi gagal masuk ke dalam mulut atas cegahan dari Mak Ijah tersebut. “Mbak Dila kok mau makan buah nanas, sih? Kan, lagi hamil?” katanya sambil berjalan mendekat ke arahku. “Nanas muda lagi ini,” imbuhnya lagi setelah melihat dengan jelas buah potong di tanganku. “Lho, emangnya gak boleh? Tapi ini kiriman dari Mas Denis, Mak.” “Astaghfirullah! Mas Denis gak tau apa, kalau nanas muda itu salah satu makanan yang rawan buat ibu hamil muda kayak Mbak Dila gini,” gerutu Mak Ijah terlihat kesal sekali. Jujur aku cukup syok mendengarnya. Segala pikiran negatif memenuhi kepalaku. Tanganku lekas meletakkan buah kesukaanku itu dengan lemah ke atas meja.‘Maksud Mas Denis apa, sih, kirim buah beresiko ke aku gini?’ monologku dal
Aku masih tidak bergeming melihat Mas Denis pergi dengan wajah marah. Sebelumnya, aku sempat mendengar Mas Denis bermonolog untuk mengancam Dewi. Aku rasa, saat ini Mas Denis hendak menemui Dewi atas kelakuannya yang sudah memberikan buah nanas muda kepadaku, dengan mengatasnamakan Mas Denis. “Mbak Dila, ada apa? Kenapa Mas Denis keluar rumah dengan emosi kayak gitu? Mbak Dila sama Mas Denis gak habis berantem, kan?” Mak Ijah bertanya dengan napas terengah karena sepertinya beliau pun buru-buru sekali menghampiriku. Mak Ijah juga mendekatiku, memeriksa bagian depan hingga belakang tubuhku, seakan memastikan aku tidak kenapa-kenapa.“Mbak Dila kok diam saja?” Mak Ijah gelisah. Aku menggeleng sebelum bisa menceritakan tentang kesalahpahamanku dengan Mas Denis. “Sudah, Mbak Dila duduk dulu aja kalau gitu. Mak Ijah ambilkan air putih.”Aku memang masi
“Kamu tuh kebiasaan banget, deh. Gampang kagetan. Gitu aja udah keselek, kan?”Aku yang baru sembuh dari batuk-batuk akibat tersedak hanya bisa memasang wajah cemberut saat mendengar omelan dari Mas Denis. Padahal jelas-jelas ini akibat dari ulahnya yang kalau bicara sering bercanda, tetapi dengan tampang datar. “Kan, sekarang malah manyun, ngambek. Kayaknya Mas salah mulu, ya, sama kamu.” Aku masih melengos karena bukannya minta maaf, Mas Denis masih saja mengomentari tampangku. “Udah, ah. Jangan marah lagi. Mas minta maaf kalau Mas bikin kamu kaget dan tersedak. Mas gak ada maksud kok. Sekarang kamu lanjutkan makannya, ya? Ini Mas juga temani makan, udah terlanjur kamu ambilkan soalnya.”Melihat aku yang belum bergeming, Mas Denis kembali menegur. “Dik, bisa dengar apa yang Mas bilang?” tandasnya mulai tegas. “Iya,” jawabku sambil menyentuh kemb
“Alhamdulillah, semua bisnis yang keluarga mereka jalani terdeteksi bersih, Dik. Justru mereka sangat teliti hingga pekerjanya pun tidak ada yang bisa korupsi. Selain itu juga termasuk pebisnis yang cukup effort buat mensejahterakan karyawannya untuk mencegah tindak kecurangan.”Lega sekali mendengarnya. Karena mereka termasuk kalangan menengah ke atas, aku jadi khawatir jika sumber pendapatan mereka tidak halal. Kemudian, kembali pada sisi negatif keluarga mereka yang belum juga dijelaskan oleh Mas Denis, tentu saja kembali aku pertanyakan. “Lantas, kalau bukan masalah korupsi, sisi negatif apa, sih, yang sebenarnya ada di keluarga itu?” “Itu tentang masa lalu rumah tangga Pak Bima dan Bu Raya. Jadi, berdasarkan informasi yang didapatkan intel suruhanku, ternyata dulu saat Bu Raya hamil si Abi itu, Pak Bima pernah diam-diam menikah siri dengan karyawannya sendiri hingga hamil bersamaan dengan kehamilan Bu Raya, Dik.”
“Titip Dila, ya, Bu. Kebetulan di rumah lagi gak ada yang bisa nemenin Dila sewaktu Denis tinggal ke kantor. Denis khawatir kalau Dila di rumah sendirian, apalagi nanti Denis lembur sampai malam. Nanti malam Denis jemput sepulang kerja.” “Iya, Nak Denis. Santai saja sama Ibu. Dila aman kok di sini. Nak Denis fokus saja sama kerjanya. Kalau nanti malam gak sempat jemput, biarin Dila menginap di rumah Ibu.” “Makasih, ya, Bu, tapi nanti malam Denis pasti jemput Dila.” “Ya sudah, terserah Nak Denis saja.”Setelah selesai menitipkan aku kepada Ibu, Mas Denis berpamitan kepada kami untuk berangkat ke kantor. Di rumah hanya ada Ibu dan aku. Kata Ibu, Risa masih keliling mengantar kue ke warung-warung. Sedangkan Bapak sedang ke ladang. “Sudah sarapan, Nduk? Kamu sehat, kan? Kayaknya Nak Denis banyak berubah, ya? Lebih ramah, walaupun sebelumnya juga ramah, sih. Cuma yang se
“Mbak Dila tumben banget ngajak baca novel barengan gini? Biasanya juga, kalau aku mau pinjam, harus nunggu sampai Mbak Dila selesai baca dulu.” “Ya sekarang kita jarang bisa barengan gini, kan? Jadi gak apa lah, biar keliatan rukun sesekali,” jawabku beralasan. “Iya, sih. Gak ada Mbak Dila, jadi gak ada yang diajak ribut lagi,” lirihnya sambil memajukan bibirnya “Makanya, cari partner yang bisa diajak ribut, dong.”“Males! Mbak Dila ke arah situ lagi.” Aku tertawa mendengar kritikan Risa. Seharian di rumah orang tuaku kali ini memang banyak dihabiskan dengan bersama Risa. Kami mengobrol banyak hingga menghabiskan satu buku novel yang untungnya tidak begitu tebal untuk dibaca maraton bersama-sama. Risa belum tahu tentang asal usul buku yang sedang kami baca. Pasti dia mengira jika buku ini adalah buku fiksi biasa, yang tidak ada kaitannya dengan
“Kenapa harus repot-repot bawa makanan segala, sih, Nak Denis?”“Gak repot kok, Bu,” balas Mas Denis sambil bersalaman dan mencium punggung tangan ibu. Aku yang berdiri di sebelah ibu hanya tersenyum kecil mendengar obrolannya dengan Mas Denis yang begitu manis. Menunggu saat Mas Denis bergantian menghampiri dan mencium keningku di depan ibu dan Risa. “Uhuk, uhuk,” Risa pura-pura terbatuk, kemudian terkekeh kecil.Adik tidak berakhlak itu sepertinya puas sekali setelah melihat aku dan Mas Denis tersipu malu di depan ibu. “Assalamu’alaikum.” Bapak yang baru pulang menyelamatkan kami berdua dari godaan Risa. “Wa'alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh.” Kami semua bersalaman dengan bapak secara bergantian. Kemudian makanan yang dibawa Mas Denis aku ambil alih dan dibantu Risa untuk disiapkan di meja makan. Samar-samar aku mendeng
“Kamu kenapa, Dik? Kayaknya sejak pulang tadi kok banyak diamnya? Apa sebenarnya kamu masih pengen di rumah Bapak dan Ibu?” Sejak pulang dari rumah orang tua, aku memang menjadi banyak berdiam diri karena pikiranku yang tidak berhenti berisik sendiri. Sampai-sampai Mas Denis menegur karena menyadari hal tersebut. “Gak juga kok, Mas. Mas Denis udah bilang kalau nanti mau cari waktu luang buat menginap di sana, kan? Jadi aku gak masalah kalau hari ini gak nginep dulu di sana.” “Terus ini kenapa kamu diam saja dari tadi? Apa mas tanpa sengaja membuat kesalahan?” Aku menggelengkan kepala. “Mas bukan cenayang, Dik. Kalau ada apa-apa itu bilang. Kalau cuma diam saja terus berharap Mas bisa baca pikiran kamu, itu gak akan terjadi,” tegur Mas Denis lebih tegas lagi. Saat ini kami sudah berada di dalam kamar. Sudah mandi dan bersih-bersih setibanya di rumah secara bergantia
“Dik?” panggil Mas Denis tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk tenang di kursi penumpang, tadinya menatap kosong ke luar jendela mobil yang melaju pelan di tengah lampu jalan, akhirnya menoleh tanpa bersuara mendengar panggilan dari Mas Denis. Udara malam terasa sejuk, tetapi pikiranku jauh dari kata nyaman. Pikiranku masih berkutat pada kejadian tadi di rumah orang tuaku. Pertengkaran kecil dengan Risa seolah menyisakan sesak yang menolak sirna. Aku tahu, itu hanya salah paham. Tapi kenapa rasanya begitu menyesakkan?Mas Denis menghela napas di sampingku. “Sayang, kamu mau makan apa? Kita cari makan dulu sebelum pulang, ya?” Aku menggeleng lemah tanpa menoleh. “Nggak lapar, Mas.”Mas Denis akhirnya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada jalan. “Dik, kamu lagi hamil. Lapar atau nggak, harus tetap makan,” katanya lembut, tapi tegas.Aku tahu Mas Denis benar, tapi r
Aku sedang duduk di ruang tamu rumah orang tuaku, memandangi jam dinding yang seolah bergerak lebih lambat dari biasanya.“Kok sendiri aja, Nduk?” tanya Bapak ketika baru saja masuk ke rumah setelah pulang dari ladang. “Iya, Pak. Ibu lagi mandi. Habis masak besar tadi,” jawabku lirih, menyembunyikan perasaan tidak nyaman yang sebenarnya mengganggu sejak tadi. “Terus, Risa kemana? Kok tumben gak sama kamu? Biasanya kalau kamu di rumah, selalu nempel aja kayak perangko.“Aku tersenyum tipis. “Di kamar. Risa kayaknya lagi sibuk, Pak.”Perasaan gusar dan gelisah menguasai pikiranku. Sudah hampir seharian aku di sini, tapi suasana yang biasanya hangat terasa berbeda.“Sibuk apa? Kayak gak tau adikmu aja.”Akhirnya aku hanya bisa mengangkat bahu saja. Pada kenyataannya Risa nyaris tidak bicara apapun sejak aku datang tadi pagi. Hanya ada angin dingin yang menye
"Mas," panggilku lembut sambil menyeduh teh hangat. "Kamu baik-baik aja, kan?" Aku meletakkan secangkir teh hangat untuk Mas Denis tepat di depannya. Kemudian duduk di sampingnya seperti biasa. “Mas baik-baik saja, Sayang.”Setelah menjawab pertanyaanku, Mas Denis tidak bersuara lagi. Pagi ini juga terasa lebih sunyi dari biasanya. Aku duduk di meja makan sambil mengamati Mas Denis yang sedang menyantap sarapannya dalam diam. Mas Denis memang bukan tipe orang yang banyak bicara, tetapi kali ini sikapnya terasa berbeda. Ada sesuatu yang mengganjal. Biasanya, meski tidak banyak bicara, Mas Denis selalu terlihat tenang. Namun, sejak pulang kerja kemarin, wajahnya tampak murung dan pikirannya seperti berada di tempat lain. “Kalau ada masalah apa-apa, Mas Denis bisa cerita, ya?” ucapku lagi dengan tulus.Mas Denis hanya mengangguk tanpa menoleh. Gerakannya kaku, seolah engga
“Minumnya, Bu, Mbak,” ujar Mak Ijah sambil meletakkan secanggir teh panas di depan mamanya Mas Denis dan segelas susu hangat di dekatku. “Makasih, Mak,” jawabku lirih. Sedangkan mamanya Mas Denis, kulihat sedikit menganggukkan kepala saat dihidangkan minuman oleh Mak Ijah. Aku menatap segelas susu yang ada di tanganku, meminumnya sedikit demi sedikit sambil berpikir bagaimana cara menjawab pertanyaan mertuaku sebelumnya. Di depanku, mamanya Mas Denis duduk dengan tenang, mengaduk teh sambil sesekali menatapku dengan pandangan penuh perhatian. “Belum siap cerita, Dila?” Mama membuka percakapan dengan lembut. Pagi ini terasa hangat, tetapi di hatiku ada gumpalan keraguan yang enggan mencair. Aku tahu, mau tidak mau aku harus menceritakan apa yang terjadi kemarin di perjalanan kepada mamanya Mas Denis, tetapi kata-kata itu seperti macet di tenggorokanku."Kamu kenapa,
“Dik,” katanya sambil merapikan dasinya, “aku mau kamu tetap di rumah hari ini. Jangan ke mana-mana tanpa seizin aku, ya.” Aku terdiam sejenak, mencerna perkataannya. “Kenapa memangnya, Mas?”Pagi ini, Mas Denis bersiap berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Namun, tidak seperti biasanya, ekspresi wajahnya terlihat lebih serius. Setelah sarapan bersama, ia berdiri di depan pintu, menatapku dengan tatapan tegas yang membuatku sedikit gugup. “Ada apa, Mas?” tanyaku lagi, meski aku sudah bisa menebak jawabannya. Mas Denis menghela napas, seolah berusaha menahan sesuatu dalam hatinya. “Mas masih belum tenang soal kejadian kemarin. Siapa pun pria asing itu, dia bisa saja punya maksud buruk. Mas nggak mau ambil risiko.” “Tapi, Mas, aku baik-baik aja,” kataku, mencoba menenangkan. “Kemarin juga nggak ada apa-apa, kan?” Namun, Mas Denis menggeleng. “Aku nggak ma
“Ehm.” Aku hanya bisa berdehem untuk mengusir suasana sepi di dalam mobil sejak perdebatan singkat antara aku dengan Mas Denis mengenai pria asing yang baru saja menghadang kami. Aku melirik Mas Denis yang duduk di kursi pengemudi, kedua tangannya mencengkeram erat setir, sementara rahangnya tampak mengeras. Mobil melaju dalam hening, hanya diiringi suara mesin yang menderu pelan dan lampu-lampu jalan yang berkelebat cepat di jendela. Tidak ada lagi sisa tawa atau canda seperti sebelumnya. Keceriaan kami seakan terserap habis oleh insiden di perjalanan tadi. Aku bisa merasakan betapa pikirannya masih terpusat pada pria asing itu. Napas Mas Denis masih berat, seolah ada bara api yang belum padam di benaknya. Aku tahu dia marah. Marah karena kami nyaris celaka. “Mas, semuanya baik-baik saja. Jangan terlalu dipikirin, ya?” Aku mencoba memecah kebekuan, meski suaraku terdengar lebih ragu da
“Tinggal bilang cemburu aja, masih gak mau ngaku” godaku, tidak bisa menahan tawa yang terlanjur pecah. Suara derai tawa masih menggema di dalam mobil, menyelimuti perjalanan pulang yang seharusnya biasa saja. Mas Denis memegang kemudi sambil sesekali melirikku dengan senyum lebar. Aku duduk di sebelahnya, menggenggam perutku yang masih datar—tidak sabar menanti kehadiran si kecil yang sedang tumbuh di dalamnya. Mas Denis mengangkat bahu sambil mencebik. “Seneng, ya? Bisa ngeledek terus!” “Seneng lah. Kapan lagi bisa ngetawain suami yang biasanya kaku kayak kanebo kering,” imbuhku makin menjadi. Mas Denis melirikku lagi. “Untung sayang,” gumamnya. “Apa?” tanyaku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. “Untung lagi hamil,” ulang Mas Denis yang jelas terdengar berbeda dari ucapannya yang pertama. Mas Denis kembali fokus ke jalanan meski sudah kutatap tajam karena tidak puas dengan jawabannya. Namun, aku berusaha maklum jika Mas Denis masih belum bisa mengumbar kat
“Sudah sore. Pulang yuk?” ajak Mas Denis setelah sekilas melirik ke arloji di pergelangan tangannya. “Ayo, Mas,” balasku dengan riang. Mas Denis membantuku bangun dari tempat duduk dan menggandeng tanganku dengan lembut. Senyumnya juga manis menyiratkan ketulusan. Saat aku dan Mas Denis keluar dari restoran mewah tempat kami makan siang, perutku terasa penuh, namun hatiku terasa ringan. Sore yang cerah, angin yang hangat, dan suasana hati Mas Denis yang lebih baik dari biasanya, terasa seperti akhir dari perselisihan yang lama. Namun, sebelum kami benar-benar bisa pulang, Mas Denis tiba-tiba berkata, “Kita mampir ke kantor sebentar, Dik. Ada dokumen yang harus aku ambil.”Aku mengangguk pelan. Mampir ke kantornya sebentar seharusnya tidak masalah, apalagi suasana kantor di sore hari biasanya sudah sepi. Ketika kami tiba, ternyata suasana di lobi masih ramai dengan beberapa karyawan yan
“Mama bentar lagi mau ada arisan sama teman sosialitanya Mama, nih. Dila biar Mama antar pulang dulu atau gimana?” Aku menoleh ke arah Mas Denis karena ingin dia saja yang menjawab pertanyaan mamanya. “Dila biar pulang sama Denis saja, Ma. Habis ini Denis cuma mau ke kantor sebentar, terus pulang kok. Jadi Mama bisa pulang duluan.”“Oh, gitu? Ya sudah kalau begitu Mama pulang duluan, ya?” “Iya, Ma,” sahutku bersamaan dengan Mas Denis. Suasana di restoran terasa sedikit lebih lengang setelah mamanya Mas Denis pamit pulang lebih dulu. Aku mengangguk pelan ketika mertuaku itu berpamitan, masih tersisa sedikit kecanggungan.Setelah mamanya Mas Denis pergi, kini hanya ada aku dan Mas Denis, duduk di meja yang sama, di restoran yang terasa semakin sepi.Aku melirik Mas Denis yang sedang memandangi ponselnya sejenak, lalu menaruhnya di meja. Dia tampak ragu, s