Share

Bab 37. Cerita Masa Lalu

Penulis: Dian Matahati
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-03 10:00:42

“Alhamdulillah, semua bisnis yang keluarga mereka jalani terdeteksi bersih, Dik. Justru mereka sangat teliti hingga pekerjanya pun tidak ada yang bisa korupsi. Selain itu juga termasuk pebisnis yang cukup effort buat mensejahterakan karyawannya untuk mencegah tindak kecurangan.”

Lega sekali mendengarnya. Karena mereka termasuk kalangan menengah ke atas, aku jadi khawatir jika sumber pendapatan mereka tidak halal. Kemudian, kembali pada sisi negatif keluarga mereka yang belum juga dijelaskan oleh Mas Denis, tentu saja kembali aku pertanyakan.

“Lantas, kalau bukan masalah korupsi, sisi negatif apa, sih, yang sebenarnya ada di keluarga itu?”

“Itu tentang masa lalu rumah tangga Pak Bima dan Bu Raya. Jadi, berdasarkan informasi yang didapatkan intel suruhanku, ternyata dulu saat Bu Raya hamil si Abi itu, Pak Bima pernah diam-diam menikah siri dengan karyawannya sendiri hingga hamil bersamaan dengan kehamilan Bu Raya, Dik.”

<
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 38. Bertemu Risa

    “Titip Dila, ya, Bu. Kebetulan di rumah lagi gak ada yang bisa nemenin Dila sewaktu Denis tinggal ke kantor. Denis khawatir kalau Dila di rumah sendirian, apalagi nanti Denis lembur sampai malam. Nanti malam Denis jemput sepulang kerja.” “Iya, Nak Denis. Santai saja sama Ibu. Dila aman kok di sini. Nak Denis fokus saja sama kerjanya. Kalau nanti malam gak sempat jemput, biarin Dila menginap di rumah Ibu.” “Makasih, ya, Bu, tapi nanti malam Denis pasti jemput Dila.” “Ya sudah, terserah Nak Denis saja.”Setelah selesai menitipkan aku kepada Ibu, Mas Denis berpamitan kepada kami untuk berangkat ke kantor. Di rumah hanya ada Ibu dan aku. Kata Ibu, Risa masih keliling mengantar kue ke warung-warung. Sedangkan Bapak sedang ke ladang. “Sudah sarapan, Nduk? Kamu sehat, kan? Kayaknya Nak Denis banyak berubah, ya? Lebih ramah, walaupun sebelumnya juga ramah, sih. Cuma yang se

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 39. Menunda Cerita

    “Mbak Dila tumben banget ngajak baca novel barengan gini? Biasanya juga, kalau aku mau pinjam, harus nunggu sampai Mbak Dila selesai baca dulu.” “Ya sekarang kita jarang bisa barengan gini, kan? Jadi gak apa lah, biar keliatan rukun sesekali,” jawabku beralasan. “Iya, sih. Gak ada Mbak Dila, jadi gak ada yang diajak ribut lagi,” lirihnya sambil memajukan bibirnya  “Makanya, cari partner yang bisa diajak ribut, dong.”“Males! Mbak Dila ke arah situ lagi.” Aku tertawa mendengar kritikan Risa. Seharian di rumah orang tuaku kali ini memang banyak dihabiskan dengan bersama Risa. Kami mengobrol banyak hingga menghabiskan satu buku novel yang untungnya tidak begitu tebal untuk dibaca maraton bersama-sama. Risa belum tahu tentang asal usul buku yang sedang kami baca. Pasti dia mengira jika buku ini adalah buku fiksi biasa, yang tidak ada kaitannya dengan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 40. Nafkah Batin

    “Kenapa harus repot-repot bawa makanan segala, sih, Nak Denis?”“Gak repot kok, Bu,” balas Mas Denis sambil bersalaman dan mencium punggung tangan ibu. Aku yang berdiri di sebelah ibu hanya tersenyum kecil mendengar obrolannya dengan Mas Denis yang begitu manis. Menunggu saat Mas Denis bergantian menghampiri dan mencium keningku di depan ibu dan Risa. “Uhuk, uhuk,” Risa pura-pura terbatuk, kemudian terkekeh kecil.Adik tidak berakhlak itu sepertinya puas sekali setelah melihat aku dan Mas Denis tersipu malu di depan ibu. “Assalamu’alaikum.” Bapak yang baru pulang menyelamatkan kami berdua dari godaan Risa. “Wa'alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh.” Kami semua bersalaman dengan bapak secara bergantian. Kemudian makanan yang dibawa Mas Denis aku ambil alih dan dibantu Risa untuk disiapkan di meja makan. Samar-samar aku mendeng

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 41. Jangan Diteruskan

    “Kamu kenapa, Dik? Kayaknya sejak pulang tadi kok banyak diamnya? Apa sebenarnya kamu masih pengen di rumah Bapak dan Ibu?” Sejak pulang dari rumah orang tua, aku memang menjadi banyak berdiam diri karena pikiranku yang tidak berhenti berisik sendiri. Sampai-sampai Mas Denis menegur karena menyadari hal tersebut. “Gak juga kok, Mas. Mas Denis udah bilang kalau nanti mau cari waktu luang buat menginap di sana, kan? Jadi aku gak masalah kalau hari ini gak nginep dulu di sana.” “Terus ini kenapa kamu diam saja dari tadi? Apa mas tanpa sengaja membuat kesalahan?” Aku menggelengkan kepala. “Mas bukan cenayang, Dik. Kalau ada apa-apa itu bilang. Kalau cuma diam saja terus berharap Mas bisa baca pikiran kamu, itu gak akan terjadi,” tegur Mas Denis lebih tegas lagi. Saat ini kami sudah berada di dalam kamar. Sudah mandi dan bersih-bersih setibanya di rumah secara bergantia

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 42. Ajakan Mertua

    Aku mendorong dada Mas Denis yang bergeming setelah mendengar alasan penolakanku. Baru kemudian aku memilih untuk keluar dari kamar kami dan berpindah ke kamar lain. “Dila!” panggil Mas Denis terdengar samar saat aku meninggalkannya. Aku abaikan panggilannya dan segera mengurung diri di kamar yang ada di sebelah kamar kami. “Maaf, Mas. Aku gak mau mengulang rasa sakit yang sama seperti saat itu. Meskipun ini pun sudah sangat menyakiti hatiku, tapi masih lebih baik daripada aku harus kembali kau sentuh tanpa cinta,” ucapku samar setelah berpindah ruangan dengan Mas Denis.Air mataku tidak berhenti mengalir. Dada sesak dan napas memburu. Aku tahu sudah berdosa sebagai seorang istri. Namun, aku terlalu lemah untuk menerima posisiku yang tidak dicintai sebagai istri oleh Mas Denis. Tubuhku luruh ke lantai bersandarkan daun pintu yang sudah aku kunci dari dalam. Ketukan berulang kali dari luar a

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 43. Kejutan di Restoran

    “Ma, boleh Dila tau kita mau ke mana?” tanyaku pelan.Entah sudah berapa kali aku menanyakan hal yang sama. Jujur saja, aku belum terbiasa dengan situasi seperti ini. Apalagi setelah sempat ada selisih paham dengan mamanya Mas Denis karena pengajuan gugatan cerai dariku saat itu. Aku masih takut jika Mama masih membenciku.“Kita mau makan siang, Dila,” jawabnya singkat, matanya tetap fokus ke jalan. Aku mengangguk, meskipun sedikit bingung. Makan siang? Mengapa tiba-tiba? Apalagi ke restoran yang terasa sangat... mewah. Tadi aku hanya sempat melihat sekilas alamat tempat ini di GPS mobilnya—sebuah restoran yang terkenal elit di pusat kota. Rasanya berlebihan untuk hanya makan siang biasa.Akhirnya aku memilih berusaha tetap duduk dengan tenang di kursi penumpang. Memandangi aktivitas di luar jendela dengan jalanan kota yang tampak sibuk. Sedangkan suasana di dalam mobil terasa sunyi. Mam

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 44. Semakin Kuat

    “Mama bentar lagi mau ada arisan sama teman sosialitanya Mama, nih. Dila biar Mama antar pulang dulu atau gimana?” Aku menoleh ke arah Mas Denis karena ingin dia saja yang menjawab pertanyaan mamanya. “Dila biar pulang sama Denis saja, Ma. Habis ini Denis cuma mau ke kantor sebentar, terus pulang kok. Jadi Mama bisa pulang duluan.”“Oh, gitu? Ya sudah kalau begitu Mama pulang duluan, ya?” “Iya, Ma,” sahutku bersamaan dengan Mas Denis. Suasana di restoran terasa sedikit lebih lengang setelah mamanya Mas Denis pamit pulang lebih dulu. Aku mengangguk pelan ketika mertuaku itu berpamitan, masih tersisa sedikit kecanggungan.Setelah mamanya Mas Denis pergi, kini hanya ada aku dan Mas Denis, duduk di meja yang sama, di restoran yang terasa semakin sepi.Aku melirik Mas Denis yang sedang memandangi ponselnya sejenak, lalu menaruhnya di meja. Dia tampak ragu, s

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 45. Mulai Posesif

    “Sudah sore. Pulang yuk?” ajak Mas Denis setelah sekilas melirik ke arloji di pergelangan tangannya. “Ayo, Mas,” balasku dengan riang. Mas Denis membantuku bangun dari tempat duduk dan menggandeng tanganku dengan lembut. Senyumnya juga manis menyiratkan ketulusan. Saat aku dan Mas Denis keluar dari restoran mewah tempat kami makan siang, perutku terasa penuh, namun hatiku terasa ringan. Sore yang cerah, angin yang hangat, dan suasana hati Mas Denis yang lebih baik dari biasanya, terasa seperti akhir dari perselisihan yang lama. Namun, sebelum kami benar-benar bisa pulang, Mas Denis tiba-tiba berkata, “Kita mampir ke kantor sebentar, Dik. Ada dokumen yang harus aku ambil.”Aku mengangguk pelan. Mampir ke kantornya sebentar seharusnya tidak masalah, apalagi suasana kantor di sore hari biasanya sudah sepi. Ketika kami tiba, ternyata suasana di lobi masih ramai dengan beberapa karyawan yan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04

Bab terbaru

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 60. Ending

    Aku membuka mata, tetapi yang kulihat bukanlah ruangan rumah sakit. Bukan pula wajah Mas Denis atau siapa pun dari keluargaku. Sebaliknya, aku berada di sebuah hamparan hijau yang membentang luas. Rumput-rumputnya berkilauan seperti butiran embun di bawah sinar matahari pagi, dan udara di sekitarku terasa sejuk. Semuanya begitu indah, tapi anehnya... Begitu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada suara angin yang berbisik. Hanya kesunyian sempurna yang membuatku merasa asing dan bingung.“Aku dimana?” gumamku ya g terasa seperti bergema kembali ke gendang telingaku sendiri. Aku berdiri perlahan, memandangi sekeliling, mencoba memahami di mana aku berada. Perasaan ganjil merayapi hatiku. Rasanya seperti mimpi, tapi sekaligus terasa nyata. Apakah aku sedang bermimpi? Atau... apa ini tempat lain? Aku memegang perutku yang kini terasa kosong, dan jantungku mencelos. Bayiku. Di mana bayiku? 

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 59. Kontraksi

    ”Dik, aku ada kejutan buat kamu,” ucap Mas Denis sambil mengecup pipiku dari belakang ketika dia baru selesai mandi sepulang kerja sore ini.Aku sengaja menunggunya mandi dengan duduk di sofa dalam kamar yang biasa digunakan Mas Denis mengecek pekerjaan sebelum tidur. Karena sejak kehamilanku masuk trimester terakhir, aku dilarang melakukan pekerjaan rumah apapun termasuk menyiapkan makan untuk suamiku sendiri.“Kejutan apa itu, Mas?” tanyaku dengan senyum lebar. Perutku semakin membesar seiring dengan usia kandungan yang hampir mencapai sembilan bulan. Setiap harinya, Mas Denis semakin manis dan perhatian, seolah-olah aku ini porselen rapuh yang harus dijaga dengan hati-hati. “Nih,” ujar Mas Denis sambil memberikan sebuah amplop putih panjang kepadaku. Saat aku buka amplop tersebut, ternyata surat keterangan cuti yang diambil Mas Denis selama 100 hari kedepan dimulai dari besok. 

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 58. Kau Rumah

    “Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis, Mbak. Abi biar Risa yang nunggu. Katanya setelah kantong infusnya habis, sudah boleh pulang kok,” ujar Risa setelah Abi setuju diberikan obat lewat cairan infus. Aku memang merasa letih dan kurang istirahat selama seminggu ini. Namun, aku juga tidak tega meninggalkan Risa menunggu Abi sendirian di rumah sakit. “Dik, kita pulang aja, ya? Kamu kelihatan udah capek banget. Kasian si kecil di perutmu juga. Butuh istirahat.” “Tapi kasihan Risa, Mas.”“Aku gak apa-apa, Mbak. Serius. Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis. Aku juga ada yang perlu dibicarakan berdua sama Abi,” ujar Risa sedikit memaksa. Kemudian Abi berdehem sedikit keras. Seperti memberi kode jika aku memang dimohon untuk pulang supaya mereka punya kesempatan untuk berduaan.“Kita pulang, ya?” ajak Mas Denis lagi. Aku pun menghela napas pa

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 57. Phobia Jarum Suntik

    Aku berdiri mematung, tubuhku gemetar melihat kejadian itu. Mobil berhenti dengan posisi miring, sopirnya langsung keluar dan tampak syok. Mas Denis berlari menghampiri Abi yang terkapar di jalan, sementara aku menahan Risa agar tidak mendekat terlalu cepat.  “Kamu baik-baik saja, kan?” Mas Denis berusaha memeriksa kondisi Abi.  Abi mengerang kesakitan, tapi ia masih sadar. Lutut dan sikunya berdarah, dan ia meringis menahan nyeri di bahunya. Meski begitu, ia masih sempat tersenyum tipis sambil menoleh ke arah Risa.  “Untung... Kamu selamat,” gumam Abi dengan napas terengah.  Risa terisak, wajahnya pucat pasi. "Bodoh! Kenapa kamu harus melakukan itu? Kenapa kamu mengorbankan dirimu sendiri buat keselamatanku?"  Abi tertawa kecil meski kesakitan. "Karena kamu yang terpenting buatku, Risa."  Aku merasakan sesuatu yang aneh di dadaku—perasaan campur aduk antara lega, syok, dan

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 56. Rekonsiliasi di Villa

    [Mas, aku ada di Villa Gading Mas, jika kalian masih mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Besok, temui aku di villa. Ajak Risa dan Abi juga.]Akhirnya aku memutuskan untuk memberikan kesempatan kepada mereka bertiga untuk menjelaskan. Mengirimkan sebuah pesan berikut share lokasi yang aku kirim setelah pesan tersebut. Sudah seminggu aku berada di villa ini. Awalnya kupikir waktu sendirian akan membuatku lebih tenang dan mampu berpikir dengan jernih. Tapi kenyataannya, ketenangan malah memperburuk pikiranku. Aku terus memikirkan apa yang terjadi antara Mas Denis, Risa, dan Abi. Aku ingin percaya pada Mas Denis dan Risa, tapi hatiku masih terasa berat.  Selama di sini, aku tetap memberi kabar pada Mas Denis agar dia tidak terlalu khawatir, meskipun selalu kubilang dengan tegas agar tidak mencariku. Mas Denis menurut. Dia mengirim pesan setiap hari untuk memastikan aku baik-baik saja. Dan se

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 55. Hati yang Bimbang

    “Maaf, Bu. Jadinya mau diantar kemana, ya, Bu?” tanya sopir taksi yang sudah sangat sabar denganku. Hampir setengah jam aku membiarkannya berjalan tanpa tujuan. Menungguku lebih tenang setelah meluapkan segala emosi yang tengah menguasai. “Tolong diantar ke alamat ini saja, Pak,” jawabku sambil menunjukkan ponselku berupa sebuah villa di daerah dataran tinggi yang baru saja aku reservasi secara online.“Baik, Bu.” Setelah mengetikkan alamat di layar maps kendaraannya, sopir taksi itu mengembalikan ponselku yang tidak lama kemudian terdengar berdering.Sejak tadi memang ada banyak yang mencoba menghubungi. Dari Mas Denis, Risa, hingga mamanya Mas Denis. Aku yakin keluargaku juga keluarga Mas Denis saat ini sedang mengkhawatirkan kepergian diriku. Aku sengaja tidak menjawab satupun dari panggilan mereka karena belum siap untuk berbicara dengan siapapun. Meskipun begitu

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 54. Kecewa Terlalu Dalam

    “Sayang, kita jalan-jalan sore, yuk?” suara Mas Denis memecah kebisuan. Dia berdiri di depanku, menatap dengan penuh perhatian. Sejak bangun tidur dan mandi sore, aku masih banyak diamnya karena belum bisa melupakan kejadian tadi siang. Mas Denis tampak khawatir dan sering mondar-mandir saja di dekatku. Aku mendongak, menatapnya sejenak. “Jalan-jalan ke mana, Mas?” tanyaku datar, meski di dalam hati aku sedikit tertarik dengan ajakannya.Mas Denis mengangkat bahu. “Entah, mungkin sekadar keluar rumah. Sepertinya kita butuh udara segar.” Senyum tipis tersungging di wajahnya, mencoba mengajakku untuk tidak terlalu larut dalam perasaan ini.Meski ragu, aku akhirnya mengangguk. “Boleh,” jawabku pelan.Kami pun berangkat. Di dalam mobil, aku menyandarkan kepala di jendela, menatap jalanan kota yang ramai. Mas Denis di sampingku, sesekali melirik dengan cemas. Kurasa dia ju

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 53. Pesan Ambigu

    “Gini amat ya, punya suami pekerja keras. Hari libur juga tetap aja dipakai buat kerja dari rumah,” sarkasku pada Mas Denis yang tengah sibuk di depan layar laptopnya. Mas Denis menghentikan sejenak kegiatannya. Menoleh ke arahku dan tersenyum tipis. “Ada apa, sih, Dik? Kamu ada perlu sesuatu?” Aku mengangkat bahu. Masih enggan untuk mengatakan jujur jika aku sedang berharap diajak pergi jalan-jalan atau entah kemana hanya demi bisa bersama Mas Denis menghabiskan akhir pekan yang menyenangkan. “Kalau mau atau butuh sesuatu, kamu bilang langsung aja sama Mas, ya, Dik. Mas bukan cenayang yang bisa baca isi hati dan pikiran kamu,” sahut Mas Denis sambil kembali fokus ke perangkat kerjanya. Aku hanya bisa kembali menghela napas dengan berat. Mencoba fokus pada acara televisi, yang membuat pikiran tentang Risa dan pertengkaran kecil kami saat itu kembali muncul. Meskipun sudah berlalu cukup lama, tetapi aku belum bisa merasa lega jika tidak ada penyelesaian yang jelas. Komunikasiku de

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 52. Masakan Istimewa

    “Dik?” panggil Mas Denis tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk tenang di kursi penumpang, tadinya menatap kosong ke luar jendela mobil yang melaju pelan di tengah lampu jalan, akhirnya menoleh tanpa bersuara mendengar panggilan dari Mas Denis. Udara malam terasa sejuk, tetapi pikiranku jauh dari kata nyaman. Pikiranku masih berkutat pada kejadian tadi di rumah orang tuaku. Pertengkaran kecil dengan Risa seolah menyisakan sesak yang menolak sirna. Aku tahu, itu hanya salah paham. Tapi kenapa rasanya begitu menyesakkan?Mas Denis menghela napas di sampingku. “Sayang, kamu mau makan apa? Kita cari makan dulu sebelum pulang, ya?” Aku menggeleng lemah tanpa menoleh. “Nggak lapar, Mas.”Mas Denis akhirnya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada jalan. “Dik, kamu lagi hamil. Lapar atau nggak, harus tetap makan,” katanya lembut, tapi tegas.Aku tahu Mas Denis benar, tapi r

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status