Home / Urban / Gue, Adit. Mau Apa Lo? / Playboy Cap Banteng!

Share

Playboy Cap Banteng!

Author: Liz andrea
last update Last Updated: 2021-06-10 01:48:44

Lelaki tampan itu dengan percaya diri meninggalkan teman-teman dan tamunya,  kembali menghampiri gadis cantik yang menggoda hatinya. Jelas terlihat bahwa ia tidak ingin kehilangan kesempatan dari Tiara.

"Sorry lama. Biasalah anak-anak itu gak bisa diandalkan kalau urusan meeting, gue harus terus turun tangan," ujar Adit dengan nada sombong.

"gak apa-apa, Dit ...," jawab Tiara sambil tersenyum.

Adit memesan kopi gula aren dan snack french fries setelah bertanya kepada Tiara untuk menambah pesanan, tapi gadis itu menolaknya.

Tidak lama kemudian, waiter mengantarkan kopi gula aren dan kentang goreng pesanannya. Sambil menikmati minuman dan makanan ringan, mereka lanjut mengobrol dengan santai. 

"Daily life kamu ngapain aja,  Dit?" tanya Tiara sungguh-sungguh ingin tahu.

"Gue? Hm ... main musik, latihan, bikin lagu ... gak jauh dari musik sih," jawab Adit terlihat menerawang. 

"Seriously? Total banget kamu di musik ya?gak bosen, Dit?" tanya Tiara yang membayangkan kejenuhan tanpa dunia lain dalam hidupnya.

"Bosen sih kagak ... cuma kadang bingung aja," tutur Adit sambil mengernyitkan dahinya.

"Bingung kenapa?" tanya Tiara semakin ingin tahu.

"Keluarga gue gak support di musik, bokap mau gue masuk ke perusahaannya, gantiin posisi dia kelak, jadi gue dikejar terus untuk latihan kerja. Gue gak mau," papar Adit dengan wajah kesal.

"Well, ngapain bingung ...  jalanin yang bikin kamu happy aja, Dit." Tiara melemparkan senyum manisnya kepada Adit. 

"Lo tuh ya, udah cantik, baik, enak diajak ngobrol ... pinter lagi. Anak siapa sih lo?" seloroh Adit meledek sambil terkekeh.

Ucapan Adit berhasil membuat Tiara tertawa lepas, kecantikannya semakin memikat di mata Adit. Lelaki itu menatap lekat wajah tiara dalam keterpanaan yang cukup dalam, hingga tanpa sadar, tangannya terangkat ke arah rambut Tiara yang terurai indah. Adit membelainya dengan lembut.

"Siapa dia, Dit?" Sebuah tangan merangkul bahu lelaki yang sedang mengelus rambut seorang wanita tidak dikenal.

Wajah Alika merah padam, tapi ia berusaha menahan diri dari emosinya yang sudah naik ke ubun-ubun. Ia meraih tangan Adit yang sedang membelai rambut wanita lain itu.

Terlihat jelas keduanya sangat terkejut oleh kehadiran Alika secara tiba-tiba di sana. Tiara pucat pasi saat menyadari bahwa wanita itu memergoki Adit sedang membelai rambutnya. "Sial!" batin Tiara sambil berpikir untuk segera pergi dari sana. 

"Selama ini aku sabar terhadapmu ya, Dit." Alika berbisik ditelinga Adit dengan nada geram.

"Apa-apaan sih kamu?!" hardik Adit, ia tidak terima jika kekasihnya itu memprotes apa yang dilakukannya. 

 . 

"So-sorry,  gue yang minta Adit untuk ngobrol sama gue." Tiara mencoba menjelaskan sambil terbata-bata. 

"Tia, dia ini temen gue, emang  gak boleh punya temen perempuan lain, gitu?" ujar Adit setengah berbisik kepada Tiara. 

"Really, Dit? Mau sampai kapan kamu pakai alesan semua cewek yang kamu deketin tuh sebagai teman? Mau sampai kapan juga kamu menjatuhkan status kita di depan cewek lain?" tanya Alika dengan wajah merah padam. 

"Cukup Alika! Kalau mau ribut jangan di sini." Adit menarik tangan Alika dan membawanya ke arah pintu back stage lalu masuk ke dalam ruangan yang telah kosong itu. 

"Kamu apa-apaan, sih? Bikin malu!" bentak Adit sambil membanting pintu ruangan. 

"Memang itu kan yang kamu rasain berpasangan denganku, malu! Gak pernah bisa kamu mengakuiku sebagai pacarmu,  Dit!" Air mata Alika tidak kuasa lagi dibendungnya. 

"Dari awal pacaran, lo tahu gue ini gimana, lo juga tahu harusnya, resiko pacaran dengan musisi itu seperti apa. Kalau gak kuat ... please,  lepasin gue." Adit memegang tangan Alika kuat-kuat, berusaha meyakinkan Alika untuk meninggalkannya. 

"Brengsek kamu, Dit. Tega banget! Kalau tahu endingnya akan seperti ini, buat apa dari awal kamu mengejarku dan sukses bikin aku jatuh cinta sama kamu? Buat apa?!" Alika berusaha melepaskan tangannya dari  genggaman Adit. 

Mereka saling menatap dan terdiam beberapa saat. Sebenarnya Adit mencintai Alika. Namun, ia tidak pernah sekalipun mengatakannya selain hanya memperlihatkan sisi buruknya saja kepada Alika. 

"Aku selalu punya keyakinan sama kamu, Dit, bahwa suatu hari kamu bisa berubah, dan bisa meraih mimpimu. Aku selalu meyakini hal itu." Alika menjeda ucapannya seraya menyapu tetesan air mata dari pipi dengan telapak tangannya.

 "Kapan terakhir kali kamu merasakan  mencintai orang lain? Hanya kepada Reina, kan? Susah memang melupakan cinta pertama." Alika mendengus menahan sesuatu yang terasa menusuk hatinya, tapi nada bicaranya sudah mulai tenang.

 "Jangan bawa-bawa Reina!  Gak ada sangkut-pautnya hubungan ini dengan dia!" teriak Adit terpancing emosi seolah-olah Reina yang dipersalahkan oleh Alika. 

"Apa yang terjadi kalau Reina masih ada di sampingmu, Dit? Kenyataannya, Reina merubah kamu begitu drastis, sampai kamu menyia-nyiakan orang yang bener-bener peduli sama kamu." Alika tidak menghiraukan teriakan Adit padanya. 

"Alika ...!" teriak Adit menatap dengan tatapan tajam. 

"Kenapa? Gak terima?" tanya Alika dengan nada sewot.

 

"Udah malem, gue capek. Gue antar lo balik!" seru Adit penuh penekanan. Ia meraih tangan kekasihnya dan menuntunnya keluar dari cafe. 

Sepasang mata indah, melihat pujaan hatinya menuntun Alika. Ia memalingkan wajahnya dan menenangkan diri dari deburan api cemburu di hatinya. 

Sesampainya di depan rumah, Alika turun dari mobil dengan lemas, kesedihan membayang di wajahnya. Ia selalu kecewa karena setiap kali timbul pertengkaran, masalah di antara mereka selalu menggantung, tidak pernah terselesaikan sampai tuntas. 

 

"Hey, istirahat ... besok sore gue jemput, kita mau dinner di pavilion, ok?!" seru Adit dari balik kaca jendela mobil yang terbuka. 

Tanpa menjawab, Alika terus melangkah perlahan masuk ke dalam rumah. 

Lelaki itu dengan gusar dan wajah mengetat, manaikkan volume musik cadas sampai kencang, seakan suara musik itu mampu membawanya menjauh dari kenangan masa lalu bersama Reina. Nama yang diungkit oleh Alika dan membuatnya seolah kehilangan gairah hidup.

Tidak butuh waktu yang lama untuk sampai ke unit apartemennya. Adit menghabiskan waktunya di balkon setelah mandi dan meracik kopi untuk dirinya sendiri. 

Pandangan matanya nanar menatap jalanan yang masih sepi dan hanya kerlip lampu kota yang menghiburnya saat ini.

"Kenapa gue susah banget ngelupain Reina?" batin Adit merasa nelangsa.

Hampir empat tahun berlalu, dan ia masih saja berharap bisa kembali pada pelukan Reina. Seandainya saat itu, dia bisa meninggalkan dunia musik dari kepalanya, mungkin ia akan menyusul Reina kuliah di luar negeri dan tentu saja hal itu akan membuat ayahnya bangga. Tapi ....

"Argh! Kenapa sih semuanya tidak bisa berjalan berbarengan? Kenapa harus selalu memilih ... musik atau Reina? Perusahaan atau musik?!" teriak Adit kesal sambil memukul meja kayu di depannya. 

Tak ayal, kopi yang tinggal setengah tumpah dari gelasnya seiring dengan mentalnya gelas tersebut ke lantai dan meninggalkan serpihan kaca yang terlempar ke setiap penjuru. 

"Ah, Sial!" teriaknya lagi. 

Adit melompat dari kursinya, tidak mau menanggung resiko terkena pecahan beling, ia meraih sandal hotel dari rak sandal yang ia letakkan di balkon, lalu kembali menuju dapur untuk meracik kopi lagi. Perasaannya masih tidak menentu. 

Kopi panas yang mengepulkan asap tebal dari cangkir, ia bawa ke ruang tamu. Suara notifikasi dari telepon genggamnya terdengar. Dia baru ingat kalau gawai tersebut masih berada di kursi balkon. 

"Jam segini, siapa yang kirim pesan?" gumam Adit seraya melangkah ke arah balkon. 

Tangannya terjulur dari pintu, untuk meraih telepon genggamnya yang terletak dikursi yang tadi ia duduki, lalu membawanya ke ruang tamu. Ia membuka pesan tersebut sambil menghempaskan bokongnya pada dudukan kursi yang empuk. 

Dari nomor tidak di kenal : 

"Malam ini kamu keren, Dit ...."   -- R.

"REINA?!" seru Adit, ia benar-benar terkejut.

___to be continue

Related chapters

  • Gue, Adit. Mau Apa Lo?   Awal Pertemuan

    (9 tahun yang lalu) (Kriiing) Suara dering bel begitu nyaring terdengar ke seluruh sudut sekolah. Ditimpali suara kaki berlarian dari pintu masuk sekolah menuju kelas masing-masing. Adit sedang berjalan dengan santai dan tiba-tiba, Reina menabraknya tanpa sengaja dari belakang. Bruk! Reina terjatuh, beberapa buku yang ia pegang berhamburan jatuh ke lantai. "Gimana sih? Kalo jalan yang bener dong!" Adit menahan kekesalan karna gadis itu membuatnya terkejut. "Orang gue lari, lo ngalangin jalan!" Reina emosi sambil membereskan buku-bukunya yang terjatuh tanpa mempedulikan lelaki itu, ia masuk ke dalam kelas dan duduk di mejanya. Adit bingung, "kenapa perempuan itu yang lebih galak secara dia yang nabrak gue," batin Adit seraya ikut masuk ke dalam kelas lalu duduk tepat di belakang Reina. Suasana kelas tidak jauh dari kebiasaan murid-murid pada umumnya. Ricuh dengan suara riuh rendah. Saling melempar kertas sementara ada yang t

    Last Updated : 2021-06-13
  • Gue, Adit. Mau Apa Lo?   Hasrat Membara

    Adit merasa tertekan mendengar kalimat ayahnya. Memang sampai detik ini, ia masih menikmati uang dan segala fasilitas dari lelaki itu, termasuk apartmen yang ditempatinya saat ini. Namun, sebagai anak, ia tidak menyangka jika Dimas akan berlaku kasar, sampai melayangkan tamparan untuk menyakitinya. Pemuda itu meyakini bahwa ancaman orang tuanya untuk menghentikan seluruh fasilitas hidup padanya, hanya sebuah gertakan semata. Karena tidak ada orang tua yang tega menelantarkan anaknya demgan alasan apapun. Saat terbangun pagi harinya dengan semua masalah yang bergelayut di pundak pemuda itu, setelah melewati tidur dalam kegelisahan, tangannya terulur meraih laptop. Ia membuka email dan mendapat beberapa pesan baru. Salah satu pesan yang menarik perhatiannya adalah pesan yang dikirim oleh label. "Wah, kontrak rekaman!" Adit cukup terhibur melihat pesan itu. Dibacanya dengan teliti satu per satu pasal-pasal perjanjian antara band dengan label tersebut, tida

    Last Updated : 2021-06-19
  • Gue, Adit. Mau Apa Lo?   Intuisi

    Melihat tubuh molek yang terbuka dan terpampang di hadapannya, membuat lelaki itu tidak berkedip. Ia menengadah menatap wajah cantik Alika dengan napas memburu dan penuh nafsu. Tangan wanita itu membelai lembut kepala kekasihnya, membawanya perlahan agar bersandar pada bantalan atas sofa. Adit mendongak ke atas, mengarah langit-langit apartemen yang senantiasa menjadi saksi kisah kemesraan mereka selama tiga tahun ini. Jemari lentik itu bermain-main dengan kelembutan yang memabukkan. Perlahan-lahan, ujung jari menelusuri setiap inci kulit dari dahi, hidung, bibir, dagu lalu merambah area leher lelaki itu sebelum melumat bibir kekasihnya dengan lembut tapi penuh tekanan. Keduanya sudah tidak bisa menahan diri untuk berlanjut, rasa menginginkan lebih dan lebih membuai perasaan mereka. Wanita itu mengambil inisiatif untuk memulai.Sambil tetap memagut bibir, tangannya sibuk membuka pakaian bagian bawah kekasihnya, ia mengelusnya sa

    Last Updated : 2021-06-21
  • Gue, Adit. Mau Apa Lo?   Satu Pelukan

    Dalam suasana kehangatan dari dekorasi ruangan, membuat perasaan lelaki itu gelisah. Pikirannya menerawang ke masa lalu ....Hari itu jam sekolah sudah selesai, Adit tidak langsung pulang, 'untuk apa pulang cepat?' pikir adit, di rumah pun sepi seperti kuburan karna orang tuanya sangat sibuk bekerja. Ia mampir ke kantin tapi hanya satu warung saja yang buka. Lelaki itu memesan es teh manis, menyendiri sambil membaca novel kesukaannya. "Pak, es jeruk satu, ya." Reina tiba-tiba muncul di warung tersebut. Adit menoleh ke arah Reina. 'Aduh, dia lagi' batinnya. Ia berharap Reina tak melihatnya di sana, tapi itu tidak mungkin. "Loh, Dit, kamu gak pulang?" Akhirnya Reina sadar juga, ada Adit di sana. "Belum," jawab Adit singkat, tanpa menoleh. Berharap Reina malas dan langsung pergi dari sana. Tapi Reina malah ikut duduk dengannya. "Eh Dit, kamu tahu gak, ternyata manusia itu setiap harinya cuma membutuhkan satu pelukan bua

    Last Updated : 2021-06-22
  • Gue, Adit. Mau Apa Lo?   Rindu Berat

    Adit dibangunkan oleh suara alarm dari telepon genggamnya. Ia terbangun masih merasakan kantuknya dan menguap lebar-lebar, tangannya meraih telepon genggam untuk mematikan dering alarm yang melengking dan sangat mengganggu. Waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Lelaki itu bangkit dari kasurnya dan bergegas memasuki kamar mandi. Suasana hatinya sangat cerah, mengingat pertemuannya dengan Reina akan berjalan sukses karena satu-satunya penghalang yaitu Alika, kekasihnya itu sedang berlibur ke Jepang. 'Gue bebas!' Adit terlonjak girang. Sepanjang pagi itu ia bersiul terus mengikuti irama lagu dari goo goo dools, sambil menikmati kopi hangat, bersantai di balkon apartemen yang dirancang senyaman mungkin untuk bersantai. Tangannya memutar-mutar benda pipih berwarna hitam sambil berpikir. 'Reina udah bangun belum ya?' Ia memandangi langit pagi yang birunya masih malu-malu, lalu melirik telepon genggam di tangannya dengan ragu-ragu. Ingin s

    Last Updated : 2021-06-23
  • Gue, Adit. Mau Apa Lo?   First Kiss

    Teringat saat itu di hari minggu, masa rehat dari kegiatan belajar, seorang lelaki muda memetik gitar dengan santai di ruang tamu keluarga. Tiba-tiba keasikannya terganggu, ia mendengar suara gaduh dari pembicaraan kedua orang tuanya di dalam kamar.Tidak lama kemudian, ia melihat sang ayah, Dimas keluar dari kamarnya membanting pintu dengan keras. Wajah lelaki itu tampak merah dan berlalu dengan geram."Ada apa sih, Pa?" Adit terkejut mendengar bunyi pintu terbanting keras, lalu ia meletakkan gitar yang dipegangnya di atas meja.Dimas melewati putranya yang sedang berdiri menatap dirinya, ia berjalan ke arah luar dan meninggalkan rumah tanpa berkata apa-apa. Pemuda itu merasa khawatir pada ibunya. Ia melangkah ke arah kamar Dimas, mengetuknya dengan perlahan sambil memanggil, "Ma ....?" Adit ingin memastikan keadaan ibunya.Samar-samar ia mendengar suara isak tangis dari balik pintu kamar. Adit membuka pintu itu dan melongokkan kepalanya ke dalam ruangan

    Last Updated : 2021-06-24
  • Gue, Adit. Mau Apa Lo?   Terjebak Nostalgia

    Adit dan Reina sudah berada di sebuah restoran di dalam mall, mereka terlihat sangat senang dengan pertemuan itu. Bagaimana tidak, empat tahun lamanya tidak saling tahu kabar masing masing, akhirnya bisa terwujud hari ini karena Reina memutuskan untuk stay di Jakarta setelah menyelesaikan tesisnya."So, gimana kabar kamu, Dit? Wow... long time no see, ya." Reina tersenyum lebar, keceriaan menyelimuti wajahnya."Aku baik-baik aja ... gini-gini ajalah, kamu tuh yang apa kabar? Kok tahu-tahu udah sampai aja di Jakarta." Adit tersipu malu menahan rasa rindunya."Ha ha ha ... kaget ya aku datang? Surprise! Gak banyak yang tahu aku balik ke Indo kok, cuma orang tuaku dan kamu." Reina tertawa.Reina memang suka dengan kejutan-kejutan yang ia buat untuk Adit, pernah suatu hari, sewaktu Adit dan Reina masih menjalin hubungan jarak jauh, Adit merasakan rindu yang hebat di enam bulan setelah Reina pergi keluar negeri, Adit meminta Reina untuk pulang ke I

    Last Updated : 2021-06-27
  • Gue, Adit. Mau Apa Lo?   Hampir Saja!

    Adit mendatangi rumah orang tuanya, berharap mereka tidak ada di sana, sebenarnya ia merasa malas bertemu Dimas karena pasti mendesaknya untuk mengikuti keinginannya. Namun, di sisi lain, ia harus menyampaikan pesan bahwa Reina akan datang bertamu.Ia terdiam sejenak di depan pintu rumah. 'semoga papa gak ada' batin Adit. Ia membuka pintu dan melangkah masuk, melihat ke arah ruang tamu yang sepi, hatinya mulai tenang karena sepertinya hanya ada mbak Sum disana."Loh, kok kamu datang gak kasih kabar, Nak?" Widya menuruni tangga dan terkejut melihat putranya telah berada di ruang keluarga."Ya, Ma. Hm, Reina mau ke sini," jawab Adit sambil melirik-lirik ke sekitar ruangan mencari Dimas."Reina? Aduh ... sudah lama sekali mama gak dengar kabar anak itu, jam berapa Reina mau datang?" Widya terlihat antusias sambil menepuk bahu Adit."Sore kayaknya, Ma." Adit melangkah ke halaman belakang dan duduk di bangku kayu, tempat biasa ia dan W

    Last Updated : 2021-07-05

Latest chapter

  • Gue, Adit. Mau Apa Lo?   Target enam bulan

    Hari itu Adit terbangun di pagi hari, ia melihat ke arah jam dinding, pukul tujuh pagi, "sial, hari ini ikut papa ke kantor," batin Adit merasa kesal, mau tidak mau Adit harus mengikuti perintah Dimas jika masih ingin menikmati fasilitas milik Ayahnya itu, setidaknya sampai ia sukses di musik dan bisa menghasilkan uang sendiri. Adit merasa, sebentar lagi band Adam akan melejit mengalahkan band-band tenar lainnya, khayalannya sudah setinggi langit, ia bahkan sangat percaya diri akan berhasil. Adit segera bersiap untuk berangkat ke kantor, ia tidak ingin berlama lama disana, seribu alasan akan ia cari untuk segera pergi dari perusahaan Dimas. Setelah selesai mandi, telepon genggam Adit berbunyi, ia meraih benda pipih yang berada di dekatnya, dan melihat siapa yang menghubunginya, ternyata Dimas. "Halo," sapa Adit yang masih mengenakan handuknya. "Adit, sudah siap? Papa tunggu di kantor, ya," ucap Dimas memastikan anaknya datang. "Ok, Pa." Adit menutup t

  • Gue, Adit. Mau Apa Lo?   Jadian!

    Bel sekolah berbunyi, kegiatan belajar mengajar sudah usai. Seperti biasa, Adit dan Krisna mampir dulu ke studio band sekolah untuk bermain musik, mempunyai hobby yang sama membuat Krisna dan Adit cocok berteman."Sebentar lagi ada festival besar untuk tingkat pelajar antar sekolah, Dit. Mau ikutan gak?" Krisna terlihat antusias seraya memegang gitarnya."Ayo, siapa takut? Cari pemain yang lainnya gih, gue males nyariin," jawab Adit yang tingkat kepercayaan dirinya tinggi sekali saat berhubungan dengan musik."Gue suka gaya lo. Ok, gue cari, ya. Lo tinggal nyanyi aja pokoknya," ujar Krisna semangat.(Jreng jreng) Krisna memainkan intro lagu Nirvana yang berjudul Come As You Are, dengan fasih Adit langsung bersenandung menyanyikan lagu itu. "Come as you are, as you were. As I want you to be. As a friend, as a friend. As an old enemy," suara Adit begitu syahdu terdengar, sangat bagus, suara berat yang jantan membuat Ia terlihat memukau. Seketika perasaannya

  • Gue, Adit. Mau Apa Lo?   Tekanan Batin

    Di halaman belakang rumah, Reina dan Widya menghindari konflik antara Dimas dan Adit. Sesungguhnya Widya ingin semua baik baik saja. Namun, ia sendiri tidak berdaya karena takut penyakit jantungnya kambuh. Sementara, Reina merasa iba kepada Adit, ternyata sifat keras sang Ayah masih sama seperti dulu. Melihat mantan kekasihnya yang menunduk malu, ia tidak tahan. Ingin rasanya memeluk lelaki itu untuk menenangkan diri bahwa ia tidak perlu merasa malu atau tidak enak hati. Hanya saja itu tidak mungkin dilakukannya. "Sekali lagi Tante minta maaf ya, Rei," ucap Widya tidak enak hati. "Gak apa-apa, Tan, kan aku juga dari dulu sering lihat pertengkaran mereka," jawab Reina seraya memegang tangan Widya. "Iya, kamu anak baik, selalu mengerti kondisi Adit." Widya tersenyum penuh rasa syukur bisa mengenal Reina. Sementara di ruang tamu, Adit dan Dimas masih saling membisu, Dimas terlihat sangat kesal dengan anak semata wayangnya itu dan Adit, masi

  • Gue, Adit. Mau Apa Lo?   Hampir Saja!

    Adit mendatangi rumah orang tuanya, berharap mereka tidak ada di sana, sebenarnya ia merasa malas bertemu Dimas karena pasti mendesaknya untuk mengikuti keinginannya. Namun, di sisi lain, ia harus menyampaikan pesan bahwa Reina akan datang bertamu.Ia terdiam sejenak di depan pintu rumah. 'semoga papa gak ada' batin Adit. Ia membuka pintu dan melangkah masuk, melihat ke arah ruang tamu yang sepi, hatinya mulai tenang karena sepertinya hanya ada mbak Sum disana."Loh, kok kamu datang gak kasih kabar, Nak?" Widya menuruni tangga dan terkejut melihat putranya telah berada di ruang keluarga."Ya, Ma. Hm, Reina mau ke sini," jawab Adit sambil melirik-lirik ke sekitar ruangan mencari Dimas."Reina? Aduh ... sudah lama sekali mama gak dengar kabar anak itu, jam berapa Reina mau datang?" Widya terlihat antusias sambil menepuk bahu Adit."Sore kayaknya, Ma." Adit melangkah ke halaman belakang dan duduk di bangku kayu, tempat biasa ia dan W

  • Gue, Adit. Mau Apa Lo?   Terjebak Nostalgia

    Adit dan Reina sudah berada di sebuah restoran di dalam mall, mereka terlihat sangat senang dengan pertemuan itu. Bagaimana tidak, empat tahun lamanya tidak saling tahu kabar masing masing, akhirnya bisa terwujud hari ini karena Reina memutuskan untuk stay di Jakarta setelah menyelesaikan tesisnya."So, gimana kabar kamu, Dit? Wow... long time no see, ya." Reina tersenyum lebar, keceriaan menyelimuti wajahnya."Aku baik-baik aja ... gini-gini ajalah, kamu tuh yang apa kabar? Kok tahu-tahu udah sampai aja di Jakarta." Adit tersipu malu menahan rasa rindunya."Ha ha ha ... kaget ya aku datang? Surprise! Gak banyak yang tahu aku balik ke Indo kok, cuma orang tuaku dan kamu." Reina tertawa.Reina memang suka dengan kejutan-kejutan yang ia buat untuk Adit, pernah suatu hari, sewaktu Adit dan Reina masih menjalin hubungan jarak jauh, Adit merasakan rindu yang hebat di enam bulan setelah Reina pergi keluar negeri, Adit meminta Reina untuk pulang ke I

  • Gue, Adit. Mau Apa Lo?   First Kiss

    Teringat saat itu di hari minggu, masa rehat dari kegiatan belajar, seorang lelaki muda memetik gitar dengan santai di ruang tamu keluarga. Tiba-tiba keasikannya terganggu, ia mendengar suara gaduh dari pembicaraan kedua orang tuanya di dalam kamar.Tidak lama kemudian, ia melihat sang ayah, Dimas keluar dari kamarnya membanting pintu dengan keras. Wajah lelaki itu tampak merah dan berlalu dengan geram."Ada apa sih, Pa?" Adit terkejut mendengar bunyi pintu terbanting keras, lalu ia meletakkan gitar yang dipegangnya di atas meja.Dimas melewati putranya yang sedang berdiri menatap dirinya, ia berjalan ke arah luar dan meninggalkan rumah tanpa berkata apa-apa. Pemuda itu merasa khawatir pada ibunya. Ia melangkah ke arah kamar Dimas, mengetuknya dengan perlahan sambil memanggil, "Ma ....?" Adit ingin memastikan keadaan ibunya.Samar-samar ia mendengar suara isak tangis dari balik pintu kamar. Adit membuka pintu itu dan melongokkan kepalanya ke dalam ruangan

  • Gue, Adit. Mau Apa Lo?   Rindu Berat

    Adit dibangunkan oleh suara alarm dari telepon genggamnya. Ia terbangun masih merasakan kantuknya dan menguap lebar-lebar, tangannya meraih telepon genggam untuk mematikan dering alarm yang melengking dan sangat mengganggu. Waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Lelaki itu bangkit dari kasurnya dan bergegas memasuki kamar mandi. Suasana hatinya sangat cerah, mengingat pertemuannya dengan Reina akan berjalan sukses karena satu-satunya penghalang yaitu Alika, kekasihnya itu sedang berlibur ke Jepang. 'Gue bebas!' Adit terlonjak girang. Sepanjang pagi itu ia bersiul terus mengikuti irama lagu dari goo goo dools, sambil menikmati kopi hangat, bersantai di balkon apartemen yang dirancang senyaman mungkin untuk bersantai. Tangannya memutar-mutar benda pipih berwarna hitam sambil berpikir. 'Reina udah bangun belum ya?' Ia memandangi langit pagi yang birunya masih malu-malu, lalu melirik telepon genggam di tangannya dengan ragu-ragu. Ingin s

  • Gue, Adit. Mau Apa Lo?   Satu Pelukan

    Dalam suasana kehangatan dari dekorasi ruangan, membuat perasaan lelaki itu gelisah. Pikirannya menerawang ke masa lalu ....Hari itu jam sekolah sudah selesai, Adit tidak langsung pulang, 'untuk apa pulang cepat?' pikir adit, di rumah pun sepi seperti kuburan karna orang tuanya sangat sibuk bekerja. Ia mampir ke kantin tapi hanya satu warung saja yang buka. Lelaki itu memesan es teh manis, menyendiri sambil membaca novel kesukaannya. "Pak, es jeruk satu, ya." Reina tiba-tiba muncul di warung tersebut. Adit menoleh ke arah Reina. 'Aduh, dia lagi' batinnya. Ia berharap Reina tak melihatnya di sana, tapi itu tidak mungkin. "Loh, Dit, kamu gak pulang?" Akhirnya Reina sadar juga, ada Adit di sana. "Belum," jawab Adit singkat, tanpa menoleh. Berharap Reina malas dan langsung pergi dari sana. Tapi Reina malah ikut duduk dengannya. "Eh Dit, kamu tahu gak, ternyata manusia itu setiap harinya cuma membutuhkan satu pelukan bua

  • Gue, Adit. Mau Apa Lo?   Intuisi

    Melihat tubuh molek yang terbuka dan terpampang di hadapannya, membuat lelaki itu tidak berkedip. Ia menengadah menatap wajah cantik Alika dengan napas memburu dan penuh nafsu. Tangan wanita itu membelai lembut kepala kekasihnya, membawanya perlahan agar bersandar pada bantalan atas sofa. Adit mendongak ke atas, mengarah langit-langit apartemen yang senantiasa menjadi saksi kisah kemesraan mereka selama tiga tahun ini. Jemari lentik itu bermain-main dengan kelembutan yang memabukkan. Perlahan-lahan, ujung jari menelusuri setiap inci kulit dari dahi, hidung, bibir, dagu lalu merambah area leher lelaki itu sebelum melumat bibir kekasihnya dengan lembut tapi penuh tekanan. Keduanya sudah tidak bisa menahan diri untuk berlanjut, rasa menginginkan lebih dan lebih membuai perasaan mereka. Wanita itu mengambil inisiatif untuk memulai.Sambil tetap memagut bibir, tangannya sibuk membuka pakaian bagian bawah kekasihnya, ia mengelusnya sa

DMCA.com Protection Status