Jatuh cinta dan patah hati.
Bukan Ad. Remaja yang pertama kali buatku gugup, bahkan bicaraku terbata-bata saat dengannya. Tidak mampu menatap matanya terlalu lama saat bicara. Seniorku. Satu tahun di atasku.Awalnya aku tidak mengerti, apa yg aku rasakan kala itu. Ketertarikan sudah datang sejak awal melihatnya di sekolah. Lalu, mengenal pribadinya yang sangat ramah membuatku tambah tertarik.Saat sama-sama menjadi panitia masa orientasi siswa, aku dan senior itu mulai memiliki sedikit progress. Istilah yang masih ada hingga kini adalah PDKT (pendekatan). Aku sangat berharap padanya. Mungkin setelah memendam selama setahun, cinta pertamaku bisa menjadi pacar pertamaku. Walau banyak yang bilang, di masa itu yang ada hanyalah cinta monyet. Perasaan suka yang muncul, namun gampang hilang dan terlupa. Nyatanya, aku juga masih mengingat kisah ini. Kisah tentang cinta dan patah hati pertamaku.Di lorong kelas sebelum mengikuti latihan baris berbaris, senior itu menghampiri aku. Itu pertama kali dia memegang tanganku. Membuatku gugup, tapi juga sedih. Kata yang diucapkannya adalah, "maaf".Aku langsung tau. Ah! perasaanku tertolak.Dia bilang, ada teman yang memberitahunya kalau aku suka padanya. Dia ingin konfirmasi sekaligus minta maaf. Bukan aku. Perempuan yang disukainya. Ada seorang adik kelas tujuh yang ternyata belum lama menjadi pacarnya.Jelas aku kaget. Sangat kaget. Darimana dia tau. Aku hanya berdiri dan mendengar penjelasannya. Yang aku katakan setelah itu, "Tidak apa-apa. Itu nggak benar. Aku nggak suka."Tanpa pikir panjang, aku menyangkal perasaanku."Tidak apa-apa," ku ulangi lagi.Akhirnya dia pergi dengan melepas senyum seperti biasanya.Apa yang harus aku lakukan. Detak jantungku belum normal. Kepalaku tiba-tiba pusing. Aku tidak mau pergi latihan berbaris. Entah ke mana, aku ingin meluapkan sedih ini.Di tengah lapangan, sudah beberapa putaran dan latihan baris berbaris masih berlangsung. Aku tidak fokus. Berkali-kali mengucapkan perintah yang salah untuk tim baris berbaris putri. Beberapa teman mulai menatap heran. Mungkin ada juga yang dongkol. Aku lekas minta istirahat sebentar."Ay!"Sambil memberikan air mineral, Ad duduk di sampingku."Tadi pembina bilang, latihannya udah cukup hari ini. Lagian, kayaknya bentar lagi hujan. Udah mendung banget."Aku hanya mengangguk."Pulang bareng gue aja. Biar lebih cepet naik sepeda," ajaknya.Aku menggeleng. "Gue ada latihan dance di rumah Nabilah.""Ok. Ya udah. Gue duluan." Ad melangkah pergi. Sejenak aku berpikir lagi tentang ajakannya."Ad tunggu! Gue bilang Nabilah dulu nggak jadi ikut latihan."Ad setuju dengan ekspresi matanya. "Gue tunggu di gerbang."Benar. Sambil berjalan ke arah gerbang, aku baru sadar. Langit mendung sekali. Bagaimana ini? Suasana hatiku juga tidak baik.Di gerbang sekolah, Ad bersandar ke salah satu tiang. Sepeda berwarna hitam miliknya disandarkan tidak jauh. Dari kejauhan, aku tau itu Ad dari warna topi dan sepedanya. Dia pakai topi warna army. Bagian depannya sengaja direndahkan. Sering aku melihatnya memakai topi dengan cara seperti itu. Terkadang aku tegur, karena mungkin saja membuatnya tersandung atau menabrak sesuatu.
Melihatku semakin dekat, dia segera menaiki sepeda. Satu kakinya menginjak pedal. Aku duduk di jok belakang. Ad melepas topinya, membalikkan depan topi mengarah ke belakang. Sepedanya mulai dikayuh dan melaju di antara angin yang datang sebelum hujan."Gue kebut!" Katanya.Angin berhembus makin kencang, laju sepeda malah jadi melambat. Rintik hujan turun dari kecil hingga deras. Ad berbelok ke arah warung es kelapa terdekat. Kami belum sampai ke arah jalan raya. Dari tempat berhenti, sebetulnya tidak jauh lagi sampai ke depan kompleks. Tapi, jalanan licin akibat tanah disekitarnya terbawa air hujan."Lo bawa payung?" tanya Ad.Karena berganti ransel, payung milikku ada di tas satunya."Nggak!""Mau naik angkot?" Ad menoleh ke kiri jalan."Nggak!"Lalu aku dengar Ad meminta ijin ke pemilik warung untuk ikut berteduh. Pemiliknya mempersilahkan, bahkan menawari bangku plastik untuk duduk. "Duduk Ay!" kata Ad."Nggak!" Aku malah melangkah menjauhi warung. Sebetulnya karena melihat kucing kecil berjalan perlahan kehujanan. Mungkin usianya masih dua atau tiga bulan. Sendirian tanpa induk atau saudaranya."Ay! Ay.., mau kemana?"
Seragamku basah. Tapi sudah terlanjur. Aku memegang kucing itu dan segera menggendongnya. Saat berbalik, Ad hanya berjarak beberapa langkah. Dia menghampiriku sambil membawa payung yang rusak sebagian. Mungkin pinjam dari pemilik warung."Masih aja main ujanan!" "Ini kasian," aku perlihatkan kucing kecil yang mulai menggeliat di dekapan. Seperti tidak nyaman. Suaranya nyaring mencari induknya.Kami berjalan balik ke arah warung. "Udah basah. Percuma pakai payung," kataku.
"Kasian kucingnya," sahut Ad.
"Oh."Hujan cukup lama reda. Akhirnya sambil menunggu, kucing kecil yang kebasahan lebih tenang di dalam kerdus bekas. Sambil memperhatikan, aku merasa sesuatu di kepalaku. Ad memakaikan topinya ke padaku. Seperti biasa, depan topi direndahkan persis seperti yang dikenakan Ad saat menunggu di gerbang.Memang sudah sejak tadi, aku berhasil meluapkan kecewa karena patah hati dari seniorku. Aku akhirnya tau untuk pertama kali, seperti ini rasanya. Aku pikir, tidak akan menangis. Ternyata kesan dan harapan yang ku pendam besar, sehingga kecewa yang aku rasakan juga sama.Ad ada di sana. Di moment itu. Tidak bertanya dan memintaku menjelaskan sebab. Tidak di hari itu. Ad hanya menemaniku dengan caranya.Dia ada bersamaku, berdiri di sampingku sambil minum es kepala di tengah hujan deras. Sepertinya tidak enak hati pada pemilik warung, kami berteduh cukup lama.
Di malam hari aku menerima SMS masuk. Di kontak nama tertulis Adudidu.
Adudidu : Gue dapet yang baru. Mau?Aku : Mau....Kenangan bersama.Karena semalaman insomniaku kumat. Aku baru bisa tidur setelah sholat subuh. Terbangun jam sepuluh lewat. Masih mengumpulkan energi sebelum bangun dari tempat tidur. Mata terbuka lalu terpejam lagi. Beberapa kali hingga benar-benar siap bangun.Saat melihat ke arah kiri. Di sebelah tempat tidur, kedua mata bulat memperhatikan. Bau yang khas membuatku beberapa kali menciuminya, hingga dia kesal dan turun dari tempat tidur.Di depan pintu mencoba membukanya sambil menarik-narik gagang pintu dengan tangan bulatnya yang berbulu. Motifnya belang. Namanya Elang. Kucingku."Lang..! Laper? Tunggu bentar yah," kataku.Elang berjalan sambil mengeong ke arah tempat makannya. Aku mengambil toples berisi dry food khusus untuk kucing penderita gangguan ginjal. Hanya sedikit yang di makan. Aku lanjut memberinya wet food dicampur vitamin.Aku dengar suara ibu membukakan pintu untuk tamu. Tamu dengan suara yang aku kenal.
Tahun 2007.Kata-kata yang bagai disembunyikan namun menusuk. Melukaiku lagi. Membuatku berpikir berulang-ulang. Apa ini kesalahanku lagi?Terkadang berada di dalam kamar ini membuatku tertekan. Saat aku berharap ditopang, aku semakin goyah. Saat aku menguatkan diri sendiri, seluruh tubuhku rasanya sakit.Tapi, kecewa mungkin masih terjadi. Aku khawatir karena tidak bisa dihindari. Hidup ini masih berlanjut.Usiaku lima belas kala itu.Aku ingin apa yang aku ketahui itu mimpi. Sudah berhari-hari aku tidak ke luar rumah. Sebagian besar ku habiskan di kamar. Entah, sudah berapa lama.Kata-kata mereka hanya berlalu. Tidak membuahkan hasil, karena hatiku bagai hancur. Aku bahkan lelah meneteskan air mata yang sulit dikendalikan. Aku takut mengenang. Kenangan yang membuatku tambah menyesal. Semakin aku teringat, aku ingin menemuinya.Ibu mengetuk pintu kamarku sebelum membukanya. Membawakan sepiring nasi dan lauk pauk
Putih abu-abu.Lambang osis berganti warna. Rok yang aku kenakan juga. Seragamku berubah ke putih abu-abu. Lokasi sekolah jadi lumayan jauh dari rumah.Berangkat sekolah. Aku ke luar rumah menuju pekarangan. Ternyata Ad sudah berdiri di sana."Ad!"Dia menoleh. Tanpa banyak bicara, kami berjalan kaki ke luar kompleks. Tak lama, angkot biru berhenti, menawari untuk naik. Seperti sebelumnya, kami berangkat sekolah bersama. Kali ini butuh waktu sekitar 30-45 menit untuk sampai. Kami juga perlu dua kali naik angkot. Selama di angkot, mataku sering terpejam untuk beberapa saat. Aku masih mengantuk.Udara dinging mulai menghangat. Matahari makin nampak. Angkot ke dua yang kami naiki sudah berhenti. Ad menepuk bahuku."Ayo turun!"Dia menawariku untuk membawakan tas."Ga usah.""Lo pucet banget. Sakit?""Nggak. Lagi period."Wajahnya bingung."Period perempuan. Datang
Nabilah dan Ralina.Mobil yang kami sewa online berhenti di salah satu pusat belanja peralatan rumah tangga. Enam bulan yang lalu, Nabilah menikah dengan laki-laki pilihannya. Tapi setelah menikah, keduanya masih harus terpisah karena urusan pekerjaan. Selain itu, Nabilah juga belum bisa ikut suaminya karena ibunya masih harus menjalani pemeriksaan rutin.Setelah membeli beberapa peralatan dapur, kami menyewa mobil online lagi. Sampai di salah satu cafe bertema warung kopi. Menu yang ditawarkan aneka camilan lokal dengan teh atau kopi tubruk. Terdapat area outdoor yang cukup luas dan sangat nyaman. Sebelum masuk, aku dan Nabilah menjalani protokol kesehatan. Cek Suhu dan mencuci tangan. Jarak antar meja cukup jauh. Jumlah pengunjung sangat dibatasi. Seminggu lalu cafe ini buka kembali. Waktu operational yang diijinkan hingga jam enam sore.Di sana, Ralina sudah menunggu."Banyak banget belanjaannya. Kayak mau pindahan.""Emang
Tentang kesendirian.Waktuku saat sendiri. Apa sebetulnya, aku banyak menghabiskannya untuk hal yang tidak perlu? Habis waktuku memperhatikan mereka. Hidupnya. Dari jari yang terus bergerak naik turun. Aku tanpa sadar tertarik pada hidup yang bukan hidupku. Begitu saja terjadi. Alhasil aku membandingkan. Enak yah orang itu. Kalau aku dia, bagaimana?Sehingga lupa, di mana aku berada.Aku belum menyelesaikan target tulisan. Masih banyak artikel yang belum kutulis. Tenggat waktunya makin sempit. Aku berlama-lama tadi, melihat sosial media. Padahal, waktu itu bisa kugunakan untuk menyelesaikan pekerjaanku sebagai freelancer. Untung. Walau masih amatiran, aku memiliki kemampuan yang membantuku selagi tidak bekerja full time. Biarpun pendapatannya belum mencukupi kebutuhan.Aku regangkan pensendian yang terasa kaku. Masih di depan layar laptop dengan cangkir teh yang kosong. Setoples camilan yang terisi setengah. Tiba-tiba saja teringat
Class meeting. Ujian akhir semester sudah selesai. Aku masih harus mengulang Matematika dan Fisika. Di tengah pekan remedial, class meeting tetap berlangsung. Karena jam masuk sekolah lebih leluasa selama class meeting, aku baru tiba ke sekolah jam 8.30 pagi. Sebenarnya, hari itu tidak ada jadwal remedial ataupun aktiviras berarti, kecuali melihat pertandingan basket Kelas 10 (2) melawan Kelas 10 (3). "Tolong bawain ke kelas," Ad memberikan tasnya padaku setelah mengeluarkan t-shirt dan celana basket. Dia berlari menuju lapangan basket mengikuti pemanasan dengan pemain lainnya. "Hisshh," aku tetap membawakan tasnya, walau agak kesal. Di depan Kelas 10 (2), Ralina dan teman-teman sekelas duduk berkerumun. Ada yang main sambung lagu dari kata terakhir pada lirik yang dinyanyikan. Ada yang lagi jual beli cemilan dari kelas sebelah. Ada juga yang berkeliaran kejar kejaran entah karena apa. Di dalem kelas, mereka yang asik main uno duduk melingkar di pojokan. Dua orang tampak serius c
Hari terakhir class meeting. Besok pembagian rapor. Aku di kantin menyantap mie goreng dengan es teh manis. "Ad gimana? Udah ada perubahan?" Tanya Ralina. "Luka-lukanya udah sembuh. Jalannya juga udah lebih lancar, tapi statusnya masih sama. Jadi tahanan rumah," jawabku. Karena insiden di hari itu, Bapak Ad dihubungi oleh pihak sekolah. Alhasil ketika tau, Ad tidak boleh ke sekolah selama class meeting. "Tapi hari ini jadi kan daftar ke tempat les?" Tanya Ralina kembali. "Iya. Jadi. Temenin yah." Naik kelas 11, aku memutuskan untuk ikut les. Ralina sudah lebih dulu daftar dari semester lalu. Setelah mendapat surat pemberitahuan masuk jurusan IPA, aku sadar kemampuan Matematika, Fisika, dan Kimiaku masih kurang. Sampai di sana, aku bertemu bagian administrasi dan pendaftaran. Selesai isi folmulir dan menyelesaikan pembiayaannya, salah satu tutor mengajak tour kelas dan fasilitas lainnya yang ada di
Aku ketiduran. Terbangun karena ibu masuk ke kamar dan bilang ada Ad di teras.Benar. Dia datang."Bangun tidur?""Ya.., kenapa sih?""Nih! Series Lupus yang baru. Mau nggak?""Mauuuu. Makasih."Aku menguap hingga dua kali."Muka lo kenapa kusut gitu?" Seperti ada hal yang mengusik Ad. Walau mataku masih mengantuk, tapi terlihat jelas dari tatapannya."Muka lo juga kusut. Eh, beler sih lebih tepatnya," ledek Ad dengan senyum yang dipaksakan.Sore hari yang sejuk untuk bersantai-santai. Cuaca panas berubah jadi berawan. Ad mengajakku jalan sore di sekitar kompleks. Kami berkeliling satu putaran dan berhenti di taman sebelah lapangan badminton. Di sana, ada dua adiknya Ad sedang bermain. Si kembar cewek dan cowok. Usianya masih 9 tahun."Temenin gue jagain bocah-bocah," pinta Ad."Tumben jam segini mereka nggak ngaji?""Pak Ustadz lagi ada perlu. Nggak ngajar hari in
Menemui Sabtu, setelah melewati hari-hari kerja, rasanya..., nikmat sekali. Aku keluar dari kamar hampir mendekati jam 10 pagi.Di rumah hanya terlihat Ibu dan Kay. Ibu masih mengaduk adonan bakwan sayur di baskom berukuran sedang. Kay focus dengan tablet dan games run away yang sedang dimainkannya.Setelah meneguk seperempat air putih, aku mengambil selemar roti di atas meja makan, cukup mengolesinya dengan mentega hingga rata. Selembar roti sudah habis ku makan hanya beberapa detik saja.Aku duduk di samping Kay, melihatnya yang belum berhenti bermain game."Sudah main dari kapan?""Baru!""5 menit lagi selesai ya!""Aagghhh....," gerutu Kay."5 menit lagi, abis itu kita main futsal di lapangan depan. Mau ga?""Iyaa..," jawab Kay mengiyakan dengan nada malas.Walau begitu, Kay menepatinya. Kami akhirnya pergi ke lapangan futsal yang dituju. Sampai di sana, sebetulnya yang aku lakukan hanya mengawasi Kay bermain dengan anak-anak lain. Ada enam anak lainnya di sekitar lapangan. Kisaran
Tahun 2021Tiga bulan hampir selesai. Masa probation di kantor baru hampir terlewati. Alhamdulillah. Lancar. Butuh ektra tenaga menyelesaikan pekerjaan, karena masih beradaptasi dengan alur pekerjaan di tempat baru.Setelah melewati probation, aku akan melanjutkan kontrak kerjaku di lokasi kantor berikutnya. Alasan terbesar kenapa aku kembali bekerja waktu penuh. Aku akan ditempatkan di kantor cabang Kota Bogor. Akhirnya mobilitas yang sebelumnya menjadi momok hampir di setiap minggu malam akan ku tinggalkan. Aku memang belum tau, kapan situasi akan normal kembali. Dalam seminggu, aku hanya dua hari ke kantor di Jakarta. PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) yang digunakan untuk mengatasi Pandemik Covid19 masih diberlakukan.Aku kebagian masuk kantor Selasa dan Jum'at. Hari jum'at, Tian sering menjemputku ke kantor, walau tidak jarang dia harus berangkat dari Bogor ke Jakarta untuk menjemput. Sungguh tidak sekalipun aku pernah memintanya sejak kami di fase hubungan yang b
Selesai mengerjakan beberapa tulisan jam dua dini hari, aku terbaring mengingat Tian. Ada saja hal yang membuatku ingin menertawakan kekonyolannya yang tidak disengaja. Seperti salah tingkahnya ketika bertemu Ibu.Aku masih belum mengantuk walau sudah hampir setengah jam berbaring di kasur. Random saja, aku ambil satu album yang tersimpan di antara tumpukan buku di dalam rak. Album ketika aku SMA. Tidak banyak foto tercetak. Maklum lebih banyak foto yang tersimpan di HP yang aku gunakan saat itu. Sebagian softfile sudah ku pindahkan ke dalam hardisk.Aku sengaja memuka album dari belakang. Foto yang ingin ku lihat saat moment liburan ke Bandung dan perpisahan SMA. Kenangan yang membuatku merasa hangat di malam itu. Tanganku terhenti di lembaran ke tiga. Sengaja berhenti, karena foto-foto yang ada di halaman berikutnya. Aku memang tidak pernah membuang kenangannya. Hampir semua masih tersimpan, termasuk buku-buku miliknya yang ada di atas mejaku. Tapi aku masih merasa berat, jika melih
Kejadian semalam saat Tian membuat pengakuan, masih sulitku percaya. Aku dan Tian? Saat terbangun, aku yakinkan diri sendiri. Aku bisa memulai kembali. Seperti tidak ada alasan untuk menolak. Tian yang tetap ada untukku. Kelak aku memang tidak tau, tapi aku merasa lebih tenang untuk kembali percaya pada suatu hubungan, karena Tian. Notif chat dari Tian hampir tidak pernah absen sejak dulu, muncul di layar hp-ku di pagi hari. Sekedar share menu sarapannya dekat kantor ditambah review mengerupai food vlogger, memberitahu cuaca hari itu seperti g****e weather, tiba-tiba melontarkan tebak-tebakan, atau sekedar merekomendasikan lagu baru yang didengar. Tanpa aku sadari, membuka isi chat dari Tian di pagi hari jadi rutinitas yang tidak pernah aku lewati. Kali ini dia mengirimkan voice note yang membuatku tertawa geli. Dia berkali-kali bilang masih tidak percaya kejadian semalam. Dengan excited dia bilang terimakasih dan memintaku untuk tidak berubah pikiran. Katanya, dia tidak mau membuat
Sepuluh tahun setelah Ad berkata ingin pergi, sebetulnya aku pernah dua kali bertemu dengannya. Bukan di reuni sekolah, melainkan di Yogjakarta saat liburan semester perkuliahan. Aku, Nabilah, Ralina, janjian bertemu Tian dan beberapa teman lainnya di sana untuk liburan. Di masa perkuliahan kami, aku dan Nabilah masuk ke perguruan tinggi negeri sesuai yang kami harapkan di Institut Pertanian Bogor. Sedangkan Ralina, tidak jadi kuliah di Bandung, tapi karena itu aku, Nabilah, dan Ralina bisa bertemu di kampus yang sama. Sedangkan Tian, akhirnya kuliah di Yogjakarta. Karena itu juga Yogjakarta tempat yang kami pilih untuk menghabiskan liburan di semester dua. Tepatnya setahun setelah menyandang status Mahasiswa. Awalnya aku sempat curiga apa ada salah satu yang mengabari Ad untuk bertemu. Kecurigaanku paling besar tertuju pada Tian. Tiba-tiba saja Ad muncul saat acara makan malam di sekitar Malioboro. Apa mungkin Tian yang mengabarinya? Karena Ad dan Tian sama-sama kuliah di Yogjakart
Matahari bersama dengan awan mendung pagi itu. Aku berjalan beriringan dengan Ad, menyusuri kebun teh yang biasa kami tempuh hanya dengan berjalan kaki. Tidak seperti kami yang baru memulai hari, para pemetik teh sudah memikul keranjangnya masing-masing. Suara aliran irigrasi jadi latar suara menamani aktivitas di pagi hari.Tidak ada senyum merekah yang mudah kutemui dari wajahnya setiap kali dia datang ke rumahku mengajak pergi sekolah bersama. Bukan aku tidak tahu apa penyebabnya, aku hanya masih menghindari ketidaksiapan akan kemungkinan yang tidak aku harapkan.Jika kisah kami akan segera usai, apa mungkin kami adalah pasangan yang menyerah pada jarak atau ada hal lainnya?"Kita udah setengah jam jalan kaki. Kalau nggak ada yang mau dibicarain, aku mau pulang," kataku menahan ragu."Duduk di sana dulu," Ad menunjuk kursi kayu panjang yang biasa digunakan pemetik daun teh istirahat sejenak.Di sisi lain, aku juga sangat ingin mendengar keputusan Ad."Minggu depan, aku pindah," kat
Pagi itu. Ad seperti hari-hari lalu. Ada di depan pekarangan rumahku menunggu berangkat ke sekolah bersama. Tidak ada yang berbeda. Kami berjalan bersampingan. Hanya saja. Lebih hening dari biasanya. Sedikit canggung. Perbincangan singkat selama di jalan, terhenti begitu saja. Lalu, sama-sama diam lagi.Di sekolah, Ad dan aku pergi ke ruang konseling. Aku ingin mendiskusikan jurusanku nanti dengan Guru BP sedangkan Ad ingin memberitahukan rencana perkuliahannya yang berubah. Ad lebih lama berada di ruang BP. Aku selesai lebih dulu. Dari sana, aku pergi menemui Ralina di depan perpustakaan."Jadi kan pergi ke toko buku?" Tanya Ralina. Hari Itu dia mengajakku menemaninya membeli buku untuk persiapan TOEFL."Jadi. Apa sekarang aja berangkatnya?""Lho! Nggak tunggu Ad?"Aku diam."Kayaknya lagi ada angin dingin. Berantem?"Aku menggeleng. Mungkin nanti kuceritakan ke Ralina. Hatiku masih tid
"Bu.., Iya ke luar bentar yah. Mau beli pulsa," kataku sambil buka pintu. Di luar terasa lebih gelap, karena ada lampu jalan di Blok A yang mati. Aku bawa senter untuk menerangi jalan. Untunglah. Walau sudah lewat jam delapan malam, etalase penjual pulsa masih ada. Aku mempercepat langkah. Pulsa 20 ribu sudah masuk, aku membalas pesan-pesan yang belum terjawab. Di saat itu aku juga baru menyadari ada satu panggilan tak terjawab. Nomernya tidak dikenal. Di jalan pulang, aku putuskan mengambil jalan berbeda. Jalan melewati jajaran rumah di Blok C. Semakin dekat ke salah satu rumah, langkahku terhenti. Lampu rumah yang sudah tiga minggu ini mati menyala kembali. Sedikit ragu, tapi aku lebih penasaran untuk mendekat. Aku coba mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Apa sudah pulang? pikirku. Pintu terbuka. "Ad!" Dia pulang. "Masuk Ay," Adil mengajakku duduk di ruang tamu. "Maaf belum kaba
Aku melihat Ralina berdiri di depan gerbang sekolah. Hari itu, aku ingin mengurus berkas administrasi kelulusan. Aku juga sudah janjian dengan Ralina dan Tian bertemu di sekolah. "Udah dapet kabar lagi dari Ad?" tanya Ralina. "Udah. Di sana masih lanjut pengajian tiap malam." "Kapan dia pulang?" "Mungkin setelah pengajian hari ke-40." "Pasti berat buat Ad," kata Ralina. "InsyaAllah Ad kuat," kataku. Melewati lapangan basket. Tian terlihat dengan beberapa teman seangkatan bermain. Dia memanggilku dan Ralina dari dalam lapangan. Tian berhenti bermain lalu menghampiri kami di depan perpustakaan. "Lo jadi ambil Ay?" tanya Tian. Maksudnyaaplikasiku yang diterima untuk kuliah di IPB. Aku mengangguk. "Lo gimana? jadi ikut SNMPTN?" tanyakubalik. "Jadi. Tadi pagi, gue juga abis mampir ke tempat les. Hari ini mau belajar bareng Kak Guntur (s