Hari terakhir class meeting. Besok pembagian rapor. Aku di kantin menyantap mie goreng dengan es teh manis.
"Ad gimana? Udah ada perubahan?" Tanya Ralina."Luka-lukanya udah sembuh. Jalannya juga udah lebih lancar, tapi statusnya masih sama. Jadi tahanan rumah," jawabku.Karena insiden di hari itu, Bapak Ad dihubungi oleh pihak sekolah. Alhasil ketika tau, Ad tidak boleh ke sekolah selama class meeting."Tapi hari ini jadi kan daftar ke tempat les?" Tanya Ralina kembali."Iya. Jadi. Temenin yah."Naik kelas 11, aku memutuskan untuk ikut les. Ralina sudah lebih dulu daftar dari semester lalu. Setelah mendapat surat pemberitahuan masuk jurusan IPA, aku sadar kemampuan Matematika, Fisika, dan Kimiaku masih kurang.Sampai di sana, aku bertemu bagian administrasi dan pendaftaran. Selesai isi folmulir dan menyelesaikan pembiayaannya, salah satu tutor mengajak tour kelas dan fasilitas lainnya yang ada di sana.
Kembali ke meja resepsionist, aku menunggu Ralina yang sedang bicara dengan salah satu tutor. Tak lama, pintu masuk terbuka. Udara panas di luar, masuk bersamaan pintu dibuka. Aku refleks menoleh. Seorang siswa dengan perawakan tinggi dan berwajah chinese masuk."Ayri. Les di sini juga?""Iya. Kak Ragil les di sini?" Sebenarnya aku sudah tau.Dia mengangguk. Kak Ragil adalah laki-laki pertama yang aku suka. Dia yang menemuiku kala itu. Saat di SMA, dia juga kakak kelasku."Sama Adil daftarnya?"Aku mengangguk. Ad memang berencana mendaftar juga. Walau nilai-nilainya jauh lebih baik daripada aku, dia tetap tertarik untuk mendapat pelajaran tambahan. Seharusnya hari ini kami daftar bareng."Adil mana?""Ad hari ini nggak ke sekolah," jawabku.Teman Kak Ragil datang. Obrolan terhenti. Kak Ragil bersama temannya menuju area rental komputer di dalam tempat les.Selesai Ralina bertemu tutor, kami ke luar membeli ice cream di minimarket dan kembali lagi ke tempat les. Karena cuaca panas dan di tempat les ada AC, kami menghabiskan ice cream di dalam.Kak Ragil ternyata masih di sana, baru ke luar dari ruang rental."Ayri masih di sini. Pulang naik apa? Bareng aja," dia mengajakku pulang naik motornya."Iya Kak. Tapi.., nggak apa-apa?""Nggak apa-apalah. Emang kenapa?"Aku menggeleng."Ok! bentar yah, tunggu hasil print. Habisin dulu aja ice cream-nya.""Iya Kak."Aku masih mudah grogi jika bertemu Kak Ragil. Kadang perkataanku juga terbata-bata. Belum lagi sering salah tingkah. Aku tidak begitu yakin, apa karena masih suka atau hanya perasaan kagum saja.Siang itu, Kak Ragil benar-benar mengantarku pulang. Tentu karena kami pulang searah. Ku pikir, dia hanya akan mengantarku sampai depan kompleks, ternyata sampai depan rumah."Di anter siapa Iya (panggilanku di rumah)?" Ibu ternyata sedang menyapu di teras."Kakak kelas Iya.""Nggak bareng Adil? Kata Ibunya, dia ke sekolah hari ini mau ambil surat pemberitahuan.""Nggak ketemu. Adil juga nggak SMS Iya," aku langsung memastikan kembali dan mengecek ulang isi pesan. Tidak ada SMS dari Ad.Di dalam kamar, aku menanyakan langsung lewat telepon ke handphone-nya."Hallo..""Iya. Apa Ay?""Lagi di mana?""Mau jalan ke tempat les. Kenapa?""Tadi dari sekolah? Naha teu SMS (kenapa tidak SMS)?""Habis pulsa. Baru ngisi pas mau pulang.""Ohh.., udah dibolehin ke luar nih.""Iya. Sekalian ambil surat. Kok bisa tau?""Tadi ibu bilang. Hhm.., ya udah atuh, mau tanya itu aja. Gue udahin teleponnya, Ass..""Tunggu Ay! Bentar. Tadi pas di jalan, gue lihat lo sama Kak Ragil di motor. Kalian deket lagi?""Oh tadiii..., eghhh.., itu nggak sengaja aja bareng. Kenapa?""Nggak. Agak kaget aja. Nanti gue ke rumah lo deh.""Ok!""Assalamualaikum," kata Ad."Walaikumsalam."Setelah telepon ditutup, aku merasa bersalah, tapi kenapa? Aku dan Ad berteman. Ad adalah temanku. Perasaanku padanya hanya sahabat dan teman sedari kecil. Ad juga tidak pernah mengatakan apapun tetang rasa suka, begitupun aku. Walau jahil dan terkadang kami bertengkar, sejak dulu dia memang baik dan perhatian padaku.Aku ketiduran. Terbangun karena ibu masuk ke kamar dan bilang ada Ad di teras.Benar. Dia datang."Bangun tidur?""Ya.., kenapa sih?""Nih! Series Lupus yang baru. Mau nggak?""Mauuuu. Makasih."Aku menguap hingga dua kali."Muka lo kenapa kusut gitu?" Seperti ada hal yang mengusik Ad. Walau mataku masih mengantuk, tapi terlihat jelas dari tatapannya."Muka lo juga kusut. Eh, beler sih lebih tepatnya," ledek Ad dengan senyum yang dipaksakan.Sore hari yang sejuk untuk bersantai-santai. Cuaca panas berubah jadi berawan. Ad mengajakku jalan sore di sekitar kompleks. Kami berkeliling satu putaran dan berhenti di taman sebelah lapangan badminton. Di sana, ada dua adiknya Ad sedang bermain. Si kembar cewek dan cowok. Usianya masih 9 tahun."Temenin gue jagain bocah-bocah," pinta Ad."Tumben jam segini mereka nggak ngaji?""Pak Ustadz lagi ada perlu. Nggak ngajar hari in
Ini kali pertama aku nonton ke bioskop hanya berdua saja dengan laki-laki. Banyak yang terlintas dibenakku. Terlebih perginya dengan Ad. Aku masih menerka-nerka maksud dari ajakannya di akhir pekan ini.Di dalam kamar, sudah tiga set pakaian yang aku kenakan, hingga akhirnya kembali pada pilihan pertama. Aku selesai bersiap memakai celana denim, atasan biru muda dengan motif renda mengelilingi bagian bawah baju, sling bag kecil, flat shoes, dan rambut yang diikat setengah ke bagian belakang.Memasuki gedung bioskop, banyak juga pasangan muda mudi di dalamnya. Ad ikut mengantri untuk membeli tiket. Dua tiket film didapat."Masih setengah jam lagi. Mau tunggu di mana?" tanya Ad.Sesekali aku melihat lagi penampilan hari itu. Ad terlihat lebih tinggi dengan kemeja flannel kotak-kotak berwarna navi, inner t-shirt warna abu tua, celana denim hitam, dan sepatu converse. Outfit yang kami kenakan membuatku canggung. Mungkin ada yang mengira, kami seng
Tahun ajarkan baru. Semester Baru. Kenaikan kelas.Di Kelas 11 IPA 2, aku masih sekelas dengan Ralina dan Tian, tapi tidak dengan Ad. Ad masuk Kelas 11 IPA 1. Kelasnya tepat berada di sebelah kelasku.Ad sering menemuiku saat jam pelajaran sekolah usai, atau kami makan bersama di kantin dengan Ralina dan Tian juga.Bersama-sama bukan lagi rutinitas tapi kebutuhan. Bertemu Ad. Bertemu teman-temanku. Waktu terbagi dan dibagi. Bersama mereka bukan hanya melalui hari tapi membentuk kisah yang kelak dapat diceritakan kembali.Perhatian timbul tidak terumbar. Terkadang tersembunyi dan baru diketahui setelah lama.Di ruangan kelas, Ralina membantu bereskan makalah biologi sebelum dibawa ke ruang guru. Belum selesai membereskan, ku lihat Ralina meringis sakit."Kenapa Lin?"Telunjuknya tergores kertas. Ke luar darah dari luka goresan."Bentar. Gue ada perekat luka."Aku lantas kembali ke meja, me
Minggu. Olahraga pagi.Waktu menunjukkan pukul 6 pagi. Aku memeluk diri sendiri di tengah udara yang masih dingin. Langkah kaki semakin berat. Tidak kuat lagi melanjutkan lari."Ad. Pelan-pelan dong. Kaki gue sakit nih," keluhku coba mengejarnya ketika jogging.Ad berlari mundur ke arahku."Baru satu putaran Ay. Ayo! Masa udah lihat tampang gue pagi ini masih lesu. Gue aja semangat banget," Ad pamer."Ga ada hubungannya. Berhenti-henti! Istirahat dulu," Gerutuku mencari apa saja buat duduk dan meluruskan kaki. Aku duduk di sebuah batu besar.Ad masih melanjutkan olahraga paginya di hadapanku. Kakinya tetap berlari tapi di tempat."Berhenti dulu deh! Pusing gue lihatnya," kataku sambil menarik tangannya untuk ikut duduk."Bilang aja..mau duduk berduaan. Boleh kok," Ad tersenyum lebar."Ihhh apaan sih. Yaudah sana-sana!" Tingkahnya malah buat aku grogi.Ad mala
Sudah lama tidak merasakan pagi sesejuk ini. Tidak bosan menghirup udara dalam. Pergilah toxic! Kedua daun jendela terbuka lebar. Sejak pagi sudah mulai beraktivitas. Teh yang dibuat mulai dingin. Sisa pisang goreng tinggal dua potong saja di piring. Dari luar saut-sautan suara burung berkicau. Dalam benakku, seperti ikut berbincang. Bicara tentang awal hari.Di ruang tamu bertumpuk kotak-kotak kerdus. Ada yang sudah direkatkan dengan solatip, ada yang masih terbuka, atau kosong.Aku menumpuk piring-piring yang sudah dilapisi koran oleh Ralina. Nabilah tidak jauh dariku melipat baju-baju, memisahkan yang tidak terpakai dan masih. Buku-buku bertumpuk belum masuk kotak. Pajangan dan foto-foto juga. Di dapur, panci, penggorengan, dan perkakas lainnya menunggu packing.Kemarin sore, aku dan Ralina sampai di rumah Nabilah. Kami mau bantu packing barang-barang untuk pindahan. Di rumah hanya ada Nabilah dan Ibunya. Kakak ipar dan keponakan Nabilah siang akan d
Februari, Tahun 2009.Pagi sekali.Mungkin baru lima belas menit aku tertidur, lalu ibu membangunkan. Mata yang mengantuk, rambut yang masih berantakan lengkap dengan t-shirt belel dan celana training panjang, aku ke luar kamar dengan langkah yang gontai. Aku coba menatap jelas apa yang ada di hadapan. Hanya ada kabut dan cahaya fajar yang belum penuh. Berdiri sejenak. Menutup mata lalu melihat kembali. Tidak ada apa-apa. Kenapa ibu bangunin suruh ke luar sepagi ini? padahal ini hari libur.Cuacanya masih dingin. Aku ingin kembali ke dalam selimut jika bukan karena melihat sepeda yang ku kenal milik siapa terparkir di pekarangan samping rumah. Warnanya hitam. Aku melihat lagi ke sekeliling tapi tidak nampak pemiliknya.Ada sepucuk surat direkatkan di depan sepeda. Aku buka kertas putih polos itu dan membaca isi yang tertulis.Hi sahabat!Segala kebaikan aku doakan untukmu.Terimakasih sudah hadir di masa lalu dan sekarang.Hi ca
Desember. Akhir Tahun 2009.Setengah tahun terakhir di masa SMA. Bintang-bintang nampak jauh sekali. Di angkasa raya. Begitu banyak. Indah. Begitu sulit juga diraih.Malam belum larut. Api unggun di depan kami sudah dinyalakan. Bau jagung bakar. Di area perkemahan terbuka, beberapa tenda didirikan. Namun, tenda yang kami bawa hanya dua.Petikan gitar terdengar. Satu persatu lagu dimainkan. Raut antusias mengikuti bait lagu. Bahu mengikuti irama ke kiri dan kanan. Seakan jagung bakar ditangan berubah jadi mic. Kami melepas kekhawatiran untuk ujian yang semakin dekat dan penat setelah mengikuti beberapa kali try out.Aku duduk berjajar dengan Ralina dan Nabilah ikut bersenandung. Ad bernyanyi di sebelah Tian yang bermain gitar. Banyak muda mudi lainnya di sekitar. Kemungkinan yang paling banyak adalah mahasiswa dan pemuda karang taruna. Masing-masing kelompok hanyut dalam suasana.Malam yang cerah. Gemintang di langit. Masa muda
Market, Tahun 2010.Kali ke tiga aku mengikuti Ujian Nasional sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, tidak sama sekali mengurangi tekanan dan beban yang dirasakan, justru bertambah. Penentuan dari lamanya kami bersekolah setiap hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan tahun demi tahun dengan beberapa hari ujian menggunakan standarisasi nilai secara nasional.Hari terakhir ujian. Sesaat bawa angin sejuk. Sesaat bawa kelegaan. Namun sesaat saja, karena masih ada penantian hasil kelulusan. Ke luar ruang ujian, begitu saja haru tertuang dalam pelukan dan rangkulan teman. Satu langkah besar telah dilakukan di masa itu.Teringat malam, pagi, dan setiap waktu yang kami curahkan untuk persiapan perang dengan kertas-ketas ujian, hingga peperangan itu usai kami lalui. Setelahnya, kami akan melakukan persiapan baru dan melanjutkan perjuangan.Aku memeluk Ralina, "Ujian udah selesai Lin, kita berdoa yang terbaik yah.""Iya Ay. Lulus. Kita
Menemui Sabtu, setelah melewati hari-hari kerja, rasanya..., nikmat sekali. Aku keluar dari kamar hampir mendekati jam 10 pagi.Di rumah hanya terlihat Ibu dan Kay. Ibu masih mengaduk adonan bakwan sayur di baskom berukuran sedang. Kay focus dengan tablet dan games run away yang sedang dimainkannya.Setelah meneguk seperempat air putih, aku mengambil selemar roti di atas meja makan, cukup mengolesinya dengan mentega hingga rata. Selembar roti sudah habis ku makan hanya beberapa detik saja.Aku duduk di samping Kay, melihatnya yang belum berhenti bermain game."Sudah main dari kapan?""Baru!""5 menit lagi selesai ya!""Aagghhh....," gerutu Kay."5 menit lagi, abis itu kita main futsal di lapangan depan. Mau ga?""Iyaa..," jawab Kay mengiyakan dengan nada malas.Walau begitu, Kay menepatinya. Kami akhirnya pergi ke lapangan futsal yang dituju. Sampai di sana, sebetulnya yang aku lakukan hanya mengawasi Kay bermain dengan anak-anak lain. Ada enam anak lainnya di sekitar lapangan basket.
Tahun 2021Tiga bulan hampir selesai. Masa probation di kantor baru hampir terlewati. Alhamdulillah. Lancar. Butuh ektra tenaga menyelesaikan pekerjaan, karena masih beradaptasi dengan alur pekerjaan di tempat baru.Setelah melewati probation, aku akan melanjutkan kontrak kerjaku di lokasi kantor berikutnya. Alasan terbesar kenapa aku kembali bekerja waktu penuh. Aku akan ditempatkan di kantor cabang Kota Bogor. Akhirnya mobilitas yang sebelumnya menjadi momok hampir di setiap minggu malam akan ku tinggalkan. Aku memang belum tau, kapan situasi akan normal kembali. Dalam seminggu, aku hanya dua hari ke kantor di Jakarta. PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) yang digunakan untuk mengatasi Pandemik Covid19 masih diberlakukan.Aku kebagian masuk kantor Selasa dan Jum'at. Hari jum'at, Tian sering menjemputku ke kantor, walau tidak jarang dia harus berangkat dari Bogor ke Jakarta untuk menjemput. Sungguh tidak sekalipun aku pernah memintanya sejak kami di fase hubungan yang b
Selesai mengerjakan beberapa tulisan jam dua dini hari, aku terbaring mengingat Tian. Ada saja hal yang membuatku ingin menertawakan kekonyolannya yang tidak disengaja. Seperti salah tingkahnya ketika bertemu Ibu.Aku masih belum mengantuk walau sudah hampir setengah jam berbaring di kasur. Random saja, aku ambil satu album yang tersimpan di antara tumpukan buku di dalam rak. Album ketika aku SMA. Tidak banyak foto tercetak. Maklum lebih banyak foto yang tersimpan di HP yang aku gunakan saat itu. Sebagian softfile sudah ku pindahkan ke dalam hardisk.Aku sengaja memuka album dari belakang. Foto yang ingin ku lihat saat moment liburan ke Bandung dan perpisahan SMA. Kenangan yang membuatku merasa hangat di malam itu. Tanganku terhenti di lembaran ke tiga. Sengaja berhenti, karena foto-foto yang ada di halaman berikutnya. Aku memang tidak pernah membuang kenangannya. Hampir semua masih tersimpan, termasuk buku-buku miliknya yang ada di atas mejaku. Tapi aku masih merasa berat, jika melih
Kejadian semalam saat Tian membuat pengakuan, masih sulitku percaya. Aku dan Tian? Saat terbangun, aku yakinkan diri sendiri. Aku bisa memulai kembali. Seperti tidak ada alasan untuk menolak. Tian yang tetap ada untukku. Kelak aku memang tidak tau, tapi aku merasa lebih tenang untuk kembali percaya pada suatu hubungan, karena Tian. Notif chat dari Tian hampir tidak pernah absen sejak dulu, muncul di layar hp-ku di pagi hari. Sekedar share menu sarapannya dekat kantor ditambah review mengerupai food vlogger, memberitahu cuaca hari itu seperti g****e weather, tiba-tiba melontarkan tebak-tebakan, atau sekedar merekomendasikan lagu baru yang didengar. Tanpa aku sadari, membuka isi chat dari Tian di pagi hari jadi rutinitas yang tidak pernah aku lewati. Kali ini dia mengirimkan voice note yang membuatku tertawa geli. Dia berkali-kali bilang masih tidak percaya kejadian semalam. Dengan excited dia bilang terimakasih dan memintaku untuk tidak berubah pikiran. Katanya, dia tidak mau membuat
Sepuluh tahun setelah Ad berkata ingin pergi, sebetulnya aku pernah dua kali bertemu dengannya. Bukan di reuni sekolah, melainkan di Yogjakarta saat liburan semester perkuliahan. Aku, Nabilah, Ralina, janjian bertemu Tian dan beberapa teman lainnya di sana untuk liburan. Di masa perkuliahan kami, aku dan Nabilah masuk ke perguruan tinggi negeri sesuai yang kami harapkan di Institut Pertanian Bogor. Sedangkan Ralina, tidak jadi kuliah di Bandung, tapi karena itu aku, Nabilah, dan Ralina bisa bertemu di kampus yang sama. Sedangkan Tian, akhirnya kuliah di Yogjakarta. Karena itu juga Yogjakarta tempat yang kami pilih untuk menghabiskan liburan di semester dua. Tepatnya setahun setelah menyandang status Mahasiswa. Awalnya aku sempat curiga apa ada salah satu yang mengabari Ad untuk bertemu. Kecurigaanku paling besar tertuju pada Tian. Tiba-tiba saja Ad muncul saat acara makan malam di sekitar Malioboro. Apa mungkin Tian yang mengabarinya? Karena Ad dan Tian sama-sama kuliah di Yogjakart
Matahari bersama dengan awan mendung pagi itu. Aku berjalan beriringan dengan Ad, menyusuri kebun teh yang biasa kami tempuh hanya dengan berjalan kaki. Tidak seperti kami yang baru memulai hari, para pemetik teh sudah memikul keranjangnya masing-masing. Suara aliran irigrasi jadi latar suara menamani aktivitas di pagi hari.Tidak ada senyum merekah yang mudah kutemui dari wajahnya setiap kali dia datang ke rumahku mengajak pergi sekolah bersama. Bukan aku tidak tahu apa penyebabnya, aku hanya masih menghindari ketidaksiapan akan kemungkinan yang tidak aku harapkan.Jika kisah kami akan segera usai, apa mungkin kami adalah pasangan yang menyerah pada jarak atau ada hal lainnya?"Kita udah setengah jam jalan kaki. Kalau nggak ada yang mau dibicarain, aku mau pulang," kataku menahan ragu."Duduk di sana dulu," Ad menunjuk kursi kayu panjang yang biasa digunakan pemetik daun teh istirahat sejenak.Di sisi lain, aku juga sangat ingin mendengar keputusan Ad."Minggu depan, aku pindah," kat
Pagi itu. Ad seperti hari-hari lalu. Ada di depan pekarangan rumahku menunggu berangkat ke sekolah bersama. Tidak ada yang berbeda. Kami berjalan bersampingan. Hanya saja. Lebih hening dari biasanya. Sedikit canggung. Perbincangan singkat selama di jalan, terhenti begitu saja. Lalu, sama-sama diam lagi.Di sekolah, Ad dan aku pergi ke ruang konseling. Aku ingin mendiskusikan jurusanku nanti dengan Guru BP sedangkan Ad ingin memberitahukan rencana perkuliahannya yang berubah. Ad lebih lama berada di ruang BP. Aku selesai lebih dulu. Dari sana, aku pergi menemui Ralina di depan perpustakaan."Jadi kan pergi ke toko buku?" Tanya Ralina. Hari Itu dia mengajakku menemaninya membeli buku untuk persiapan TOEFL."Jadi. Apa sekarang aja berangkatnya?""Lho! Nggak tunggu Ad?"Aku diam."Kayaknya lagi ada angin dingin. Berantem?"Aku menggeleng. Mungkin nanti kuceritakan ke Ralina. Hatiku masih tid
"Bu.., Iya ke luar bentar yah. Mau beli pulsa," kataku sambil buka pintu. Di luar terasa lebih gelap, karena ada lampu jalan di Blok A yang mati. Aku bawa senter untuk menerangi jalan. Untunglah. Walau sudah lewat jam delapan malam, etalase penjual pulsa masih ada. Aku mempercepat langkah. Pulsa 20 ribu sudah masuk, aku membalas pesan-pesan yang belum terjawab. Di saat itu aku juga baru menyadari ada satu panggilan tak terjawab. Nomernya tidak dikenal. Di jalan pulang, aku putuskan mengambil jalan berbeda. Jalan melewati jajaran rumah di Blok C. Semakin dekat ke salah satu rumah, langkahku terhenti. Lampu rumah yang sudah tiga minggu ini mati menyala kembali. Sedikit ragu, tapi aku lebih penasaran untuk mendekat. Aku coba mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Apa sudah pulang? pikirku. Pintu terbuka. "Ad!" Dia pulang. "Masuk Ay," Adil mengajakku duduk di ruang tamu. "Maaf belum kaba
Aku melihat Ralina berdiri di depan gerbang sekolah. Hari itu, aku ingin mengurus berkas administrasi kelulusan. Aku juga sudah janjian dengan Ralina dan Tian bertemu di sekolah. "Udah dapet kabar lagi dari Ad?" tanya Ralina. "Udah. Di sana masih lanjut pengajian tiap malam." "Kapan dia pulang?" "Mungkin setelah pengajian hari ke-40." "Pasti berat buat Ad," kata Ralina. "InsyaAllah Ad kuat," kataku. Melewati lapangan basket. Tian terlihat dengan beberapa teman seangkatan bermain. Dia memanggilku dan Ralina dari dalam lapangan. Tian berhenti bermain lalu menghampiri kami di depan perpustakaan. "Lo jadi ambil Ay?" tanya Tian. Maksudnyaaplikasiku yang diterima untuk kuliah di IPB. Aku mengangguk. "Lo gimana? jadi ikut SNMPTN?" tanyakubalik. "Jadi. Tadi pagi, gue juga abis mampir ke tempat les. Hari ini mau belajar bareng Kak Guntur (s