Putih abu-abu.
Lambang osis berganti warna. Rok yang aku kenakan juga. Seragamku berubah ke putih abu-abu. Lokasi sekolah jadi lumayan jauh dari rumah.Berangkat sekolah. Aku ke luar rumah menuju pekarangan. Ternyata Ad sudah berdiri di sana."Ad!"Dia menoleh. Tanpa banyak bicara, kami berjalan kaki ke luar kompleks. Tak lama, angkot biru berhenti, menawari untuk naik. Seperti sebelumnya, kami berangkat sekolah bersama. Kali ini butuh waktu sekitar 30-45 menit untuk sampai. Kami juga perlu dua kali naik angkot. Selama di angkot, mataku sering terpejam untuk beberapa saat. Aku masih mengantuk.Udara dinging mulai menghangat. Matahari makin nampak. Angkot ke dua yang kami naiki sudah berhenti. Ad menepuk bahuku.
"Ayo turun!"Dia menawariku untuk membawakan tas."Ga usah.""Lo pucet banget. Sakit?""Nggak. Lagi period."Wajahnya bingung."Period perempuan. Datang bulan maksudnya."Ngangguk-ngaguk."Bawa obat?""Udah gue minum abis sarapan."Setelah berjalan lagi hampir lima menit, kami sampai depan gerbang sekolah. Segerombolan siswa di parkiran dengan sengaja bersiul."Pacaran mulu nih!" Ledek mereka."Mending gue Ay. Bisa anter jemput, daripada jalan kali mulu."
Aku melirik sinis. Salah seorang di antara mereka sengaja berkata begitu. Orang itu sering sekali cari gara-gara dengan Ad. Sebetulnya aku tidak tau inti permasalan antara keduanya. Malah saat awal masuk SMA, aku tau Ad pernah berteman dengannya. Lalu, pertemanan mereka renggang. Ad hanya bilang, dia tidak suka dengan kebiasaan orang itu.Saat mereka berjalan melewati Aku dan Ad, orang itu kembali mengatakan hal yang menggangu."Kalau udah bosen, kabarin gue aja Ay. Ok!" Ad refleks menarik kerah bajunya."JAGA SIKAP LO!"Aku lantas memegang satu bahu Ad, mengisyaratkan untuk menghentikan perselisihan. Orang itu pergi dengan senyum picik."Lo jangan gitu lagilah," saranku. "Orang kayak gitu emang ngarepnya diladenin.""Iya maaf.""Nggak perlu minta maaf ke gue sih. Lagian lo jadi begini juga biar gue nggak diganggu. Maaf ya Ad.""Ke kelas aja yuk! Ada tugas Matematika. Emang lo udah ngerjain?" Tanya Ad."Udah, tapi belum selesai," kataku sambil nyengir.Aku berjalan kembali dengan Ad menuju kelas 10 (2). Kami memulai aktiviras belajar mengajar seperti biasa di dalam kelas. Di SMA, aku tidak satu sekolah lagi dengan Nabilah. Hanya beberapa orang yang ku kenal saat SMP meneruskan di sekolah ini, di antaranya hanya Ad yang paling ku kenal.Jarak sekolah memang cukup jauh dari rumah kami. Waktu 30-45 menit itu jika selama perjalanan lancar. Tapi jika musim libur atau akan masuk akhir pekan, waktu yang ditempuh bisa lebih lama, apabila saat perjalanan pulang.Di kelas ini, aku punya teman baik lainnya."Ay, emang selama kalian temenan nggak pernah gitu sekalipun ada perasaan gimana. Suka atau cemburu pas Ad lebih deket sama orang lain?" tanya Ralina."Pernah nggak yah?" Aku mengingat."Ya.., kan temenan udah dari kecil. Berangkat sama pulang sekolah juga bareng. Masa sih nggak ada Ay?"Seperti yang Ralina bilang, beberapa orang di dalam kelas juga sering mengira aku dan Ad pacaran. Bukan hanya anak rese tadi pagi yang meledek, terkadang teman-teman di dalam kelas juga. Mereka mungkin heran aja, apalagi aku dan Ad sering sekali bersama."Hhm..," aku menimbang kembali jawaban untuk pertanyaan Ralina. Sebenarnya...Nabilah dan Ralina.Mobil yang kami sewa online berhenti di salah satu pusat belanja peralatan rumah tangga. Enam bulan yang lalu, Nabilah menikah dengan laki-laki pilihannya. Tapi setelah menikah, keduanya masih harus terpisah karena urusan pekerjaan. Selain itu, Nabilah juga belum bisa ikut suaminya karena ibunya masih harus menjalani pemeriksaan rutin.Setelah membeli beberapa peralatan dapur, kami menyewa mobil online lagi. Sampai di salah satu cafe bertema warung kopi. Menu yang ditawarkan aneka camilan lokal dengan teh atau kopi tubruk. Terdapat area outdoor yang cukup luas dan sangat nyaman. Sebelum masuk, aku dan Nabilah menjalani protokol kesehatan. Cek Suhu dan mencuci tangan. Jarak antar meja cukup jauh. Jumlah pengunjung sangat dibatasi. Seminggu lalu cafe ini buka kembali. Waktu operational yang diijinkan hingga jam enam sore.Di sana, Ralina sudah menunggu."Banyak banget belanjaannya. Kayak mau pindahan.""Emang
Tentang kesendirian.Waktuku saat sendiri. Apa sebetulnya, aku banyak menghabiskannya untuk hal yang tidak perlu? Habis waktuku memperhatikan mereka. Hidupnya. Dari jari yang terus bergerak naik turun. Aku tanpa sadar tertarik pada hidup yang bukan hidupku. Begitu saja terjadi. Alhasil aku membandingkan. Enak yah orang itu. Kalau aku dia, bagaimana?Sehingga lupa, di mana aku berada.Aku belum menyelesaikan target tulisan. Masih banyak artikel yang belum kutulis. Tenggat waktunya makin sempit. Aku berlama-lama tadi, melihat sosial media. Padahal, waktu itu bisa kugunakan untuk menyelesaikan pekerjaanku sebagai freelancer. Untung. Walau masih amatiran, aku memiliki kemampuan yang membantuku selagi tidak bekerja full time. Biarpun pendapatannya belum mencukupi kebutuhan.Aku regangkan pensendian yang terasa kaku. Masih di depan layar laptop dengan cangkir teh yang kosong. Setoples camilan yang terisi setengah. Tiba-tiba saja teringat
Class meeting. Ujian akhir semester sudah selesai. Aku masih harus mengulang Matematika dan Fisika. Di tengah pekan remedial, class meeting tetap berlangsung. Karena jam masuk sekolah lebih leluasa selama class meeting, aku baru tiba ke sekolah jam 8.30 pagi. Sebenarnya, hari itu tidak ada jadwal remedial ataupun aktiviras berarti, kecuali melihat pertandingan basket Kelas 10 (2) melawan Kelas 10 (3). "Tolong bawain ke kelas," Ad memberikan tasnya padaku setelah mengeluarkan t-shirt dan celana basket. Dia berlari menuju lapangan basket mengikuti pemanasan dengan pemain lainnya. "Hisshh," aku tetap membawakan tasnya, walau agak kesal. Di depan Kelas 10 (2), Ralina dan teman-teman sekelas duduk berkerumun. Ada yang main sambung lagu dari kata terakhir pada lirik yang dinyanyikan. Ada yang lagi jual beli cemilan dari kelas sebelah. Ada juga yang berkeliaran kejar kejaran entah karena apa. Di dalem kelas, mereka yang asik main uno duduk melingkar di pojokan. Dua orang tampak serius c
Hari terakhir class meeting. Besok pembagian rapor. Aku di kantin menyantap mie goreng dengan es teh manis. "Ad gimana? Udah ada perubahan?" Tanya Ralina. "Luka-lukanya udah sembuh. Jalannya juga udah lebih lancar, tapi statusnya masih sama. Jadi tahanan rumah," jawabku. Karena insiden di hari itu, Bapak Ad dihubungi oleh pihak sekolah. Alhasil ketika tau, Ad tidak boleh ke sekolah selama class meeting. "Tapi hari ini jadi kan daftar ke tempat les?" Tanya Ralina kembali. "Iya. Jadi. Temenin yah." Naik kelas 11, aku memutuskan untuk ikut les. Ralina sudah lebih dulu daftar dari semester lalu. Setelah mendapat surat pemberitahuan masuk jurusan IPA, aku sadar kemampuan Matematika, Fisika, dan Kimiaku masih kurang. Sampai di sana, aku bertemu bagian administrasi dan pendaftaran. Selesai isi folmulir dan menyelesaikan pembiayaannya, salah satu tutor mengajak tour kelas dan fasilitas lainnya yang ada di
Aku ketiduran. Terbangun karena ibu masuk ke kamar dan bilang ada Ad di teras.Benar. Dia datang."Bangun tidur?""Ya.., kenapa sih?""Nih! Series Lupus yang baru. Mau nggak?""Mauuuu. Makasih."Aku menguap hingga dua kali."Muka lo kenapa kusut gitu?" Seperti ada hal yang mengusik Ad. Walau mataku masih mengantuk, tapi terlihat jelas dari tatapannya."Muka lo juga kusut. Eh, beler sih lebih tepatnya," ledek Ad dengan senyum yang dipaksakan.Sore hari yang sejuk untuk bersantai-santai. Cuaca panas berubah jadi berawan. Ad mengajakku jalan sore di sekitar kompleks. Kami berkeliling satu putaran dan berhenti di taman sebelah lapangan badminton. Di sana, ada dua adiknya Ad sedang bermain. Si kembar cewek dan cowok. Usianya masih 9 tahun."Temenin gue jagain bocah-bocah," pinta Ad."Tumben jam segini mereka nggak ngaji?""Pak Ustadz lagi ada perlu. Nggak ngajar hari in
Ini kali pertama aku nonton ke bioskop hanya berdua saja dengan laki-laki. Banyak yang terlintas dibenakku. Terlebih perginya dengan Ad. Aku masih menerka-nerka maksud dari ajakannya di akhir pekan ini.Di dalam kamar, sudah tiga set pakaian yang aku kenakan, hingga akhirnya kembali pada pilihan pertama. Aku selesai bersiap memakai celana denim, atasan biru muda dengan motif renda mengelilingi bagian bawah baju, sling bag kecil, flat shoes, dan rambut yang diikat setengah ke bagian belakang.Memasuki gedung bioskop, banyak juga pasangan muda mudi di dalamnya. Ad ikut mengantri untuk membeli tiket. Dua tiket film didapat."Masih setengah jam lagi. Mau tunggu di mana?" tanya Ad.Sesekali aku melihat lagi penampilan hari itu. Ad terlihat lebih tinggi dengan kemeja flannel kotak-kotak berwarna navi, inner t-shirt warna abu tua, celana denim hitam, dan sepatu converse. Outfit yang kami kenakan membuatku canggung. Mungkin ada yang mengira, kami seng
Tahun ajarkan baru. Semester Baru. Kenaikan kelas.Di Kelas 11 IPA 2, aku masih sekelas dengan Ralina dan Tian, tapi tidak dengan Ad. Ad masuk Kelas 11 IPA 1. Kelasnya tepat berada di sebelah kelasku.Ad sering menemuiku saat jam pelajaran sekolah usai, atau kami makan bersama di kantin dengan Ralina dan Tian juga.Bersama-sama bukan lagi rutinitas tapi kebutuhan. Bertemu Ad. Bertemu teman-temanku. Waktu terbagi dan dibagi. Bersama mereka bukan hanya melalui hari tapi membentuk kisah yang kelak dapat diceritakan kembali.Perhatian timbul tidak terumbar. Terkadang tersembunyi dan baru diketahui setelah lama.Di ruangan kelas, Ralina membantu bereskan makalah biologi sebelum dibawa ke ruang guru. Belum selesai membereskan, ku lihat Ralina meringis sakit."Kenapa Lin?"Telunjuknya tergores kertas. Ke luar darah dari luka goresan."Bentar. Gue ada perekat luka."Aku lantas kembali ke meja, me
Minggu. Olahraga pagi.Waktu menunjukkan pukul 6 pagi. Aku memeluk diri sendiri di tengah udara yang masih dingin. Langkah kaki semakin berat. Tidak kuat lagi melanjutkan lari."Ad. Pelan-pelan dong. Kaki gue sakit nih," keluhku coba mengejarnya ketika jogging.Ad berlari mundur ke arahku."Baru satu putaran Ay. Ayo! Masa udah lihat tampang gue pagi ini masih lesu. Gue aja semangat banget," Ad pamer."Ga ada hubungannya. Berhenti-henti! Istirahat dulu," Gerutuku mencari apa saja buat duduk dan meluruskan kaki. Aku duduk di sebuah batu besar.Ad masih melanjutkan olahraga paginya di hadapanku. Kakinya tetap berlari tapi di tempat."Berhenti dulu deh! Pusing gue lihatnya," kataku sambil menarik tangannya untuk ikut duduk."Bilang aja..mau duduk berduaan. Boleh kok," Ad tersenyum lebar."Ihhh apaan sih. Yaudah sana-sana!" Tingkahnya malah buat aku grogi.Ad mala
Menemui Sabtu, setelah melewati hari-hari kerja, rasanya..., nikmat sekali. Aku keluar dari kamar hampir mendekati jam 10 pagi.Di rumah hanya terlihat Ibu dan Kay. Ibu masih mengaduk adonan bakwan sayur di baskom berukuran sedang. Kay focus dengan tablet dan games run away yang sedang dimainkannya.Setelah meneguk seperempat air putih, aku mengambil selemar roti di atas meja makan, cukup mengolesinya dengan mentega hingga rata. Selembar roti sudah habis ku makan hanya beberapa detik saja.Aku duduk di samping Kay, melihatnya yang belum berhenti bermain game."Sudah main dari kapan?""Baru!""5 menit lagi selesai ya!""Aagghhh....," gerutu Kay."5 menit lagi, abis itu kita main futsal di lapangan depan. Mau ga?""Iyaa..," jawab Kay mengiyakan dengan nada malas.Walau begitu, Kay menepatinya. Kami akhirnya pergi ke lapangan futsal yang dituju. Sampai di sana, sebetulnya yang aku lakukan hanya mengawasi Kay bermain dengan anak-anak lain. Ada enam anak lainnya di sekitar lapangan basket.
Tahun 2021Tiga bulan hampir selesai. Masa probation di kantor baru hampir terlewati. Alhamdulillah. Lancar. Butuh ektra tenaga menyelesaikan pekerjaan, karena masih beradaptasi dengan alur pekerjaan di tempat baru.Setelah melewati probation, aku akan melanjutkan kontrak kerjaku di lokasi kantor berikutnya. Alasan terbesar kenapa aku kembali bekerja waktu penuh. Aku akan ditempatkan di kantor cabang Kota Bogor. Akhirnya mobilitas yang sebelumnya menjadi momok hampir di setiap minggu malam akan ku tinggalkan. Aku memang belum tau, kapan situasi akan normal kembali. Dalam seminggu, aku hanya dua hari ke kantor di Jakarta. PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) yang digunakan untuk mengatasi Pandemik Covid19 masih diberlakukan.Aku kebagian masuk kantor Selasa dan Jum'at. Hari jum'at, Tian sering menjemputku ke kantor, walau tidak jarang dia harus berangkat dari Bogor ke Jakarta untuk menjemput. Sungguh tidak sekalipun aku pernah memintanya sejak kami di fase hubungan yang b
Selesai mengerjakan beberapa tulisan jam dua dini hari, aku terbaring mengingat Tian. Ada saja hal yang membuatku ingin menertawakan kekonyolannya yang tidak disengaja. Seperti salah tingkahnya ketika bertemu Ibu.Aku masih belum mengantuk walau sudah hampir setengah jam berbaring di kasur. Random saja, aku ambil satu album yang tersimpan di antara tumpukan buku di dalam rak. Album ketika aku SMA. Tidak banyak foto tercetak. Maklum lebih banyak foto yang tersimpan di HP yang aku gunakan saat itu. Sebagian softfile sudah ku pindahkan ke dalam hardisk.Aku sengaja memuka album dari belakang. Foto yang ingin ku lihat saat moment liburan ke Bandung dan perpisahan SMA. Kenangan yang membuatku merasa hangat di malam itu. Tanganku terhenti di lembaran ke tiga. Sengaja berhenti, karena foto-foto yang ada di halaman berikutnya. Aku memang tidak pernah membuang kenangannya. Hampir semua masih tersimpan, termasuk buku-buku miliknya yang ada di atas mejaku. Tapi aku masih merasa berat, jika melih
Kejadian semalam saat Tian membuat pengakuan, masih sulitku percaya. Aku dan Tian? Saat terbangun, aku yakinkan diri sendiri. Aku bisa memulai kembali. Seperti tidak ada alasan untuk menolak. Tian yang tetap ada untukku. Kelak aku memang tidak tau, tapi aku merasa lebih tenang untuk kembali percaya pada suatu hubungan, karena Tian. Notif chat dari Tian hampir tidak pernah absen sejak dulu, muncul di layar hp-ku di pagi hari. Sekedar share menu sarapannya dekat kantor ditambah review mengerupai food vlogger, memberitahu cuaca hari itu seperti g****e weather, tiba-tiba melontarkan tebak-tebakan, atau sekedar merekomendasikan lagu baru yang didengar. Tanpa aku sadari, membuka isi chat dari Tian di pagi hari jadi rutinitas yang tidak pernah aku lewati. Kali ini dia mengirimkan voice note yang membuatku tertawa geli. Dia berkali-kali bilang masih tidak percaya kejadian semalam. Dengan excited dia bilang terimakasih dan memintaku untuk tidak berubah pikiran. Katanya, dia tidak mau membuat
Sepuluh tahun setelah Ad berkata ingin pergi, sebetulnya aku pernah dua kali bertemu dengannya. Bukan di reuni sekolah, melainkan di Yogjakarta saat liburan semester perkuliahan. Aku, Nabilah, Ralina, janjian bertemu Tian dan beberapa teman lainnya di sana untuk liburan. Di masa perkuliahan kami, aku dan Nabilah masuk ke perguruan tinggi negeri sesuai yang kami harapkan di Institut Pertanian Bogor. Sedangkan Ralina, tidak jadi kuliah di Bandung, tapi karena itu aku, Nabilah, dan Ralina bisa bertemu di kampus yang sama. Sedangkan Tian, akhirnya kuliah di Yogjakarta. Karena itu juga Yogjakarta tempat yang kami pilih untuk menghabiskan liburan di semester dua. Tepatnya setahun setelah menyandang status Mahasiswa. Awalnya aku sempat curiga apa ada salah satu yang mengabari Ad untuk bertemu. Kecurigaanku paling besar tertuju pada Tian. Tiba-tiba saja Ad muncul saat acara makan malam di sekitar Malioboro. Apa mungkin Tian yang mengabarinya? Karena Ad dan Tian sama-sama kuliah di Yogjakart
Matahari bersama dengan awan mendung pagi itu. Aku berjalan beriringan dengan Ad, menyusuri kebun teh yang biasa kami tempuh hanya dengan berjalan kaki. Tidak seperti kami yang baru memulai hari, para pemetik teh sudah memikul keranjangnya masing-masing. Suara aliran irigrasi jadi latar suara menamani aktivitas di pagi hari.Tidak ada senyum merekah yang mudah kutemui dari wajahnya setiap kali dia datang ke rumahku mengajak pergi sekolah bersama. Bukan aku tidak tahu apa penyebabnya, aku hanya masih menghindari ketidaksiapan akan kemungkinan yang tidak aku harapkan.Jika kisah kami akan segera usai, apa mungkin kami adalah pasangan yang menyerah pada jarak atau ada hal lainnya?"Kita udah setengah jam jalan kaki. Kalau nggak ada yang mau dibicarain, aku mau pulang," kataku menahan ragu."Duduk di sana dulu," Ad menunjuk kursi kayu panjang yang biasa digunakan pemetik daun teh istirahat sejenak.Di sisi lain, aku juga sangat ingin mendengar keputusan Ad."Minggu depan, aku pindah," kat
Pagi itu. Ad seperti hari-hari lalu. Ada di depan pekarangan rumahku menunggu berangkat ke sekolah bersama. Tidak ada yang berbeda. Kami berjalan bersampingan. Hanya saja. Lebih hening dari biasanya. Sedikit canggung. Perbincangan singkat selama di jalan, terhenti begitu saja. Lalu, sama-sama diam lagi.Di sekolah, Ad dan aku pergi ke ruang konseling. Aku ingin mendiskusikan jurusanku nanti dengan Guru BP sedangkan Ad ingin memberitahukan rencana perkuliahannya yang berubah. Ad lebih lama berada di ruang BP. Aku selesai lebih dulu. Dari sana, aku pergi menemui Ralina di depan perpustakaan."Jadi kan pergi ke toko buku?" Tanya Ralina. Hari Itu dia mengajakku menemaninya membeli buku untuk persiapan TOEFL."Jadi. Apa sekarang aja berangkatnya?""Lho! Nggak tunggu Ad?"Aku diam."Kayaknya lagi ada angin dingin. Berantem?"Aku menggeleng. Mungkin nanti kuceritakan ke Ralina. Hatiku masih tid
"Bu.., Iya ke luar bentar yah. Mau beli pulsa," kataku sambil buka pintu. Di luar terasa lebih gelap, karena ada lampu jalan di Blok A yang mati. Aku bawa senter untuk menerangi jalan. Untunglah. Walau sudah lewat jam delapan malam, etalase penjual pulsa masih ada. Aku mempercepat langkah. Pulsa 20 ribu sudah masuk, aku membalas pesan-pesan yang belum terjawab. Di saat itu aku juga baru menyadari ada satu panggilan tak terjawab. Nomernya tidak dikenal. Di jalan pulang, aku putuskan mengambil jalan berbeda. Jalan melewati jajaran rumah di Blok C. Semakin dekat ke salah satu rumah, langkahku terhenti. Lampu rumah yang sudah tiga minggu ini mati menyala kembali. Sedikit ragu, tapi aku lebih penasaran untuk mendekat. Aku coba mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Apa sudah pulang? pikirku. Pintu terbuka. "Ad!" Dia pulang. "Masuk Ay," Adil mengajakku duduk di ruang tamu. "Maaf belum kaba
Aku melihat Ralina berdiri di depan gerbang sekolah. Hari itu, aku ingin mengurus berkas administrasi kelulusan. Aku juga sudah janjian dengan Ralina dan Tian bertemu di sekolah. "Udah dapet kabar lagi dari Ad?" tanya Ralina. "Udah. Di sana masih lanjut pengajian tiap malam." "Kapan dia pulang?" "Mungkin setelah pengajian hari ke-40." "Pasti berat buat Ad," kata Ralina. "InsyaAllah Ad kuat," kataku. Melewati lapangan basket. Tian terlihat dengan beberapa teman seangkatan bermain. Dia memanggilku dan Ralina dari dalam lapangan. Tian berhenti bermain lalu menghampiri kami di depan perpustakaan. "Lo jadi ambil Ay?" tanya Tian. Maksudnyaaplikasiku yang diterima untuk kuliah di IPB. Aku mengangguk. "Lo gimana? jadi ikut SNMPTN?" tanyakubalik. "Jadi. Tadi pagi, gue juga abis mampir ke tempat les. Hari ini mau belajar bareng Kak Guntur (s