Bara membuka matanya. Ia merasa terbangun dari tidur yang sangat panjang dan melelahkan. Tubuhnya terasa sedikit pegal.
Bara menguap dan membuka gorden kamar. Cahaya matahari masuk menyilaui matanya hingga membuat kedua matanya menyipit.
Bara kembali ke tempat tidurnya. Rasanya hari ini dia sedang tidak ingin melakukan apapun. Dia hanya ingin tenang dan tidak diganggu. Baru kali ini dia sangat tidak bersemangat bekerja. Entah apa yang terjadi kepada dirinya. Tiba-tiba saja dirinya berubah cukup drastis.
Dia merangkak mengambil ponselnya yang ada di samping bantal. Bara mengirimkan pesan kepada sekretarisnya untuk mengatur jadwalnya hari ini.
Bara: Hari ini saya tidak masuk. Tolong atur semua jadwal sebaik mungkin. Jika Pak Raditya menanyakan tentang saya, bilang saja saya sedang ada urusan di luar kota.
Bara melempar ponselnya di kasur dan kembali tidur.
"Apa yang terjadi denganku semalam?" lirih Bara deng
Papa David merasa sangat terkejut dengan apa yang telah dilakukan putra semata wayangnya. Ia melempar berkas itu di wajah pengacara David."Apa-apaan ini?!"Pengacara itu hanya bisa menarik napas dalam-dalam menahan amarah. Dia hanya bisa berdiri sambil mengepalkan tangan."Bagaimana ini bisa terjadi. Ah, David! Bagaimana kamu bisa berpikir sebodoh itu! Apa semua didikanku selama ini salah kepadamu." Papa David menyandarkan tubuhnya di kursi sambil memijat kepalanya."Kalau begitu saya permisi, Pak," ucap Pengacara David itu.***Sella bangun sangat siang. Sehingga, dia tidak bertemu Rey di pagi hari. Lihatlah, dia sangat tidak tahu malu bangun di jam sembilan pagi.Sella menuruni anak tangga. Matanya mencari-cari keberadaan Rey. Bibi Sri melewatinya dan Sella bertanya kepadanya. "Permisi, Bu. Di mana Rey?"Bibi Sri melihat Sella dari ujung kaki hingga rambut. Dia merasa sangat asing dengan Sella.&
Naina semakin dihantui rasa bersalah yang sangat besar kepada David. Dia tidak ingin harta David. Jika dia diberi pilihan untuk David hidup kembali atau menerima uangnya, dia pasti akan memilih pilihan pertama.Naina menghela napas. "Bolehkah ini saya sumbangkan saja?""Disumbangkan?"Naina mengangguk. "Iya. Aku tidak ingin ada masalah dikemudian hari karena ini. Hubunganku dengan keluarganya tidak begitu dekat. Aku hanya akrab dengannya saja."Rey berada di belakang Naina. Dia mendengarkan semua percakapan Naina dan pengacara itu. Rey merasa sangat tak percaya dengan apa yang terjadi. Bagaimana bisa ada orang berpikir seperti itu? Itulah yang dipikirkan Rey soal David.
Semua orang sudah tidur malam ini di rumah Rey. Terkecuali, Bibi Sri. Dia merasa begitu gelisah dengan kedatangan Sella. Dia sangat berharap semuanya akan baik-baik saja dan segala hal buruk yang sudah terjadi tidak akan pernah terulang kembali.Bibi Sri beranjak dari kasur untuk mengambil segelas air, karena merasa haus. Ketika dia hendak memasuki dapur, dia melihat ada seseorang di sana dalam kegelapan. Tidak tahu apa yang sedang dilakukan orang itu di sana."Sedang apa kamu di sana?" tanya Bibi Sri dengan suara sedikit keras.Hal itu membuat orang tersebut terkejut dan buru-buru pergi dari sana sambil membawa sesuatu."Hei, Berhenti!" Ketika hendak menghidupkan lampu, orang tersebut sudah lenyap dari sana. Bibi Sri semakin merasa aneh dan takut. Dia curiga itu adalah Sella. Tetapi, mengapa dirinya terlihat seperti ketakutan dan lari?***Keesokan paginya Bibi Sri berniat untuk bercerita tentang kejadian semal
Tidak tahu dari mana Joy harus memulainya. Dia bingung bagaimana dia harus menceritakan ini semua kepada Naina. Joy takut, jika Naina mengetahui hal ini, dia akan merasa ketakutan. Dia tidak ingin Naina merasa khawatir berlebihan. Joy menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. "Pertama-tama, Kakak harus janji kalau kakak nggak akan kasih tau soal ini sama siapapun. Janji?" "Janji." Naina dan Joy menautkan jari kelingking mereka. "Jadi, begini ceritanya." Joy menceritakan segala hal yang ia ketahui dari awal hingga akhir. Mendengar awal dari cerita Joy, Naina tidak merasa begitu terkejut. Namun, ketika cerita itu mulai sampai pada intinya Naina mulai merasa gelisah dan terkejut. Bahkan saking gelisahnya, sepanjang Joy bercerita dia terus memainkan kedua tangannya. Joy menceritakan semua hal yang ia ketahui tentang Sella. Bagaimana tujuannya ke sini, apa saja yang dia katakan, dan apa saja yang telah direncanak
Akhirnya, Ibu Diana sembuh dari penyakitnya setelah sekian lama berobat di Singapura. Ibu Diana adalah Ibu Bara, Rey, dan Joy. Akan tetapi, wajahnya sekarang tidak seceria dulu. Wajahnya terlihat sayu dan sedikit pucat. Saat ini dia sedang berada di Bandara bersama Pak Wijaya. Pak Wijaya mendorong kursi roda yang diduduki oleh Bu Diana. Bu Diana selalu menggunakan syalnya untuk menjaga kehangatan tubuhnya. Dia merasa sangat tidak sabar untuk bertemu dengan putra dan putrinya setelah sekian lama. Bu Diana terus bertanya tentang bagaimana kondisi anak-anaknya kepada Pak Wijaya sepanjang perjalanan. Apakah Pak Wijaya mengetahui soal bencana yang terjadi di rumah dan keluarganya? Tentu saja dia tahu. Dia mengetahui semua informasi dari tangan kanannya. Jika dia tidak memikirkan pengobatan sang istri, dia pasti sudah pulang ke Indonesia sejak lama. Sebelum semua masalah yang terjadi mereda, dia tidak bisa tidur dengan tenang. Di sisi lain ada ist
"Baiklah Pak Rangga. Terima kasih atas semua informasinya," ucap Pak Wijaya lewat telepon. Ya, dia berbicara dengan Ayah Rose di pagi hari ini. Setiap pagi, Bara selalu rajin berolahraga sama seperti Rey. Ketika dia sampai di depan gerbang rumahnya, dia melihat Papanya yang sedang berdiri di atas balkon. Wajahnya terlihat sangat sedih. Bara menghentikan langkahnya dan mengusap keringat yang ada di wajahnya dengan handuk. Tak berpikir panjang, Bara pun pergi menghampiri Papanya di balkon lantai dua. Sesampainya di atas balkon, Bara mendekati Pak Wijaya dan memberikannya sebuah sarung tangan. Bara berdiri sejajar dengan Pak Wijaya. "Ambillah ini," tawar Bara. Pak Wijaya menunduk menatap sarung tangan berwarna biru tua itu. Dia mengambil sarung tangan itu ragu-ragu dan mengusap pipinya yang basah akibat air mata. Pak Wijaya adalah orang yang sangat perasa. Dia dikenal seperti Bara, tegas dan disiplin. Akan teta
Rey berdiri mematung di depan pintu. Dia terus menatap wanita yang sedang duduk di kursi roda. Kedua mata mereka beradu satu sama lain. Rey terlihat mencoba untuk menerbitkan sebuah senyuman manisnya. Ya, itu adalah Bu Diana, Ibu Rey."Mama ...," lirih Rey."Rey ... Awas kamu, ya! Terima ini!" Bara melempar sendal Rey yang digunakan untuk melemparnya. Lemparan Bara pun tepat sasaran dan mengenai kepala Rey."Aduh," Rey mengelus-elus kepalanya. Dia menoleh ke belakang dan dia melompat, karena terkejut melihat Kakaknya yang saat ini tepat berada di hadapannya. Jarak mereka hanya tiga langkah saja.Rey tersenyum. "Hehe, Kak.""Ha he ha he." Bara memungut sendal yang ada di lantai dan memaksanya masuk ke dalam mulut Rey tetapi tidak bisa. "Makan tu sendal."Rey menepis tangan Bara. "Ih, galak amat, sih, Kak." Rey mengelap bibirnya dengan ujung kaosnya. "Pantesan nggak punya pacar," lirih Rey.Bara mendelik. Dia mendengar
Rey, Bara, Pak Wijaya, dan Bu Diana saat ini sedang asyik minum teh bersama di taman belakang rumah. Menyadari ketidakhadiran sang putri, Bu Diana menanyakan tentang Joy kepada semua orang yang berada di sana."Di mana Joy? Mama belum lihat dia," celetuk Bu Diana.Semua orang tersedak dan meletakkan cangkirnya di atas meja.Bara, Rey, dan Pak Wijaya saling bertatapan satu sama lain seakan-akan menanyakan bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan?"Kenapa kalian saling menatap seperti itu. Itu bukan pertanyaan yang sulit," ucap Bu Diana.Bara menyenggol bahu Rey dengan bahunya. "Kamu Rey yang cerita," bisik Bara.Rey menyenggol bahu Papanya yang berada di sampingnya. "Papa aja yang cerita. Aku takut," bisik Rey.Pak Wijaya menunjuk dirinya. Seakan-akan bertanya, apakah harus aku yang menceritakan semua ini? Kedua putranya mengangguk cepat.Pak Wijaya menelan ludah dan menarik napas dalam-dalam dan membua