“Mbok, tolong bikinin minuman jahe hangat buat Ayra,” pinta Attar kepada Mbok Inah yang masih stay di dapur.“Sekalian makan malamnya nggak, Tuan?”“Iya, sekalian, Mbok. Mungkin Ayra belum makan malam.”“Baik, Tuan.”Attar mengangguk satu kali lalu pergi dari dapur. Ia harus segera mengurus Ayra yang mungkin tengah kesulitan melakukan apa-apa sendiri.Sesampainya di dalam kamar gadis itu, Attar belum melihat keberadaan Ayra di sana. Pasti masih berada di kamar mandi. Attar penasaran apakah Ayra sudah selesai atau belum. Pasalnya, Ayra sudah memakan waktu lumayan lama di dalam sana.Attar mengetuk pintu kamar mandi sambil memanggil Ayra. Tidak ada sahutan, tetapi pintu langsung terbuka dan menampakkan wajah Ayra yang begitu pucat. Membuat Attar sontak merasa cemas.“Ay, kamu pucat banget,” lontarnya meraba wajah Ayra menggunakan kedua telapak tangan. Mata Attar menatap Ayra khawatir.Sementara, Ayra yang diperlakukan seperti itu menjadi terbawa dengan perasaan. Hatinya tersentuh dan me
Ayra tengah menahan napas saat Attar mengoleskan minyak kayu putih ke leher hingga tengkuk. Membuatnya merasakan hangat dan nyaman, tetapi tangan itu sebaliknya. Membuat Ayra merasa ingin menghindar.Selang beberapa detik, Ayra mulai bernapas dengan normal dan hendak membuka mata. Akan tetapi, bibir Attar yang tiba-tiba mendarat di bibirnya sukses membuat jantungnya berdegup lebih cepat hingga ia memejamkan mata kembali dan sontak mencengkeram baju yang Attar kenakan.Ayra menerima ciuman pertamanya. Namun ia masih tidak bisa membalas. Hanya merasakan ternyata rasanya seperti itu. Lembut sekaligus mendebarkan.Attar tersadar dari perbuatannya yang diyakini jika ini salah. Ia segera melepaskan tautan ciuman mereka. Perlahan menjauh dan membuka matanya. Attar memberanikan diri untuk menatap Ayra yang kini sudah menatapnya terlebih dulu.“Ay, aku ....”“Pak Attar pergi,” ucap Ayra dengan cepat. Ia menutup kedua telinganya karena tak ingin mendengar lelaki itu meminta maaf atau mengatakan
“Mbok, Ayra kok belum turun? Ini sudah agak telat, loh,” lontar Attar saat hampir menyelesaikan sarapannya di dapur. Ia baru saja menengok jam tangan.“Non Ayra baru saja berangkat, Tuan. Saya kira dia sudah sarapan.” Mbok Inah menyahut dengan suara biasa. Ia sedang meletakkan gelas kotor di wasafel yang dibawa dari ruang tamu ke dapur.“Tumben dia nggak sarapan?” gumam Attar sedikit memiringkan kepalanya. “Apa dia canggung denganku gara-gara kejadian tadi malam? Atau jangan-jangan marah besar?” lanjutnya masih bergumam seorang diri. Sesekali Attar mengunyah makanan yang sempat terhenti karena kepikiran dengan gadis yang saat ini membuatnya merasa tidak enak.“Tuan kenapa?” tanya Mbok Inah mendengar gumamam Attar meskipun hanya sebagian kata saja.“Nggak apa-apa Mbok. Saya berangkat ke kantor dulu, ya?” Kemudian Attar segera keluar dari sana. Attar merasa bersalah atas perbuatannya yang tidak bisa dikontrol tadi malam. Akankah Ayra memaafkan dirinya?*** “Rendra? Apa-apaan?” Ayra me
“Mbok, motor Ayra belum ada. Dia belum pulang sekolah?” Attar baru saja keluar dari mobil. Pikirannya terganggu karena tidak melihat adanya motor milik Ayra di garasi. Biasanya selalu berada di sana ketika dirinya pulang dari kantor.“Non Ayra pergi, Tuan,” sahut Mbok Inah setelah selesai menutup pintu gerbang.“Ke mana?” Attar mengernyitkan alis. Tidak biasanya ‘kan Ayra pergi pada jam seperti ini. Sebentar lagi magrib dan senja akan habis.Mbok Inah menggeleng. “Saya kurang tahu, Tuan. Non Ayra nggak pamit.”“Dia pergi tapi nggak pamit lagi?!” tegas Attar membuat Mbok Inah sedikit tersentak.“I- iya, Tuan. Tadi saya disuruh Non Ayra buat beli minuman Vitamin C. Begitu sampai di rumah, Non Ayra nya sudah pergi,” ujar Mbok Inah dengan lebih jelas.Attar gelisah dan merasakan sesuatu yang tidak beres. “Ya sudah, Mbok. Saya mau masuk dulu.”Lelaki yang tengah dikuasai rasa gelisah, khawatir serta cemas itu segera masuk ke rumah. Ruangan pertama yang menjadi tujuan Attar ialah kamar mili
“Sayang, hari pernikahan kita tinggal menghitung hari,” ucap Sania sembari mengunyah makanan yang sudah tersaji di depannya.Sampai detik ini, Attar melarang Sania mendatangi rumahnya karena di rumah yang ia tempati tidak ada orang tua. Mereka hanya bertemu di luar saja. Kalau tidak, Attar yang mendatangi rumah orang tua Sania.“Masih dua minggu lagi, Sania.” Attar menyahut. Sebenarnya ia merasa sedikit kesal setiap kali Sania selalu membahas hari pernikahan itu. Semakin ke sini Attar menjadi malas mendengar pembahasan pernikahan mereka.Lelaki itu menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Suapan yang ke-tiga kalinya. Attar ingin cepat-cepat menyelesaikan pertemuan di antara mereka berdua. Selain tidak terlalu niat bertemu dengan Sania, tubuh Attar juga merasa lelah dan ingin segera beristirahat.Satu penyesalan yang Attar lakukan sampai sekarang adalah, tidak memilih wanita dengan benar-benar secara hati. Yang ia tahu, Sania hanyalah gadis baik dan merupakan istri idaman. Perasaan yang p
Fera memasang telinga baik-baik ketika Ayra mulai berbicara. Ia yakin kalau pembicaraan itu pasti sesuatu yang besar dan serius. Buktinya sampai Ayra berlari ke rumah itu.Fera menebak telah terjadi sesuatu antara Ayra dengan Attar hingga sahabatnya memilih untuk pindah tempat tinggal. Ia masih menunggu kelanjutan cerita Ayra yang terjeda.“Kamu dan Pak Attar kenapa, Ra?” tanya Fera tidak sabar.Ayra terdiam lagi sejenak. “Aku suka sama dia, Fer.”Kedua mata Fera sedikit melebar setelah mendengar pengakuan Ayra. Antara terkejut dan sudah bisa menebak sebelum-sebelumnya. Ia pernah berpikir bagaimana jadinya kalau Attar dan Ayra pada akhirnya ada yang jatuh cinta di antara mereka atau mungkin keduanya saling memiliki rasa?Sebenarnya Fera tidak merasa bahwa itu kesalahan. Mereka tidak ada ikatan darah. Sejak awal mendengar kabar kalau Ayra tinggal bersama lelaki dewasa yang masih single pun Fera sempat memikirkan hal itu.Fera masih terus menatap Ayra yang memandang lurus ke depan. Ia t
“Terus kamu mau melepasnya begitu saja?” tanya Fera dengan tegas.Ayra menoleh dan menatap Fera dengan tatapan sedih. “Aku harus bagaimana? Apa aku harus bersaing dengan wanita dewasa, sedangkan aku yakin kalau Pak Attar melakukan itu padaku karena sebuah kesalahan. Dia hanya menganggap kejadian tersebut sebagai ketidaksengajaan.”“Nggak, Ra. Aku yakin kalau Pak Attar pasti mencintaimu.” Fera mencoba meyakinkan sahabatnya setelah berpikir sejenak alasan Attar melakukan itu kepada Ayra.Ayra menggeleng menolak opini yang Fera jelaskan. Ia menganggap semua hanyalah angin berlalu meskipun hatinya tidak mampu merelakan Attar. “Sudah lah, Fer. Aku akan melupakan semuanya. Aku akan menata hidupku dengan lebih baik lagi dari sekarang. Aku akan fokus pada masa depan dan cita-citaku mulai saat ini. Aku yakin kalau aku bisa hidup sendiri,” cetus Ayra.“Ayra, sebenarnya aku nggak setuju melihatmu pergi dari rumah itu. Aku yakin kamu masih membutuhkan orang dewasa untuk berada di sisimu. Tapi sa
Attar bela-bela keluar dari kantor lebih awal untuk dapat menyusul Ayra di sekolah gadis tersebut. Lebih tepatnya, Attar hanya akan melihat Ayra dari jarak jauh. Memastikan keadaan Ayra baik-baik saja.Karena sudah beberapa kali menghubungi Fera tidak dijawab, Attar yakin kalau Ayra berada di rumah Fera. Tidak mengapa kalau memang itu yang Ayra inginkan. Mungkin hubungan mereka akan cukup sampai di sana meskipun berat merelakan Ayra. Kelak Attar pasti akan mengundang Ayra ke pernikahannya.Sesampainya di area sekolah SMA tempat Ayra belajar, Attar menghentikan mobil tak jauh dari pintu gerbang. Ia berharap Ayra tidak menghafal nomor plat mobilnya. Attar sudah mengenakan topi dan kaca mata hitam supaya tidak diketahui oleh siapapun.Pandangan mata Attar menyapu satu-persatu anak-anak yang baru saja keluar dari pintu gerbang berukuran luas itu. Ia mengalami sedikit kesulitan. Yang Attar hafalkan hanyalah motor milik Ayra.Anehnya, Attar menunggu hingga murid-murid sekolah yang keluar t
Bunyi bel rumah membuat Ayra berjalan cepat menuju ke pintu untuk segera membukakannya. “Iya sebentar!” teriaknya sembari menuruni tangga. “Siapa sih, pagi-pagi gini udah ada yang datang? Kalau itu tamu kurang sopan, sih. Tapi kalau Mbok Inah nggak mungkin datang sepagi ini,” gumamnya dengan heran. Pasalnya, tidak biasanya ada orang yang datang ke rumahnya saat hari masih begitu pagi. Langit pun baru terlihat sedikit terang. Ayra meninggalkan Attar yang tadi masih rebahan di kasur. Dia meraih gagang pintu lalu membukanya. Betapa terkejut Ayra saat dia mendapati wajah seorang wanita yang berdiri di depan pintu dengan penampilan lebih menarik dibanding dirinya. Melihat wajah wanita itu, Ayra langsung menahan amarahnya yang seketika menggebu. Ada urusan apa lagi dengan wanita itu? Kendati demikian, Ayra harus belajar untuk bersabar. Dia terpaksa memasang wajah senyum. “Mbak Sania? Ada apa?” Ayra sadar bahwa semenjak mendengar kabar Sania dirawat di rumah sakit, kini sudah berlalu sel
“Coba jelasin.”“Kok kamu keliatan nggak suka gitu, Mas? Harusnya senang?”“Bu-bukannya aku nggak suka. Tapi aku kaget aja.”“Loh, kaget kenapa, Mas?” Ayra menuntut penjelasan atas reaksi suaminya yang terlihat membingungkan setelah dia menyatakan kalau Attar akan menjadi calon ayah. Seharusnya lelaki manapun akan merasa senang dan bangga mengetahui istrinya yang tengah hamil.“Maksud dari perkataanmu tadi ... kamu hamil?” tanya Attar untuk memastikan kembali.Kepala Ayra mengangguk.“Dari mana kamu tahu?”“Aku udah cek tadi sambil nungguin kamu pulang.”“Loh, tapi ‘kan aku pergi buat beli test pack. Kamu dapat alat itu dari mana?”“Makanya kalau mau apa-apa itu tanya atau bicara dulu sama istrinya. Ya aku masih nyimpen test pack lah! Aku punya stok banyak.” Ayra nyaris dibuat emosi oleh suaminya.“Oh ... jadi ... kamu beneran hamil?” Attar masih saja seperti orang linglung.“Ih! Mas Attar kok gitu reaksinya?!” teriak Ayra sambil memukul dada Attar dengan keras karena benar-benar kesa
“Ay, sampai sekarang aku merasa masih punya hutang sama dia. Aku merasa sangat bersalah. Aku merasa berdosa karena perbuatanku waktu itu. Aku harap kamu ngerti.” Attar menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa gelisah sekaligus cemas. Takut apabila Ayra semakin marah.“Jadi ... kamu diam-diam masih mikirin dia, Mas?” Ayra mengusap air matanya yang menetes lagi, menyapu pori-pori di kulit wajahnya.Hati kecil Attar ingin sekali berteriak. Dia tidak bermaksud seperti itu. Namun dia gagal menyampaikan kepada Ayra dan wanita itu semakin salah paham terhadapnya.“Ay, kenapa kamu mikir sejauh itu?” tanya Attar sembari melangkah, mendekati Ayra. Kemudian perlahan meraih wajah Ayra dan berakhir memeluk tubuh istrinya.Tangis Ayra seketika pecah. Suaranya menggema di ruang tamu, teredam oleh dada Attar. Lelaki itu mempererat pelukannya.“Aku minta maaf. Ini salahku.”“Aku cuma takut kalau kamu diam-diam menjalin hubungan atau punya perasaan dengan wanita lain, Mas. Aku nggak mau sampai itu terjad
“Dari mana aja kamu, Mas?” tanya Ayra dengan nada dingin.Attar baru saja masuk ke rumah. Dia langsung mematung seketika mendapati istrinya berdiri tak jauh dari meja tamu, dengan posisi membelakanginya. Di sana sudah tidak ada kedua orang tuanya. Kemungkinan besar, ayah dan ibunya Attar sudah masuk ke kamar karena hari sudah berganti menjadi malam. Attar pergi selama kurang lebih dua jam.Keberanian Attar menciut. Terlebih lagi, Ayra terus memunggungi dirinya. Dapat disimpulkan bahwa wanita itu sungguh marah padanya.“Ay, aku habis—”“Siapa yang kamu bayarkan di rumah sakit?” Ayra memotong perkataan Attar dan ucapannya itu membuat sang suami menelan saliva dengan berat.Dari mana Ayra bisa tahu?Kini Ayra berbalik badan. Dia tidak mendengar jawaban dari Attar dan rasa kecewa itu terus menyelimuti hatinya hingga membuat napas Ayra terasa sesak.“Ayo jawab, Mas! Ada yang kamu sembunyiin dari aku? Jangan-jangan ada wanita lain yang diam-diam menjalin hubungan sama kamu di belakangku. Ta
“Mas? Kamu pergi? Jangan lama-lama, ya?” Ayra menyahut dari kejauhan sana.“Iya, Sayang. Nggak akan lama kok.”“Oke. Aku tunggu di rumah. Setengah jam lagi harus nyampe rumah. Daah.” Ayra mematikan panggilan secara sepihak.Sedang Attar menggigit bibir bawahnya. Perjalanan dia menuju rumah sakit terdekat saja memakan waktu sekitar dua puluh menit. Belum lagi dia harus menggunakan waktunya lagi untuk membeli makanan yang Ayra inginkan. Perjalanan pulang juga kembali memakan waktu.“Aku harus mencari cara supaya Ayra nggak marah. Atau aku harus mencari cara supaya bisa mencari alasan yang masuk akal kenapa aku bisa lama.” Attar bermonolog dalam hatinya.Attar kembali menoleh ke arah Sania. Wanita itu terlihat begitu malang. Ada apa dengan Sania? Mengapa terlihat rapuh seperti itu? Apakah terjadi sesuatu padanya?Attar mengontrol pikirannya. Itu bukan hak dan urusannya. Hanya saja, dia sedikit penasaran atas apa yang terjadi pada wanita yang ditempatkan di jok belakangnya.Dua puluh meni
“Ayra tidur?” tanya Sarah saat Attar kembali turun ke ruang tamu menemui kedua orang tuanya yang masih duduk di sana.“Iya, Bu. Badannya lagi kurang sehat. Mungkin dia sakit karena kecapekan.” Attar menjawab. Dia mengembuskan napas berat saat mengingat kalau keadaan istrinya saat ini sedang kurang baik meskipun jauh di lubuk hatinya, Attar merasa seperti ada kabar bahagia yang sebentar lagi hadir di rumah tangga mereka.“Jangan-jangan istri kamu nggak enak badan bukan cuma karena perjalanan aja? Gimana kalau ternyata Ayra sedang isi? Coba cek kehamilan,” usul Sarah yang langsung disetujui oleh suaminya.“Aku setuju banget, Bu. Attar, lebih baik sekarang kamu pergi ke apotek terdekat dan beli test pack. Nanti malam coba tes kehamilan. Ayah yakin kalau ini pertanda baik.”Attar mengalihkan perhatiannya ke wajah sang ayah. Dia belum sempat duduk dengan benar, tetapi perkataan ayahnya seakan menggugah hatinya untuk segera pergi ke suatu tempat dan mendapatkan alat kecil yang sedang dibica
“Udah, Mas. Lepasin. Aku bisa jalan sendiri,” ujar Ayra yang masih berada di gendongan depan suaminya bahkan setelah mereka baru saja tiba di dalam kamar.“Malu?”“Ya iyalah, Mas! Aku malu!” ketus wanita itu.“Tapi sekarang udah nggak ada mereka dan kita udah ada di kamar. Ngapain malu, hm?” Attar perlahan membaringkan tubuh Ayra ke atas tempat tidur. Dia membelai rambut dan wajah Ayra dengan lembut. Posisinya masih membungkuk di atas tubuh sang istri.Kedua insan itu saling bertatapan dengan tatapan yang dalam. Seakan keduanya tengah menciptakan dan menumbuhkan ulang perasaan cinta mereka yang berasal dari hati.“Mas Attar mau langsung turun lagi?” tanya Ayra dengan raut wajah sedih. Jemari tangannya bergerak mencapai pipi Attar. Kemudian menusuk-nusuk pipi Attar dengan pelan.“Kamu nggak mau ditinggal?” Attar menangkup jemari tangan Ayra yang menggelitik kulit pipinya.Kepala Ayra menggeleng. Dia memang tidak ingin ditinggal oleh suaminya karena merasa badannya sedang kurang sehat.
“Ibu tahu kalau kalian juga pasti nggak sabar ingin punya momongan, ‘kan? Ibu doakan yang terbaik buat kalian. Semoga secepatnya dikasih rejeki berupa anak. Ibu juga udah tahu kalau Attar usianya udah dewasa. Pasti ingn segera punya anak ‘kan?” sejak tadi, wanita bernama Sarah itu tiada henti membahas tentang kehamilan bahkan sampai mereka tiba di rumah.Usai turun dari mobil, Sarah masuk bersama Ayra. Sementara, Attar dan ayahnya sibuk menurunkan barang bawaan selama perjalanannya dengan sang istri.“Ayra, ayo duduk sini. Kenapa dari tadi cuma diam sama senyum aja? Atau jangan-jangan kamu sudah isi ya?” tebak Sarah sambil mendahului duduk di ruang tamu usai mereka tiba di ruang tamu.Ayra pun duduk di hadapan ibu mertuanya. Dia masih belum bisa menjawab seluruh percakapan Sarah karena masih bingung harus menjelaskan bagaimana. Ibu mertuanya sudah terlanjur sangat berharap besar akan kehamilannya, sedangkan sampai kini, Ayra belum merasakan adanya tanda-tanda kehadiran janin di dalam
Beberapa hari setelah menghabiskan waktunya selama berlibur di Jerman, kini Attar dan Ayra sudah kembali ke tanah air. Mereka pulang ke Indonesia satu hari lebih cepat dari rencana yang telah ditata sebelumnya.Kepulangan suami istri yang memiliki perbedaan umur sepuluh tahun itu di sambut oleh orang tuanya Attar di sebuah bandara di mana mereka mendarat.Karena Ayra baru bertemu dengan orang tuanya Attar saat acara pernikahan dan mereka kurang begitu akrab, wanita itu merasa malu-malu saat ketika akan bertemu kembali untuk yang ke-dua kalinya.“Aku masih malu sama orang tuamu, Mas,” ucap Ayra sambil memeluk lengan tangan Attar. Keduanya berjalan menuju ke titik penjemputan.Sementara, barang-barang mereka dibawakan oleh orang lain yang menyewakan jasa untuk membawakan barang.“Malu kenapa? Jangan malu-malu gitu. Nanti ditagih cucu, loh.” Attar merasa senang tatkala menggoda istrinya.“Ayah sama Ibu ke sini berdua aja?” tanya Ayra untuk memastikan siapa saja yang hendak dia temui nant