“Saya nggak apa-apa, Pak. Saya mau berangkat sekarang.” “Tunggu.” Attar menangkap pergelangan tangan Ayra yang baru saja berdiri. Dia melihat mata gadis itu yang berkaca-kaca. Attar berdiri dan mendekati Ayra tanpa melepaskan tangan gadis tersebut. Matanya menatap wajah gadis itu yang memaling ke samping. Kemudian Attar membungkukkan badan hingga wajahnya sejajar dengan wajah Ayra. “Ay, kamu pasti ada masalah, ‘kan?” Ayra menggigit bibirnya sebagai pelampiasan apa yang tengah dia rasakan. Dia menghapus air mata yang baru saja turun. Sekarang dirinya harus melewati hari-hari suram menjelang hari ujian kelulusan. Ayra harus sanggup melawannya seorang diri. “Ay, kenapa diam saja? Kamu kenapa?” Attar beralih menangkup pundak Ayra lalu mengguncangkan tubuh gadis itu. Berharap Ayra akan menatapnya dan menyahut. “Rendra?” ceplos Attar tidak ingin lagi menutupi kalau dirinya sudah tahu akar permasalahan gadis yang berusaha dia jaga. Namun, jawaban yang Ayra berikan bukan seperti yang dia
Attar masih mengingat pertanyaan Ayra yang tak ia jawab beberapa menit yang lalu. Ia tidak akan memberitahu terlebih dulu perihal dirinya memiliki rencana akan pindah ke apartemen. Selepas menikah dengan Sania.Lelaki itu berada dalam perjalanan menuju kantor. Ia sambil memakan roti untuk mengisi perutnya yang terasa lapar. Selang beberapa saat, Attar melihat ke bawah kursi yang ia duduki. Ada sesuatu yang menarik atensinya. Sebelah tangan Attar pun mengambil benda pipih tersebut. Iya, itu adalah ponsel milik Ayra.Kenapa bisa ada di sana? Attar membayangkan saat Ayra naik ke pangkuannya dan itu sukses membuatnya memejamkan mata dengan kuat selama sejenak. Apa-apaan gadis itu? Attar menggigit bibir bawah menahan perasaannya yang bercampur aduk. Jantungnya berdebar dengan adegan yang kembali terulang di dalam ingatannya. Ia memasukkan ponsel milik Ayra ke dalam saku jas.“Dasar gadis teledor,” desis Attar. Lebih baik benda itu ia pegang sampai pulang kerja nanti. Ayra pasti tidak aka
“Ah, bodo amat deh. Mungkin dia lagi bosan atau PMS. Jadi kelakuannya susah ditebak. Atau lagi sensi? Makanya nggak mood sama aku,” ujar Rendra. Ada Farid yang duduk di sebelahnya. Mereka berdua duduk di atas rooftop sekolah sepulang sekolah.“Kamu nggak mau berusaha berbicara sama dia?”“Nggak berusaha gimana? Tiap hari aku samperin. Dia selalu menghindar terus.”“Datangi rumahnya, dong. Kalau perlu datangi sampai ke kamarnya. Bukannya kamu pernah ke sana?”“Jangan sembarangan kalau ngomong.”“Kenapa? Kamu sama Reti juga ....”“Itu beda. Reti cuma buat hiburan doang. Aku beneran cinta sama Ayra. Makanya aku nggak berani lakuin itu sama dia meskipun dulu dia pernah ....” Ucapan Rendra terjeda. Ia mengingat ketika Ayra bersikap gila sehabis putus dengannya waktu itu.“Pernah apa?” tanya Farid penasaran.Rendra menggeleng. “Nggak,” sahutnya membuat Farid bertambah penasaran.“Hai, Ren.” Itu Reti. Gadis tersebut berjalan mendekat. “Hai, Farid.” Reti juga menyapa Farid. Ia duduk di sebela
Sejak jemarinya mulai bergerak memijit lengan tangan Attar, mulut Ayra hanya terdiam sembari terus melaksanakan perintah lelaki tersebut. Ayra merencanakan sesuatu yang tidak pernah ia duga sebelumnya, apalagi Attar. Jika pria itu tahu, pasti akan terkejut dan mungkin melarangnya melakukan hal tersebut. Namun, tekad Ayra sudah bulat.“Kamu capek, Ay?” tanya Attar membuka matanya. Ia menatap Ayra yang duduk di sebelahnya sembari terus memijit bagian lengan tangannya yang terasa pegal.“Eum? Ng- Nggak Pak. Memangnya kenapa?” sahutnya sedikit terbata.“Dari tadi diam saja, kenapa?” Sebelah tangan Attar membenarkan anak-anak rambut milik Ayra. Ia melakukannya secara spontan dan tanpa disadari. Attar juga tidak tahu mengapa tangannya seolah bergerak sendiri. Merasa kalau dia sudah sangat dekat dengan Ayra.“Nggak apa-apa, Pak,” sahut gadis itu dengan gugup. “Saya balik ke kamar dulu. Ini sudah selesai ‘kan, Pak?” Ayra buru-buru turun dari ranjang agar terbebas dari tangan Attar yang membu
Ayra tidak menjawab pertanyaan Attar. Ia meneruskan kegiatan memasak. Menaburkan sedikit penyedap rasa. Kemudian mematikan kompor dan menempatkan hasil masakannya ke piring besar.Ayra mulai memindahkan makanan ke meja satu-persatu, sedangkan Attar yang masih duduk di tempat semula, tidak tertarik untuk membantu Ayra. Lelaki itu hanya mengamati kemana Ayra bergerak.“Ay, kamu mau ke mana?”“Besok Pak Attar akan tahu.” Ayra menjawab sembari terus memindahkan makanan yang lainnya. Sesudah itu, ia menyiapkan piring sertas gelas di meja makan.Semuanya telah siap. Ia akan membuat kesan baik di rumah tersebut. Lebih baik dari sebelumya. Sekarang Ayra mencuci tangan. Pandangan matanya hanya fokus pada atmosfer yang ia lewati.Sementara, Attar sama sekali seperti tidak Ayra hiraukan meskipun sangat sadar kalau ia tengah diperhatikan oleh pria itu.“Kamu nggak akan pergi ke tempat yang terlarang ‘kan, Ay?” tanya Attar mulai berjalan ke meja makan.“Tempat terlarang? Memangnya ada tempat terla
Setelah bersiap-siap, Ayra membawa beberapa uang dan satu tas sekolah berisi keperluan yang akan ia butuhkan nantinya. Gadis itu segera melangkah keluar dari rumah secara sembunyi-sembunyi. Beruntung saja, Attar dan Mbok Inah tidak mengetahui kepergian Ayra.Ayra mengeluarkan motor dengan perlahan. Ia berharap rencananya selangkah demi selangkah bisa berhasil sampai selesai nanti.Sekarang motor telah keluar dari gerbang, saatnya Ayra mengendarai motor tersebut menuju ke tempat yang amat ia rindukan.Sepanjang perjalanan, Ayra menangis seorang diri. Hidupnya menjadi jauh berbeda. Jauh dari kesenangan. Ia akan meninggalkan kehidupan lamanya dan berganti ke tempat yang jauh lebih lama.Setelah memakan waktu sekitar satu jam, Ayra akhirnya sampai di sebuah rumah yang sudah lama terbengkalai. Gadis itu menghentikan motor tepat di halaman rumah yang kini tampak begitu kotor dan tidak terurus.Ayra turun dari motor. Berdiri di halaman menghadap rumah lama yang kini tepat di depan matanya. “
Ayra membersihkan sarang laba-laba di dinding bagian atas hingga ke bawah. Menghilangkan debu yang menempel di beberapa benda. Setelahnya, ia menyapu dan mengepel lantai.Ruang demi ruang Ayra bersihkan dengan secepat yang ia bisa. Hingga tiba saatnya rasa lelah benar-benar menguasai tubuhnya padahal masih ada ruang tamu yang belum dibersihkan. Akan Ayra tunda karena sekarang hari sudah menjelang sore. Semua ruangan telah bersih seperti semula, kecuali ruang tamu saja.Gadis itu menyeduh teh hangat dan dibawa ke dalam kamar. Ia duduk di bingkai jendela seperti kebiasaan dulu saat menunggu ayah ibunya pulang dari kantor. Melihat ke halaman, Ayra membayangkan kedua orang tuanya datang membawa makanan untuk makan malam mereka.Air mata Ayra menetes saat memori masa lalu berputar kembali di dalam otaknya seperti kaset usang yang masih berfungsi dengan baik. Napas Ayra tersenggal. Ia menyesap teh hangat yang kini menjadi teman sorenya.Setelah menyesap minuman hangat beberapa kali, Ayra me
“Mbok, tolong bikinin minuman jahe hangat buat Ayra,” pinta Attar kepada Mbok Inah yang masih stay di dapur.“Sekalian makan malamnya nggak, Tuan?”“Iya, sekalian, Mbok. Mungkin Ayra belum makan malam.”“Baik, Tuan.”Attar mengangguk satu kali lalu pergi dari dapur. Ia harus segera mengurus Ayra yang mungkin tengah kesulitan melakukan apa-apa sendiri.Sesampainya di dalam kamar gadis itu, Attar belum melihat keberadaan Ayra di sana. Pasti masih berada di kamar mandi. Attar penasaran apakah Ayra sudah selesai atau belum. Pasalnya, Ayra sudah memakan waktu lumayan lama di dalam sana.Attar mengetuk pintu kamar mandi sambil memanggil Ayra. Tidak ada sahutan, tetapi pintu langsung terbuka dan menampakkan wajah Ayra yang begitu pucat. Membuat Attar sontak merasa cemas.“Ay, kamu pucat banget,” lontarnya meraba wajah Ayra menggunakan kedua telapak tangan. Mata Attar menatap Ayra khawatir.Sementara, Ayra yang diperlakukan seperti itu menjadi terbawa dengan perasaan. Hatinya tersentuh dan me
Bunyi bel rumah membuat Ayra berjalan cepat menuju ke pintu untuk segera membukakannya. “Iya sebentar!” teriaknya sembari menuruni tangga. “Siapa sih, pagi-pagi gini udah ada yang datang? Kalau itu tamu kurang sopan, sih. Tapi kalau Mbok Inah nggak mungkin datang sepagi ini,” gumamnya dengan heran. Pasalnya, tidak biasanya ada orang yang datang ke rumahnya saat hari masih begitu pagi. Langit pun baru terlihat sedikit terang. Ayra meninggalkan Attar yang tadi masih rebahan di kasur. Dia meraih gagang pintu lalu membukanya. Betapa terkejut Ayra saat dia mendapati wajah seorang wanita yang berdiri di depan pintu dengan penampilan lebih menarik dibanding dirinya. Melihat wajah wanita itu, Ayra langsung menahan amarahnya yang seketika menggebu. Ada urusan apa lagi dengan wanita itu? Kendati demikian, Ayra harus belajar untuk bersabar. Dia terpaksa memasang wajah senyum. “Mbak Sania? Ada apa?” Ayra sadar bahwa semenjak mendengar kabar Sania dirawat di rumah sakit, kini sudah berlalu sel
“Coba jelasin.”“Kok kamu keliatan nggak suka gitu, Mas? Harusnya senang?”“Bu-bukannya aku nggak suka. Tapi aku kaget aja.”“Loh, kaget kenapa, Mas?” Ayra menuntut penjelasan atas reaksi suaminya yang terlihat membingungkan setelah dia menyatakan kalau Attar akan menjadi calon ayah. Seharusnya lelaki manapun akan merasa senang dan bangga mengetahui istrinya yang tengah hamil.“Maksud dari perkataanmu tadi ... kamu hamil?” tanya Attar untuk memastikan kembali.Kepala Ayra mengangguk.“Dari mana kamu tahu?”“Aku udah cek tadi sambil nungguin kamu pulang.”“Loh, tapi ‘kan aku pergi buat beli test pack. Kamu dapat alat itu dari mana?”“Makanya kalau mau apa-apa itu tanya atau bicara dulu sama istrinya. Ya aku masih nyimpen test pack lah! Aku punya stok banyak.” Ayra nyaris dibuat emosi oleh suaminya.“Oh ... jadi ... kamu beneran hamil?” Attar masih saja seperti orang linglung.“Ih! Mas Attar kok gitu reaksinya?!” teriak Ayra sambil memukul dada Attar dengan keras karena benar-benar kesa
“Ay, sampai sekarang aku merasa masih punya hutang sama dia. Aku merasa sangat bersalah. Aku merasa berdosa karena perbuatanku waktu itu. Aku harap kamu ngerti.” Attar menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa gelisah sekaligus cemas. Takut apabila Ayra semakin marah.“Jadi ... kamu diam-diam masih mikirin dia, Mas?” Ayra mengusap air matanya yang menetes lagi, menyapu pori-pori di kulit wajahnya.Hati kecil Attar ingin sekali berteriak. Dia tidak bermaksud seperti itu. Namun dia gagal menyampaikan kepada Ayra dan wanita itu semakin salah paham terhadapnya.“Ay, kenapa kamu mikir sejauh itu?” tanya Attar sembari melangkah, mendekati Ayra. Kemudian perlahan meraih wajah Ayra dan berakhir memeluk tubuh istrinya.Tangis Ayra seketika pecah. Suaranya menggema di ruang tamu, teredam oleh dada Attar. Lelaki itu mempererat pelukannya.“Aku minta maaf. Ini salahku.”“Aku cuma takut kalau kamu diam-diam menjalin hubungan atau punya perasaan dengan wanita lain, Mas. Aku nggak mau sampai itu terjad
“Dari mana aja kamu, Mas?” tanya Ayra dengan nada dingin.Attar baru saja masuk ke rumah. Dia langsung mematung seketika mendapati istrinya berdiri tak jauh dari meja tamu, dengan posisi membelakanginya. Di sana sudah tidak ada kedua orang tuanya. Kemungkinan besar, ayah dan ibunya Attar sudah masuk ke kamar karena hari sudah berganti menjadi malam. Attar pergi selama kurang lebih dua jam.Keberanian Attar menciut. Terlebih lagi, Ayra terus memunggungi dirinya. Dapat disimpulkan bahwa wanita itu sungguh marah padanya.“Ay, aku habis—”“Siapa yang kamu bayarkan di rumah sakit?” Ayra memotong perkataan Attar dan ucapannya itu membuat sang suami menelan saliva dengan berat.Dari mana Ayra bisa tahu?Kini Ayra berbalik badan. Dia tidak mendengar jawaban dari Attar dan rasa kecewa itu terus menyelimuti hatinya hingga membuat napas Ayra terasa sesak.“Ayo jawab, Mas! Ada yang kamu sembunyiin dari aku? Jangan-jangan ada wanita lain yang diam-diam menjalin hubungan sama kamu di belakangku. Ta
“Mas? Kamu pergi? Jangan lama-lama, ya?” Ayra menyahut dari kejauhan sana.“Iya, Sayang. Nggak akan lama kok.”“Oke. Aku tunggu di rumah. Setengah jam lagi harus nyampe rumah. Daah.” Ayra mematikan panggilan secara sepihak.Sedang Attar menggigit bibir bawahnya. Perjalanan dia menuju rumah sakit terdekat saja memakan waktu sekitar dua puluh menit. Belum lagi dia harus menggunakan waktunya lagi untuk membeli makanan yang Ayra inginkan. Perjalanan pulang juga kembali memakan waktu.“Aku harus mencari cara supaya Ayra nggak marah. Atau aku harus mencari cara supaya bisa mencari alasan yang masuk akal kenapa aku bisa lama.” Attar bermonolog dalam hatinya.Attar kembali menoleh ke arah Sania. Wanita itu terlihat begitu malang. Ada apa dengan Sania? Mengapa terlihat rapuh seperti itu? Apakah terjadi sesuatu padanya?Attar mengontrol pikirannya. Itu bukan hak dan urusannya. Hanya saja, dia sedikit penasaran atas apa yang terjadi pada wanita yang ditempatkan di jok belakangnya.Dua puluh meni
“Ayra tidur?” tanya Sarah saat Attar kembali turun ke ruang tamu menemui kedua orang tuanya yang masih duduk di sana.“Iya, Bu. Badannya lagi kurang sehat. Mungkin dia sakit karena kecapekan.” Attar menjawab. Dia mengembuskan napas berat saat mengingat kalau keadaan istrinya saat ini sedang kurang baik meskipun jauh di lubuk hatinya, Attar merasa seperti ada kabar bahagia yang sebentar lagi hadir di rumah tangga mereka.“Jangan-jangan istri kamu nggak enak badan bukan cuma karena perjalanan aja? Gimana kalau ternyata Ayra sedang isi? Coba cek kehamilan,” usul Sarah yang langsung disetujui oleh suaminya.“Aku setuju banget, Bu. Attar, lebih baik sekarang kamu pergi ke apotek terdekat dan beli test pack. Nanti malam coba tes kehamilan. Ayah yakin kalau ini pertanda baik.”Attar mengalihkan perhatiannya ke wajah sang ayah. Dia belum sempat duduk dengan benar, tetapi perkataan ayahnya seakan menggugah hatinya untuk segera pergi ke suatu tempat dan mendapatkan alat kecil yang sedang dibica
“Udah, Mas. Lepasin. Aku bisa jalan sendiri,” ujar Ayra yang masih berada di gendongan depan suaminya bahkan setelah mereka baru saja tiba di dalam kamar.“Malu?”“Ya iyalah, Mas! Aku malu!” ketus wanita itu.“Tapi sekarang udah nggak ada mereka dan kita udah ada di kamar. Ngapain malu, hm?” Attar perlahan membaringkan tubuh Ayra ke atas tempat tidur. Dia membelai rambut dan wajah Ayra dengan lembut. Posisinya masih membungkuk di atas tubuh sang istri.Kedua insan itu saling bertatapan dengan tatapan yang dalam. Seakan keduanya tengah menciptakan dan menumbuhkan ulang perasaan cinta mereka yang berasal dari hati.“Mas Attar mau langsung turun lagi?” tanya Ayra dengan raut wajah sedih. Jemari tangannya bergerak mencapai pipi Attar. Kemudian menusuk-nusuk pipi Attar dengan pelan.“Kamu nggak mau ditinggal?” Attar menangkup jemari tangan Ayra yang menggelitik kulit pipinya.Kepala Ayra menggeleng. Dia memang tidak ingin ditinggal oleh suaminya karena merasa badannya sedang kurang sehat.
“Ibu tahu kalau kalian juga pasti nggak sabar ingin punya momongan, ‘kan? Ibu doakan yang terbaik buat kalian. Semoga secepatnya dikasih rejeki berupa anak. Ibu juga udah tahu kalau Attar usianya udah dewasa. Pasti ingn segera punya anak ‘kan?” sejak tadi, wanita bernama Sarah itu tiada henti membahas tentang kehamilan bahkan sampai mereka tiba di rumah.Usai turun dari mobil, Sarah masuk bersama Ayra. Sementara, Attar dan ayahnya sibuk menurunkan barang bawaan selama perjalanannya dengan sang istri.“Ayra, ayo duduk sini. Kenapa dari tadi cuma diam sama senyum aja? Atau jangan-jangan kamu sudah isi ya?” tebak Sarah sambil mendahului duduk di ruang tamu usai mereka tiba di ruang tamu.Ayra pun duduk di hadapan ibu mertuanya. Dia masih belum bisa menjawab seluruh percakapan Sarah karena masih bingung harus menjelaskan bagaimana. Ibu mertuanya sudah terlanjur sangat berharap besar akan kehamilannya, sedangkan sampai kini, Ayra belum merasakan adanya tanda-tanda kehadiran janin di dalam
Beberapa hari setelah menghabiskan waktunya selama berlibur di Jerman, kini Attar dan Ayra sudah kembali ke tanah air. Mereka pulang ke Indonesia satu hari lebih cepat dari rencana yang telah ditata sebelumnya.Kepulangan suami istri yang memiliki perbedaan umur sepuluh tahun itu di sambut oleh orang tuanya Attar di sebuah bandara di mana mereka mendarat.Karena Ayra baru bertemu dengan orang tuanya Attar saat acara pernikahan dan mereka kurang begitu akrab, wanita itu merasa malu-malu saat ketika akan bertemu kembali untuk yang ke-dua kalinya.“Aku masih malu sama orang tuamu, Mas,” ucap Ayra sambil memeluk lengan tangan Attar. Keduanya berjalan menuju ke titik penjemputan.Sementara, barang-barang mereka dibawakan oleh orang lain yang menyewakan jasa untuk membawakan barang.“Malu kenapa? Jangan malu-malu gitu. Nanti ditagih cucu, loh.” Attar merasa senang tatkala menggoda istrinya.“Ayah sama Ibu ke sini berdua aja?” tanya Ayra untuk memastikan siapa saja yang hendak dia temui nant