Kemudian lelaki di depan Ayra menoleh dan membalikkan badan. Menatap Ayra penuh kesal.
“Pak Attar?” Ayra sangat terkejut saat menyadari ternyata lelaki yang mengajaknya keluar adalah orang yang selama enam bulan ini telah hidup bersamanya. Untuk apa lelaki itu sampai melakukan hal ini? Padahal mereka tidaklah dekat.“Kamu ngapain di sini, Ay?! Kamu itu masih anak sekolah! Nggak seharusnya keluyuran malam-malam apalagi ke tempat seperti ini,” ucap Attar sembari melepaskan jas miliknya. Dia masih memakai setelan jas karena baru pulang dari kantor. Kemudian langsung pergi ke sana setelah mendengar jawaban dari asisten rumah tangganya.“Ngapain Bapak ikut campur urusan saya?” Mulanya gadis itu merasa senang karena yang menyelamatkan dirinya tak lain adalah Attar. Lelaki dewasa yang tiba-tiba harus bertanggung jawab terhadap seluruh kehidupannya. Akan tetapi, rasa senang itu luntur seketika saat mendengar perkataan ‘masih anak sekolah dan nggak seharusnya keluyuran’, itu merupakan perkataan yang baginya sama saja dengan teman sekolahnya. Menganggap dirinya masih kecil dan tidak pantas mengenal dunia luar. Tidak salah memang. Hanya saja hati Ayra tersinggung.“Ya jelas saya ikut campur! Kamu itu tanggung jawab saya!” tegas Attar sambil menutupi pundak Ayra menggunakan jas yang telah dilepas.“Memang sudah seharusnya Bapak bertanggung jawab terhadap hidup saya karena sudah membuat orang tua saya meninggal!” kesal Ayra.“Makanya saya melarangmu!” lantang lelaki berusia dua puluh delapan tahun itu dengan penuh penekanan.“Kalau yang ini, Bapak nggak bisa melarang saya. Ini kehidupan pribadi saya, Pak.” Gadis itu tidak kalah meninggikan suaranya hingga membuat Attar merasa risi saat mulai menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar mereka.“Jangan banyak bicara. Masuk ke mobil! Biarkan motor kamu diderek.”“Nggak! Saya sedang menikmati dunia dewasa,” bantah Ayra. Hendak masuk kembali ke dalam klub meskipun sebenarnya hatinya menolak. Dia tidak suka cara Attar melarang. Kenapa harus mengatakan kalimat menyakitkan seperti itu?“Masuk!” Tangan Attar lebih dulu meraih lalu menarik tangan Ayra dengan kuat hingga tubuh gadis tersebut berbalik dan menabrak dada bidangnya."Akk!" pekik Ayra, tetapi Attar tidak berkata-kata lagi.
Attar sangat malu jika adu mulut di depan orang-orang. Maka dari itu, dia memutuskan untuk membawa Ayra pulang ke rumah dengan paksa. Mereka berdua saling adu mulut kembali setelah sampai di rumah. Padahal sepanjang perjalanan pulang ke rumah tadi, keduanya hanya saling terdiam di dalam mobil.“Ayra dengar, ya? Kamu itu masih kecil! Jangan berani mencoba hal yang berbau dewasa,” peringat Attar di depan wajah Ayra dengan jarak dua kepal orang dewasa.“Saya sudah dewasa, Pak. Sebentar lagi usia saya 18 tahun! Bapak siapanya saya berani mengganggu urusan pribadi saya?!” Ayra mendorong tubuh Attar lalu berjalan masuk ke rumah.“Apa yang kamu inginkan, Ayra?” Lelaki itu menarik tangan Ayra hingga menghadapnya kembali. Tatapan Attar sudah ingin sekali menguasai gadis di depannya sejak beberapa detik yang lalu. Namun, tampaknya Ayra tidak merasakan hal tersebut.“Saya selalu diputus oleh kekasih saya karena masih tampak lugu. Saya nggak suka hidup seperti ini, Pak. Tapi saya juga nggak nyaman melakukan ini. Memangnya ada yang salah dengan diri saya? Memangnya salah kalau saya menjadi diri sendiri tanpa harus mengikuti mereka? Lama-lama saya ingin mengubah diri. Pokoknya saya mau mengenal dunia dewasa, titik.” Hati dan otak Ayra sibuk berdebat. Saling bertentangan.“Dunia yang seperti apa?” Kini Attar memajukan wajahnya. Menatap lekat gadis di depannya yang tiba-tiba membuat dirinya menjadi gila karena pesona cantik itu.“Pak Attar … ngapain?” Tentu saja Ayra mendadak merasa ada sesuatu yang berbeda dengan sikap lelaki yang selama ini telah menggantikan kedua orang tuanya karena kesalahan lelaki itu sendiri.“Katakan, dunia seperti apa yang kamu mau?”“A-a-aku ….” Ayra tergugup saat wajah Attar semakin mendekat. Tidak menyangka jika debaran itu menyerang dirinya. Entah Karena takut atau karena pesona Attar yang tampak begitu tampan saat baru dia sadari. Lelaki pemilik hidung mancung, bibir tidak begitu tipis, tatapan mematikan, dan surai legam indah menghias kepalanya.Selama ini, Ayra hanya menganggap lelaki di depannya sebagai sosok pengganti orang tuanya meskipun umur mereka terpaut hanya sepuluh tahun. Usia Attar memang sudah hampir berkepala tiga, tetapi aura mudanya masih sangat terlihat.“Menikahlah,” ucap Attar dengan nada lembut. Sorot manik mata legamnya tidak lepas dari bola mata Ayra.“Maksud Bapak?” Kedua alis Ayra terangkat. Kelopak matanya melebar.“Menikahlah denganku jika ingin mengenal dunia dewasa,” kata Attar membuat Ayra mematung seketika.***“Saya nggak mau menikah sama om-om,” ketus Ayra dan langsung mendapatkan tatapan terkejut dari Attar. Lelaki itu justru semakin memberanikan diri mendekatkan wajahnya hingga gadis tersebut mampu merasakan deru napasnya. “Suatu saat kamu akan jatuh cinta denganku. Ingat, jangan pernah bermain dewasa di luar. Biar aku yang akan mengajarimu.” Attar segera pergi dari hadapan Ayra. Meninggalkan gadis di sana yang saat ini dipenuhi perasaan terkejut bukan main. Dia berpikir tidak akan pernah terjadi yang namanya hubungan khusus antara gadis sekolah dengan lelaki yang jauh lebih dewasa. Namun, Attar baru saja menawarkan sebuah pernikahan. Bukan tawaran, lebih tepatnya permintaan. Apalagi lelaki itu baru saja mengubah bahasa menjadi ‘aku dan kamu’. Perlahan Ayra melepaskan jas yang masih menyampir di pundaknya lalu dia letakkan di atas sofa ruang tamu. Kakinya bergetar karena perkataan Attar yang terus terngiang. Gadis itu berjalan gontai lalu masuk ke kamar dengan perasaan bercampur tidak
“Apa kamu bilang?” “Iya! Biar saya nggak dibuli lagi sama orang-orang di sekeliling.” Attar segera mengecilkan api kompor lalu berjalan menuju Ayra. Membungkuk dengan menyangga tubuhnya menggunakan dua tangan tepat di depan bocah sekolah itu. Wajahnya sengaja dibuat jarak sedekat itu dengan wajah gadis di sepannya. “Tugas kamu sekolah. Jangan memaksakan apapun yang nggak kamu inginkan, yang belum kamu sanggupi. Jika dunia itu membuatmu takut, menjauhlah.” Attar terus memajukan wajahnya hingga membuat Ayra harus mundur meskipun dia menahan badannya sendiri sebab kursi yang dia duduki tidak memiliki sandaran. “Saya juga- maunya gitu, Pak.” Gadis itu menahan napasnya sedikit gugup. Sekarang kegugupan Ayra bertambah saat Attar mengambil potongan buah di meja. Kemudian menyuapkannya ke mulut Ayra. Attar masih terus menatap mata gadis tersebut dengan tatapan tajam. “Aku menunggumu jatuh cinta padaku, Ay. Dengan begitu, kamu akan tahu berbagai dunia dewasa bersamaku.” “Uhhuk uhhuk!” T
“Mengganti dengan hal lain?” Attar balik bertanya sambil mengernyitkan alis. Ayra mengangguk cepat sembari mengerjapkan mata. Cemas jika suatu saat dia dibuang, dikucilkan, ataupun tiba-tiba disuruh menjadi babu di rumah tersebut. Atau mungkin disuruh mengganti berkali lipat dari apa yang pernah dia terima selama ini?“Anggap saja aku sedang menebus dosaku, Ay. Sebab kurang begitu perhatian terhadap staff sendiri.” Gadis bertubuh kurus itu mulai memasukkan jarum ke dalam sela-sela kancing. Ditautkan kembali dengan kain supaya lebih kencang. Dia menghela napas sejenak sambil memikirkan perkataan Attar. “Tapi kalau dipikir kembali, sebenarnya itu bukan kesalahan Bapak. Saya jadi merasa nggak enak.” “Tentu saja aku ikut bertanggung jawab, Ay. Aku yang memerintahkan kedua orangtuamu menggantikan tugasku di luar kota. Mana mungkin aku lempar batu sembunyi kaki?” “Peufthh.” Ayra menahan tawa saat ucapan Attar sedikit melesat. “Yang benar sembunyi tangan, Pak.” Attar tersenyum senang bis
“Maafin aku, Ra,” sesal Rendra. Jauh di lubuk hatinya dia masih mencintai gadis tersebut. “Kamu masih cinta sama aku 'kan, Ren?” “Eum.” Dia mengusap rambut Ayra dengan lembut. Ini merupakan kali pertama mereka berpelukan. Di dalam kelas pula. Padahal ada CCTV yang memantau kegiatan mereka. “Jangan lakuin ini lagi, Ra. Kamu cukup jadi diri sendiri. Nggak perlu mengubah jadi orang lain.” Rendra melepas pelukan itu. Kemudian membalutkan jaket miliknya dengan lebih kencang di tubuh Ayra. “Aku mau keluar. Kamu benerin pakaianmu dulu sebelum anak-anak lain datang.” Rendra tentu saja bukan lelaki berengsek yang memanfaatkan keadaan. Terkadang memang terbawa dengan suasana liar sebab teman-teman sepergaulannya. Dia juga sering kali dirayu oleh Reti, perempuan yang selalu menyalakan mata kepada sosok Rendra. Sangat menyukai lelaki tersebut. Reti juga memiliki gaya yang Rendra suka. Namun hanya untuk bersenang-senang dan sebagai hiburan. “Kita nggak putus 'kan, Ren?” Langkah Rendra terhen
Bukan sesuatu yang seperti Ayra harapkan. Dia hanya mendapatkan pelukan hangat dari seorang Rendra. Lelaki itu paling bisa membuat hati Ayra meleleh berkali-kali.“Minta dicium, ya?” desis Rendra menggoda Ayra. Dia mengusap ujung kepala gadis di dekapannya.“Ng-nggak, kok!” bantah Ayra dengan nada sinis. Merasa dipermainkan begitu saja oleh Rendra karena sebelumnya dia merasa bahwa Rendra sungguh akan melakukan hal itu. Dalam pelukan lelaki yang resmi menjadi kekasihnya kembali, Ayra menyembunyikan wajah kesalnya. Dia memukul lengan Rendra dua kali.“Kamu belum cukup umur. Aku nunggu umurmu delapan belas tahun.”“Emang harus? Bukannya tujuh belas tahun sudah boleh?” tanya Ayra seolah sudah sangat menginginkan sentuhan lembut itu. Dia juga penasaran bagaimana rasanya. Apakah benar seperti ada ribuan kupu-kupu terbang di dalam perutnya?“Bagiku belum. Dan ingat, jangan sampai ada yang nyuri lebih dulu sebelum aku.”“Setelah kamu yang dapat lebih dulu, aku bakal dibuang, gitu?”“Nggak ju
“Maksud kamu bakal jagain aku itu apa, Ren? Apa kamu bakal bersamaku terus selama dua puluh empat jam? Gila kamu, ya?” sewot Ayra. Dia melonggarkan tautan tangannya. Sedikit memberi jarak dengan tubuh Rendra. Mencoba menatap wajah Rendra walaupun sudah tahu bahwa itu tidak akan bisa jika Rendra tidak menoleh ke samping. “Tapi boleh juga kok, Ren. Kita bisa tidur bareng, hihi.” “Ayra!” Rendra membentak, menginterupsi supaya Ayra berhenti dari sikap yang benar-benar bisa membahayakan gadis itu sendiri. Lelaki itu semakin sadar bahwa Ayra sungguh membutuhkan dirinya. Tidak akan membiarkan lelaki manapun mendekati kekasihnya. Rendra tidak berencana memutuskan Ayra lagi.“Kenapa, Ren?” Bukannya takut atau menjauhkan diri, Ayra justru semakin menempel di punggung Rendra. Meletakkan dagu di pundak lelaki itu sehingga membuat Rendra merinding.“Huh, sabar banget jadi aku. Ra, kamu bahaya banget tahu nggak, sih? Mundur dikit!” bentak Rendra. Dia benar-benar marah atas sikap Ayra kepadanya. Hal
“Astaga! Tobat gue punya cewek kayak lo. Masuk sana!” Rendra tampak mengusir keberadaan Ayra dari hadapannya supaya gadis itu segera masuk ke rumah. Rendra juga menjadi ragu untuk mampir ke sana. Takut jika Ayra terus menggodanya meskipun hanya iseng atau bergurau belaka.“Ayo, ikut.” Benar saja, Ayra bahkan sekarang sudah memeluk lengan tangan Rendra yang masih terduduk di atas motor. Lelaki itu terpaksa menuruti kemauan Ayra. Jangan sampai kekasihnya marah lagi.Dengan pasrah, Rendra mengimbangi langkah kaki Ayra yang berjalan masuk ke rumah. Tanpa mengetuk pintu karena pintu rumah mereka menggunakan sandi, Ayra dan Rendra bisa langsung masuk.Langkah kaki Rendra terhenti saat mereka melewatkan ruang tamu dan hendak menaiki anak tangga. “Stop,” pekik Rendra. Mencegah Ayra yang terus membawanya menyusuri ruangan asing baginya.“Kenapa, Ren?” Ayra mengerjapkan mata. Tidak menyadari apa kesalahannya, apa yang membuat kekasihnya itu menginterupsi mereka untuk berhenti.“Itu ruang tamuny
Ayra mendelikkan matanya, sedangkan Rendra menahan napas. Beruntung saja ada tisu yang berguna menghalangi kulit mereka. Sentuhan keduanya tidak resmi menjadi ciuman pertama. Ayra tersadar dengan kejadian mereka yang tidak disengaja. Dia reflek memundurkan diri hingga terjungkal ke lantai. Gadis itu mengaduh kesakitan sambil mengusap bokongnya yang terasa sakit. “Awh ....”Sementara itu, Rendra masih terkejut atas apa yang terjadi. “Ra, kamu nggak apa-apa?” tanya Rendra dengan khawatir. Dia menetralkan dirinya yang masih setengah sadar setelah terlelap beberapa menit. Kemudian mendekati Ayra.Ayra menggelang pelan, masih mendesis kesakitan. Rendra membantunya berdiri lalu duduk di sofa. Keduanya menjadi sedikit canggung karena kejadian baru saja.“Maaf, aku nggak tahu, Ra. Lagian kamu ngapain gangguin orang tidur?”“Kita udah ciuman, Ren,” kata Ayra dengan wajah memelas sekaligus tatapan lugu. Tidak sadar jika keberadaan dirinya membuat Rendra bergidik ngeri. Perlahan Rendra berings
Bunyi bel rumah membuat Ayra berjalan cepat menuju ke pintu untuk segera membukakannya. “Iya sebentar!” teriaknya sembari menuruni tangga. “Siapa sih, pagi-pagi gini udah ada yang datang? Kalau itu tamu kurang sopan, sih. Tapi kalau Mbok Inah nggak mungkin datang sepagi ini,” gumamnya dengan heran. Pasalnya, tidak biasanya ada orang yang datang ke rumahnya saat hari masih begitu pagi. Langit pun baru terlihat sedikit terang. Ayra meninggalkan Attar yang tadi masih rebahan di kasur. Dia meraih gagang pintu lalu membukanya. Betapa terkejut Ayra saat dia mendapati wajah seorang wanita yang berdiri di depan pintu dengan penampilan lebih menarik dibanding dirinya. Melihat wajah wanita itu, Ayra langsung menahan amarahnya yang seketika menggebu. Ada urusan apa lagi dengan wanita itu? Kendati demikian, Ayra harus belajar untuk bersabar. Dia terpaksa memasang wajah senyum. “Mbak Sania? Ada apa?” Ayra sadar bahwa semenjak mendengar kabar Sania dirawat di rumah sakit, kini sudah berlalu sel
“Coba jelasin.”“Kok kamu keliatan nggak suka gitu, Mas? Harusnya senang?”“Bu-bukannya aku nggak suka. Tapi aku kaget aja.”“Loh, kaget kenapa, Mas?” Ayra menuntut penjelasan atas reaksi suaminya yang terlihat membingungkan setelah dia menyatakan kalau Attar akan menjadi calon ayah. Seharusnya lelaki manapun akan merasa senang dan bangga mengetahui istrinya yang tengah hamil.“Maksud dari perkataanmu tadi ... kamu hamil?” tanya Attar untuk memastikan kembali.Kepala Ayra mengangguk.“Dari mana kamu tahu?”“Aku udah cek tadi sambil nungguin kamu pulang.”“Loh, tapi ‘kan aku pergi buat beli test pack. Kamu dapat alat itu dari mana?”“Makanya kalau mau apa-apa itu tanya atau bicara dulu sama istrinya. Ya aku masih nyimpen test pack lah! Aku punya stok banyak.” Ayra nyaris dibuat emosi oleh suaminya.“Oh ... jadi ... kamu beneran hamil?” Attar masih saja seperti orang linglung.“Ih! Mas Attar kok gitu reaksinya?!” teriak Ayra sambil memukul dada Attar dengan keras karena benar-benar kesa
“Ay, sampai sekarang aku merasa masih punya hutang sama dia. Aku merasa sangat bersalah. Aku merasa berdosa karena perbuatanku waktu itu. Aku harap kamu ngerti.” Attar menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa gelisah sekaligus cemas. Takut apabila Ayra semakin marah.“Jadi ... kamu diam-diam masih mikirin dia, Mas?” Ayra mengusap air matanya yang menetes lagi, menyapu pori-pori di kulit wajahnya.Hati kecil Attar ingin sekali berteriak. Dia tidak bermaksud seperti itu. Namun dia gagal menyampaikan kepada Ayra dan wanita itu semakin salah paham terhadapnya.“Ay, kenapa kamu mikir sejauh itu?” tanya Attar sembari melangkah, mendekati Ayra. Kemudian perlahan meraih wajah Ayra dan berakhir memeluk tubuh istrinya.Tangis Ayra seketika pecah. Suaranya menggema di ruang tamu, teredam oleh dada Attar. Lelaki itu mempererat pelukannya.“Aku minta maaf. Ini salahku.”“Aku cuma takut kalau kamu diam-diam menjalin hubungan atau punya perasaan dengan wanita lain, Mas. Aku nggak mau sampai itu terjad
“Dari mana aja kamu, Mas?” tanya Ayra dengan nada dingin.Attar baru saja masuk ke rumah. Dia langsung mematung seketika mendapati istrinya berdiri tak jauh dari meja tamu, dengan posisi membelakanginya. Di sana sudah tidak ada kedua orang tuanya. Kemungkinan besar, ayah dan ibunya Attar sudah masuk ke kamar karena hari sudah berganti menjadi malam. Attar pergi selama kurang lebih dua jam.Keberanian Attar menciut. Terlebih lagi, Ayra terus memunggungi dirinya. Dapat disimpulkan bahwa wanita itu sungguh marah padanya.“Ay, aku habis—”“Siapa yang kamu bayarkan di rumah sakit?” Ayra memotong perkataan Attar dan ucapannya itu membuat sang suami menelan saliva dengan berat.Dari mana Ayra bisa tahu?Kini Ayra berbalik badan. Dia tidak mendengar jawaban dari Attar dan rasa kecewa itu terus menyelimuti hatinya hingga membuat napas Ayra terasa sesak.“Ayo jawab, Mas! Ada yang kamu sembunyiin dari aku? Jangan-jangan ada wanita lain yang diam-diam menjalin hubungan sama kamu di belakangku. Ta
“Mas? Kamu pergi? Jangan lama-lama, ya?” Ayra menyahut dari kejauhan sana.“Iya, Sayang. Nggak akan lama kok.”“Oke. Aku tunggu di rumah. Setengah jam lagi harus nyampe rumah. Daah.” Ayra mematikan panggilan secara sepihak.Sedang Attar menggigit bibir bawahnya. Perjalanan dia menuju rumah sakit terdekat saja memakan waktu sekitar dua puluh menit. Belum lagi dia harus menggunakan waktunya lagi untuk membeli makanan yang Ayra inginkan. Perjalanan pulang juga kembali memakan waktu.“Aku harus mencari cara supaya Ayra nggak marah. Atau aku harus mencari cara supaya bisa mencari alasan yang masuk akal kenapa aku bisa lama.” Attar bermonolog dalam hatinya.Attar kembali menoleh ke arah Sania. Wanita itu terlihat begitu malang. Ada apa dengan Sania? Mengapa terlihat rapuh seperti itu? Apakah terjadi sesuatu padanya?Attar mengontrol pikirannya. Itu bukan hak dan urusannya. Hanya saja, dia sedikit penasaran atas apa yang terjadi pada wanita yang ditempatkan di jok belakangnya.Dua puluh meni
“Ayra tidur?” tanya Sarah saat Attar kembali turun ke ruang tamu menemui kedua orang tuanya yang masih duduk di sana.“Iya, Bu. Badannya lagi kurang sehat. Mungkin dia sakit karena kecapekan.” Attar menjawab. Dia mengembuskan napas berat saat mengingat kalau keadaan istrinya saat ini sedang kurang baik meskipun jauh di lubuk hatinya, Attar merasa seperti ada kabar bahagia yang sebentar lagi hadir di rumah tangga mereka.“Jangan-jangan istri kamu nggak enak badan bukan cuma karena perjalanan aja? Gimana kalau ternyata Ayra sedang isi? Coba cek kehamilan,” usul Sarah yang langsung disetujui oleh suaminya.“Aku setuju banget, Bu. Attar, lebih baik sekarang kamu pergi ke apotek terdekat dan beli test pack. Nanti malam coba tes kehamilan. Ayah yakin kalau ini pertanda baik.”Attar mengalihkan perhatiannya ke wajah sang ayah. Dia belum sempat duduk dengan benar, tetapi perkataan ayahnya seakan menggugah hatinya untuk segera pergi ke suatu tempat dan mendapatkan alat kecil yang sedang dibica
“Udah, Mas. Lepasin. Aku bisa jalan sendiri,” ujar Ayra yang masih berada di gendongan depan suaminya bahkan setelah mereka baru saja tiba di dalam kamar.“Malu?”“Ya iyalah, Mas! Aku malu!” ketus wanita itu.“Tapi sekarang udah nggak ada mereka dan kita udah ada di kamar. Ngapain malu, hm?” Attar perlahan membaringkan tubuh Ayra ke atas tempat tidur. Dia membelai rambut dan wajah Ayra dengan lembut. Posisinya masih membungkuk di atas tubuh sang istri.Kedua insan itu saling bertatapan dengan tatapan yang dalam. Seakan keduanya tengah menciptakan dan menumbuhkan ulang perasaan cinta mereka yang berasal dari hati.“Mas Attar mau langsung turun lagi?” tanya Ayra dengan raut wajah sedih. Jemari tangannya bergerak mencapai pipi Attar. Kemudian menusuk-nusuk pipi Attar dengan pelan.“Kamu nggak mau ditinggal?” Attar menangkup jemari tangan Ayra yang menggelitik kulit pipinya.Kepala Ayra menggeleng. Dia memang tidak ingin ditinggal oleh suaminya karena merasa badannya sedang kurang sehat.
“Ibu tahu kalau kalian juga pasti nggak sabar ingin punya momongan, ‘kan? Ibu doakan yang terbaik buat kalian. Semoga secepatnya dikasih rejeki berupa anak. Ibu juga udah tahu kalau Attar usianya udah dewasa. Pasti ingn segera punya anak ‘kan?” sejak tadi, wanita bernama Sarah itu tiada henti membahas tentang kehamilan bahkan sampai mereka tiba di rumah.Usai turun dari mobil, Sarah masuk bersama Ayra. Sementara, Attar dan ayahnya sibuk menurunkan barang bawaan selama perjalanannya dengan sang istri.“Ayra, ayo duduk sini. Kenapa dari tadi cuma diam sama senyum aja? Atau jangan-jangan kamu sudah isi ya?” tebak Sarah sambil mendahului duduk di ruang tamu usai mereka tiba di ruang tamu.Ayra pun duduk di hadapan ibu mertuanya. Dia masih belum bisa menjawab seluruh percakapan Sarah karena masih bingung harus menjelaskan bagaimana. Ibu mertuanya sudah terlanjur sangat berharap besar akan kehamilannya, sedangkan sampai kini, Ayra belum merasakan adanya tanda-tanda kehadiran janin di dalam
Beberapa hari setelah menghabiskan waktunya selama berlibur di Jerman, kini Attar dan Ayra sudah kembali ke tanah air. Mereka pulang ke Indonesia satu hari lebih cepat dari rencana yang telah ditata sebelumnya.Kepulangan suami istri yang memiliki perbedaan umur sepuluh tahun itu di sambut oleh orang tuanya Attar di sebuah bandara di mana mereka mendarat.Karena Ayra baru bertemu dengan orang tuanya Attar saat acara pernikahan dan mereka kurang begitu akrab, wanita itu merasa malu-malu saat ketika akan bertemu kembali untuk yang ke-dua kalinya.“Aku masih malu sama orang tuamu, Mas,” ucap Ayra sambil memeluk lengan tangan Attar. Keduanya berjalan menuju ke titik penjemputan.Sementara, barang-barang mereka dibawakan oleh orang lain yang menyewakan jasa untuk membawakan barang.“Malu kenapa? Jangan malu-malu gitu. Nanti ditagih cucu, loh.” Attar merasa senang tatkala menggoda istrinya.“Ayah sama Ibu ke sini berdua aja?” tanya Ayra untuk memastikan siapa saja yang hendak dia temui nant