Kekesalannya semakin bertambah usai dia merasa lelah dengan dunia sekolah. Pasalnya, Ayra sering kali dibuat pulang nyaris malam sebab tugas tak kunjung selesai. Gadis yang sebentar lagi memasuki usia delapan belas tahun itu juga harus mengejar banyak pelajaran yang sempat tertinggal untuk menghadapi ujian dua bulan lagi.
“Sial! Mana mungkin aku punya baju seksi?” kesalnya.Sudah beberapa kali mencari baju-baju di dalam sana. Ayra baru mengingat kalau selama ini dirinya selalu memakai pakaian tertutup.
Ide cemerlang tiba-tiba datang ke otak gadis itu. Ayra segera pergi ke kamar seseorang di rumah tersebut. Dia menemukan banyak pakaian wanita yang layak untuk pergi ke pesta ataupun klub malam.Setelah membersihkan diri, Ayra memakai salah satu dari banyaknya baju yang diambil dari lemari tadi. Kemudian berdandan sekadarnya saja karena memang sudah memiliki paras dasar yang cukup cantik. Sebelum gadis itu keluar dari rumah, langkah kakinya terhenti secara tiba-tiba saat seorang asisten rumah tangga menanyakan dirinya.“Mau ke mana, Non?” tanya seorang wanita paruh baya dari belakang Ayra.“Mau ke klub malam, Mbok. Kalau Pak Attar mencari saya, bilang saja sedang jenuh,” jawab Ayra. Tanpa basa-basi lagi, dia langsung meninggalkan rumah tersebut dengan mengendarai sepeda motor seorang diri.Dalam hati Ayra, dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri apapun yang terjadi, akan dia hadapi dengan berani. Sebenarnya Ayra takut pergi ke dunia seperti ini. Dia memang dikenal sebagai gadis rumahan dan pendiam.
Sampailah di sebuah klub, yang mana menjadi tempat perjanjian antara Ayra dengan teman-temannya untuk menantang gadis tersebut agar berani terlibat dengan dunia malam. Akhirnya sosok Ayra dengan tubuh terbalut dress berwarna merah terang tanpa lengan, muncul di depan orang-orang yang selalu menganggapnya terlalu lugu.Kaki Ayra bergetar saat memasuki area yang mulai ramai didatangi orang-orang. Kedua tangannya mengepal kuat. Dia menunduk sambil terus melangkah mendekati gerombolan manusia yang telah menantang dirinya. Jantungnya berdegup kencang. Dalam hatinya mengutuk diri, mengapa harus senekat ini demi mendapatkan atensi seorang mantan kekasih?Di sana ada mantan kekasih Ayra yang baru saja memutuskan hubungan mereka berdua. Semua laki-laki dan perempuan itu merupakan teman satu sekolah dengan Ayra. Bukan teman, lebih tepatnya adalah murid yang seringkali mengganggu kepribadian Ayra. Kata mereka, Ayra hanya seorang perempuan cantik yang ditutup dengan keluguan.“Kita sambut, Ayra!”“Wuaaw!"“Mulus banget lo, Ra.”Beberapa orang menyambut kedatangan Ayra dengan meriah karena puas melihat penampilan gadis itu yang jauh berbeda dari biasanya. Mereka berhasil memancing Ayra. Sementara, hati gadis itu hanya mengutuk ocehan-ocehan remaja di depannya.“Makhluk laknat!” batin Ayra.“Gila, akhirnya lo berani keluar dengan pakaian selutut gitu, Ra. Kirain bakal dibungkus terus badan lo itu,” ucap Reti yang merupakan saingan Ayra karena sedang dekat dengan mantan kekasihnya. Penampilannya jauh lebih dewasa dibanding Ayra. Dia merasa puas saat sukses menyeret gadis lugu seperti Ayra ke pergaulan mereka.“Gini, dong. Kan enak dilihatnya,” sambung seorang lelaki sambil mendekati Ayra. Melihat dengan penuh kekaguman. Tangannya yang iseng hampir menyentuh dagu Ayra secara lancang.“Jangan macam-macam denganku! Aku nggak sepolos yang kalian pikir!” bentak Ayra sembari was-was kalau saja ada dari mereka yang benar-benar menyentuh bagian tubuhnya. Dia sedikit memundurkan kakinya untuk menjauhkan jarak dengan beberapa orang yang mulai mendekatinya.“Wahh, bisa-bisa Rendra minta balikan sama lo, Ra.”Perkataan seseorang mengalihkan atensi Ayra. Gadis itu menoleh ke sumber suara. Lelaki tersebut sedang berdiri di sebelah Rendra.
“Jangan mimpi. Walaupun dia udah mengubah penampilan, masih aja keliatan lugu gitu,” kata Rendra yang sedang duduk tak jauh dari tempat Ayra berdiri. Lelaki itu bersama beberapa temannya. Dia tersenyum sinis lalu melempar tatapan ke arah lain.Ayra dibuat kesal setengah mati atas sikap mantan kekasihnya yang mendadak berubah. Dia tidak sanggup mengatakan apapun lagi. Nyalinya sedikit menciut. Namun, gadis itu tetap harus melawan rasa kurang percaya dirinya agar Rendra masih mau melihat dirinya lagi sebagai seorang gadis bahkan mau meminta supaya mereka balikan. Ide gila memang.Tanpa ada sahutan lagi, perbincangan mereka berakhir. Ketiga wanita di sana menantang Ayra untuk menikmati alunan musik. Termasuk Reti yang menantang Ayra berjoget di tengah keramian.Ayra menerima tantangan Reti dengan sangat terpaksa. Ingin menunjukkan kepada Rendra bahwa dia bukan anak kecil dan bukan gadis lugu. Dia juga bisa mengenal dunia dewasa. Akan tetapi, tubuhnya menolak. Jiwanya berontak.Ayra bukanlah gadis seperti itu. Dia tumbuh dengan caranya sendiri. Dia nyaman berada di dalam kamar seorang diri. Gadis itu merasa terlindungi saat berada di areanya. Bukan malah keluar ke tempat yang sudah jelas bukan lingkungannya.Di tengah kepura-puraannya Ayra menikmati alunan musik, tiba-tiba dia merasa bahwa tangannya diseret lalu diajak keluar dari sana. Gadis itu tidak tahu siapa yang membawa dirinya seenak jidat. Ayra terpaksa mengikuti irama langkah orang di depannya yang tidak lain adalah seorang lelaki.***Belum ada percakapan di antara mereka karena Ayra sendiri bingung. Mungkin saja lelaki itu salah orang, itu perkiraannya. Maka, dia tidak menolak sama sekali. Justru merasa senang karena akhirnya ada yang mengeluarkan dirinya dari zona yang membuatnya sungguh tidak nyaman. “Berthenti!” Setelah langkah mereka menjauh dari area klub, Ayra menepis tangan lelaki yang masih saja mencengkeram lengannya lalu dia menghentikan langkah mereka. Merasa aneh karena dirinya terus-menerus dibawa tanpa ada obrolan apapun. Kemudian lelaki di depan Ayra menoleh dan membalikkan badan. Menatap Ayra penuh kesal. “Pak Attar?” Ayra sangat terkejut saat menyadari ternyata lelaki yang mengajaknya keluar adalah orang yang selama enam bulan ini telah hidup bersamanya. Untuk apa lelaki itu sampai melakukan hal ini? Padahal mereka tidaklah dekat.“Kamu ngapain di sini, Ay?! Kamu itu masih anak sekolah! Nggak seharusnya keluyuran malam-malam apalagi ke tempat seperti ini,” ucap Attar sembari melepaskan jas milik
“Saya nggak mau menikah sama om-om,” ketus Ayra dan langsung mendapatkan tatapan terkejut dari Attar. Lelaki itu justru semakin memberanikan diri mendekatkan wajahnya hingga gadis tersebut mampu merasakan deru napasnya. “Suatu saat kamu akan jatuh cinta denganku. Ingat, jangan pernah bermain dewasa di luar. Biar aku yang akan mengajarimu.” Attar segera pergi dari hadapan Ayra. Meninggalkan gadis di sana yang saat ini dipenuhi perasaan terkejut bukan main. Dia berpikir tidak akan pernah terjadi yang namanya hubungan khusus antara gadis sekolah dengan lelaki yang jauh lebih dewasa. Namun, Attar baru saja menawarkan sebuah pernikahan. Bukan tawaran, lebih tepatnya permintaan. Apalagi lelaki itu baru saja mengubah bahasa menjadi ‘aku dan kamu’. Perlahan Ayra melepaskan jas yang masih menyampir di pundaknya lalu dia letakkan di atas sofa ruang tamu. Kakinya bergetar karena perkataan Attar yang terus terngiang. Gadis itu berjalan gontai lalu masuk ke kamar dengan perasaan bercampur tidak
“Apa kamu bilang?” “Iya! Biar saya nggak dibuli lagi sama orang-orang di sekeliling.” Attar segera mengecilkan api kompor lalu berjalan menuju Ayra. Membungkuk dengan menyangga tubuhnya menggunakan dua tangan tepat di depan bocah sekolah itu. Wajahnya sengaja dibuat jarak sedekat itu dengan wajah gadis di sepannya. “Tugas kamu sekolah. Jangan memaksakan apapun yang nggak kamu inginkan, yang belum kamu sanggupi. Jika dunia itu membuatmu takut, menjauhlah.” Attar terus memajukan wajahnya hingga membuat Ayra harus mundur meskipun dia menahan badannya sendiri sebab kursi yang dia duduki tidak memiliki sandaran. “Saya juga- maunya gitu, Pak.” Gadis itu menahan napasnya sedikit gugup. Sekarang kegugupan Ayra bertambah saat Attar mengambil potongan buah di meja. Kemudian menyuapkannya ke mulut Ayra. Attar masih terus menatap mata gadis tersebut dengan tatapan tajam. “Aku menunggumu jatuh cinta padaku, Ay. Dengan begitu, kamu akan tahu berbagai dunia dewasa bersamaku.” “Uhhuk uhhuk!” T
“Mengganti dengan hal lain?” Attar balik bertanya sambil mengernyitkan alis. Ayra mengangguk cepat sembari mengerjapkan mata. Cemas jika suatu saat dia dibuang, dikucilkan, ataupun tiba-tiba disuruh menjadi babu di rumah tersebut. Atau mungkin disuruh mengganti berkali lipat dari apa yang pernah dia terima selama ini?“Anggap saja aku sedang menebus dosaku, Ay. Sebab kurang begitu perhatian terhadap staff sendiri.” Gadis bertubuh kurus itu mulai memasukkan jarum ke dalam sela-sela kancing. Ditautkan kembali dengan kain supaya lebih kencang. Dia menghela napas sejenak sambil memikirkan perkataan Attar. “Tapi kalau dipikir kembali, sebenarnya itu bukan kesalahan Bapak. Saya jadi merasa nggak enak.” “Tentu saja aku ikut bertanggung jawab, Ay. Aku yang memerintahkan kedua orangtuamu menggantikan tugasku di luar kota. Mana mungkin aku lempar batu sembunyi kaki?” “Peufthh.” Ayra menahan tawa saat ucapan Attar sedikit melesat. “Yang benar sembunyi tangan, Pak.” Attar tersenyum senang bis
“Maafin aku, Ra,” sesal Rendra. Jauh di lubuk hatinya dia masih mencintai gadis tersebut. “Kamu masih cinta sama aku 'kan, Ren?” “Eum.” Dia mengusap rambut Ayra dengan lembut. Ini merupakan kali pertama mereka berpelukan. Di dalam kelas pula. Padahal ada CCTV yang memantau kegiatan mereka. “Jangan lakuin ini lagi, Ra. Kamu cukup jadi diri sendiri. Nggak perlu mengubah jadi orang lain.” Rendra melepas pelukan itu. Kemudian membalutkan jaket miliknya dengan lebih kencang di tubuh Ayra. “Aku mau keluar. Kamu benerin pakaianmu dulu sebelum anak-anak lain datang.” Rendra tentu saja bukan lelaki berengsek yang memanfaatkan keadaan. Terkadang memang terbawa dengan suasana liar sebab teman-teman sepergaulannya. Dia juga sering kali dirayu oleh Reti, perempuan yang selalu menyalakan mata kepada sosok Rendra. Sangat menyukai lelaki tersebut. Reti juga memiliki gaya yang Rendra suka. Namun hanya untuk bersenang-senang dan sebagai hiburan. “Kita nggak putus 'kan, Ren?” Langkah Rendra terhen
Bukan sesuatu yang seperti Ayra harapkan. Dia hanya mendapatkan pelukan hangat dari seorang Rendra. Lelaki itu paling bisa membuat hati Ayra meleleh berkali-kali.“Minta dicium, ya?” desis Rendra menggoda Ayra. Dia mengusap ujung kepala gadis di dekapannya.“Ng-nggak, kok!” bantah Ayra dengan nada sinis. Merasa dipermainkan begitu saja oleh Rendra karena sebelumnya dia merasa bahwa Rendra sungguh akan melakukan hal itu. Dalam pelukan lelaki yang resmi menjadi kekasihnya kembali, Ayra menyembunyikan wajah kesalnya. Dia memukul lengan Rendra dua kali.“Kamu belum cukup umur. Aku nunggu umurmu delapan belas tahun.”“Emang harus? Bukannya tujuh belas tahun sudah boleh?” tanya Ayra seolah sudah sangat menginginkan sentuhan lembut itu. Dia juga penasaran bagaimana rasanya. Apakah benar seperti ada ribuan kupu-kupu terbang di dalam perutnya?“Bagiku belum. Dan ingat, jangan sampai ada yang nyuri lebih dulu sebelum aku.”“Setelah kamu yang dapat lebih dulu, aku bakal dibuang, gitu?”“Nggak ju
“Maksud kamu bakal jagain aku itu apa, Ren? Apa kamu bakal bersamaku terus selama dua puluh empat jam? Gila kamu, ya?” sewot Ayra. Dia melonggarkan tautan tangannya. Sedikit memberi jarak dengan tubuh Rendra. Mencoba menatap wajah Rendra walaupun sudah tahu bahwa itu tidak akan bisa jika Rendra tidak menoleh ke samping. “Tapi boleh juga kok, Ren. Kita bisa tidur bareng, hihi.” “Ayra!” Rendra membentak, menginterupsi supaya Ayra berhenti dari sikap yang benar-benar bisa membahayakan gadis itu sendiri. Lelaki itu semakin sadar bahwa Ayra sungguh membutuhkan dirinya. Tidak akan membiarkan lelaki manapun mendekati kekasihnya. Rendra tidak berencana memutuskan Ayra lagi.“Kenapa, Ren?” Bukannya takut atau menjauhkan diri, Ayra justru semakin menempel di punggung Rendra. Meletakkan dagu di pundak lelaki itu sehingga membuat Rendra merinding.“Huh, sabar banget jadi aku. Ra, kamu bahaya banget tahu nggak, sih? Mundur dikit!” bentak Rendra. Dia benar-benar marah atas sikap Ayra kepadanya. Hal
“Astaga! Tobat gue punya cewek kayak lo. Masuk sana!” Rendra tampak mengusir keberadaan Ayra dari hadapannya supaya gadis itu segera masuk ke rumah. Rendra juga menjadi ragu untuk mampir ke sana. Takut jika Ayra terus menggodanya meskipun hanya iseng atau bergurau belaka.“Ayo, ikut.” Benar saja, Ayra bahkan sekarang sudah memeluk lengan tangan Rendra yang masih terduduk di atas motor. Lelaki itu terpaksa menuruti kemauan Ayra. Jangan sampai kekasihnya marah lagi.Dengan pasrah, Rendra mengimbangi langkah kaki Ayra yang berjalan masuk ke rumah. Tanpa mengetuk pintu karena pintu rumah mereka menggunakan sandi, Ayra dan Rendra bisa langsung masuk.Langkah kaki Rendra terhenti saat mereka melewatkan ruang tamu dan hendak menaiki anak tangga. “Stop,” pekik Rendra. Mencegah Ayra yang terus membawanya menyusuri ruangan asing baginya.“Kenapa, Ren?” Ayra mengerjapkan mata. Tidak menyadari apa kesalahannya, apa yang membuat kekasihnya itu menginterupsi mereka untuk berhenti.“Itu ruang tamuny
Bunyi bel rumah membuat Ayra berjalan cepat menuju ke pintu untuk segera membukakannya. “Iya sebentar!” teriaknya sembari menuruni tangga. “Siapa sih, pagi-pagi gini udah ada yang datang? Kalau itu tamu kurang sopan, sih. Tapi kalau Mbok Inah nggak mungkin datang sepagi ini,” gumamnya dengan heran. Pasalnya, tidak biasanya ada orang yang datang ke rumahnya saat hari masih begitu pagi. Langit pun baru terlihat sedikit terang. Ayra meninggalkan Attar yang tadi masih rebahan di kasur. Dia meraih gagang pintu lalu membukanya. Betapa terkejut Ayra saat dia mendapati wajah seorang wanita yang berdiri di depan pintu dengan penampilan lebih menarik dibanding dirinya. Melihat wajah wanita itu, Ayra langsung menahan amarahnya yang seketika menggebu. Ada urusan apa lagi dengan wanita itu? Kendati demikian, Ayra harus belajar untuk bersabar. Dia terpaksa memasang wajah senyum. “Mbak Sania? Ada apa?” Ayra sadar bahwa semenjak mendengar kabar Sania dirawat di rumah sakit, kini sudah berlalu sel
“Coba jelasin.”“Kok kamu keliatan nggak suka gitu, Mas? Harusnya senang?”“Bu-bukannya aku nggak suka. Tapi aku kaget aja.”“Loh, kaget kenapa, Mas?” Ayra menuntut penjelasan atas reaksi suaminya yang terlihat membingungkan setelah dia menyatakan kalau Attar akan menjadi calon ayah. Seharusnya lelaki manapun akan merasa senang dan bangga mengetahui istrinya yang tengah hamil.“Maksud dari perkataanmu tadi ... kamu hamil?” tanya Attar untuk memastikan kembali.Kepala Ayra mengangguk.“Dari mana kamu tahu?”“Aku udah cek tadi sambil nungguin kamu pulang.”“Loh, tapi ‘kan aku pergi buat beli test pack. Kamu dapat alat itu dari mana?”“Makanya kalau mau apa-apa itu tanya atau bicara dulu sama istrinya. Ya aku masih nyimpen test pack lah! Aku punya stok banyak.” Ayra nyaris dibuat emosi oleh suaminya.“Oh ... jadi ... kamu beneran hamil?” Attar masih saja seperti orang linglung.“Ih! Mas Attar kok gitu reaksinya?!” teriak Ayra sambil memukul dada Attar dengan keras karena benar-benar kesa
“Ay, sampai sekarang aku merasa masih punya hutang sama dia. Aku merasa sangat bersalah. Aku merasa berdosa karena perbuatanku waktu itu. Aku harap kamu ngerti.” Attar menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa gelisah sekaligus cemas. Takut apabila Ayra semakin marah.“Jadi ... kamu diam-diam masih mikirin dia, Mas?” Ayra mengusap air matanya yang menetes lagi, menyapu pori-pori di kulit wajahnya.Hati kecil Attar ingin sekali berteriak. Dia tidak bermaksud seperti itu. Namun dia gagal menyampaikan kepada Ayra dan wanita itu semakin salah paham terhadapnya.“Ay, kenapa kamu mikir sejauh itu?” tanya Attar sembari melangkah, mendekati Ayra. Kemudian perlahan meraih wajah Ayra dan berakhir memeluk tubuh istrinya.Tangis Ayra seketika pecah. Suaranya menggema di ruang tamu, teredam oleh dada Attar. Lelaki itu mempererat pelukannya.“Aku minta maaf. Ini salahku.”“Aku cuma takut kalau kamu diam-diam menjalin hubungan atau punya perasaan dengan wanita lain, Mas. Aku nggak mau sampai itu terjad
“Dari mana aja kamu, Mas?” tanya Ayra dengan nada dingin.Attar baru saja masuk ke rumah. Dia langsung mematung seketika mendapati istrinya berdiri tak jauh dari meja tamu, dengan posisi membelakanginya. Di sana sudah tidak ada kedua orang tuanya. Kemungkinan besar, ayah dan ibunya Attar sudah masuk ke kamar karena hari sudah berganti menjadi malam. Attar pergi selama kurang lebih dua jam.Keberanian Attar menciut. Terlebih lagi, Ayra terus memunggungi dirinya. Dapat disimpulkan bahwa wanita itu sungguh marah padanya.“Ay, aku habis—”“Siapa yang kamu bayarkan di rumah sakit?” Ayra memotong perkataan Attar dan ucapannya itu membuat sang suami menelan saliva dengan berat.Dari mana Ayra bisa tahu?Kini Ayra berbalik badan. Dia tidak mendengar jawaban dari Attar dan rasa kecewa itu terus menyelimuti hatinya hingga membuat napas Ayra terasa sesak.“Ayo jawab, Mas! Ada yang kamu sembunyiin dari aku? Jangan-jangan ada wanita lain yang diam-diam menjalin hubungan sama kamu di belakangku. Ta
“Mas? Kamu pergi? Jangan lama-lama, ya?” Ayra menyahut dari kejauhan sana.“Iya, Sayang. Nggak akan lama kok.”“Oke. Aku tunggu di rumah. Setengah jam lagi harus nyampe rumah. Daah.” Ayra mematikan panggilan secara sepihak.Sedang Attar menggigit bibir bawahnya. Perjalanan dia menuju rumah sakit terdekat saja memakan waktu sekitar dua puluh menit. Belum lagi dia harus menggunakan waktunya lagi untuk membeli makanan yang Ayra inginkan. Perjalanan pulang juga kembali memakan waktu.“Aku harus mencari cara supaya Ayra nggak marah. Atau aku harus mencari cara supaya bisa mencari alasan yang masuk akal kenapa aku bisa lama.” Attar bermonolog dalam hatinya.Attar kembali menoleh ke arah Sania. Wanita itu terlihat begitu malang. Ada apa dengan Sania? Mengapa terlihat rapuh seperti itu? Apakah terjadi sesuatu padanya?Attar mengontrol pikirannya. Itu bukan hak dan urusannya. Hanya saja, dia sedikit penasaran atas apa yang terjadi pada wanita yang ditempatkan di jok belakangnya.Dua puluh meni
“Ayra tidur?” tanya Sarah saat Attar kembali turun ke ruang tamu menemui kedua orang tuanya yang masih duduk di sana.“Iya, Bu. Badannya lagi kurang sehat. Mungkin dia sakit karena kecapekan.” Attar menjawab. Dia mengembuskan napas berat saat mengingat kalau keadaan istrinya saat ini sedang kurang baik meskipun jauh di lubuk hatinya, Attar merasa seperti ada kabar bahagia yang sebentar lagi hadir di rumah tangga mereka.“Jangan-jangan istri kamu nggak enak badan bukan cuma karena perjalanan aja? Gimana kalau ternyata Ayra sedang isi? Coba cek kehamilan,” usul Sarah yang langsung disetujui oleh suaminya.“Aku setuju banget, Bu. Attar, lebih baik sekarang kamu pergi ke apotek terdekat dan beli test pack. Nanti malam coba tes kehamilan. Ayah yakin kalau ini pertanda baik.”Attar mengalihkan perhatiannya ke wajah sang ayah. Dia belum sempat duduk dengan benar, tetapi perkataan ayahnya seakan menggugah hatinya untuk segera pergi ke suatu tempat dan mendapatkan alat kecil yang sedang dibica
“Udah, Mas. Lepasin. Aku bisa jalan sendiri,” ujar Ayra yang masih berada di gendongan depan suaminya bahkan setelah mereka baru saja tiba di dalam kamar.“Malu?”“Ya iyalah, Mas! Aku malu!” ketus wanita itu.“Tapi sekarang udah nggak ada mereka dan kita udah ada di kamar. Ngapain malu, hm?” Attar perlahan membaringkan tubuh Ayra ke atas tempat tidur. Dia membelai rambut dan wajah Ayra dengan lembut. Posisinya masih membungkuk di atas tubuh sang istri.Kedua insan itu saling bertatapan dengan tatapan yang dalam. Seakan keduanya tengah menciptakan dan menumbuhkan ulang perasaan cinta mereka yang berasal dari hati.“Mas Attar mau langsung turun lagi?” tanya Ayra dengan raut wajah sedih. Jemari tangannya bergerak mencapai pipi Attar. Kemudian menusuk-nusuk pipi Attar dengan pelan.“Kamu nggak mau ditinggal?” Attar menangkup jemari tangan Ayra yang menggelitik kulit pipinya.Kepala Ayra menggeleng. Dia memang tidak ingin ditinggal oleh suaminya karena merasa badannya sedang kurang sehat.
“Ibu tahu kalau kalian juga pasti nggak sabar ingin punya momongan, ‘kan? Ibu doakan yang terbaik buat kalian. Semoga secepatnya dikasih rejeki berupa anak. Ibu juga udah tahu kalau Attar usianya udah dewasa. Pasti ingn segera punya anak ‘kan?” sejak tadi, wanita bernama Sarah itu tiada henti membahas tentang kehamilan bahkan sampai mereka tiba di rumah.Usai turun dari mobil, Sarah masuk bersama Ayra. Sementara, Attar dan ayahnya sibuk menurunkan barang bawaan selama perjalanannya dengan sang istri.“Ayra, ayo duduk sini. Kenapa dari tadi cuma diam sama senyum aja? Atau jangan-jangan kamu sudah isi ya?” tebak Sarah sambil mendahului duduk di ruang tamu usai mereka tiba di ruang tamu.Ayra pun duduk di hadapan ibu mertuanya. Dia masih belum bisa menjawab seluruh percakapan Sarah karena masih bingung harus menjelaskan bagaimana. Ibu mertuanya sudah terlanjur sangat berharap besar akan kehamilannya, sedangkan sampai kini, Ayra belum merasakan adanya tanda-tanda kehadiran janin di dalam
Beberapa hari setelah menghabiskan waktunya selama berlibur di Jerman, kini Attar dan Ayra sudah kembali ke tanah air. Mereka pulang ke Indonesia satu hari lebih cepat dari rencana yang telah ditata sebelumnya.Kepulangan suami istri yang memiliki perbedaan umur sepuluh tahun itu di sambut oleh orang tuanya Attar di sebuah bandara di mana mereka mendarat.Karena Ayra baru bertemu dengan orang tuanya Attar saat acara pernikahan dan mereka kurang begitu akrab, wanita itu merasa malu-malu saat ketika akan bertemu kembali untuk yang ke-dua kalinya.“Aku masih malu sama orang tuamu, Mas,” ucap Ayra sambil memeluk lengan tangan Attar. Keduanya berjalan menuju ke titik penjemputan.Sementara, barang-barang mereka dibawakan oleh orang lain yang menyewakan jasa untuk membawakan barang.“Malu kenapa? Jangan malu-malu gitu. Nanti ditagih cucu, loh.” Attar merasa senang tatkala menggoda istrinya.“Ayah sama Ibu ke sini berdua aja?” tanya Ayra untuk memastikan siapa saja yang hendak dia temui nant