“Brengsek!” pekik Attar saat dirinya telah sampai di luar kamar Ayra. Dia mengepalkan dua tangannya dengan erat karena merasa begitu gemas. Apakah orang yang berada di dalam video tadi adalah Rendra bersama wanita lain? Sayang sekali kamera ponsel tidak menampakkan seluruh isi ruang kamarnya Rendra. Attar menjadi semakin yakin jika Rendra merupakan lelaki mesum. Mengapa Ayra masih saja berhubungan dengan anak itu? Attar tahu kalau Ayra memang sosok gadis polos. Namun, apakah Ayra tidak bisa melihat mana lelaki baik-baik dan mana lelaki berengsek? Attar berjalan meninggalkan kamar Ayra. Dia masuk ke kamarnya untuk menenangkan pikirannya. Sayang sekali, saat berada di dalam kamar, Attar merasa gelisah dan tidak tenang. Haruskah sekarang Attar kembali ke kamar Ayra dan langsung mengatakan supaya gadis tersebut memutuskan hubungan dengan Rendra saja? Tidak, Attar rasa hanya akan membuat Ayra marah balik, apalagi Ayra tengah tertidur. Lebih baik Attar menunggu waktu yang tepat. Dia juga
"Suara aneh apa, Ra?" sahut Rendra. Dia merasa aneh atas pertanyaan Ayra yang tentu saja tidak dia mengerti. Ayra mengernyit. Satu sudut bibirnya terangkat. "Aku beneran dengar suara aneh dari kamarmu. Aku yakin kalau aku nggak mimpi." Ayra masih penasaran dan ingin memastikan lagi. "Suara kayak apa? Di kamarku nggak mungkin ada setan." Kini Rendra mulai was-was. Jangan-jangan yang Ayra maksud adalah suara yang tidak-tidak? "Bukan setan. Mirip suara perempuan teriak atau nafas gitu. Suaranya gini 'aahh ahh', gitu." Dengan bodohnya, Ayra mempraktikkan suara tersebut di telinga Rendra. Tentu saja aksi Ayra membuat Rendra langsung bergidik ngeri dan sedikit meremang pada tubuhnya. Tubuh Rendra sedikit maju agar dia terhindar dari tubuh Ayra yang sedikit menempel dengan punggungnya. Rendra merasa posisi Ayra saat ini sangat berbahaya baginya. "Terus ada juga suara laki-lakinya. Intinya suara cewek sama cowok di dalam kamar. Jangan-jangan …?" Ucapan Ayra terjeda sesaat. Dia berpikir bu
Dua anak sekolah sedang berada di ruang BK. Mereka sama-sama kelas dua belas dan merupakan satu kelas. Satu laki-laki, satunya lagi perempuan. Menghadap guru BK secara bersamaan. "Kalian tertangkap rekaman CCTV dan sedang melakukan hal yang kurang bermoral di dalam kelas. Saya tahu kalian sudah beranjak dewasa. Tapi tolong tahu tempat dan juga ingat status. Kalian masih berada di sekolah, masih anak sekolah, dan yang lebih pasti adalah kalian ini belum menikah. Tidak sepantasnya kalian melakukan itu," tutur Bu Fadilah yang merupakan guru Bimbingan Konseling. Rendra dan Ayra hanya bisa menunduk. Keduanya duduk bersebelahan. Surat panggilan orang tua sudah berada di tangan Bu Fadilah. Akan segera dibagikan secara langsung kepada wali murid dari dua anak tersebut. Itu berarti, Bu Fadilah akan mendatangi rumah yang Ayra tinggali, juga datang ke rumah Rendra. Mampus. Ayra bisa kena marah habis-habisan oleh Attar. Selama ini gadis tersebut tidak pernah membuat ulah apalagi sampai orang tu
"Maaf." Satu kata dari mulut Attar yang membuat Ayra membuka mata setelah sebelumnya kembali terpejam. Lelaki itu langsung memundurkan diri. Dia tersadar jika perbuatannya lancang. Beruntung saja Attar mampu mengontrol diri. Ayra sontak mendorong tubuh Attar hingga lelaki tersebut terjungkal ke kasur. Gadis yang saat ini tengah merasakan debaran hebat dalam jantungnya itu bangkit dan meninggalkan kamarnya. Ayra berlari menuju balkon kamar untuk mendapatkan udara segar. Membiarkan tubuhnya yang sempat memanas terhempas angin malam. Ayra menghirup oksigen dengan serakah. Perasaan macam apa ini? Gadis itu memejamkan mata. Meneruskan kegiatannya memenuhi paru-paru dengan oksigen baru. Setelah beberapa saat, Ayra teringat akan keberadaan Attar di dalam kamarnya. Dia menoleh dan menilik ruang kamarnya yang bisa dilihat dari kaca jendela. Tidak ada, Attar pasti sudah keluar dari kamarnya. Ayra pun menghela napas lega. Dasar aneh. Tidak, Ayra tidak bisa seperti ini terus. Dia harus membua
Ayra mematung usai mendengar kalimat Attar. Tidur bersama? Dia yakin Attar hanya bergurau. Selama ini semua sikap Attar pasti hanya sebuah candaan yang tidak seharusnya ditanggapi dengan serius oleh anak seusia dirinya. “Sudah kukatakan, besok kamu nggak perlu pergi ke sekolah kalau kakimu masih sakit.” Sebenarnya Ayra merasa senang-senang saja kalau dirinya tidak berangkat ke sekolah. Namun, yang menjadi dilema adalah dia tidak akan bertemu dengan kekasihnya. Ayra merindukan Rendra setiap saat, ingin selalu melihat dan mengobrol meskipun saat ini posisi Rendra tengah marah terhadapnya semenjak sepulang sekolah tadi. Attar membereskan meja belajar Ayra hingga benar-benar rapi. Kemudian mendekati gadis itu yang sudah berbaring di atas kasur. Attar menarik selimut hingga menutupi bagian dada Ayra. “Kamu tidur aja, Ay. Jangan mikirin sekolah terus. Sekali-kali istirahat. Nggak apa-apa.” Attar berujar sembari menatap wajah Ayra. Dia lalu mematikan lampu utama di kamar gadis tersebut.
“Ralat. Kayaknya kita lebih cocok kayak paman sama keponakan gitu, nggak, sih?” lanjut Ayra membuat suasana hati Attar seperti mendadak dijatuhkan dengan cara dibanting setelah diterbangkan hingga melambung tinggi. Kedua alis Attar saling bertaut menahan rasa perih di tangannya. Darah di ujung jemari telunjuk miliknya mengucur dengan cepat. “Tangan Pak Attar berdarah,” lirih Ayra merasa sedikit panik usai menyadari jemari lelaki di depannya berdarah. Attar hendak membasuh tengannya di bawah kran air, tetapi tangannya dirampok oleh Ayra. “Ikut saya, Pak.” “Ay, mau kemana? Ini cuma luka kecil.” Attar tahu persis jika gadis itu menyeretnya untuk pergi ke tempat di mana ada kotak P3K. “Nggak ada luka kecil ataupun luka besar. Luka tetap luka yang harus diobati supaya nggak infeksi. Semuanya bermula dari hal kecil yang lama-lama akan menjadi besar. Makanya, jangan sepelekan luka kecil,” jelas Ayra sembari terus menarik tangan Attar menuju tempat incarannya. Setelah sampai, tepat se
“Ayra ada di dalam ‘kan, Mbok?” tanya Rendra begitu Mbok Inah membukakan pintu rumah. “Iya, ada. Dia ada di dalam kamar. Biar saya panggilkan.” Mbok Inah hampir berbalik badan, tetapi suara Rendra menghentikannya. “Nggak usah, Mbok. Saya mau langsung ke kamarnya saja. Katanya dia lagi sakit, makanya biar saya yang ke sana.” Rendra berujar dengan ramah. “Oh, iya, Mas Rendra. Kata Tuan Attar, Non Ayra memang sakit. Kalau begitu silakan masuk.” Wanita paruh baya itu membuka pintu lebih lebar. Dia menggeser diri untuk memberikan jalan masuk bagi Rendra. “Baik, Mbok. Terima kasih.” Rendra membungkuk sedikit. Kemudian mulai masuk dan melewati Mbok Inah. “Sama-sama, Mas. Mau saya antarkan minuman dan camilan ke kamarnya Non Ayra sekalian?” tawarnya sembari mengikuti Rendra dari belakang. “Nggak usah, Mbok. Ini saya sudah bawa makanan sekalian sama minuman,” kata Rendra. Berbalik badan sejenak untuk memperlihatkan bawaannya di dalam kantong plastik. “Oh, ya sudah kalau gitu. Saya mau la
“Sayang, aku udah pesenin semua makanan kesukaan kamu,” ucap seorang perempuan dari kejauhan sana. Tampaknya sedang berada di sebuah warung makan. “Oke. Bentar lagi aku akan sampai. Tunggu saja di situ.” Attar menyahut. Dia tengah fokus mengemudi mobil menuju ke tempat janjiannya dengan calon istri. Sania yang mengajaknya. Attar jarang sekali mengajak wanita itu terlebih dulu. Padahal dulu saat mengajak kenalan, Attar sangat antusias. Apapun akan dilakukan demi mendapatkan hati Sania. Kali ini berbeda. Dia bosan dan entah mengapa rasanya ingin menghindari Sania, tetapi tidak bisa. Lelaki itu sudah terlanjur berkenalan dengan orang tua Sania meskipun hanya melalui sambungan telepon dan seperti ada janji untuk menikahi wanita tersebut. “Iya, ini makanannya udah ada yang diantar satu-persatu. Kamu jangan lama-lama, ya? Nanti keburu makanan dingin terus nggak enak, lagi.” Sania berujar. “Sekitar tiga menit lagi aku sampai.” “Oke. Aku tunggu, Sayang.” Attar mematikan sambungan telep
Bunyi bel rumah membuat Ayra berjalan cepat menuju ke pintu untuk segera membukakannya. “Iya sebentar!” teriaknya sembari menuruni tangga. “Siapa sih, pagi-pagi gini udah ada yang datang? Kalau itu tamu kurang sopan, sih. Tapi kalau Mbok Inah nggak mungkin datang sepagi ini,” gumamnya dengan heran. Pasalnya, tidak biasanya ada orang yang datang ke rumahnya saat hari masih begitu pagi. Langit pun baru terlihat sedikit terang. Ayra meninggalkan Attar yang tadi masih rebahan di kasur. Dia meraih gagang pintu lalu membukanya. Betapa terkejut Ayra saat dia mendapati wajah seorang wanita yang berdiri di depan pintu dengan penampilan lebih menarik dibanding dirinya. Melihat wajah wanita itu, Ayra langsung menahan amarahnya yang seketika menggebu. Ada urusan apa lagi dengan wanita itu? Kendati demikian, Ayra harus belajar untuk bersabar. Dia terpaksa memasang wajah senyum. “Mbak Sania? Ada apa?” Ayra sadar bahwa semenjak mendengar kabar Sania dirawat di rumah sakit, kini sudah berlalu sel
“Coba jelasin.”“Kok kamu keliatan nggak suka gitu, Mas? Harusnya senang?”“Bu-bukannya aku nggak suka. Tapi aku kaget aja.”“Loh, kaget kenapa, Mas?” Ayra menuntut penjelasan atas reaksi suaminya yang terlihat membingungkan setelah dia menyatakan kalau Attar akan menjadi calon ayah. Seharusnya lelaki manapun akan merasa senang dan bangga mengetahui istrinya yang tengah hamil.“Maksud dari perkataanmu tadi ... kamu hamil?” tanya Attar untuk memastikan kembali.Kepala Ayra mengangguk.“Dari mana kamu tahu?”“Aku udah cek tadi sambil nungguin kamu pulang.”“Loh, tapi ‘kan aku pergi buat beli test pack. Kamu dapat alat itu dari mana?”“Makanya kalau mau apa-apa itu tanya atau bicara dulu sama istrinya. Ya aku masih nyimpen test pack lah! Aku punya stok banyak.” Ayra nyaris dibuat emosi oleh suaminya.“Oh ... jadi ... kamu beneran hamil?” Attar masih saja seperti orang linglung.“Ih! Mas Attar kok gitu reaksinya?!” teriak Ayra sambil memukul dada Attar dengan keras karena benar-benar kesa
“Ay, sampai sekarang aku merasa masih punya hutang sama dia. Aku merasa sangat bersalah. Aku merasa berdosa karena perbuatanku waktu itu. Aku harap kamu ngerti.” Attar menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa gelisah sekaligus cemas. Takut apabila Ayra semakin marah.“Jadi ... kamu diam-diam masih mikirin dia, Mas?” Ayra mengusap air matanya yang menetes lagi, menyapu pori-pori di kulit wajahnya.Hati kecil Attar ingin sekali berteriak. Dia tidak bermaksud seperti itu. Namun dia gagal menyampaikan kepada Ayra dan wanita itu semakin salah paham terhadapnya.“Ay, kenapa kamu mikir sejauh itu?” tanya Attar sembari melangkah, mendekati Ayra. Kemudian perlahan meraih wajah Ayra dan berakhir memeluk tubuh istrinya.Tangis Ayra seketika pecah. Suaranya menggema di ruang tamu, teredam oleh dada Attar. Lelaki itu mempererat pelukannya.“Aku minta maaf. Ini salahku.”“Aku cuma takut kalau kamu diam-diam menjalin hubungan atau punya perasaan dengan wanita lain, Mas. Aku nggak mau sampai itu terjad
“Dari mana aja kamu, Mas?” tanya Ayra dengan nada dingin.Attar baru saja masuk ke rumah. Dia langsung mematung seketika mendapati istrinya berdiri tak jauh dari meja tamu, dengan posisi membelakanginya. Di sana sudah tidak ada kedua orang tuanya. Kemungkinan besar, ayah dan ibunya Attar sudah masuk ke kamar karena hari sudah berganti menjadi malam. Attar pergi selama kurang lebih dua jam.Keberanian Attar menciut. Terlebih lagi, Ayra terus memunggungi dirinya. Dapat disimpulkan bahwa wanita itu sungguh marah padanya.“Ay, aku habis—”“Siapa yang kamu bayarkan di rumah sakit?” Ayra memotong perkataan Attar dan ucapannya itu membuat sang suami menelan saliva dengan berat.Dari mana Ayra bisa tahu?Kini Ayra berbalik badan. Dia tidak mendengar jawaban dari Attar dan rasa kecewa itu terus menyelimuti hatinya hingga membuat napas Ayra terasa sesak.“Ayo jawab, Mas! Ada yang kamu sembunyiin dari aku? Jangan-jangan ada wanita lain yang diam-diam menjalin hubungan sama kamu di belakangku. Ta
“Mas? Kamu pergi? Jangan lama-lama, ya?” Ayra menyahut dari kejauhan sana.“Iya, Sayang. Nggak akan lama kok.”“Oke. Aku tunggu di rumah. Setengah jam lagi harus nyampe rumah. Daah.” Ayra mematikan panggilan secara sepihak.Sedang Attar menggigit bibir bawahnya. Perjalanan dia menuju rumah sakit terdekat saja memakan waktu sekitar dua puluh menit. Belum lagi dia harus menggunakan waktunya lagi untuk membeli makanan yang Ayra inginkan. Perjalanan pulang juga kembali memakan waktu.“Aku harus mencari cara supaya Ayra nggak marah. Atau aku harus mencari cara supaya bisa mencari alasan yang masuk akal kenapa aku bisa lama.” Attar bermonolog dalam hatinya.Attar kembali menoleh ke arah Sania. Wanita itu terlihat begitu malang. Ada apa dengan Sania? Mengapa terlihat rapuh seperti itu? Apakah terjadi sesuatu padanya?Attar mengontrol pikirannya. Itu bukan hak dan urusannya. Hanya saja, dia sedikit penasaran atas apa yang terjadi pada wanita yang ditempatkan di jok belakangnya.Dua puluh meni
“Ayra tidur?” tanya Sarah saat Attar kembali turun ke ruang tamu menemui kedua orang tuanya yang masih duduk di sana.“Iya, Bu. Badannya lagi kurang sehat. Mungkin dia sakit karena kecapekan.” Attar menjawab. Dia mengembuskan napas berat saat mengingat kalau keadaan istrinya saat ini sedang kurang baik meskipun jauh di lubuk hatinya, Attar merasa seperti ada kabar bahagia yang sebentar lagi hadir di rumah tangga mereka.“Jangan-jangan istri kamu nggak enak badan bukan cuma karena perjalanan aja? Gimana kalau ternyata Ayra sedang isi? Coba cek kehamilan,” usul Sarah yang langsung disetujui oleh suaminya.“Aku setuju banget, Bu. Attar, lebih baik sekarang kamu pergi ke apotek terdekat dan beli test pack. Nanti malam coba tes kehamilan. Ayah yakin kalau ini pertanda baik.”Attar mengalihkan perhatiannya ke wajah sang ayah. Dia belum sempat duduk dengan benar, tetapi perkataan ayahnya seakan menggugah hatinya untuk segera pergi ke suatu tempat dan mendapatkan alat kecil yang sedang dibica
“Udah, Mas. Lepasin. Aku bisa jalan sendiri,” ujar Ayra yang masih berada di gendongan depan suaminya bahkan setelah mereka baru saja tiba di dalam kamar.“Malu?”“Ya iyalah, Mas! Aku malu!” ketus wanita itu.“Tapi sekarang udah nggak ada mereka dan kita udah ada di kamar. Ngapain malu, hm?” Attar perlahan membaringkan tubuh Ayra ke atas tempat tidur. Dia membelai rambut dan wajah Ayra dengan lembut. Posisinya masih membungkuk di atas tubuh sang istri.Kedua insan itu saling bertatapan dengan tatapan yang dalam. Seakan keduanya tengah menciptakan dan menumbuhkan ulang perasaan cinta mereka yang berasal dari hati.“Mas Attar mau langsung turun lagi?” tanya Ayra dengan raut wajah sedih. Jemari tangannya bergerak mencapai pipi Attar. Kemudian menusuk-nusuk pipi Attar dengan pelan.“Kamu nggak mau ditinggal?” Attar menangkup jemari tangan Ayra yang menggelitik kulit pipinya.Kepala Ayra menggeleng. Dia memang tidak ingin ditinggal oleh suaminya karena merasa badannya sedang kurang sehat.
“Ibu tahu kalau kalian juga pasti nggak sabar ingin punya momongan, ‘kan? Ibu doakan yang terbaik buat kalian. Semoga secepatnya dikasih rejeki berupa anak. Ibu juga udah tahu kalau Attar usianya udah dewasa. Pasti ingn segera punya anak ‘kan?” sejak tadi, wanita bernama Sarah itu tiada henti membahas tentang kehamilan bahkan sampai mereka tiba di rumah.Usai turun dari mobil, Sarah masuk bersama Ayra. Sementara, Attar dan ayahnya sibuk menurunkan barang bawaan selama perjalanannya dengan sang istri.“Ayra, ayo duduk sini. Kenapa dari tadi cuma diam sama senyum aja? Atau jangan-jangan kamu sudah isi ya?” tebak Sarah sambil mendahului duduk di ruang tamu usai mereka tiba di ruang tamu.Ayra pun duduk di hadapan ibu mertuanya. Dia masih belum bisa menjawab seluruh percakapan Sarah karena masih bingung harus menjelaskan bagaimana. Ibu mertuanya sudah terlanjur sangat berharap besar akan kehamilannya, sedangkan sampai kini, Ayra belum merasakan adanya tanda-tanda kehadiran janin di dalam
Beberapa hari setelah menghabiskan waktunya selama berlibur di Jerman, kini Attar dan Ayra sudah kembali ke tanah air. Mereka pulang ke Indonesia satu hari lebih cepat dari rencana yang telah ditata sebelumnya.Kepulangan suami istri yang memiliki perbedaan umur sepuluh tahun itu di sambut oleh orang tuanya Attar di sebuah bandara di mana mereka mendarat.Karena Ayra baru bertemu dengan orang tuanya Attar saat acara pernikahan dan mereka kurang begitu akrab, wanita itu merasa malu-malu saat ketika akan bertemu kembali untuk yang ke-dua kalinya.“Aku masih malu sama orang tuamu, Mas,” ucap Ayra sambil memeluk lengan tangan Attar. Keduanya berjalan menuju ke titik penjemputan.Sementara, barang-barang mereka dibawakan oleh orang lain yang menyewakan jasa untuk membawakan barang.“Malu kenapa? Jangan malu-malu gitu. Nanti ditagih cucu, loh.” Attar merasa senang tatkala menggoda istrinya.“Ayah sama Ibu ke sini berdua aja?” tanya Ayra untuk memastikan siapa saja yang hendak dia temui nant