“Ayra ada di dalam ‘kan, Mbok?” tanya Rendra begitu Mbok Inah membukakan pintu rumah. “Iya, ada. Dia ada di dalam kamar. Biar saya panggilkan.” Mbok Inah hampir berbalik badan, tetapi suara Rendra menghentikannya. “Nggak usah, Mbok. Saya mau langsung ke kamarnya saja. Katanya dia lagi sakit, makanya biar saya yang ke sana.” Rendra berujar dengan ramah. “Oh, iya, Mas Rendra. Kata Tuan Attar, Non Ayra memang sakit. Kalau begitu silakan masuk.” Wanita paruh baya itu membuka pintu lebih lebar. Dia menggeser diri untuk memberikan jalan masuk bagi Rendra. “Baik, Mbok. Terima kasih.” Rendra membungkuk sedikit. Kemudian mulai masuk dan melewati Mbok Inah. “Sama-sama, Mas. Mau saya antarkan minuman dan camilan ke kamarnya Non Ayra sekalian?” tawarnya sembari mengikuti Rendra dari belakang. “Nggak usah, Mbok. Ini saya sudah bawa makanan sekalian sama minuman,” kata Rendra. Berbalik badan sejenak untuk memperlihatkan bawaannya di dalam kantong plastik. “Oh, ya sudah kalau gitu. Saya mau la
“Sayang, aku udah pesenin semua makanan kesukaan kamu,” ucap seorang perempuan dari kejauhan sana. Tampaknya sedang berada di sebuah warung makan. “Oke. Bentar lagi aku akan sampai. Tunggu saja di situ.” Attar menyahut. Dia tengah fokus mengemudi mobil menuju ke tempat janjiannya dengan calon istri. Sania yang mengajaknya. Attar jarang sekali mengajak wanita itu terlebih dulu. Padahal dulu saat mengajak kenalan, Attar sangat antusias. Apapun akan dilakukan demi mendapatkan hati Sania. Kali ini berbeda. Dia bosan dan entah mengapa rasanya ingin menghindari Sania, tetapi tidak bisa. Lelaki itu sudah terlanjur berkenalan dengan orang tua Sania meskipun hanya melalui sambungan telepon dan seperti ada janji untuk menikahi wanita tersebut. “Iya, ini makanannya udah ada yang diantar satu-persatu. Kamu jangan lama-lama, ya? Nanti keburu makanan dingin terus nggak enak, lagi.” Sania berujar. “Sekitar tiga menit lagi aku sampai.” “Oke. Aku tunggu, Sayang.” Attar mematikan sambungan telep
Ayra memekik ketika wajahnya menabrak dada Rendra. “Suut. Apaan, sih? Jangan berisik.” Rendra menyahut dengan santainya. Dia berhasil mendekap tubuh Ayra dengan posisi tubuhnya yang telentang, sedangkan Ayra berada di atasnya. Rendra mendekap gadis itu dengan begitu erat. “Ren, kamu nggak akan apa-apain aku, ‘kan?” tanyanya terus terang. Ayra merasa jantungnya memompa lebih cepat. Khawatir jika tiba-tiba Rendra melakukan sesuatu yang di luar dugaannya, seperti apa yang Fera ucapkan. “Kamu minta diapa-apain?” Rendra bertanya balik, masih dengan suara santai. “Eng-nggak gitu, Ren!” seru Ayra. Suaranya teredam dada dan lengan Rendra yang membuat wajahnya terbenam. Posisi mereka masih sama. “Ternyata pelukan gini bikin aku nyaman, Ra. Gimana kalau kita nikah aja?” Rendra memejamkan mata. Dia merasakan dua bongkahan benda kenyal berada di atas perutnya. Otak Rendra menjadi ternodai. “Ren, kamu jangan gila.” “Aku udah gila karena kamu, Ra. Bukannya kamu pengin nikah sama aku?” “Tapi
“Ka-kamu udah bangun?” tanya Ayra terbata. Dia kaget karena tiba-tiba ada Rendra di depan pintu kamar mandi. Mata Rendra fokus pada belahan dada Ayra. Kemudian tatapannya turun ke arah kaki mulus milik gadis itu. “Kamu seksi banget, Ra,” celetuk Rendra dengan polosnya. Dia lalu menaikkan pandangan, menatap wajah Ayra. “Aihh!” Ayra sadar dengan keadaan dirinya. Dia langsung masuk menutup kembali pintu kamar mandi. “Rendra keluar dari sini! Kamu pulang buruan!” teriak Ayra. Dia benar-benar merasa takut jika Rendra sampai kehilangan akal sehatnya. Rupanya kini Ayra terkena karma atas omongan-omongannya yang dulu. “Oke. Aku pulang dulu, ya? Ngomong-ngomong kamu wangi banget, Ra. Jadi pengin tidur sama kamu,” ucap Rendra iseng. Dia menahan senyum jail. Sekarang Rendra memiliki hobi baru, yakni menggoda Ayra. “Rendra! Diam! Keluar sekarang!” seru gadis itu hingga suaranya menggema memenuhi ruang kamar. Bahkan mungkin terdengar sampai luar. *** “Kamu bawa pacar kamu masuk ke kamar? Se
“P-pak Attar kok nanya gitu?” tanya Ayra dengan suara lemah seiring Attar semakin memajukan wajah dan pandangan lelaki itu menelisik perpotongan lehernya. Ayra juga dibuat bingung atas sikap lelaki di hadapannya, apalagi dengan pertanyaannya. Kaki Ayra bergetar lemas. Dia memundurkan kakinya dengan langkah pendek. Kedua tangannya mulai menutupi leher karena merasa takut. “Pak Attar mau ngapain?” tanyanya lirih. “Diam,” perintah Attar. Dia curiga terhadap Ayra atas apa yang dia lihat di depan mata. Leher Ayra seperti terdapat bekas gigitan manusia? Jangan-jangan Ayra berbohong kalau tidak terjadi apa-apa antara gadis itu dengan kekasihnya? Ayra tetap memundurkan diri hingga punggungnya terpentok dinding. Siapa yang tidak akan menghindar ketika ada seorang lelaki yang terus mendekat tanpa tahu alasan pasti? “Ay, diam!” Attar mencekal tangan Ayra yang menghalangi leher gadis tersebut. Dia menjauhkan kedua tangan Ayra dari leher. Sekarang Ayra tidak dapat melakukan apapun selain pasrah
Bagi Ayra sudah terbiasa mendapatkan perlakuan baik dan kata-kata yang sedikit sulit dimengerti dari seorang Attar. Dia juga lebih banyak mengabaikannya selama ini. Ayra masih terngiang dengan perkataan Attar tadi malam saat mereka makan bersama dan gadis itu tidak mengindahkan sama sekali. Namun, saat ini tiba-tiba sedikit mengusik dirinya saat dia berjalan menuju ke kelas. “Ayra!” seru seseorang memanggil Ayra dari belakang. Pemilik nama itu menghentikan langkah lalu menoleh. Ternyata itu suara Fera. Ayra pikir temannya itu akan marah. Sekarang bahkan Fera tampak tersenyum berjalan mendekat ke arah Ayra. “Udah baikan?” tanya Fera. Gadis itu tidak tahu kejadian sebenarnya kalau Ayra tidak dapat pergi ke sekolah hanya karena kekurangan tidur. “Iya, udah.” Ayra menyahut pendek. “Kamu nggak kesal sama aku?” lanjutnya bertanya. Kemarin mereka habis ada sedikit adu mulut yang kurang mengenakkan. Fera tersenyum. Dia justru memeluk lengan tangan Ayra agar mereka berjalan bersama. “Nga
“Kamu ngapain ngomong gitu lagi, sih, Ren?” Ayra menatap Rendra tak suka. Keberatan dengan kalimat yang kekasihnya ucapkan. “Aku kali ini serius, Ra. Dulu kamu pengin, ‘kan? Sekarang aku nggak akan nolak.” Rendra menatap Ayra dengan lekat. Ayra menatap Rendra dan terdiam beberapa detik. Kemudian berucap, “Kamu lama-lama gila, ya?” Ayra hendak pergi meninggalkan Rendra tetapi tangannya diraih dan ditarik hingga ia jatuh ke dalam dekapan lelaki tersebut. “Ren, lepasin!” pekik Ayra. “Aku minta maaf. Kamu jangan marah,” tutur Rendra dengan tulus. Dia membuat Ayra merasa sangat bingung. Sebenarnya lelaki itu kenapa? Dia bergurau atau serius? Kenapa Rendra jadi sedikit berubah dan banyak melantur begitu? “Lepasin aku, Ren. Nanti kalau ada yang lihat, kita bisa habis. Aku nggak mau Pak Attar sampai tahu.” “Aku minta maaf karena ucapanku tadi,” ucapnya membuat Ayra mengangguk pelan. Kemudian Rendra melepaskan rengkuhannya. “Ngomong-ngomong Pak Attar belum nikah?” “Belum.” Ayra menjaw
Benar, Fera dan Ayra tengah menyaksikan Rendra dan Reti tengah berbisik dan saling menatap mesra. Itu sudah cukup membuat hati Ayra panas bahkan berkobar. Ayra menggertakkan gigi hingga rahangnya mengeras. Dia berjalan menjauhi area parkir sebelum Rendra menyadari keberadaannya. “Ayra, mau ke mana?” Gadis berambut panjang itu tidak mengindahkan suara sahabatnya. Dia ingin menyingkir sejenak dari pandangan lelaki yang baru saja membuat luka hatinya. “Ayra, mau ke mana?” tanya Fera lagi. Dia terus mengikuti ke mana Ayra berjalan. Mereka kini berhenti di sebuah koridor yang sunyi. Suasana hati Ayra menjadi lebih buruk karena pemandangan beberapa detik yang lalu. Otak dan hatinya berperang di balik mulutnya yang terdiam. Dia masih mengabaikan Fera yang berusaha mengajaknya berkomunikasi. “Ayra!” tegas Fera merasa kesal. Dia menarik pundak Ayra agar berhadapan dengannya. Ayra tersadar dari lamunannya. Dia menatap bola mata Fera tetapi masih enggan bersuara. Tak hanya Ayra yang meras
Bunyi bel rumah membuat Ayra berjalan cepat menuju ke pintu untuk segera membukakannya. “Iya sebentar!” teriaknya sembari menuruni tangga. “Siapa sih, pagi-pagi gini udah ada yang datang? Kalau itu tamu kurang sopan, sih. Tapi kalau Mbok Inah nggak mungkin datang sepagi ini,” gumamnya dengan heran. Pasalnya, tidak biasanya ada orang yang datang ke rumahnya saat hari masih begitu pagi. Langit pun baru terlihat sedikit terang. Ayra meninggalkan Attar yang tadi masih rebahan di kasur. Dia meraih gagang pintu lalu membukanya. Betapa terkejut Ayra saat dia mendapati wajah seorang wanita yang berdiri di depan pintu dengan penampilan lebih menarik dibanding dirinya. Melihat wajah wanita itu, Ayra langsung menahan amarahnya yang seketika menggebu. Ada urusan apa lagi dengan wanita itu? Kendati demikian, Ayra harus belajar untuk bersabar. Dia terpaksa memasang wajah senyum. “Mbak Sania? Ada apa?” Ayra sadar bahwa semenjak mendengar kabar Sania dirawat di rumah sakit, kini sudah berlalu sel
“Coba jelasin.”“Kok kamu keliatan nggak suka gitu, Mas? Harusnya senang?”“Bu-bukannya aku nggak suka. Tapi aku kaget aja.”“Loh, kaget kenapa, Mas?” Ayra menuntut penjelasan atas reaksi suaminya yang terlihat membingungkan setelah dia menyatakan kalau Attar akan menjadi calon ayah. Seharusnya lelaki manapun akan merasa senang dan bangga mengetahui istrinya yang tengah hamil.“Maksud dari perkataanmu tadi ... kamu hamil?” tanya Attar untuk memastikan kembali.Kepala Ayra mengangguk.“Dari mana kamu tahu?”“Aku udah cek tadi sambil nungguin kamu pulang.”“Loh, tapi ‘kan aku pergi buat beli test pack. Kamu dapat alat itu dari mana?”“Makanya kalau mau apa-apa itu tanya atau bicara dulu sama istrinya. Ya aku masih nyimpen test pack lah! Aku punya stok banyak.” Ayra nyaris dibuat emosi oleh suaminya.“Oh ... jadi ... kamu beneran hamil?” Attar masih saja seperti orang linglung.“Ih! Mas Attar kok gitu reaksinya?!” teriak Ayra sambil memukul dada Attar dengan keras karena benar-benar kesa
“Ay, sampai sekarang aku merasa masih punya hutang sama dia. Aku merasa sangat bersalah. Aku merasa berdosa karena perbuatanku waktu itu. Aku harap kamu ngerti.” Attar menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa gelisah sekaligus cemas. Takut apabila Ayra semakin marah.“Jadi ... kamu diam-diam masih mikirin dia, Mas?” Ayra mengusap air matanya yang menetes lagi, menyapu pori-pori di kulit wajahnya.Hati kecil Attar ingin sekali berteriak. Dia tidak bermaksud seperti itu. Namun dia gagal menyampaikan kepada Ayra dan wanita itu semakin salah paham terhadapnya.“Ay, kenapa kamu mikir sejauh itu?” tanya Attar sembari melangkah, mendekati Ayra. Kemudian perlahan meraih wajah Ayra dan berakhir memeluk tubuh istrinya.Tangis Ayra seketika pecah. Suaranya menggema di ruang tamu, teredam oleh dada Attar. Lelaki itu mempererat pelukannya.“Aku minta maaf. Ini salahku.”“Aku cuma takut kalau kamu diam-diam menjalin hubungan atau punya perasaan dengan wanita lain, Mas. Aku nggak mau sampai itu terjad
“Dari mana aja kamu, Mas?” tanya Ayra dengan nada dingin.Attar baru saja masuk ke rumah. Dia langsung mematung seketika mendapati istrinya berdiri tak jauh dari meja tamu, dengan posisi membelakanginya. Di sana sudah tidak ada kedua orang tuanya. Kemungkinan besar, ayah dan ibunya Attar sudah masuk ke kamar karena hari sudah berganti menjadi malam. Attar pergi selama kurang lebih dua jam.Keberanian Attar menciut. Terlebih lagi, Ayra terus memunggungi dirinya. Dapat disimpulkan bahwa wanita itu sungguh marah padanya.“Ay, aku habis—”“Siapa yang kamu bayarkan di rumah sakit?” Ayra memotong perkataan Attar dan ucapannya itu membuat sang suami menelan saliva dengan berat.Dari mana Ayra bisa tahu?Kini Ayra berbalik badan. Dia tidak mendengar jawaban dari Attar dan rasa kecewa itu terus menyelimuti hatinya hingga membuat napas Ayra terasa sesak.“Ayo jawab, Mas! Ada yang kamu sembunyiin dari aku? Jangan-jangan ada wanita lain yang diam-diam menjalin hubungan sama kamu di belakangku. Ta
“Mas? Kamu pergi? Jangan lama-lama, ya?” Ayra menyahut dari kejauhan sana.“Iya, Sayang. Nggak akan lama kok.”“Oke. Aku tunggu di rumah. Setengah jam lagi harus nyampe rumah. Daah.” Ayra mematikan panggilan secara sepihak.Sedang Attar menggigit bibir bawahnya. Perjalanan dia menuju rumah sakit terdekat saja memakan waktu sekitar dua puluh menit. Belum lagi dia harus menggunakan waktunya lagi untuk membeli makanan yang Ayra inginkan. Perjalanan pulang juga kembali memakan waktu.“Aku harus mencari cara supaya Ayra nggak marah. Atau aku harus mencari cara supaya bisa mencari alasan yang masuk akal kenapa aku bisa lama.” Attar bermonolog dalam hatinya.Attar kembali menoleh ke arah Sania. Wanita itu terlihat begitu malang. Ada apa dengan Sania? Mengapa terlihat rapuh seperti itu? Apakah terjadi sesuatu padanya?Attar mengontrol pikirannya. Itu bukan hak dan urusannya. Hanya saja, dia sedikit penasaran atas apa yang terjadi pada wanita yang ditempatkan di jok belakangnya.Dua puluh meni
“Ayra tidur?” tanya Sarah saat Attar kembali turun ke ruang tamu menemui kedua orang tuanya yang masih duduk di sana.“Iya, Bu. Badannya lagi kurang sehat. Mungkin dia sakit karena kecapekan.” Attar menjawab. Dia mengembuskan napas berat saat mengingat kalau keadaan istrinya saat ini sedang kurang baik meskipun jauh di lubuk hatinya, Attar merasa seperti ada kabar bahagia yang sebentar lagi hadir di rumah tangga mereka.“Jangan-jangan istri kamu nggak enak badan bukan cuma karena perjalanan aja? Gimana kalau ternyata Ayra sedang isi? Coba cek kehamilan,” usul Sarah yang langsung disetujui oleh suaminya.“Aku setuju banget, Bu. Attar, lebih baik sekarang kamu pergi ke apotek terdekat dan beli test pack. Nanti malam coba tes kehamilan. Ayah yakin kalau ini pertanda baik.”Attar mengalihkan perhatiannya ke wajah sang ayah. Dia belum sempat duduk dengan benar, tetapi perkataan ayahnya seakan menggugah hatinya untuk segera pergi ke suatu tempat dan mendapatkan alat kecil yang sedang dibica
“Udah, Mas. Lepasin. Aku bisa jalan sendiri,” ujar Ayra yang masih berada di gendongan depan suaminya bahkan setelah mereka baru saja tiba di dalam kamar.“Malu?”“Ya iyalah, Mas! Aku malu!” ketus wanita itu.“Tapi sekarang udah nggak ada mereka dan kita udah ada di kamar. Ngapain malu, hm?” Attar perlahan membaringkan tubuh Ayra ke atas tempat tidur. Dia membelai rambut dan wajah Ayra dengan lembut. Posisinya masih membungkuk di atas tubuh sang istri.Kedua insan itu saling bertatapan dengan tatapan yang dalam. Seakan keduanya tengah menciptakan dan menumbuhkan ulang perasaan cinta mereka yang berasal dari hati.“Mas Attar mau langsung turun lagi?” tanya Ayra dengan raut wajah sedih. Jemari tangannya bergerak mencapai pipi Attar. Kemudian menusuk-nusuk pipi Attar dengan pelan.“Kamu nggak mau ditinggal?” Attar menangkup jemari tangan Ayra yang menggelitik kulit pipinya.Kepala Ayra menggeleng. Dia memang tidak ingin ditinggal oleh suaminya karena merasa badannya sedang kurang sehat.
“Ibu tahu kalau kalian juga pasti nggak sabar ingin punya momongan, ‘kan? Ibu doakan yang terbaik buat kalian. Semoga secepatnya dikasih rejeki berupa anak. Ibu juga udah tahu kalau Attar usianya udah dewasa. Pasti ingn segera punya anak ‘kan?” sejak tadi, wanita bernama Sarah itu tiada henti membahas tentang kehamilan bahkan sampai mereka tiba di rumah.Usai turun dari mobil, Sarah masuk bersama Ayra. Sementara, Attar dan ayahnya sibuk menurunkan barang bawaan selama perjalanannya dengan sang istri.“Ayra, ayo duduk sini. Kenapa dari tadi cuma diam sama senyum aja? Atau jangan-jangan kamu sudah isi ya?” tebak Sarah sambil mendahului duduk di ruang tamu usai mereka tiba di ruang tamu.Ayra pun duduk di hadapan ibu mertuanya. Dia masih belum bisa menjawab seluruh percakapan Sarah karena masih bingung harus menjelaskan bagaimana. Ibu mertuanya sudah terlanjur sangat berharap besar akan kehamilannya, sedangkan sampai kini, Ayra belum merasakan adanya tanda-tanda kehadiran janin di dalam
Beberapa hari setelah menghabiskan waktunya selama berlibur di Jerman, kini Attar dan Ayra sudah kembali ke tanah air. Mereka pulang ke Indonesia satu hari lebih cepat dari rencana yang telah ditata sebelumnya.Kepulangan suami istri yang memiliki perbedaan umur sepuluh tahun itu di sambut oleh orang tuanya Attar di sebuah bandara di mana mereka mendarat.Karena Ayra baru bertemu dengan orang tuanya Attar saat acara pernikahan dan mereka kurang begitu akrab, wanita itu merasa malu-malu saat ketika akan bertemu kembali untuk yang ke-dua kalinya.“Aku masih malu sama orang tuamu, Mas,” ucap Ayra sambil memeluk lengan tangan Attar. Keduanya berjalan menuju ke titik penjemputan.Sementara, barang-barang mereka dibawakan oleh orang lain yang menyewakan jasa untuk membawakan barang.“Malu kenapa? Jangan malu-malu gitu. Nanti ditagih cucu, loh.” Attar merasa senang tatkala menggoda istrinya.“Ayah sama Ibu ke sini berdua aja?” tanya Ayra untuk memastikan siapa saja yang hendak dia temui nant