“P-pak Attar kok nanya gitu?” tanya Ayra dengan suara lemah seiring Attar semakin memajukan wajah dan pandangan lelaki itu menelisik perpotongan lehernya. Ayra juga dibuat bingung atas sikap lelaki di hadapannya, apalagi dengan pertanyaannya. Kaki Ayra bergetar lemas. Dia memundurkan kakinya dengan langkah pendek. Kedua tangannya mulai menutupi leher karena merasa takut. “Pak Attar mau ngapain?” tanyanya lirih. “Diam,” perintah Attar. Dia curiga terhadap Ayra atas apa yang dia lihat di depan mata. Leher Ayra seperti terdapat bekas gigitan manusia? Jangan-jangan Ayra berbohong kalau tidak terjadi apa-apa antara gadis itu dengan kekasihnya? Ayra tetap memundurkan diri hingga punggungnya terpentok dinding. Siapa yang tidak akan menghindar ketika ada seorang lelaki yang terus mendekat tanpa tahu alasan pasti? “Ay, diam!” Attar mencekal tangan Ayra yang menghalangi leher gadis tersebut. Dia menjauhkan kedua tangan Ayra dari leher. Sekarang Ayra tidak dapat melakukan apapun selain pasrah
Bagi Ayra sudah terbiasa mendapatkan perlakuan baik dan kata-kata yang sedikit sulit dimengerti dari seorang Attar. Dia juga lebih banyak mengabaikannya selama ini. Ayra masih terngiang dengan perkataan Attar tadi malam saat mereka makan bersama dan gadis itu tidak mengindahkan sama sekali. Namun, saat ini tiba-tiba sedikit mengusik dirinya saat dia berjalan menuju ke kelas. “Ayra!” seru seseorang memanggil Ayra dari belakang. Pemilik nama itu menghentikan langkah lalu menoleh. Ternyata itu suara Fera. Ayra pikir temannya itu akan marah. Sekarang bahkan Fera tampak tersenyum berjalan mendekat ke arah Ayra. “Udah baikan?” tanya Fera. Gadis itu tidak tahu kejadian sebenarnya kalau Ayra tidak dapat pergi ke sekolah hanya karena kekurangan tidur. “Iya, udah.” Ayra menyahut pendek. “Kamu nggak kesal sama aku?” lanjutnya bertanya. Kemarin mereka habis ada sedikit adu mulut yang kurang mengenakkan. Fera tersenyum. Dia justru memeluk lengan tangan Ayra agar mereka berjalan bersama. “Nga
“Kamu ngapain ngomong gitu lagi, sih, Ren?” Ayra menatap Rendra tak suka. Keberatan dengan kalimat yang kekasihnya ucapkan. “Aku kali ini serius, Ra. Dulu kamu pengin, ‘kan? Sekarang aku nggak akan nolak.” Rendra menatap Ayra dengan lekat. Ayra menatap Rendra dan terdiam beberapa detik. Kemudian berucap, “Kamu lama-lama gila, ya?” Ayra hendak pergi meninggalkan Rendra tetapi tangannya diraih dan ditarik hingga ia jatuh ke dalam dekapan lelaki tersebut. “Ren, lepasin!” pekik Ayra. “Aku minta maaf. Kamu jangan marah,” tutur Rendra dengan tulus. Dia membuat Ayra merasa sangat bingung. Sebenarnya lelaki itu kenapa? Dia bergurau atau serius? Kenapa Rendra jadi sedikit berubah dan banyak melantur begitu? “Lepasin aku, Ren. Nanti kalau ada yang lihat, kita bisa habis. Aku nggak mau Pak Attar sampai tahu.” “Aku minta maaf karena ucapanku tadi,” ucapnya membuat Ayra mengangguk pelan. Kemudian Rendra melepaskan rengkuhannya. “Ngomong-ngomong Pak Attar belum nikah?” “Belum.” Ayra menjaw
Benar, Fera dan Ayra tengah menyaksikan Rendra dan Reti tengah berbisik dan saling menatap mesra. Itu sudah cukup membuat hati Ayra panas bahkan berkobar. Ayra menggertakkan gigi hingga rahangnya mengeras. Dia berjalan menjauhi area parkir sebelum Rendra menyadari keberadaannya. “Ayra, mau ke mana?” Gadis berambut panjang itu tidak mengindahkan suara sahabatnya. Dia ingin menyingkir sejenak dari pandangan lelaki yang baru saja membuat luka hatinya. “Ayra, mau ke mana?” tanya Fera lagi. Dia terus mengikuti ke mana Ayra berjalan. Mereka kini berhenti di sebuah koridor yang sunyi. Suasana hati Ayra menjadi lebih buruk karena pemandangan beberapa detik yang lalu. Otak dan hatinya berperang di balik mulutnya yang terdiam. Dia masih mengabaikan Fera yang berusaha mengajaknya berkomunikasi. “Ayra!” tegas Fera merasa kesal. Dia menarik pundak Ayra agar berhadapan dengannya. Ayra tersadar dari lamunannya. Dia menatap bola mata Fera tetapi masih enggan bersuara. Tak hanya Ayra yang meras
Begitu melihat foto kekasihnya tengah clubbing bersama gadis lain yang mengenakan pakaian terbuka, Ayra langsung menghubungi Fera. “Udah liat ‘kan fotonya?” sahut Fera dari seberang sana. Langsung menanyakan objek yang menjadi pembicaraan mereka. “Udah. Kamu dapet dari mana?” “Darah salah satu bodyguard aku. Aku menyuruhnya buat buntutin Rendra karena aku liat Rendra keluar dari rumah. Maaf kalau kesannya aku jadi mata-mata. Ini demi kamu.” Seperti yang diketahui, Fera merupakan anak dari orang berada dan memiliki bodyguard. Jadi, bisa menyuruh bodyguard-nya melakukan apapun yang Fera mau. Sejak awal juga Ayra sudah lumayan paham bagaimana Rendra. Ternyata sampai sekarang tidak berubah? Masih menginginkan hal seperti dulu. Bodohnya, Ayra sempat menjadi orang lain demi menarik kembali atensi seorang Rendra. Dia melempar tatapan ke hamparan langit yang mulai menggelap di luar sana. Ayra terdiam sejenak sembari memejamkan mata. “Fer. Udahlah. Kamu nggak usah ikut campur urusanku s
Ayra menghentikan kunyahannya. Menatap Attar dengan lekat. Jarak di antara mereka begitu dekat. “Pak Attar ... jangan banyak bercanda.” Ayra menyahut pelan. Kemudian gadis itu mulai mengunyah lagi makanan yang berada di dalam rongga mulut. Dia dapat melihat bagaimana reaksi lelaki di depannya yang mengubah ekspresi wajah begitu cepat menjadi datar. Attar segera memundurkan diri dan kembali pada posisi seperti semula. “Kamu makan saja dulu. Aku ada urusan sebentar,” ujar lelaki pemilik kaki jenjang itu lalu pergi dari hadapan Ayra. Attar dibuat hampir kehilangan akal ketika menatap wajah gadis yang masih bersekolah tadi. Oleh karenanya, menghindar adalah opsi terbaik yang dia lakukan daripada harus melakukan hal yang tidak diinginkan terhadap Ayra. “Gadis itu benar-benar bahaya sekarang,” batin Attar sembari mengingat betapa cantik dan menariknya seorang Ayra baginya, terutama aura wajah gadis itu meskipun tanpa make-up. “Dih, orang aneh. Udah ngajak makan sampai ngirimin gambar,
Lelaki berhidung mancung itu masih berada di tempat yang sama. Duduk di tepi ranjang milik Ayra yang tengah terlelap sejak setengah jam yang lalu. Attar mengamati wajah Ayra yang tersorot lampu tidur. Perlahan dia mendekat untuk lebih jelas melihat wajah Ayra yang lembab. “Ayra, kamu nangis?” Attar bertanya di dalam hatinya. Tangannya menyentuh pipi Ayra dan merasakan memang benar, itu adalah air mata yang tersisa. Wajah Attar semakin mendekat. Mengamati dan menerka apa yang menjadi penyebab Ayra menangis selama tidur. Benarkah gadis itu sudah tertidur? Tidur Ayra terusik karena jemari seseorang menyentuh kulit wajahnya. Dia menarik napas panjang sembari menggeliat dan membuat Attar menjauhkan diri dari Ayra. Tak lama kemudian, Ayra mengganti posisi, membelakangi lelaki dewasa itu. Sementara, Attar masih bertanya-tanya pada diri sendiri mengenai Ayra. Tumben sekali gadis itu tidur lebih awal bahkan ini belum waktunya untuk tidur malam. Attar tak ingin memikirkan lebih meskipun r
Ayra tidak menjawab ataupun menyahut. Dia kembali pada posisinya, yakni membaringkan kepala di atas lengan yang menekuk, membelakangi Rendra. Seolah tidak menganggap Rendra ada, ataupun menganggap bahwa Rendra bukanlah siapa-siapa dan sudah tidak penting lagi di dalam hidupnya. Dahi Rendra masih mengernyit. Lelaki itu memicingkan mata menatap Ayra dengan perasaaan tidak menyangka. “Ra, ini aku, pacar kamu. Yakin, kamu nyuekin aku?” Gadis yang dipanggil namanya itu masih enggan menyahut. Ayra lebih tertarik memejamkan mata secara terus-menerus. Kali ini, wajahnya dapat disaksikan oleh Fera. Rendra masih berdiri di sebelah Ayra dan menunggu gadis itu merespon dirinya. Siapa tahu Ayra sedang melakukan prank kepadanya? “Ra, bangun, Sayang. Aku mau bicara lagi sama kamu. Kita ke rooftop bentar, yuk. Masih lima belas menit lagi sebelum masuk,” ajak Rendra menepuk bahu Ayra dengan pelan. Tetap saja tidak ada sahutan. Lama-lama Fera jengah menyaksikan itu. Dia melihat Rendra dengan sinis.