Lelaki berhidung mancung itu masih berada di tempat yang sama. Duduk di tepi ranjang milik Ayra yang tengah terlelap sejak setengah jam yang lalu. Attar mengamati wajah Ayra yang tersorot lampu tidur. Perlahan dia mendekat untuk lebih jelas melihat wajah Ayra yang lembab. “Ayra, kamu nangis?” Attar bertanya di dalam hatinya. Tangannya menyentuh pipi Ayra dan merasakan memang benar, itu adalah air mata yang tersisa. Wajah Attar semakin mendekat. Mengamati dan menerka apa yang menjadi penyebab Ayra menangis selama tidur. Benarkah gadis itu sudah tertidur? Tidur Ayra terusik karena jemari seseorang menyentuh kulit wajahnya. Dia menarik napas panjang sembari menggeliat dan membuat Attar menjauhkan diri dari Ayra. Tak lama kemudian, Ayra mengganti posisi, membelakangi lelaki dewasa itu. Sementara, Attar masih bertanya-tanya pada diri sendiri mengenai Ayra. Tumben sekali gadis itu tidur lebih awal bahkan ini belum waktunya untuk tidur malam. Attar tak ingin memikirkan lebih meskipun r
Ayra tidak menjawab ataupun menyahut. Dia kembali pada posisinya, yakni membaringkan kepala di atas lengan yang menekuk, membelakangi Rendra. Seolah tidak menganggap Rendra ada, ataupun menganggap bahwa Rendra bukanlah siapa-siapa dan sudah tidak penting lagi di dalam hidupnya. Dahi Rendra masih mengernyit. Lelaki itu memicingkan mata menatap Ayra dengan perasaaan tidak menyangka. “Ra, ini aku, pacar kamu. Yakin, kamu nyuekin aku?” Gadis yang dipanggil namanya itu masih enggan menyahut. Ayra lebih tertarik memejamkan mata secara terus-menerus. Kali ini, wajahnya dapat disaksikan oleh Fera. Rendra masih berdiri di sebelah Ayra dan menunggu gadis itu merespon dirinya. Siapa tahu Ayra sedang melakukan prank kepadanya? “Ra, bangun, Sayang. Aku mau bicara lagi sama kamu. Kita ke rooftop bentar, yuk. Masih lima belas menit lagi sebelum masuk,” ajak Rendra menepuk bahu Ayra dengan pelan. Tetap saja tidak ada sahutan. Lama-lama Fera jengah menyaksikan itu. Dia melihat Rendra dengan sinis.
“Non? Non Ayra kenapa?” Mbok Inah terkejut saat melihat Ayra pulang dari sekolah, wajah gadis itu penuh dengan air mata. Ayra tidak menjawab pertanyaan Mbok Inah. Dia melewati wanita paruh baya tersebut begitu saja. Berjalan menuju kamar dengan cepat. Ayra tidak dapat menahan rasa sakit hati selama berada di perjalanan menuju pulang ke rumah. Sementara, Mbok Inah melihat punggung Ayra dengan rasa penasaran sekaligus kasihan. Dia pun segera menghubungi Attar. “Halo, Mbok. Ada apa? Di rumah baik-baik saja?” “Tuan, saya baru saja melihat Non Ayra pulang dari sekolah. Tapi dia menangis sampai nggak mau bicara. Saya tanya pun dia nggak jawab apa-apa. Langsung pergi begitu saja ke kamar,” beber Mbok Inah dengan jelas. “Saya takut dia kenapa-kenapa,” lanjutnya. “Oke. Sebentar lagi saya akan pulang, Mbok. Tolong jaga Ayra, jangan sampai dia keluar rumah, ya, Mbok?” “Siap, Tuan.” “Pintu utama tolong dikunci, Mbok. Saya takut Ayra akan pergi ke club atau semacamnya.” “Baik, Tuan.” Sesu
“Pak Attar ... beneran mau menikah?” tanya Ayra lirih. Hatinya mendadak sakit setelah mendengar kabar itu dari mulut pria di hadapannya. Attar mengangguk pelan, tidak ada gurat bercanda ataupun berbohong. “Kamu lagi belajar?” Pandangan mata Attar menerobos masuk ke tempat belajar yang biasa Ayra gunakan. Benar, di sana lampu belajar sudah menyala dan beberapa buku terbentang di atas meja. “Ya, sudah. Lanjutkan saja,” ujar Attar kemudian segera pergi dari sana. Ayra langsung menutup dan mengunci pintu kamar. Tidak terasa air matanya telah mengalir. Dia menggigit bibir menahan perih di hatinya yang semakin terasa dan menyiksa. Ayra sendiri bingung mengapa merasakannya. Apakah karena lelaki itu adalah orang yang selama ini sudah menjadi orang yang berpengaruh besar terhadap hidupnya, yakni menjadi pengganti orang tuanya. Dan sebentar lagi akan menikah. Usai menikah nanti pasti akan lebih fokus pada sang istri dan keluarganya, bukan? Perhatian Attar padanya akan berkurang, ‘kan? Atau
“Saya nggak apa-apa, Pak. Saya mau berangkat sekarang.” “Tunggu.” Attar menangkap pergelangan tangan Ayra yang baru saja berdiri. Dia melihat mata gadis itu yang berkaca-kaca. Attar berdiri dan mendekati Ayra tanpa melepaskan tangan gadis tersebut. Matanya menatap wajah gadis itu yang memaling ke samping. Kemudian Attar membungkukkan badan hingga wajahnya sejajar dengan wajah Ayra. “Ay, kamu pasti ada masalah, ‘kan?” Ayra menggigit bibirnya sebagai pelampiasan apa yang tengah dia rasakan. Dia menghapus air mata yang baru saja turun. Sekarang dirinya harus melewati hari-hari suram menjelang hari ujian kelulusan. Ayra harus sanggup melawannya seorang diri. “Ay, kenapa diam saja? Kamu kenapa?” Attar beralih menangkup pundak Ayra lalu mengguncangkan tubuh gadis itu. Berharap Ayra akan menatapnya dan menyahut. “Rendra?” ceplos Attar tidak ingin lagi menutupi kalau dirinya sudah tahu akar permasalahan gadis yang berusaha dia jaga. Namun, jawaban yang Ayra berikan bukan seperti yang dia
Attar masih mengingat pertanyaan Ayra yang tak ia jawab beberapa menit yang lalu. Ia tidak akan memberitahu terlebih dulu perihal dirinya memiliki rencana akan pindah ke apartemen. Selepas menikah dengan Sania.Lelaki itu berada dalam perjalanan menuju kantor. Ia sambil memakan roti untuk mengisi perutnya yang terasa lapar. Selang beberapa saat, Attar melihat ke bawah kursi yang ia duduki. Ada sesuatu yang menarik atensinya. Sebelah tangan Attar pun mengambil benda pipih tersebut. Iya, itu adalah ponsel milik Ayra.Kenapa bisa ada di sana? Attar membayangkan saat Ayra naik ke pangkuannya dan itu sukses membuatnya memejamkan mata dengan kuat selama sejenak. Apa-apaan gadis itu? Attar menggigit bibir bawah menahan perasaannya yang bercampur aduk. Jantungnya berdebar dengan adegan yang kembali terulang di dalam ingatannya. Ia memasukkan ponsel milik Ayra ke dalam saku jas.“Dasar gadis teledor,” desis Attar. Lebih baik benda itu ia pegang sampai pulang kerja nanti. Ayra pasti tidak aka
“Ah, bodo amat deh. Mungkin dia lagi bosan atau PMS. Jadi kelakuannya susah ditebak. Atau lagi sensi? Makanya nggak mood sama aku,” ujar Rendra. Ada Farid yang duduk di sebelahnya. Mereka berdua duduk di atas rooftop sekolah sepulang sekolah.“Kamu nggak mau berusaha berbicara sama dia?”“Nggak berusaha gimana? Tiap hari aku samperin. Dia selalu menghindar terus.”“Datangi rumahnya, dong. Kalau perlu datangi sampai ke kamarnya. Bukannya kamu pernah ke sana?”“Jangan sembarangan kalau ngomong.”“Kenapa? Kamu sama Reti juga ....”“Itu beda. Reti cuma buat hiburan doang. Aku beneran cinta sama Ayra. Makanya aku nggak berani lakuin itu sama dia meskipun dulu dia pernah ....” Ucapan Rendra terjeda. Ia mengingat ketika Ayra bersikap gila sehabis putus dengannya waktu itu.“Pernah apa?” tanya Farid penasaran.Rendra menggeleng. “Nggak,” sahutnya membuat Farid bertambah penasaran.“Hai, Ren.” Itu Reti. Gadis tersebut berjalan mendekat. “Hai, Farid.” Reti juga menyapa Farid. Ia duduk di sebela
Sejak jemarinya mulai bergerak memijit lengan tangan Attar, mulut Ayra hanya terdiam sembari terus melaksanakan perintah lelaki tersebut. Ayra merencanakan sesuatu yang tidak pernah ia duga sebelumnya, apalagi Attar. Jika pria itu tahu, pasti akan terkejut dan mungkin melarangnya melakukan hal tersebut. Namun, tekad Ayra sudah bulat.“Kamu capek, Ay?” tanya Attar membuka matanya. Ia menatap Ayra yang duduk di sebelahnya sembari terus memijit bagian lengan tangannya yang terasa pegal.“Eum? Ng- Nggak Pak. Memangnya kenapa?” sahutnya sedikit terbata.“Dari tadi diam saja, kenapa?” Sebelah tangan Attar membenarkan anak-anak rambut milik Ayra. Ia melakukannya secara spontan dan tanpa disadari. Attar juga tidak tahu mengapa tangannya seolah bergerak sendiri. Merasa kalau dia sudah sangat dekat dengan Ayra.“Nggak apa-apa, Pak,” sahut gadis itu dengan gugup. “Saya balik ke kamar dulu. Ini sudah selesai ‘kan, Pak?” Ayra buru-buru turun dari ranjang agar terbebas dari tangan Attar yang membu
Bunyi bel rumah membuat Ayra berjalan cepat menuju ke pintu untuk segera membukakannya. “Iya sebentar!” teriaknya sembari menuruni tangga. “Siapa sih, pagi-pagi gini udah ada yang datang? Kalau itu tamu kurang sopan, sih. Tapi kalau Mbok Inah nggak mungkin datang sepagi ini,” gumamnya dengan heran. Pasalnya, tidak biasanya ada orang yang datang ke rumahnya saat hari masih begitu pagi. Langit pun baru terlihat sedikit terang. Ayra meninggalkan Attar yang tadi masih rebahan di kasur. Dia meraih gagang pintu lalu membukanya. Betapa terkejut Ayra saat dia mendapati wajah seorang wanita yang berdiri di depan pintu dengan penampilan lebih menarik dibanding dirinya. Melihat wajah wanita itu, Ayra langsung menahan amarahnya yang seketika menggebu. Ada urusan apa lagi dengan wanita itu? Kendati demikian, Ayra harus belajar untuk bersabar. Dia terpaksa memasang wajah senyum. “Mbak Sania? Ada apa?” Ayra sadar bahwa semenjak mendengar kabar Sania dirawat di rumah sakit, kini sudah berlalu sel
“Coba jelasin.”“Kok kamu keliatan nggak suka gitu, Mas? Harusnya senang?”“Bu-bukannya aku nggak suka. Tapi aku kaget aja.”“Loh, kaget kenapa, Mas?” Ayra menuntut penjelasan atas reaksi suaminya yang terlihat membingungkan setelah dia menyatakan kalau Attar akan menjadi calon ayah. Seharusnya lelaki manapun akan merasa senang dan bangga mengetahui istrinya yang tengah hamil.“Maksud dari perkataanmu tadi ... kamu hamil?” tanya Attar untuk memastikan kembali.Kepala Ayra mengangguk.“Dari mana kamu tahu?”“Aku udah cek tadi sambil nungguin kamu pulang.”“Loh, tapi ‘kan aku pergi buat beli test pack. Kamu dapat alat itu dari mana?”“Makanya kalau mau apa-apa itu tanya atau bicara dulu sama istrinya. Ya aku masih nyimpen test pack lah! Aku punya stok banyak.” Ayra nyaris dibuat emosi oleh suaminya.“Oh ... jadi ... kamu beneran hamil?” Attar masih saja seperti orang linglung.“Ih! Mas Attar kok gitu reaksinya?!” teriak Ayra sambil memukul dada Attar dengan keras karena benar-benar kesa
“Ay, sampai sekarang aku merasa masih punya hutang sama dia. Aku merasa sangat bersalah. Aku merasa berdosa karena perbuatanku waktu itu. Aku harap kamu ngerti.” Attar menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa gelisah sekaligus cemas. Takut apabila Ayra semakin marah.“Jadi ... kamu diam-diam masih mikirin dia, Mas?” Ayra mengusap air matanya yang menetes lagi, menyapu pori-pori di kulit wajahnya.Hati kecil Attar ingin sekali berteriak. Dia tidak bermaksud seperti itu. Namun dia gagal menyampaikan kepada Ayra dan wanita itu semakin salah paham terhadapnya.“Ay, kenapa kamu mikir sejauh itu?” tanya Attar sembari melangkah, mendekati Ayra. Kemudian perlahan meraih wajah Ayra dan berakhir memeluk tubuh istrinya.Tangis Ayra seketika pecah. Suaranya menggema di ruang tamu, teredam oleh dada Attar. Lelaki itu mempererat pelukannya.“Aku minta maaf. Ini salahku.”“Aku cuma takut kalau kamu diam-diam menjalin hubungan atau punya perasaan dengan wanita lain, Mas. Aku nggak mau sampai itu terjad
“Dari mana aja kamu, Mas?” tanya Ayra dengan nada dingin.Attar baru saja masuk ke rumah. Dia langsung mematung seketika mendapati istrinya berdiri tak jauh dari meja tamu, dengan posisi membelakanginya. Di sana sudah tidak ada kedua orang tuanya. Kemungkinan besar, ayah dan ibunya Attar sudah masuk ke kamar karena hari sudah berganti menjadi malam. Attar pergi selama kurang lebih dua jam.Keberanian Attar menciut. Terlebih lagi, Ayra terus memunggungi dirinya. Dapat disimpulkan bahwa wanita itu sungguh marah padanya.“Ay, aku habis—”“Siapa yang kamu bayarkan di rumah sakit?” Ayra memotong perkataan Attar dan ucapannya itu membuat sang suami menelan saliva dengan berat.Dari mana Ayra bisa tahu?Kini Ayra berbalik badan. Dia tidak mendengar jawaban dari Attar dan rasa kecewa itu terus menyelimuti hatinya hingga membuat napas Ayra terasa sesak.“Ayo jawab, Mas! Ada yang kamu sembunyiin dari aku? Jangan-jangan ada wanita lain yang diam-diam menjalin hubungan sama kamu di belakangku. Ta
“Mas? Kamu pergi? Jangan lama-lama, ya?” Ayra menyahut dari kejauhan sana.“Iya, Sayang. Nggak akan lama kok.”“Oke. Aku tunggu di rumah. Setengah jam lagi harus nyampe rumah. Daah.” Ayra mematikan panggilan secara sepihak.Sedang Attar menggigit bibir bawahnya. Perjalanan dia menuju rumah sakit terdekat saja memakan waktu sekitar dua puluh menit. Belum lagi dia harus menggunakan waktunya lagi untuk membeli makanan yang Ayra inginkan. Perjalanan pulang juga kembali memakan waktu.“Aku harus mencari cara supaya Ayra nggak marah. Atau aku harus mencari cara supaya bisa mencari alasan yang masuk akal kenapa aku bisa lama.” Attar bermonolog dalam hatinya.Attar kembali menoleh ke arah Sania. Wanita itu terlihat begitu malang. Ada apa dengan Sania? Mengapa terlihat rapuh seperti itu? Apakah terjadi sesuatu padanya?Attar mengontrol pikirannya. Itu bukan hak dan urusannya. Hanya saja, dia sedikit penasaran atas apa yang terjadi pada wanita yang ditempatkan di jok belakangnya.Dua puluh meni
“Ayra tidur?” tanya Sarah saat Attar kembali turun ke ruang tamu menemui kedua orang tuanya yang masih duduk di sana.“Iya, Bu. Badannya lagi kurang sehat. Mungkin dia sakit karena kecapekan.” Attar menjawab. Dia mengembuskan napas berat saat mengingat kalau keadaan istrinya saat ini sedang kurang baik meskipun jauh di lubuk hatinya, Attar merasa seperti ada kabar bahagia yang sebentar lagi hadir di rumah tangga mereka.“Jangan-jangan istri kamu nggak enak badan bukan cuma karena perjalanan aja? Gimana kalau ternyata Ayra sedang isi? Coba cek kehamilan,” usul Sarah yang langsung disetujui oleh suaminya.“Aku setuju banget, Bu. Attar, lebih baik sekarang kamu pergi ke apotek terdekat dan beli test pack. Nanti malam coba tes kehamilan. Ayah yakin kalau ini pertanda baik.”Attar mengalihkan perhatiannya ke wajah sang ayah. Dia belum sempat duduk dengan benar, tetapi perkataan ayahnya seakan menggugah hatinya untuk segera pergi ke suatu tempat dan mendapatkan alat kecil yang sedang dibica
“Udah, Mas. Lepasin. Aku bisa jalan sendiri,” ujar Ayra yang masih berada di gendongan depan suaminya bahkan setelah mereka baru saja tiba di dalam kamar.“Malu?”“Ya iyalah, Mas! Aku malu!” ketus wanita itu.“Tapi sekarang udah nggak ada mereka dan kita udah ada di kamar. Ngapain malu, hm?” Attar perlahan membaringkan tubuh Ayra ke atas tempat tidur. Dia membelai rambut dan wajah Ayra dengan lembut. Posisinya masih membungkuk di atas tubuh sang istri.Kedua insan itu saling bertatapan dengan tatapan yang dalam. Seakan keduanya tengah menciptakan dan menumbuhkan ulang perasaan cinta mereka yang berasal dari hati.“Mas Attar mau langsung turun lagi?” tanya Ayra dengan raut wajah sedih. Jemari tangannya bergerak mencapai pipi Attar. Kemudian menusuk-nusuk pipi Attar dengan pelan.“Kamu nggak mau ditinggal?” Attar menangkup jemari tangan Ayra yang menggelitik kulit pipinya.Kepala Ayra menggeleng. Dia memang tidak ingin ditinggal oleh suaminya karena merasa badannya sedang kurang sehat.
“Ibu tahu kalau kalian juga pasti nggak sabar ingin punya momongan, ‘kan? Ibu doakan yang terbaik buat kalian. Semoga secepatnya dikasih rejeki berupa anak. Ibu juga udah tahu kalau Attar usianya udah dewasa. Pasti ingn segera punya anak ‘kan?” sejak tadi, wanita bernama Sarah itu tiada henti membahas tentang kehamilan bahkan sampai mereka tiba di rumah.Usai turun dari mobil, Sarah masuk bersama Ayra. Sementara, Attar dan ayahnya sibuk menurunkan barang bawaan selama perjalanannya dengan sang istri.“Ayra, ayo duduk sini. Kenapa dari tadi cuma diam sama senyum aja? Atau jangan-jangan kamu sudah isi ya?” tebak Sarah sambil mendahului duduk di ruang tamu usai mereka tiba di ruang tamu.Ayra pun duduk di hadapan ibu mertuanya. Dia masih belum bisa menjawab seluruh percakapan Sarah karena masih bingung harus menjelaskan bagaimana. Ibu mertuanya sudah terlanjur sangat berharap besar akan kehamilannya, sedangkan sampai kini, Ayra belum merasakan adanya tanda-tanda kehadiran janin di dalam
Beberapa hari setelah menghabiskan waktunya selama berlibur di Jerman, kini Attar dan Ayra sudah kembali ke tanah air. Mereka pulang ke Indonesia satu hari lebih cepat dari rencana yang telah ditata sebelumnya.Kepulangan suami istri yang memiliki perbedaan umur sepuluh tahun itu di sambut oleh orang tuanya Attar di sebuah bandara di mana mereka mendarat.Karena Ayra baru bertemu dengan orang tuanya Attar saat acara pernikahan dan mereka kurang begitu akrab, wanita itu merasa malu-malu saat ketika akan bertemu kembali untuk yang ke-dua kalinya.“Aku masih malu sama orang tuamu, Mas,” ucap Ayra sambil memeluk lengan tangan Attar. Keduanya berjalan menuju ke titik penjemputan.Sementara, barang-barang mereka dibawakan oleh orang lain yang menyewakan jasa untuk membawakan barang.“Malu kenapa? Jangan malu-malu gitu. Nanti ditagih cucu, loh.” Attar merasa senang tatkala menggoda istrinya.“Ayah sama Ibu ke sini berdua aja?” tanya Ayra untuk memastikan siapa saja yang hendak dia temui nant