Pesta belum juga usai meskipun jam malam telah terlampaui. Pukul sepuluh malam itu kesepakatannya. Harusnya jam malam itu dipatuhi semua pihak karena sudah dimaklumkan sebagai peraturan pemerintah daerah. Tidak ada pesta kembang api atau pun kegiatan bergerombol di atas pukul sepuluh malam.Akhirnya orang-orang memilih mengobrol di pelataran, membentuk koloni-koloni kecil. Kanak-kanak menyalakan kembang api yang dikaitkan pada ranting-ranting perdu di sekitar villa. Cahaya bubuk mesiu itu sesekali memancar dari kejauhan."Ada yang liat bocah pakai kerudung warna coklat susu?" laung Alfian yang entah ditujukan pada siapa."Ponakan, Pak Alfian? Yang dari tadi ngintil, 'kan?"Ponakan? Alfian mengangguk, tak ingin berpanjang cerita. "Iya. Kemana anak itu?""Coba ke dermaga," ujar seseorang yang tengah membolak-balik ikan bakar. Inayah mendengarkan suara orang menyanyi diiringi gitar. Hanya Terdengar sayup-sayup, di sampaikan padanya lewat angin malam. Akan tetapi, dia justru terus berjal
Dia begitu lelah, dan kurang tidur. Benak gadis itu terasa berat memikirkan hari esok, seharian di kantor, pulang jam lima sore, lalu segera berdandan untuk berangkat kerja lagi menjadi pramutama bar. Sungguh, hari-harinya terasa begitu berat.Namun, dia harus kuat. Ayahnya bahkan tidak mampu menopang dirinya sendiri, jadi dia benar-benar sendirian di dunia ini. Harus berjuang sendirian. Mata gadis itu tiba-tiba melirik ke arah tas tangannya, sambil duduk di tepi ranjang, dia membuka tas itu, mengeluarkan segepok uang yang dilemparkan lelaki dingin dan misterius itu ke pangkuannya. Itu uang merah seratus ribuan yang tersusun rapi segepok, jumlahnya seratus juta rupiah.Manusia mana yang dengan ringannya melemparkan segepok uang tanpa beban apapun? Apakah lelaki bermata abu-abu itu adalah lelaki yang sangat kaya?Ya, pasti seperti itu, uang sepuluh juta rupiah mungkin tidak berarti apapun bagi lelaki itu, tetapi bagi gadis miskin sepertinya uang itu sangat berarti. Mereka harus bisa me
"Anjir! Sial!" Alfian menyumpah-nyumpah karena orang asing sialan itu langsung mematikan sambungan. Bahkan nomor itu sudah tidak terdaftar ketika dia kembali mencoba untuk menghubunginya. "Lepas aja pre paid card-nya, Mas," ujar Bunga lirih. Bahkan tanpa melihat ke arah Alfian. "Sialnya setan itu udah ngacir duluan." Alfian membolak-balik ponsel Bunga "Layar ponselmu pecah, Na." Alfian membelek ponsel Bunga yang masih berada di tangannya. Ada bercak hitam di ujung yang terlihat cepat sekali menyebar. Seperti kecepatan virus Trojan menginvasi sebuah file. Dia paham kenapa gadis itu cepat-cepat membuang ponselnya. Selain kata-kata kasar dan vulgar, orang asing itu juga mengirim gambar tidak senonoh. Bunga hanya mengintip dari celah tangannya. Gadis itu meringkuk di ujung ranjang dengan menggunakan lengan menutup matanya."Siapa kira-kira orang yang menerormu?""Mbuh, nggak tau.""Nggak tau? Siapa musuhmu kamu nggak tau?"Bunga menggeleng. Suara isakannya sudah tidak terdengar lagi
Keesokan harinya, sekitar pukul sepuluh pagi mereka check out dari hotel. Alfian merasakan Bunga tidak bisa menikmati keindahan panorama pantai yang seharusnya menjadi kenangan indah menyongsong tahun baru. Wajahnya kusut, pucat, dan tidak bersemangat seperti biasanya. Sepertinya bukan Bunga saja, tapi putri malu. "Jalan sebentar, yuk, ke karang itu.""Buat apaan?""Kamu belum foto sama sekali, Na. Sayang, sudah sampai Anyer. Anyer is a small town with a great beach, nggak tahu, kan?""Nggak tau! Lagian aku Malas. Muka juga udah kayak topeng monyet," helah Bunga berusaha menolak. Alfian sadar, nggak, sih, kalau dia itu dilanda jengah mendekati kikuk. "Bunga adalah Bunga. Mau pagi, sore, malam, hujan, tetap shining. Bersinarnya dari hati soalnya.""Gombal banget, sih. Dasar manusia teknik!"Bunga menjadi lebih pendiam, itu pasti. Bagaimana tidak, tadi malam itu jangan tanya bagaimana malunya dia. Namun, gadis itu dibuat heran karena tidak melihat gurat malu mampir di wajah Alfian. K
Keduanya sampai di Jakarta tengah hari. Akan tetapi, mereka tidak langsung pulang ke rumah. Alfian mengajak Bunga ke supermarket dengan alasan lima hari ini sudah membebaskan Bunga untuk tidak memasak untuknya. Jadi hari ini, mereka harus belanja bahan makanan dan tugas memasak sudah menanti Bunga. Tentu saja, Bunga sedikit kesal, tetapi mengingat dia berjanji dalam hati akan berada pada mode original babu, akhirnya dia menurut juga. Padahal, Bunga sudah tidak sabar untuk mencharge baterai ponsel barunya. Si apel krowak. Dia juga ingin tahu siapa saja yang menghubunginya selama ponselnya mati. "Saat di mobil, kita bisa mencharger ponsel, lho, Mas Al.""Tidak baik. Nanti mobilku rusak.""Iya? Padahal mobilnya bagus gini. Kalau di bus itu ….""Bus itu lebih bagus. Memang didesain seperti itu. Kamu tahu mereknya apa? Mercedes Benz.""Beneran nggak boleh?""Cas HP di dalam mobil dapat menyebabkan arus pendek yang berpotensi merusak mesin mobil, Raihana. Karena apa, karena arus listrik y
Sampai di rumah Alfian, Bunga terlihat sibuk dengan apel krowak miliknya. Dia bahkan lupa, seharusnya segera memisah belanjaan, menyiangi sayuran dan menempatkan pada kulkas atau lemari dapur. Dia lupa diri, tetapi Alfian membiarkan. Laki-laki itu bahkan hanya duduk di kursi melihat gelagat gadis itu yang asyik menimang ponselnya. Hampir tiga puluh menit berlalu. "Ehem!"Bunga mendongak, kemudian senyumnya mekar. Rasa kesal sekaligus takut saat berjumpa Fatah, tetangga yang juga seniornya saat sekolah sudah lenyap. Apa yang tampak adalah sorot mata takjub. "Ehem!" Untuk kedua kalinya Alfian berdeham. "Ehem!" Bunga ikut-ikutan membalas. "Mas Al batuk? Kenyang kena angin laut. Kemaren jogging gaya, pakai singlet aja." "Hari ini kita masak apa, Na?" tanya Alfian to the points. Yah, karena dehamanya bahkan tidak membuat Bunga peka. "Masak apa …?" Bunga sontak berdiri seperti robot yang mendapat alkalin baru. Dia juga tertawa terbahak-bahak karena sudah lupa pada tugas sampingannya,
Disuguhi pemandangan orang berpelukan membuat Bunga merasa seperti obat nyamuk. Namun, kalau dilihat-lihat memang hanya Gina saja yang menempel seperti ulat bulu pada Alfian, sedangkan laki-laki itu berusaha untuk melepaskan cekalan si Mak Lampir."Mas Al ada telepon, nih," kata Bunga berusaha bersikap biasa saja. Tidak benar, Bunga sedikit melongo dan panggilannya kepada Alfian itu rasa-rasanya lebih mesra dari biasanya. Sengaja, ya? Iya, dong!Bunga jarang memanggil nama seseorang dengan suara meliuk-liuk. Untung tegurannya itu membuat Gina segera melepaskan diri dan memandang Bunga dengan tatapan sengit. "Kamu ngapain di sini?" tanyanya ketus."Kerja lah. Kerja! Kerja! Kerja! Nggak tahu apa Pakde itu, tetanggaku."Bunga mengabaikan tatapan Mak Lampir itu, dia fokus memandang majikannya yang segera menjaga jarak dari Gina. Ingin sekali Bunga berbisik di telinga si Lampir ini. Tuh lihat, Alfian nggak suka kamu peluk. Nyadar dong, Mbak; dada silikon, dahi botok, hidung filler."Telep
Sepanjang perjalanan menuju apartemen milik Gina, mereka bertiga diam. Wajah perempuan itu terlihat semakin kesal saat Alfian menyuruhnya untuk duduk di kursi belakang, sementara Bunga duduk di depan bersama Alfian.Bunga melirik dari ekor matanya, Gina sedang memandangi jalan lewat jendela. Perempuan itu terlihat beberapa kali mengusap air matanya yang meleleh tak mau berhenti.. Apa sebenarnya sengketa antara Gina dan suaminya? Mungkin Gina ingin bulan madu ke Bulan, tetapi suaminya tidak sanggup mendanai. Bisa jadi itu. Angel es ...."Kamu udah makan?" tanya Alfian sambil melirik Gina dari kaca spion, tetapi yang ditanya tetap bungkam. Perempuan itu diam seribu bahasa, membuat Alfian menghela napas panjang. Beberapa menit kemudian Alfian menghentikan mobilnya di depan restoran. "Tunggu bentar," ucapnya pada Bunga.Bunga mengangguk, walaupun dia lebih ingin ikut Alfian masuk ke restoran ketimbang harus berduaan dengan Gina. Sesekali Bunga melirik perempuan itu, dia bersyukur karena G