Mereka bertolak ke daerah pesisir setelah adzan Isya selesai. Bunga dengan perasaan riang duduk di samping Alfian menuju lokasi villa lebih awal dari yang direncanakan. Dari yang Bunga amati, Alfian disibukkan dengan deringan ponsel sejak Magrib tadi. Awalnya mereka akan makan di sebuah resto yang menghadap laut. Akan tetapi, Alfian justru menyuruh anak buahnya membooking sebuah villa.Mungkin gaji Alfian hampir 100 juta. Mungkin. Bunga tak pasti, karena dia malas untuk stalking nominal gaji majikannya itu. Apa yang penting dia dapat hadiah makan sushi, beli baju baru, juga sepatu. Satu lagi yang membuat Bunga menjerit kegirangan, kesempatan menginap di hotel tepi pantai. Jadi, selama Alfian ada acara, Bunga akan tinggal di hotel. Rezeki gadis solehah …."Na, kamu bawa baju renang, nggak?" tanya Alfian saat mobil yang mereka tumpangi sudah mulai mendekati pantai. Sayup-sayup terdengar debur ombak di sepanjang jalan. "Nggak, Mas. Kalau nyemplung pakai baju renang betulan, ya, malu. M
Pesta belum juga usai meskipun jam malam telah terlampaui. Pukul sepuluh malam itu kesepakatannya. Harusnya jam malam itu dipatuhi semua pihak karena sudah dimaklumkan sebagai peraturan pemerintah daerah. Tidak ada pesta kembang api atau pun kegiatan bergerombol di atas pukul sepuluh malam.Akhirnya orang-orang memilih mengobrol di pelataran, membentuk koloni-koloni kecil. Kanak-kanak menyalakan kembang api yang dikaitkan pada ranting-ranting perdu di sekitar villa. Cahaya bubuk mesiu itu sesekali memancar dari kejauhan."Ada yang liat bocah pakai kerudung warna coklat susu?" laung Alfian yang entah ditujukan pada siapa."Ponakan, Pak Alfian? Yang dari tadi ngintil, 'kan?"Ponakan? Alfian mengangguk, tak ingin berpanjang cerita. "Iya. Kemana anak itu?""Coba ke dermaga," ujar seseorang yang tengah membolak-balik ikan bakar. Inayah mendengarkan suara orang menyanyi diiringi gitar. Hanya Terdengar sayup-sayup, di sampaikan padanya lewat angin malam. Akan tetapi, dia justru terus berjal
Dia begitu lelah, dan kurang tidur. Benak gadis itu terasa berat memikirkan hari esok, seharian di kantor, pulang jam lima sore, lalu segera berdandan untuk berangkat kerja lagi menjadi pramutama bar. Sungguh, hari-harinya terasa begitu berat.Namun, dia harus kuat. Ayahnya bahkan tidak mampu menopang dirinya sendiri, jadi dia benar-benar sendirian di dunia ini. Harus berjuang sendirian. Mata gadis itu tiba-tiba melirik ke arah tas tangannya, sambil duduk di tepi ranjang, dia membuka tas itu, mengeluarkan segepok uang yang dilemparkan lelaki dingin dan misterius itu ke pangkuannya. Itu uang merah seratus ribuan yang tersusun rapi segepok, jumlahnya seratus juta rupiah.Manusia mana yang dengan ringannya melemparkan segepok uang tanpa beban apapun? Apakah lelaki bermata abu-abu itu adalah lelaki yang sangat kaya?Ya, pasti seperti itu, uang sepuluh juta rupiah mungkin tidak berarti apapun bagi lelaki itu, tetapi bagi gadis miskin sepertinya uang itu sangat berarti. Mereka harus bisa me
"Anjir! Sial!" Alfian menyumpah-nyumpah karena orang asing sialan itu langsung mematikan sambungan. Bahkan nomor itu sudah tidak terdaftar ketika dia kembali mencoba untuk menghubunginya. "Lepas aja pre paid card-nya, Mas," ujar Bunga lirih. Bahkan tanpa melihat ke arah Alfian. "Sialnya setan itu udah ngacir duluan." Alfian membolak-balik ponsel Bunga "Layar ponselmu pecah, Na." Alfian membelek ponsel Bunga yang masih berada di tangannya. Ada bercak hitam di ujung yang terlihat cepat sekali menyebar. Seperti kecepatan virus Trojan menginvasi sebuah file. Dia paham kenapa gadis itu cepat-cepat membuang ponselnya. Selain kata-kata kasar dan vulgar, orang asing itu juga mengirim gambar tidak senonoh. Bunga hanya mengintip dari celah tangannya. Gadis itu meringkuk di ujung ranjang dengan menggunakan lengan menutup matanya."Siapa kira-kira orang yang menerormu?""Mbuh, nggak tau.""Nggak tau? Siapa musuhmu kamu nggak tau?"Bunga menggeleng. Suara isakannya sudah tidak terdengar lagi
Keesokan harinya, sekitar pukul sepuluh pagi mereka check out dari hotel. Alfian merasakan Bunga tidak bisa menikmati keindahan panorama pantai yang seharusnya menjadi kenangan indah menyongsong tahun baru. Wajahnya kusut, pucat, dan tidak bersemangat seperti biasanya. Sepertinya bukan Bunga saja, tapi putri malu. "Jalan sebentar, yuk, ke karang itu.""Buat apaan?""Kamu belum foto sama sekali, Na. Sayang, sudah sampai Anyer. Anyer is a small town with a great beach, nggak tahu, kan?""Nggak tau! Lagian aku Malas. Muka juga udah kayak topeng monyet," helah Bunga berusaha menolak. Alfian sadar, nggak, sih, kalau dia itu dilanda jengah mendekati kikuk. "Bunga adalah Bunga. Mau pagi, sore, malam, hujan, tetap shining. Bersinarnya dari hati soalnya.""Gombal banget, sih. Dasar manusia teknik!"Bunga menjadi lebih pendiam, itu pasti. Bagaimana tidak, tadi malam itu jangan tanya bagaimana malunya dia. Namun, gadis itu dibuat heran karena tidak melihat gurat malu mampir di wajah Alfian. K
Keduanya sampai di Jakarta tengah hari. Akan tetapi, mereka tidak langsung pulang ke rumah. Alfian mengajak Bunga ke supermarket dengan alasan lima hari ini sudah membebaskan Bunga untuk tidak memasak untuknya. Jadi hari ini, mereka harus belanja bahan makanan dan tugas memasak sudah menanti Bunga. Tentu saja, Bunga sedikit kesal, tetapi mengingat dia berjanji dalam hati akan berada pada mode original babu, akhirnya dia menurut juga. Padahal, Bunga sudah tidak sabar untuk mencharge baterai ponsel barunya. Si apel krowak. Dia juga ingin tahu siapa saja yang menghubunginya selama ponselnya mati. "Saat di mobil, kita bisa mencharger ponsel, lho, Mas Al.""Tidak baik. Nanti mobilku rusak.""Iya? Padahal mobilnya bagus gini. Kalau di bus itu ….""Bus itu lebih bagus. Memang didesain seperti itu. Kamu tahu mereknya apa? Mercedes Benz.""Beneran nggak boleh?""Cas HP di dalam mobil dapat menyebabkan arus pendek yang berpotensi merusak mesin mobil, Raihana. Karena apa, karena arus listrik y
Sampai di rumah Alfian, Bunga terlihat sibuk dengan apel krowak miliknya. Dia bahkan lupa, seharusnya segera memisah belanjaan, menyiangi sayuran dan menempatkan pada kulkas atau lemari dapur. Dia lupa diri, tetapi Alfian membiarkan. Laki-laki itu bahkan hanya duduk di kursi melihat gelagat gadis itu yang asyik menimang ponselnya. Hampir tiga puluh menit berlalu. "Ehem!"Bunga mendongak, kemudian senyumnya mekar. Rasa kesal sekaligus takut saat berjumpa Fatah, tetangga yang juga seniornya saat sekolah sudah lenyap. Apa yang tampak adalah sorot mata takjub. "Ehem!" Untuk kedua kalinya Alfian berdeham. "Ehem!" Bunga ikut-ikutan membalas. "Mas Al batuk? Kenyang kena angin laut. Kemaren jogging gaya, pakai singlet aja." "Hari ini kita masak apa, Na?" tanya Alfian to the points. Yah, karena dehamanya bahkan tidak membuat Bunga peka. "Masak apa …?" Bunga sontak berdiri seperti robot yang mendapat alkalin baru. Dia juga tertawa terbahak-bahak karena sudah lupa pada tugas sampingannya,
Disuguhi pemandangan orang berpelukan membuat Bunga merasa seperti obat nyamuk. Namun, kalau dilihat-lihat memang hanya Gina saja yang menempel seperti ulat bulu pada Alfian, sedangkan laki-laki itu berusaha untuk melepaskan cekalan si Mak Lampir."Mas Al ada telepon, nih," kata Bunga berusaha bersikap biasa saja. Tidak benar, Bunga sedikit melongo dan panggilannya kepada Alfian itu rasa-rasanya lebih mesra dari biasanya. Sengaja, ya? Iya, dong!Bunga jarang memanggil nama seseorang dengan suara meliuk-liuk. Untung tegurannya itu membuat Gina segera melepaskan diri dan memandang Bunga dengan tatapan sengit. "Kamu ngapain di sini?" tanyanya ketus."Kerja lah. Kerja! Kerja! Kerja! Nggak tahu apa Pakde itu, tetanggaku."Bunga mengabaikan tatapan Mak Lampir itu, dia fokus memandang majikannya yang segera menjaga jarak dari Gina. Ingin sekali Bunga berbisik di telinga si Lampir ini. Tuh lihat, Alfian nggak suka kamu peluk. Nyadar dong, Mbak; dada silikon, dahi botok, hidung filler."Telep
Bapak terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Sudah sejak tadi beliau meminta ke kamar mandi. Tidak cukup sekali. Berulang kali juga Mas Rohman—suami Mbak Hanik meminta Pak Khosim menggunakan fasilitas pitspot, tetapi pria tua itu justru menolaknya mentah-mentah.“Aku masih sanggup ke kamar mandi sendiri kalau awakmu nggak mau nuntun,” ujarnya ketus. “Kamu nggak mau juga nggak apa-apa.” Kalimat terakhirnya ditujukan kepada Mbak Hanik. Itu sore tadi. Dari Ashar sampai selepas Isya. Selepas Isya, Bapak akhirnya menyerah karena bagian bawah tubuhnya sudah basah. Bapak tak lagi mampu mengontrol pipisnya. Bahkan Bapak seperti orang linglung. “Bapak kenapa nggak ngomong?” ujar Ibuk.Bapak diam saja. Memandang kosong ke depan. Mbak Hanik mengambil diaper dari tangan Bunga yang tadi diutusnya ke minimarket. “Basah semua, bau. Kulit Bapak juga bisa merah-merah,” ujar Mbak Hanik menambahkan. Sedikit geram. “Uwis, Han. Ojo mbok marahi terus bapakmu. Iku lagi ingat anak lanang. Si Nasir
Bab 65-Kesalahan Paling Konyol Kesalahan apa yang dianggap paling konyol? Di saat jalan hidupnya seakan menyerupai telur di ujung tanduk setan, Alfian justru ingat satu hal. Satu hal konyol. Tentang orang pintar yang mendadak bodoh. Kebodohannya karena disebabkan lidah dan perut murahan yang tak bisa berkompromi. Namanya Anthony Gignac, pria yang akan tercatat sebagai orang yang membuat kesalahan paling bodoh sepanjang sejarah.Hampir separuh hidupnya dihabiskan dengan berpura-pura menjadi pangeran jutawan dari Dubai. Dia menamai dirinya "Pangeran Khalid Bin Al Saud". Nama Bani atau wangsa paling berpengaruh di jazirah Arab bahkan berhasil menegakkan sebuah empayar selama 4 abad lebih. Jadi, makhluk bernama Gignac memang terlampau percaya diri. Dia melakukan semua ini dengan satu tujuan, yaitu menipu para investor. Aksinya sudah cukup lama, dan mirisnya banyak pula investor yang percaya padanya. Bahkan diperkirakan dia menipu dan memanipulasi ratusan orang, dengan total kerugian
Saat pintu dibuka, semua berebut untuk masuk ke dalam kamar. Satu yang sangat mencengangkan semua orang, kar itu dalam keadaan berantakan. Suasana sungguh berbeda dengan saat Alfian meninggalkan kamar itu beberapa waktu lalu. Sekitar setengah jam lalu yang kemudian dia tertahan di depan pintu, kemudian bergeser sedikit menjauh dari pintu karena aksi dorong dan jegal oleh Nasir. Kamar pengantin itu terlihat seperti habis dilanda tornado. Dengan bantal dan guling tercampak ke lantai. Sebagian sprei berwarna kuning gading itu terburai ke lantai seperti usus ayam keluar dari rongga perut. Kelopak mawar berhamburan ke seluruh sudut ruang.. Benar-benar dahsyat tornado yang berputar hanya di ruangan ini. “Di ma—na Zum-ra-tul?” Suara Bapak tersendat, terdengar cemas. Mereka semua mencari di setiap sudut ruangan kamar yang tak seberapa luas itu. 3x4 meter. Biasanya Zum duduk mencangkung di pojok ruangan atau di bawah jendela karena lelah mengamati lalu lalang orang-orang yang melintas. Zum
“Si—siapa kamu?”Alfian hampir mati berdiri saat melihat ada sosok yang berbaring di ranjang pengantin di kamar milik Bunga. Meskipun mengenakan brokat dengan warna sangat mirip dengan milik Bunga, dia tahu itu bukan baju pengantin yang tadi dikenakan istrinya. Sudah pasti sosok itu bukan Bunga. Istri kecilnya masih berada di luar. Sosok yang menguasai ranjang pengantinnya tampak meringkuk seperti bayi koala itu tertidur dengan mulut terbuka. Ada tetes liur yang mengalir deras dari sela bibirnya yang terbuka itu. Air liur itu menyirami tumpukan kelopak mawar di atas ranjang. “Ya Tuhan,” gumam Alfian. Sosok itu bergerak, dari tangannya yang terjulur tampak berjatuhan benda berbentuk bulat-bulat seukuran duku. Sosok itu ternyata menggenggam buah-buahan. Anggur dan pisang. “Hai,” sapanya lagi, kali ini Alfian bersuara sedikit keras. Sosok itu bangun mengucek matanya. Matanya sipit, dagu kecil, wajah bulat, dan batang hidung datar, bahkan dahinya seakan lebih menonjol dari hidupnya y
Kekhawatiran Bunga akan ada kekacauan tidak terbukti. Bahkan, kelebat Mas Hamzah pun tidak ada. Jadi, ketika acara hampir selesai digelar jelang Dzuhur, ada buncah kelegaan di sana. Seorang fotografer memberi arahan untuk sesi foto. Setelah selesai dengan sesi foto keluarga, kini giliran foto berdua khusus pengantin. “Jangan kaku begitu, Mbak Bunga.” Photografer memberi pengarahan. “Letak kedua tangannya di dada Mas e, dada nempel lagi. Iya, gitu. Lagi, dikit, terus wajah memandang ke arah angka tujuh, ya. Oke, siap! Satu, dua, ti ….”“Kamu deg-degan, ya?” tanya Alfian tersenyum lebar setelah sang fotografer berhasil membidikkan kameranya dan menghasilkan beberapa gambar. “Ngapain deg-degan. Malu aja, kan, dilihat orang banyak.”“Nggak usah malu-malu. Udah resmi ini.” Rupanya fotografer yang disewa itu mendengar celetukan Bunga. “Atau mau foto dengan latar khusus. Di candi misalnya. Saya bisa merekomendasikan tempatnya. Ayo, kapan.” Dasar tukang photo, gumam Bunga. “Ini udahan, ka
Bunga tertawa terbahak-bahak saat membaca pesan dari Alfian. Pesan yang berisi curhatan pria itu sehabis makan siang. Namun, sebelum acara makan, Alfian malah ditest soal bacaan sholat, doa, bagaimana taharoh yang benar, bagaimana mandi junub yang benar. Karena terus dibombardir pesan yang isinya keluh kesah, akhirnya Bunga memencet tombol hijau pada aplikasi pesan. Aplikasi berkirim pesan dan panggilan yang sederhana, aman, dan reliabel“Assalamualaikum, Mas Al …,” sapa Bunga masih dengan tawa berderai. “Wah, terus saja tertawa, Na.”“Iya, deh. Ana nggak tertawa lagi.” Bunga berusaha mendekat mulutnya. Namun, Bunga masih saja kesulitan menahan tawanya. Setiap dia ingat apa yang menjadi curhatan Alfian, Bunga sontak tertawa. “Mas maaf, aduh.”“Kamu, sih, hanya kasih bocoran tentang sholat. Ternyata semua ditanyakan sama bapakmu.”“Justeru syukur, Mas. Jadi Mas Al nambah ilmunya,” bisik Bunga sambil sesekali melemparkan candaan. Alfian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Memang b
Pak Kosim tercengang ketika melihat calon suami Bunga. Pria dihadapannya terlihat santun meskipun konon katanya berasal dari ibukota Jakarta. Dia Lantas membayangkan mantan suami Bunga, Hamzah. Meskipun usia Hamzah jauh di bawahnya akan tetapi selama ini sikapnya seakan-akan seorang penggede kerajaan selalu minta disanjung. Bahkan, Khosim sering kali harus tergopoh-gopoh untuk sekedar berbicara. Dengan dengan gestur tubuh sedikit membungkuk dan tidak lupa diawali salam dengan cara mencium tangan terlebih dahulu. Seakan-akan bersalaman dengan Hamzah akan mendatangkan keberkahan bagi orang yang berinteraksi dengannya. Sebenarnya bukan hanya Kosim yang melakukan hal itu, kebanyakan orang-orang memang melakukannya baik kepada Kyai Hasyim maupun Hamzah. “Bapak, mari kita ngobrol di restoran.” Alfian memulai bicara saat melihat Pak Khosim masih terlihat takjub saat mengamati dirinya.“Restoran? Bukan di kamar?” Pak Khosim tidak ingin berlama-lama. Dia harus langsung pada inti permasalaha
Seminggu kemudian di kampung halaman Bunga ….Bunga kembali menjadi buah bibir. Kabar bahwa Bunga akan menikah lagi setelah peristiwa yang menghebohkan delapan bulan yang lalu kembali menjadi perbincangan hangat. Ada yang berpendapat, Bunga asal menggaet pria manapun untuk mematahkan kutukan Hamzah. Memang sangat mengerikan sekali kutukan Mas Hamzah. Pria itu melontarkan bala bahwa Bunga tidak akan laku kawin sampai seumur hidupnya. Jadi, begitu ada yang mau, tak peduli siapapun asalkan berjenis kelamin laki-laki akan disambar Bunga. Konon calon suami Bunga itu sama tuanya dengan Hamzah, bahkan lebih tua lagi. Itulah yang beredar di kampung. Dari mulut ke mulut. “Kasihan, anaknya si Khosim. Demi menghilangkan kutukan dari mantan suaminya dia rela menikah dengan lelaki tua bangka.” Perempuan dengan cumplung putih berenda, atasan kaos partai bergambar matahari, dengan bawahan sarung batik memulai obrolan. “Ya, belum tua. Wong katanya baru 32 tahun. Seumuran, lah, sama Mas Hamzah.” P
"Kitab Nikah. Nikah secara bahasa memiliki makna; berkumpul atau bersetubuh. Dan secara syara' berarti akad. Akad yang menyimpan makna diperbolehkannya bersetubuh dengan menggunakan lafadz nikah atau sejenisnya".Bunga tertegun membaca rentetan kalimat yang ia temukan di beranda sosial media miliknya. Tulisan di seorang motivator dan syiar Islam. Sedangkan pernikahan antara dirinya dan Alfian, adalah pernikahan kontrak. Agar Alfian tidak diganggu Gina. Pria itu mengatakan belum siap untuk berkomitmen. Namun, menurut Nyonya Amy memang Alfian tidak sayang membelanjakan uangnya untuk perempuan yang menjadi kekasihnya. Jadi, Bunga tidak perlu merasa bersalah dengan sejumlah uang yang diminta orang tuanya. 300 juta. Itu artinya dia adalah istri Alfian sesungguhnya. Bagaimana kalau nanti Alfian meminta haknya. Hak berhubungan badan. Bunga menggembungkan pipinya. Pipinya pun tiba-tiba memanas hanya dengan membayangkan itu. Di mana mereka akan tidur. Kamar ini? Yang benar saja. Kamar sem