Sebuah mobil warna merah cerah berjalan keluar dari pintu gerbang sebuah kediaman. Mobil tersebut melaju tidak cukup kencang, berjalan menyusuri jalanan raya yang masih cukup lengang tidak seperti hari biasa. Pagi yang mendadak gerimis padahal baru saja cerah. Daun-daun di pinggir jalan yang tumbuh besar, kokoh bergoyang tersapu angin, yang ikut membawa pergi dedaunan kering. Gedung-gedung pencakar langit itu terlihat megah selintas. Beberapa orang berlarian menerjang gerimis. Mungkin mereka terburu-buru karena banyak urusan. Melewati tikungan jalan, dari arah berlawanan seorang wanita berlari menyeberang jalan. Mobil warna merah tersebut kehilangan kendali lantaran menghindari si penyeberang jalan, dia banting stir ke arah sebaliknya. Mobil tersebut oleng dan dari arah depan ada sebuah mobil bak terbuka yang memuat barang, penuh tertutup terpal warna biru di bagian belakang. Melaju kencang, kejadian begitu cepat dan mendadak, sama-sama terkejut. Bruak
Hay D'Lovely KarRa yang mewek baca part ini, Author pun demikian, sambil nangis nulisnya, semoga bab kali ini kalian suka ya, jangan lupa tinggalkan jejak komentar. Terima kasih sudah mampir di Godaan Memikat.
Kematian, sesuatu yang pasti akan terjadi, hanya saja ketika takdir itu terjadi tanpa kita sadari sebelumnya, rasa sakit yang merasuk semakin membelenggu, mengepung dada, sesak. Kehilangan menjadi duka yang meluruh lantakan segala keegoisan. Tersisa air mata, sendu, juga lara, tiba-tiba datang tanpa peringatan sebelumnya. Kenangan-kenangan indah menyembul bermain di pikiran. Tangisan membahana di kediaman Devan, rumah hangat yang selalu ceria. Berkali-kali nyonya Devan pingsan hingga harus di infus di rumah. Evelyn menatap denga air mata yang seolah tidak pernah surut. Memandang jasad yang kini terbujur kaku. Suara teriakan dari arah depan menambah gaduh. Semua turut berduka cita atas kepergian Nayla yang begitu cepat. Tanpa tanda-tanda sebelumnya. Bahkan beberapa menit sebelum kecelakaan Nayla masih sempat menelepon Akbar, tunangannya, gadis itu memberikan kabar kepada calon suaminya jika sang kakak memberikan hadiah sebuah cafe yang te
Edzard terduduk lemas melihat sang istri berbaring tak berdaya, dia menggenggam erat tangan sang istri dengan penuh kasih. Rasa takut melanda hatinya, kedua orang tua Rere sudah Edzard suruh pulang untuk istirahat terlebih dahulu. Edzard mengecup telapak tanga Rere, wajahnya terlihat leleh, Edzard sendiri yang membantu mengangkat keranda juga menguburkan jenazah sang adik bersama Akbar. Tegar, saat ini hanya itu hal yang coba dia lakukan. Wajah ayu sang istri terlihat memucat, ada selang di hidung untuk alat bantu pernapasannya. Ah, pemandangan yang sangat miris, bukan. Edzard lalu bangkit melihat Rere menggeliatkan tubuh, patient monitor berbunyi, gambar yang mirip sandi rumput di layar begerak semakin rendah. Edzard membelalakkan mata, dia panik dan langsung memencet tombol darurat berulang kali. “Abang mohon Re, tetaplah bertahan,” kata Edzard. “Apa pun keadaan kamu nanti, bagaimana pun nantinya. Abang tidak akan melepaskan kamu
Edzard juga Evelyn duduk di sebuah sofa berdampingan, sofa yang berada di seberang brankar Rere terbaring koma. Keduanya masih saling diam, Edzard merasa kebingungan, keduanya terasa canggung. Yah, mengingat apa yang sudah Edzard ucapkan tadi membuat lelaki tersebut berpikir dua kali. Benar-benar kebimbangan yang tidak terelakkan. Lelaki itu bangkit berdiri, Evelyn menatap sang suami dengan tatapan bertanya. “Aku beli minum dan makanan dahulu,” kata Edzard. Evelyn mengangguk, “Iya,” jawabnya singkat, dia melihat punggung sang suami yang berjalan mendekati pintu. Lelaki sekuat Edzard terlihat rapuh olehnya. Siapa saja juga akan merasakan hal sama ketika kehilangan, terlihat rapuh tanpa daya. Bukan cuma Edzard namun, Kenzo pun demikian. Apa yang terjadi adalah takdir yang tidak bisa di rubah lagi. Edzard menutup pintu, tatapannya gamang melihat ke arah l
Siang hari yang terik, dimana udara sejuk membuat pikiran menjadi lebih jernih. Di pinggir air terjun yang mengalir deras, ada cahaya melengkung warna-warni di dekat air terjun tersebut. Saat ini kami berdiri berdampingan, berdua. Menikmati kicauan burung-burung yang terbang bebas di atas seperti menembus langit. Ada beberapa kicauan burung dari pepohonan, suara riuh mereka bersautan satu sama lain, bersama bising suara deras air yang mengalir. Aku memeluk tubuhnya dengan sangat erat, hampir aku menangis mengingat apa yang akan kami hadapi setelah ini, sebuah perpisahan, yang sangat menyakitkan. Wanita itu lebih tegar dari diriku yang rapuh, mungkin dia lelah atau mungkin sudah kebal dengan rasa sakit yang aku buat untuk mereka. Lidah terasa kelu ketika hendak mengucapkan kalimat untuk memutuskan tali pernikahan kami. Beberapa hari lalu ketika pada pagi hari usai pengembalian ponsel Nayla, oleh orang yang baik hati. Rere sadar dari
Senja, begitu mempesona, indah tidak terkira. Senja membawa sejuta rasa, kekaguman. Bak rasa cinta yang bertengger di hati, gelayar rasa ibarat bianglala, tidak mampu terlukiskan dalam kata, kekaguman senja. Ibarat memupuk duka lara, ketika indah senja tidak mampu terukir sempurna di langit, akan berganti malam, lalu menyisakan kenangan. Senja ibarat rasa, dimana hal indah itu terlihat menawan namun, tidak dapat kita miliki, hanya dapat kita nikmati sementara. Gelebah dalam atma, itulah senja, bagi secuil rasa yang masih tersisa, menyiksa, tanpa mampu kita genggam. Rinai melanda hati, mengepung, semakin lama semakin membludak, meruap timbul ke permukaan, itulah rindu. Sisa dari senja yang telah terlewat. Seiring waktu yang telah lalu, senja masih terlihat mengagumkan, akan tetapi, membuat sadar agar tidak berharap. Rasa suka masih ada, hanya saja berganti terbiasa menahan rindu, juga cinta yang seharusnya dilupakan. Oh, senja, inda
Dalam buai sentuhan demi sentuhan yang menggetarkan seluruh tubuh. Otak terasa kosong, pikiran hanya berfokus pada penyatuan yang kini terjadi, sentuhan lembut, gerakan pelan sesekali menjadi brutal tidak terkendali. Edzard menatap tubuh polos di bawahnya. Dia begitu mengagumi tubuh yang sangat terasa cocok untuknya tersebut. Erangan bersahut-sahutan, menggema dalam ruang kedap suara. Hari belum terlalu larut namun, pergumulan itu sudah dimulai dari beberapa waktu lalu. Sebuah ruangan dengan tempat tidur ukuran jumbo, kasur empuk juga bad cover warna cream motif bunga-bunga. Ruangan cukup luas, ada lemari ukuran besar serta dapur di bagian lain, Edzard memilih kamar VVIP di salah satu hotel ternama. “Kamu cantik,” ucap Edzard mengagumi wajah cantik sang istri. “Abaaaang!” teriak Rere memanggil sang suami. “Iya, Sayang, jangan di tahan, berteriak sesukamu, nikmati malam ini, nikmati semuany
Pagi harinya usai menghabiskan sarapan di restoran yang berada di bangunan lantai satu hotel. Edzard mengajak sang istri untuk ke kantor, sebelumnya di perjalanan mereka berhenti di sebuah toko pakaian yang mereka lewati. Membeli sepasang jas untuk dirinya, juga satu dress warna merah menyala berbahan sifon setinggi lutut dengan lengan motif sabrina. Rere terlihat cantik dengan pakaian tersebut, keduanya terlihat serasi. Edzard mengangkat lengan, Rere tersenyum menyelipkan tangan ke lengan tersebut, keduanya saling menatap, lalu tersenyum dan masuk ke dalam lift. Sampai di lantai atas keduanya berpisah, Rere menuju meja kerjanya, tempat yang dulu ditempati Evelyn hanya di rubah lebih luas. Edzard masuk ke dalam ruangan, awalnya Edzard sudah membenahi satu meja untuk Rere di dalam ruangannya, akan tetapi itu membuat Rere tidak dapat konsentrasi, ah hati dan pikiran tidak dapat kompromi. Helen menghampiri Rere ketika Edzard sudah mas
Edzard masih memeluk sang istri, dia mengangkat kepala lalu kedua tangannya meraup wajah Rere, lelaki itu mengecup bibir sang istri yang terlihat sangat menggoda dalam polesan make up natural. Baru hendak melakukan hal yang lebih, pintu terbuka tanpa aba-aba. Sontak keduanya saling menjauh, malu. Mereka menoleh ke arah pintu, di mana kedua orang tua Edzard sudah berdiri di pintu. Mereka tersenyum manis, tanpa permisi nyelonong masuk ke dalam ruangan. Edzard mengernyitkan kening lalu memandang sang ayah yang berjalan di belakang ibunya. Sang ayah mengedikkan bahu pertanda tidak mau ikut campur urusan istrinya, seolah kode tersebut mewakili isi hati untuk mengatakan ‘aku juga tidak tahu’ Edzard menghela napas panjang dan berat. “Hai, Sayang, Ibu bawakan makan siang untuk kalian,” ujar sang ibu mengangkat rantan yang dia tenteng sedari tadi. Edzard dan Rere saling pandang lalu tersenyum, mere