Rere menyibukkan diri dengan membantu Edzard merapikan beberapa dokumen, atas arahan asisten dari Devan—ayah mertuanya—yang kebetulan mampir. Edzard sendiri masih sibuk di ruangan bagian perencana. Bersama para staf, mengecek sekali lagi data yang akan dijadikan bahan meeting setelah ini. Lelaki itu membaur dan nampak serius membahas presentasi yang akan dibawakan salah satu anak buahnya. Seorang wanita cantik bertubuh sexy, tinggi semampai, rambutnya digulung ke bagian atas belakang kepala. Salah satu karyawan lama yang berada di kantor Edzard semenjak perusahaan kecilnya merintis.
“Bagaimana, ok tidak, Pak?” tanya wanita tadi yang duduk di kursi sebelah Edzard.
Edzard mencondongkan tubuh ke arah wanita itu, menatap lurus ke layar laptop si wanita lalu manggut-manggut, “Good,” jawab Edzard, “baik semua mari kita siap-siap, ayo semangat ya.” Edzard bangkit berdiri dari kursi bundar yang dia duduki.
&nbs
Jangan lupa tinggalkan jejak komentar, terima kasih sudah mampir di Godaan Memikat.
Rere langsung saja memeluk sang suami, tidak peduli tatapan beberapa karyawan yang masih berada di tempat. Wanita itu menyembunyikan wajah dalam dekap hangat dada sang suami. Aroma parfum tercium, mengusik pada indra penciumannya. Edzard yang sempat terkejut ketika tiba-tiba Rere memeluknya, mengulas senyum. Lelaki bertubuh tinggi itu mengelus manja rambut panjang terurai Rere. Dia mengira-ngira apa yang sebenarnya sang istri pikirkan, Edzard mengernyikan kening lalu menghela napas, sekuat apa pun dia berpikir tetap tidak menemukan jawaban yang dicari. Edzard mengusap punggung sang istri, pasalnya pelukan Rere semakin erat. Dia menyipitkan mata, lalu mengedarkan pandang ke beberapa arah dimana anak buahnya memperhatikan dengan malu-malu. Edzard terkekeh lalu menggeleng, tingkah imut Rere benar-benar membuat para wanita iri. “Kenapa, Sayang?” tanya Edzard lirih. Rere hanya menggelengkan kepala. “ya sudah kita Kembali ke ruang
Keadaan Edzard semakin memprihatinkan, tidak merasakan sakit, tapi selalu merasa mual, ah sangat menjengkelkan bukan. Badan terasa lemas terkuras habis, bahkan saat pertemuan dengan klien di kafe yang berada di bawah kantornya, Edzard beberapa kali bolak-balik ke kamar mandi. Badannya di papah asisten sang ayah yang dia telepon sebelum jam pulang kantor usai. Mereka sempat mampir ke klinik kesehatan, tidak ada tanda-tanda sakit serius. Edzard masih di papah asisten sang ayah menaiki anak tangga pelan-pelan menuju kamar yang ditempati Rere. Tidak mungkin Edzard dengan keadaan yang demikian mengganggu Evelyn yang masih tahap pemulihan. “Kepalaku terasa berat,” keluh Edzard merebahkan tubuh di atas ranjang. “Sabar, Bang,” ujar Rere membuka sepatu milik sang suami. Dengan telaten Rere melepas jas yang masih menempel di tubuh suaminya, derik pintu terdengar, R
Edzard memeluk sang istri dengan sayang, dia menyibakkan rambut Rere ke arah samping kanan bagian depan, menghirup aroma wangi sabun yang menguar dari tubuh istrinya. Edzard benar-benar menyukai aroma tubuh itu, dia menciumi bagian leher belakang. Rere memejamkan mata menikmati setiap sentuhan yang Edzard berikan kepadanya. Ah, sangat manis terasa Edzard semakin gencar mencumbu, Rere mencengkeram erat handuk bagian depan yang dia pakai. Sedang menghayati setiap inci tubuh mulus sang istri, tiba-tiba perutnya kembali bergejolak. Edzard menghentikan aksinya lalu segera berlari ke kamar mandi. Rere mengernyitkan kening melihat apa yang tengah terjadi pada sang suami. Khawatir pasti sangat, wanita itu lalu mengenakan pakaiann dan langsung memanggil dokter pribadi. Edzard terlihat keluar dari kamar mandi dengan loyo. Rambut basah, tubuh berotot itu terlihat sangat menggoda, hanya saja bibir pucat sang suami membuat Rere kembali ke alam sadar. Dia mendekat ke arah sang
Banyak hal yang menjadi misteri dalam setiap hidup yang terjadi, penuh kejutan dalam suka maupun duka, sedu sedan tak bertepi. Haruskah menerjang ombak kepedihan sepanjang jalan hidup? Evelyn menangis tersedu memeluk potret dirinya dan sang suami. Terasa berat dan menyesakkan, dia hanya mampu berdiri di tempat yang sama tanpa dapat melakukan apa-apa, terombang-ambing lautan masalah yang tidak pernah terselesaikan. Waktu bersamaan Edzard masuk ke dalam kamar, dia segera menghampiri Evelyn. Wajah lelaki tersebut nampak khawatir, dia kebingungan melihat sang istri keduanya menangis. “Sayang, kau baik-baik saja?” tanya Edzard duduk di samping sang istri. Lelaki tersebut meraih Evelyn dalam pelukan, lalu menarik bingkai yang dipeluk Evelyn sejak tadi. Edzard melirik potret itu sebentar. Ah, betapa bodohnya, saking bahagia atas kehamilan Rere, Edzard tidak sadar membiarkan Evelyn sendirian. “Maafkan aku Sayang, maaf, ma
Malam di sebuah resto nuansa alam, dengan hiasan lampu menyala. Mereka mengambil tempat duduk di pelataran, dimana pemandangan indah terlihat jelas, lampu kelap-kelip bersinar. Makanan kampung terhidang di meja kayu, ada ayam goreng, tempe dan tahu penyet, juga tumis kangkung. Rere menatap dengan tatapan biasa, membuat Edzard dan juga Evelyn terbengong. “Kenapa, Sayang?” tanya Edzard menatap Rere. “Abang, Abang tahu kan jika saya bisa memasak makanan sepeti ini?” pekik Rere. “Iya, kamu pandai memasak,” kata Edzard tersenyum. “Terusn kenapa kita makan di sini, Bang?” kata Rere. “Re, bukannya ini resto favorit kamu?” tanya Evelyn mengernyitkan kening. “Iya Mbak Eve, tapi saya nggak selera makan disini, saya bisa kok memasak itu semua. Ini namanya mubazir uang,” cerocos Re
Sampai di rumah suasana terasa sepi, keluarga Edzard sudah bergegas kembali ke rumah masing-masing. Rere menaiki tangga satu demi satu, rasa hamp[a menyeruak ketika dia sendirian. Tidak mungkin Rere menyuruh Nayla untuk bermalam, menemaninya lantaran dua minggu lagi dia akan menikah. Yah, menikah dengan Akbar, sebuah pesta meriah hendak diselenggarakan di sebuah gedung milik keluarga Julian. Sebagai hadiah pernikahan dari Kenzo. Rere lantas mengingat pernikahannya dahulu, yah sebuah ijab yang ala kadarnya tanpa pesta. Terpenting sah secara hukum dan juga agama, mengingat pernikahan dia dan juga Edzard dulu merupakan permintaan dari sang nenek. Mendadak Rere merindukan sosok tua yang selalu menemani, sosok yang selalu memanjakannya, ah nasib badan. Wanita tua tersebut bahkan harus berpulang sebelum sang cucu memberikannya cicit. Rere menghapus air mata yang luruh dia masuk ke dalam kamar lalu merebahkan diri ke atas ranjang. Rere terlelap sebentar sebelum akh
Malam menjelang Edzard terbangun dari tidurnya, Rere masih terlelap dalam pelukannya. Lelaki tersebut tidak tega untuk meninggalkan istri pertamanya tetapi, mengingat ada Evelyn yang juga harus dia jaga perasaannya. Edzard lalu menyingkap pelan sekali tangan Rere yang melingkar di perutnya agar tidak mengganggu lelapnya. Edzard beringsut bangkit, dia mengulas senyum memperhatikan setiap inci wajah Rere yan tertidur, ah, sangat manis, batinnya. Dia mengelus rambut Rere dengan sayang lalu mencium kening dan pipinya. Membenahi letak selimut untuk menutup tubuh mungil itu. Edzard gegas turun dari ranjang, dia meraup wajahnya. Langkah kaki itu kembali terhenti ketika berada di depan pintu kamar. Sekali lagi Edzard menatap ke arah ranjang. Rere meringkuk sendirian, dadanya terasa sesak tidak terkira. “Maaf, sayang,” kata Edzard lalu membuka pintu dan keluar dari kamar menuju ke kamar istri keduanya. Peman
Rere masuk ke dalam ruangan, terlihat Nayla tengah memeluk sebuah bingkai foto sembari menangis tersedu di sudut ranjang. Wanita muda itu berjalan mendekat ke arah sahabatnya. Dia meraih bingkai foto yang sedari tadi Nayla peluk. Nayla melepas bingkai tersebut, untuk kemudian menghapus linangan air mata. Rere melihat potret tersebut lalu tersenyum, Nayla membalas dengan senyum masam. Kenangan pahit yang harus dia jalani ketika mencintai orang yang tidak dapat kita raih. Semua rasa sakit itu mendadak ada, meski sejauh ini keduanya bertahan. Rere duduk di dekat Nayla, dia meletakkan bingkai tersebut di ranjang. Rere kemudian memeluk sang sahabat. “Mengapa kamu menangis, Nay?” tanya Rere. “Antara bahagia juga khawatir Re, aku bahagia karena akan menikah dengan lelaki yang aku cintai. Akan tetapi, aku khawatir dengan Kenzo. Dia baik-baik saja kan?” tanya Nayla masih sesegukan.&nb
Elizabeth, Larisa beserta sang suami juga Delon baru selesai sarapan. Mereka keluar restoran menatap ke arah lautan lepas sembari membicarakan hal-hal yang hendak dilakukan untuk menghabiskan siang ini. Masih ada waktu dua hari berlibur ke tempat tersebut. Senyum sumringah Larisa dan Aarav membuat iri bagi para jomlo yang lihat. Termasuk Elizabeth dan Delon, pemuda tidak sengaja yang masuk sarang macan dengan menyatakan cinta pada Caroline Zeroun. "Kalian mau ikut kami ke pulau itu?" tanya Aarav menunjukkan sebuah pulau tidak jauh dari tempat mereka. "Kami tidak mau jadi obat nyamuk," keluh Elizabeth. Aarav terkekeh, "Baiklah, kalau begitu aku akan membawa istriku sekarang, selamat bersenang-senang kalian." Tanpa kasihan Aarav mengatakan. Lelaki itu mengangkat tubuh sang istri menggendong ala bridal. Delon dan Elizabeth menggeleng, terlihat menggelikan perbuatan monster kutub utara yang sok manis. Walau sebenarnya dia sedang berusaha manis demi sang istri, nampakn
"Rafael Kenzo!" teriak Maya hilang kesabaran. "Kau, apa yang kau lakukan. Ini tidak seperti yang kita sepakati, brengsek!" pekik Maya. "Bergantilah pakaian, orang tuaku akan kemari beberapa saat lagi." Pemuda itu mengabaikan umpatan Maya. Wanita tersebut frustrasi sendiri dibuatnya. Yeah, pemuda yang bersama Maya adalah Rafael, rasa cinta pada Larisa mungkin tidak mampu dia paksa, perbedaan keyakinan menjadi jurang pemisah sebelum rasa tersebut diungkapkan, miris memang, namun apa daya. Dalam suatu kesempatan Rafael mendapati Maya berada di antara Larisa dan Aarav, jika mengikuti ego, ingin sekali membiarkan. Namun, pemuda tersebut tidak akan pernah sanggup untuk melihat Larisa menderita. Rafael dan Kenzo sama-sama pernah terluka dengan perasaan cinta berbeda keyakinan. Satu hal pasti, ketika Kenzo mendapati putranya, berhubungan dengan wanita. Sang ayah tidak langsung menghakimi, dia lebih memilih untuk melihat apa yang sebenarnya. Saran dari Kenzo hanya satu, d
Larisa dan yang lain menoleh ke arah suara, gadis cantik mengenakan dress putih tanpa lengan setinggi lutut. Rambut panjang blonde tergerai, di mana topi pantai menghias kepala. Senyum merekah mendebarkan jantung kaum adam yang melihat, tubuh mungil berkulit seputih susu membuat dunia Delon serasa terhenti. Bak disuguhkan bidadari cantik turun dari langit. "Hai, Cariline," sapa Larisa. Yah, gadis itu Caroline Zeroun, putri tunggal Axelle Zeroun dari kota B. "Boleh aku bergabung, Kak?" tanyanya. "Boleh sekali, silakan cantik," ujar Elizabeth sumringah. "Perkenalkan dia Caroline," kata Larisa. "Aku Elizabeth," ujarnya. Derit kursi berbunyi, Caroline duduk di kursi dekat Delon. Pemuda itu masih melongo, Elizabeth yang melihat menutup mulut sahabatnya. "Lap tuh iler yang hampir menetas!" kelakar Elizabeth. "Hai, bidadari cantik aku Delon," kata pemuda itu berganti mengulurkan tangan. Caroline menyambut dengan bahagia. "Sepertinya aku j
Setelah melewati beberapa pencarian atas bantuan anak buah sang papa. Elizabeth berhasil menemukan kamar hotel yang ditempati Larisa sahabatnya. Dia sedang berjalan dengan terus mengomel lantaran Larisa tidak dapat dihubungi. Ponsel mati, padahal keduanya berjanji akan sarapan bersama. Delon menatap punggung sahabatnya itu, dia paham benar Elizabeth khawatir. Sampai di kamar yang dituju gadis itu berhenti. "Akhirnya sampai juga, Larisa kamu kenapa belum turun sarapan?" omel Elizabeth membuka pintu kamar. Mata gadis itu membola, dia menutup mulut dengan kedua tangan, Delon mengernyitkan kening lalu ikut melongok ke dalam. Dia pun sama ikut terkejut. Melihat bagian dalam berantakan, Elizabeth juga Delon melangkah ke dalam. Dia mendapati ranjang bak kapal pecah, pakaian serta dalaman berserakan di lantai. Keduanya saling menatap meringis, merasa salah datang ke tempat itu. Samar terdegar erangan bersahutan dari sebuah ruang yang tertutup, keduanya menduga itu kamar mandi. E
Tangan Larisa bergerak nakal meraba pundak Aarav, wanita itu berjalan memutar untuk berdiri di hadapan sang suami. Mempertontonkan tubuh telanjangnya. Aarav menatap tajam bak serigala yang melihat mangsa. Wajah gadis itu memanas, tangannya mengepal menahan gemetar. Kedua tangan Larisa meraba bagian kemeja, mencoba meloloskan kancing yang masih melekat. Aarav memperhatikan dengan badan panas dingin, kemeja itu terlepas berkat tarikan sang istri, mempertontonkan bagian dada maskulin. “Aku siap, mari lakukan. Jangan menahan lagi,” bisik Larisa mencengkeram bagian junior Aarav. Aarav melambung tinggi, seperti naik rollercoaster, sungguh perasaan luar biasa tidak terkira. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Aarav mengangkat tubuh Larisa, merebahkan di ranjang. Memulai kembali belaian lidah dan juga bibir di area sensitif Larisa. Gadis itu berteriak, setumpuk rasa dengan jantung terpompa lebih cepat. Menantikan hal yang lebih menakjubkan dari pemanasan itu. “Aku, akan melakuka
Mata Larisa berbinar melihat pemandangan di bawah laut pada sore hari. Saat ini mereka tengah berada di sebuah kapal pesiar. Langkah kakinya nampak lincah dengan sepatu cats yang dikenakan. Dress warna putih setinggi lutut menari dengan indah seirama langkah. Aarav membiarkan gadis muda itu di hadapannya. Kemudian mantik pelan saat sang istri hampir menabrak seorang anak muda. "Kau tidak apa?" tanya pemuda tampan rupawan pada Larisa. Gadis tersebut tersenyum, "Aku baik," jawabnya. Pemuda tersebut mengerutkan kening lalu tersenyum. "Kau, Kak Larisa?" tanya pemuda itu. "Iya, bagaimana kau bisa mengenalku?" tanya Larisa. 'Astaga, siapa lalat pengganggu ini?' cebiknya. "Astaga, aku juniormu di kampus Kak, senang sekali bisa berjumpa dengan Kakak Cantik," kata pemuda itu lagi. Larisa mencoba berpikir keras, dia seperti mengingat sesuatu. "Hei, Ren, apa yang kau lakukan disini? Pasti mengganggu gadis-gadis?" Seorang gadis cantik dat
Maya merasa tidak ingin masuk ke dalam apartemen tersebut. Namun, tidak ada pilihan pemuda yang mengekang pasti mencari di manapun dia berada. Tidak ada tempat untuk dia kabur sama sekali. Kabur pun hendak ke mana, tiada tempat bagi dirinya. Wanita itu menghela napas berat lalu berjalan masuk, ruangan gelap, hanya seberkas cahaya sorot lampu yang masuk dari luar. Maya meraba dinding lalu menekan tombol saklar. Dia menundukkan kepala kemudian melangkah ke dalam. "Kau malam sekali pulang." Suara bariton lelaki terdengar. Maya tidak terkejut, sudah menduga pemuda itu akan datang. "Aku ikut bos ke luar kota," jawabanya sembari melepas sepatu. Maya mendongakkan kepala, baru dia melihat wajah lelaki tersebut. Dia mengulas senyum, berjalan gemulai ke arah sofa lalu duduk di pangkuan sang pemuda. "Kau cemburu?" tanya Maya. Pemuda itu menatap sarkas, "Jangan bercanda," sanggahnya. "Jangan khawatir, pak tua itu mampu menjaga diri dengan baik, kau t
Malam hari di kediaman Aarav. Larisa duduk di ruang tamu dengan perasaan gundah gulana, berulang kali bangkit dari sofa lalu kembali duduk, terkadang mondar-mandir mirip setrika. Apa yang dikatakan Elizabeth tadi siang begitu mengganggu, membuat berpikir keras. Bagaimana jika sang suami memang berselingkuh, sekretaris pribadinya bertubuh sintal, nan sexy, dada menggelembung, cantik nan elegan, ah wanita itu sesuai tipe ideal Aarav. Larisa melirik ke bawah, tubuhnya kerempeng, dada kecil. Sepersekian detik gadis itu membandingkan tubuh dia dan sekertaris, membuat kepala berdenyut nyeri. Dia menguatkan diri mengatakan tidak mencintai sang suami. Namun, berbanding terbalik dengan hati yang tidak karuan, cemas. “Mengapa aku jadi kepikiran, membandingkan hal tidka penting” keluh Larisa. Dia menyibakkan rambut panjang ke belakang. Kembali bangkit dari kursi untuk kesekian kali, kakinya melangkah ke arah jendela, menyibak tirai warna coklat bermotif bunga-bunga besar, mempe
Sore hari sekitar pukul empat, usai menempuh perjalanan kurang lebih satu jam Aarav sampai di kota B. mobil yang membawanya berhenti di parkiran sebuah hotel. Lelaki tersebut keluar dari mobil saat sang sopir membukakan pintu, dia duduk di bagian belakang, sedangkan Maya ada di depan bersama sopir. “Maaf Pak, pertemuan akan dilakukan pukul tujuh malam, boleh saya pergi sebentar. Saya janji akan kembali kesini sebelum pukul tujuh,” kata Maya mencegah Aarav melangkah. Tubuh maskulin itu berbalik, “Kau mau mengunjungi ibumu?” tanya Aarav mengingat permintaan Maya tadi. Maya tersenyum seraya menjawab, “Iya, Pak.” “Istirahat sebentar, aku juga mau mandi dahulu. Akan aku antar nanti,” kata Aarav yang langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Maya. Wanita tersebut mengurungkan niat, dia kembali mengatupkan bibir yang sempat terbuka hendak mengucap. Yah, apa yang dilakukan Aarav, jika sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menolak. Maya mengekor A