Malam di sebuah resto nuansa alam, dengan hiasan lampu menyala. Mereka mengambil tempat duduk di pelataran, dimana pemandangan indah terlihat jelas, lampu kelap-kelip bersinar. Makanan kampung terhidang di meja kayu, ada ayam goreng, tempe dan tahu penyet, juga tumis kangkung. Rere menatap dengan tatapan biasa, membuat Edzard dan juga Evelyn terbengong.
“Kenapa, Sayang?” tanya Edzard menatap Rere.
“Abang, Abang tahu kan jika saya bisa memasak makanan sepeti ini?” pekik Rere.
“Iya, kamu pandai memasak,” kata Edzard tersenyum.
“Terusn kenapa kita makan di sini, Bang?” kata Rere.
“Re, bukannya ini resto favorit kamu?” tanya Evelyn mengernyitkan kening.
“Iya Mbak Eve, tapi saya nggak selera makan disini, saya bisa kok memasak itu semua. Ini namanya mubazir uang,” cerocos Re
Hai, D'Lovely KarRa maaf telat up date, author rada sibuk urus hal lain. Mohon pengertiannya, tetap ikuti kisah Godaan Memikat yang hampir memasuki puncak season satu. Jangan lupa tinggalkan jejak komentar ya, biar author semangat up date. Terima kasih.
Sampai di rumah suasana terasa sepi, keluarga Edzard sudah bergegas kembali ke rumah masing-masing. Rere menaiki tangga satu demi satu, rasa hamp[a menyeruak ketika dia sendirian. Tidak mungkin Rere menyuruh Nayla untuk bermalam, menemaninya lantaran dua minggu lagi dia akan menikah. Yah, menikah dengan Akbar, sebuah pesta meriah hendak diselenggarakan di sebuah gedung milik keluarga Julian. Sebagai hadiah pernikahan dari Kenzo. Rere lantas mengingat pernikahannya dahulu, yah sebuah ijab yang ala kadarnya tanpa pesta. Terpenting sah secara hukum dan juga agama, mengingat pernikahan dia dan juga Edzard dulu merupakan permintaan dari sang nenek. Mendadak Rere merindukan sosok tua yang selalu menemani, sosok yang selalu memanjakannya, ah nasib badan. Wanita tua tersebut bahkan harus berpulang sebelum sang cucu memberikannya cicit. Rere menghapus air mata yang luruh dia masuk ke dalam kamar lalu merebahkan diri ke atas ranjang. Rere terlelap sebentar sebelum akh
Malam menjelang Edzard terbangun dari tidurnya, Rere masih terlelap dalam pelukannya. Lelaki tersebut tidak tega untuk meninggalkan istri pertamanya tetapi, mengingat ada Evelyn yang juga harus dia jaga perasaannya. Edzard lalu menyingkap pelan sekali tangan Rere yang melingkar di perutnya agar tidak mengganggu lelapnya. Edzard beringsut bangkit, dia mengulas senyum memperhatikan setiap inci wajah Rere yan tertidur, ah, sangat manis, batinnya. Dia mengelus rambut Rere dengan sayang lalu mencium kening dan pipinya. Membenahi letak selimut untuk menutup tubuh mungil itu. Edzard gegas turun dari ranjang, dia meraup wajahnya. Langkah kaki itu kembali terhenti ketika berada di depan pintu kamar. Sekali lagi Edzard menatap ke arah ranjang. Rere meringkuk sendirian, dadanya terasa sesak tidak terkira. “Maaf, sayang,” kata Edzard lalu membuka pintu dan keluar dari kamar menuju ke kamar istri keduanya. Peman
Rere masuk ke dalam ruangan, terlihat Nayla tengah memeluk sebuah bingkai foto sembari menangis tersedu di sudut ranjang. Wanita muda itu berjalan mendekat ke arah sahabatnya. Dia meraih bingkai foto yang sedari tadi Nayla peluk. Nayla melepas bingkai tersebut, untuk kemudian menghapus linangan air mata. Rere melihat potret tersebut lalu tersenyum, Nayla membalas dengan senyum masam. Kenangan pahit yang harus dia jalani ketika mencintai orang yang tidak dapat kita raih. Semua rasa sakit itu mendadak ada, meski sejauh ini keduanya bertahan. Rere duduk di dekat Nayla, dia meletakkan bingkai tersebut di ranjang. Rere kemudian memeluk sang sahabat. “Mengapa kamu menangis, Nay?” tanya Rere. “Antara bahagia juga khawatir Re, aku bahagia karena akan menikah dengan lelaki yang aku cintai. Akan tetapi, aku khawatir dengan Kenzo. Dia baik-baik saja kan?” tanya Nayla masih sesegukan.&nb
Sebuah mobil warna merah cerah berjalan keluar dari pintu gerbang sebuah kediaman. Mobil tersebut melaju tidak cukup kencang, berjalan menyusuri jalanan raya yang masih cukup lengang tidak seperti hari biasa. Pagi yang mendadak gerimis padahal baru saja cerah. Daun-daun di pinggir jalan yang tumbuh besar, kokoh bergoyang tersapu angin, yang ikut membawa pergi dedaunan kering. Gedung-gedung pencakar langit itu terlihat megah selintas. Beberapa orang berlarian menerjang gerimis. Mungkin mereka terburu-buru karena banyak urusan. Melewati tikungan jalan, dari arah berlawanan seorang wanita berlari menyeberang jalan. Mobil warna merah tersebut kehilangan kendali lantaran menghindari si penyeberang jalan, dia banting stir ke arah sebaliknya. Mobil tersebut oleng dan dari arah depan ada sebuah mobil bak terbuka yang memuat barang, penuh tertutup terpal warna biru di bagian belakang. Melaju kencang, kejadian begitu cepat dan mendadak, sama-sama terkejut. Bruak
Kematian, sesuatu yang pasti akan terjadi, hanya saja ketika takdir itu terjadi tanpa kita sadari sebelumnya, rasa sakit yang merasuk semakin membelenggu, mengepung dada, sesak. Kehilangan menjadi duka yang meluruh lantakan segala keegoisan. Tersisa air mata, sendu, juga lara, tiba-tiba datang tanpa peringatan sebelumnya. Kenangan-kenangan indah menyembul bermain di pikiran. Tangisan membahana di kediaman Devan, rumah hangat yang selalu ceria. Berkali-kali nyonya Devan pingsan hingga harus di infus di rumah. Evelyn menatap denga air mata yang seolah tidak pernah surut. Memandang jasad yang kini terbujur kaku. Suara teriakan dari arah depan menambah gaduh. Semua turut berduka cita atas kepergian Nayla yang begitu cepat. Tanpa tanda-tanda sebelumnya. Bahkan beberapa menit sebelum kecelakaan Nayla masih sempat menelepon Akbar, tunangannya, gadis itu memberikan kabar kepada calon suaminya jika sang kakak memberikan hadiah sebuah cafe yang te
Edzard terduduk lemas melihat sang istri berbaring tak berdaya, dia menggenggam erat tangan sang istri dengan penuh kasih. Rasa takut melanda hatinya, kedua orang tua Rere sudah Edzard suruh pulang untuk istirahat terlebih dahulu. Edzard mengecup telapak tanga Rere, wajahnya terlihat leleh, Edzard sendiri yang membantu mengangkat keranda juga menguburkan jenazah sang adik bersama Akbar. Tegar, saat ini hanya itu hal yang coba dia lakukan. Wajah ayu sang istri terlihat memucat, ada selang di hidung untuk alat bantu pernapasannya. Ah, pemandangan yang sangat miris, bukan. Edzard lalu bangkit melihat Rere menggeliatkan tubuh, patient monitor berbunyi, gambar yang mirip sandi rumput di layar begerak semakin rendah. Edzard membelalakkan mata, dia panik dan langsung memencet tombol darurat berulang kali. “Abang mohon Re, tetaplah bertahan,” kata Edzard. “Apa pun keadaan kamu nanti, bagaimana pun nantinya. Abang tidak akan melepaskan kamu
Edzard juga Evelyn duduk di sebuah sofa berdampingan, sofa yang berada di seberang brankar Rere terbaring koma. Keduanya masih saling diam, Edzard merasa kebingungan, keduanya terasa canggung. Yah, mengingat apa yang sudah Edzard ucapkan tadi membuat lelaki tersebut berpikir dua kali. Benar-benar kebimbangan yang tidak terelakkan. Lelaki itu bangkit berdiri, Evelyn menatap sang suami dengan tatapan bertanya. “Aku beli minum dan makanan dahulu,” kata Edzard. Evelyn mengangguk, “Iya,” jawabnya singkat, dia melihat punggung sang suami yang berjalan mendekati pintu. Lelaki sekuat Edzard terlihat rapuh olehnya. Siapa saja juga akan merasakan hal sama ketika kehilangan, terlihat rapuh tanpa daya. Bukan cuma Edzard namun, Kenzo pun demikian. Apa yang terjadi adalah takdir yang tidak bisa di rubah lagi. Edzard menutup pintu, tatapannya gamang melihat ke arah l
Siang hari yang terik, dimana udara sejuk membuat pikiran menjadi lebih jernih. Di pinggir air terjun yang mengalir deras, ada cahaya melengkung warna-warni di dekat air terjun tersebut. Saat ini kami berdiri berdampingan, berdua. Menikmati kicauan burung-burung yang terbang bebas di atas seperti menembus langit. Ada beberapa kicauan burung dari pepohonan, suara riuh mereka bersautan satu sama lain, bersama bising suara deras air yang mengalir. Aku memeluk tubuhnya dengan sangat erat, hampir aku menangis mengingat apa yang akan kami hadapi setelah ini, sebuah perpisahan, yang sangat menyakitkan. Wanita itu lebih tegar dari diriku yang rapuh, mungkin dia lelah atau mungkin sudah kebal dengan rasa sakit yang aku buat untuk mereka. Lidah terasa kelu ketika hendak mengucapkan kalimat untuk memutuskan tali pernikahan kami. Beberapa hari lalu ketika pada pagi hari usai pengembalian ponsel Nayla, oleh orang yang baik hati. Rere sadar dari