Pagi yang cerah, bunga-bunga indah merekah, seperti senyum Rere yang menghias di bibir manisnya. Sapuan angin yang mapir menggoyangkan rambut Rere ke belakang. Nayla sesekali menoleh ke arah sang sahabat dengan kening berkerut. Keduanya kini tengah duduk di sebuah kursi taman bercat putih, di bawah pohon beringin yang rindang.
'Ada yang aneh,' batin Nayla.
Sekali lagi Nayla memperhatikan wajah sumringah sang sahabat, ada rasa yang janggal. Mengingat beberapa waktu lalu Kenzo pernah menghubungi bahkan menghampirinya untuk bersua Nayla. Pemuda itu menceritakan tentang perpisahannya dengan Rere. Sedikit terkejut, Rere katanya lebih memilih mempertahankan pernikahan dengan Edzard, kakaknya daripada menanti Kenzo.
Jika dia berad
Tepukan di punggung Kenzo untuk yang kesekian kali yang dilakukan Edzard menghantarkan Kenzo ke alam nyata. Memori malam kelabu tersebut perlahan pudar, tersisa hati yang teriris sembilu. Edzard melihat sahabat nya dengan tatapan bingung berkecamuk. Dirinya ikut andil dalam kemalangan yang menimpa Kenzo. "Maaf Ken, maaf," ucap Edzard untuk kesekian kali. "Untuk apa kau meminta maaf, semua sudah terjadi. Itu keputusan Rere, aku juga tidak dapat berbuat banyak hal," keluh Kenzo. "Kau menangis?" tanya Edzard yang suara sesegukan. "Aku tidak menangis, mana ada," kilah Kenzo menghapus dengan cepat linangan bening di pelupuk mata dengan ujung lengan jas warna hitam yang dia kenakan. "Kau ini garang tapi hatimu selembut kapas, kau ini brengsek tetapi mudah iba," ejek Edzard. "Sok tahu," decak Kenzo. &
Akbar dan Nayla saling pandang, Nayla memasang wajah kebingungan. Pasalnya mobil yang dikemudikan Akbar berhenti mendadak di sebuah pinggiran persawahan tempat yang tidak Nayla kenali. Akbar memasang wajah yang tidak dapat diartikan. Entah apa yang dia pikirkan, Nayla kurang paham. "Bang, kenapa berhenti di tempat seperti ini?" tanya Nayla sekali lagi. Akbar melepas sabuk pengaman, dia menoleh ke arah Nayla, menatap tajam. Nayla sampai bergidik melihatnya. Merasa ada yang aneh dengan tingkah laku sang tunangan. Nayla mendelik, dia melepas sabuk pengaman cepat kilat untuk kemudian mencengkeram dompet selempang yang dikenakan. Nayla hendak menimpuk Akbar dengan dompet tersebut jika Akbar berani macam-macam. &
Edzard terlihat gusar d ruang kerjanya, sesekali dia menyibak tirai melihat ke ruangan Evelyn yang terhalang jendela. Dia menyaksikan kedua istrinya sedang duduk rukun bersenda gurau di ruang nan sempit tersebut. Dua orang wanita dalam hidupnya, Edzard segera menutup kembali tirai ketika mereka beranjak bangkit. Edzard menghela napas panjang nan berat, lalu kembali duduk di ruangannya. Tidak lama pintu kembali terbuka, menyembullah kedua wanita cantik tersebut. "Bang, Rere sepertinya mengantuk," ujar Evelyn. Dia memandang sang suami untuk kemudian beralih kepada Rere. "Saya tinggal ya, Re," ujar Evelyn keluar ruangan. Senyumnya menghilang ketika pintu tertutup, Evelyn berjalan pelan menuju tempatnya duduk. Sakit sudah pasti, mana ada wanita yang rela melihat sang suami berduaan dengan wanita yang tidak lain adalah istri pertama sang suami. Evelyn menepuk dada, dia meyakinkan diri baik-baik saja. Evelyn meng
Edzard mengulas senyum, dia menatap wajah sang istri yang memerah. Baginya sangat sulit sekali mengendalikan perasaan untuk tetap fokus pada siapa yang dia temui. Edzard hanya manusia biasa, tidak pernah ada niatan untuk dirinya berpoligami. Apalagi harus menyakiti hati dua orang wanita. Jalan hidup yang tidak pernah dia duga sebelumnya."Wajahmu memerah, apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Edzard menarik kursi dan duduk berhadapan, terhalang meja."Tidak ada, Bang," ucap Evelyn menggeleng."Maaf," ucap Edzard. Evelyn mendongak menatap wajah sang suami. Keduanya terdiam, hanya terdengar bising percakapan keramaian ruang kantor pada umumnya.
Nayla masih duduk di sudut kolam taman kediaman Julian. Dia mampir menghantarkan semur jengkol buatan sang ibu untuk diberikan kepada nyonya Julian. Wanita berpenampilan elegan itu duduk di samping Nayla, sibuk menyendok semur jengkol dalam wadah box yang Nayla bawa, meletakkan satu demi satu semur tersebut ke dalam piring nasi. "Masakan Mama kamu selalu sedap Nay," puji Nyonya Julian. Nayla tersenyum memperhatikan, siapa yang menyangka wanita elegan, yang selalu terlihat berwibawa juga selalu menjaga sikap di luaran sana itu akan nampak simpel sederhana dengan makanan kampung. "Kalau papanya Kenzo pulang, bisa habis ini dimakan beliau," imbuh wanita cantik itu terkekeh. "Tante tenang saja, Ayah sudah membawakan bekal makan semur juga kepada Om Julian ke kantor, kok," jawab Nayla mengulas senyum. Nyonya Julian menatap wajah dara ma
"Pasti Abang sakit hati sekali ya Bang, sama seperti Nayla, Bang. Saya juga sakit ketika tahu perasaan saya dahulu," ucap Nayla.Kenzo yang sedari tadi memperhatikan gadis itu di ambang pintu walk in closet berjalan mendekat. Ada sebilah rasa bahagia memancar. Harapan cinta yang mungkin datang terlambat. Andai saja, andai saja rasa itu terungkap lebih awal. Kenzo semakin berjalan mendekati gadis itu. Gadis yang masih menangis memeluk bingkai potret masa lalu. Lelaki itu meraih oundak Nayla. Gadis itu sontak terkejut, dia membalikkan badan. Buru-buru satu tangannya menghapus air mata meleleh. Kenzo dapat melihat pipi sembab itu dia tersenyum kecut. Kedua tangan berototnya meraup wajah Nayla lalu menghapus sisa air mata yang masih meleleh. Kenzo menundukkan kepala, mereka saling pandang dalam diam wajah Kenzo semakin mendekat, hingga tidak ada jarak lagi
Sore hari, Edzard baru saja pulang ke rumah dengan kedua istrinya. Nampak rukun dan bahagia, yah, terlihat demikian. Namun, siapa yang tahu hati seseorang. Sakit itu terlalu nyata untuk dirasakan bagi kedua wanita yang berada di sisi Edzard. Lelaki itu paham benar, tidak selamanya dia bisa adil, sudah pasti dia menyakiti hati istri pertamanya juga hati istri kedua, evelyn wanita yang dia cinta. Edzard berencana untuk mandi, dia masuk ke dalam kamar mandi kamarnya yang juga kamar Evelyn. Saat keluar Evelyn menyambutnya dengan senyum, dia menyerahkan pakaian yang dia tenteng di tangan. Wanita itu terpesona akan ketampanan lelaki yang sah menjadi suaminya tersebut. Rambut basah Edzard, air yang di ujung rambut tersebut menetes membasahi wajah gagahnya. Evelyn tersenyum ketika Edzard meraih pakaian di tangannya. Harum shampoo juga sabun bercampur menguar mengusik indra penciuman. "Kau melamun, Sayang?" tanya Edza
Tetesan embun di pucuk dedaunan, jatuh ke tanah bersama semaraknya angin membuat gemerisik dedaunan di atas pohon. Burung mulai berkicauan, Rere terlihat duduk di depan meja riasnya, dia nampak manis dalam balutan dress warna navy berlengan motif terompet, setinggi di bawah lutut. Edzard sendiri tengah mengancingkan kemeja. Rere hang melihat segera berdiri menghampiri sang suami. "Terima kasih, Sayang," ucap Edzard, dia mengecup kening Rere usai wanita itu menyimpul dasi untuknya. Rere mengangguk, senyum sumringah mengembang di bibir. Edzard membimbing Rere dan mendudukkannya di depan meja rias. Dia membantu Rere mengeringkan rambut dengan pengering. Setelah kering, Edzard juga menyisir rambut istri pertamanya dengan pelan. Yah, begitu yang Edzard lakukan kepada kedua istrinya. Dia hanya mampu berusaha adil, meski dia paham benar tidak mungkin berbuat demikian. Edzard menarik pelan Rere yang tengah bangkit dari dud
Elizabeth, Larisa beserta sang suami juga Delon baru selesai sarapan. Mereka keluar restoran menatap ke arah lautan lepas sembari membicarakan hal-hal yang hendak dilakukan untuk menghabiskan siang ini. Masih ada waktu dua hari berlibur ke tempat tersebut. Senyum sumringah Larisa dan Aarav membuat iri bagi para jomlo yang lihat. Termasuk Elizabeth dan Delon, pemuda tidak sengaja yang masuk sarang macan dengan menyatakan cinta pada Caroline Zeroun. "Kalian mau ikut kami ke pulau itu?" tanya Aarav menunjukkan sebuah pulau tidak jauh dari tempat mereka. "Kami tidak mau jadi obat nyamuk," keluh Elizabeth. Aarav terkekeh, "Baiklah, kalau begitu aku akan membawa istriku sekarang, selamat bersenang-senang kalian." Tanpa kasihan Aarav mengatakan. Lelaki itu mengangkat tubuh sang istri menggendong ala bridal. Delon dan Elizabeth menggeleng, terlihat menggelikan perbuatan monster kutub utara yang sok manis. Walau sebenarnya dia sedang berusaha manis demi sang istri, nampakn
"Rafael Kenzo!" teriak Maya hilang kesabaran. "Kau, apa yang kau lakukan. Ini tidak seperti yang kita sepakati, brengsek!" pekik Maya. "Bergantilah pakaian, orang tuaku akan kemari beberapa saat lagi." Pemuda itu mengabaikan umpatan Maya. Wanita tersebut frustrasi sendiri dibuatnya. Yeah, pemuda yang bersama Maya adalah Rafael, rasa cinta pada Larisa mungkin tidak mampu dia paksa, perbedaan keyakinan menjadi jurang pemisah sebelum rasa tersebut diungkapkan, miris memang, namun apa daya. Dalam suatu kesempatan Rafael mendapati Maya berada di antara Larisa dan Aarav, jika mengikuti ego, ingin sekali membiarkan. Namun, pemuda tersebut tidak akan pernah sanggup untuk melihat Larisa menderita. Rafael dan Kenzo sama-sama pernah terluka dengan perasaan cinta berbeda keyakinan. Satu hal pasti, ketika Kenzo mendapati putranya, berhubungan dengan wanita. Sang ayah tidak langsung menghakimi, dia lebih memilih untuk melihat apa yang sebenarnya. Saran dari Kenzo hanya satu, d
Larisa dan yang lain menoleh ke arah suara, gadis cantik mengenakan dress putih tanpa lengan setinggi lutut. Rambut panjang blonde tergerai, di mana topi pantai menghias kepala. Senyum merekah mendebarkan jantung kaum adam yang melihat, tubuh mungil berkulit seputih susu membuat dunia Delon serasa terhenti. Bak disuguhkan bidadari cantik turun dari langit. "Hai, Cariline," sapa Larisa. Yah, gadis itu Caroline Zeroun, putri tunggal Axelle Zeroun dari kota B. "Boleh aku bergabung, Kak?" tanyanya. "Boleh sekali, silakan cantik," ujar Elizabeth sumringah. "Perkenalkan dia Caroline," kata Larisa. "Aku Elizabeth," ujarnya. Derit kursi berbunyi, Caroline duduk di kursi dekat Delon. Pemuda itu masih melongo, Elizabeth yang melihat menutup mulut sahabatnya. "Lap tuh iler yang hampir menetas!" kelakar Elizabeth. "Hai, bidadari cantik aku Delon," kata pemuda itu berganti mengulurkan tangan. Caroline menyambut dengan bahagia. "Sepertinya aku j
Setelah melewati beberapa pencarian atas bantuan anak buah sang papa. Elizabeth berhasil menemukan kamar hotel yang ditempati Larisa sahabatnya. Dia sedang berjalan dengan terus mengomel lantaran Larisa tidak dapat dihubungi. Ponsel mati, padahal keduanya berjanji akan sarapan bersama. Delon menatap punggung sahabatnya itu, dia paham benar Elizabeth khawatir. Sampai di kamar yang dituju gadis itu berhenti. "Akhirnya sampai juga, Larisa kamu kenapa belum turun sarapan?" omel Elizabeth membuka pintu kamar. Mata gadis itu membola, dia menutup mulut dengan kedua tangan, Delon mengernyitkan kening lalu ikut melongok ke dalam. Dia pun sama ikut terkejut. Melihat bagian dalam berantakan, Elizabeth juga Delon melangkah ke dalam. Dia mendapati ranjang bak kapal pecah, pakaian serta dalaman berserakan di lantai. Keduanya saling menatap meringis, merasa salah datang ke tempat itu. Samar terdegar erangan bersahutan dari sebuah ruang yang tertutup, keduanya menduga itu kamar mandi. E
Tangan Larisa bergerak nakal meraba pundak Aarav, wanita itu berjalan memutar untuk berdiri di hadapan sang suami. Mempertontonkan tubuh telanjangnya. Aarav menatap tajam bak serigala yang melihat mangsa. Wajah gadis itu memanas, tangannya mengepal menahan gemetar. Kedua tangan Larisa meraba bagian kemeja, mencoba meloloskan kancing yang masih melekat. Aarav memperhatikan dengan badan panas dingin, kemeja itu terlepas berkat tarikan sang istri, mempertontonkan bagian dada maskulin. “Aku siap, mari lakukan. Jangan menahan lagi,” bisik Larisa mencengkeram bagian junior Aarav. Aarav melambung tinggi, seperti naik rollercoaster, sungguh perasaan luar biasa tidak terkira. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Aarav mengangkat tubuh Larisa, merebahkan di ranjang. Memulai kembali belaian lidah dan juga bibir di area sensitif Larisa. Gadis itu berteriak, setumpuk rasa dengan jantung terpompa lebih cepat. Menantikan hal yang lebih menakjubkan dari pemanasan itu. “Aku, akan melakuka
Mata Larisa berbinar melihat pemandangan di bawah laut pada sore hari. Saat ini mereka tengah berada di sebuah kapal pesiar. Langkah kakinya nampak lincah dengan sepatu cats yang dikenakan. Dress warna putih setinggi lutut menari dengan indah seirama langkah. Aarav membiarkan gadis muda itu di hadapannya. Kemudian mantik pelan saat sang istri hampir menabrak seorang anak muda. "Kau tidak apa?" tanya pemuda tampan rupawan pada Larisa. Gadis tersebut tersenyum, "Aku baik," jawabnya. Pemuda tersebut mengerutkan kening lalu tersenyum. "Kau, Kak Larisa?" tanya pemuda itu. "Iya, bagaimana kau bisa mengenalku?" tanya Larisa. 'Astaga, siapa lalat pengganggu ini?' cebiknya. "Astaga, aku juniormu di kampus Kak, senang sekali bisa berjumpa dengan Kakak Cantik," kata pemuda itu lagi. Larisa mencoba berpikir keras, dia seperti mengingat sesuatu. "Hei, Ren, apa yang kau lakukan disini? Pasti mengganggu gadis-gadis?" Seorang gadis cantik dat
Maya merasa tidak ingin masuk ke dalam apartemen tersebut. Namun, tidak ada pilihan pemuda yang mengekang pasti mencari di manapun dia berada. Tidak ada tempat untuk dia kabur sama sekali. Kabur pun hendak ke mana, tiada tempat bagi dirinya. Wanita itu menghela napas berat lalu berjalan masuk, ruangan gelap, hanya seberkas cahaya sorot lampu yang masuk dari luar. Maya meraba dinding lalu menekan tombol saklar. Dia menundukkan kepala kemudian melangkah ke dalam. "Kau malam sekali pulang." Suara bariton lelaki terdengar. Maya tidak terkejut, sudah menduga pemuda itu akan datang. "Aku ikut bos ke luar kota," jawabanya sembari melepas sepatu. Maya mendongakkan kepala, baru dia melihat wajah lelaki tersebut. Dia mengulas senyum, berjalan gemulai ke arah sofa lalu duduk di pangkuan sang pemuda. "Kau cemburu?" tanya Maya. Pemuda itu menatap sarkas, "Jangan bercanda," sanggahnya. "Jangan khawatir, pak tua itu mampu menjaga diri dengan baik, kau t
Malam hari di kediaman Aarav. Larisa duduk di ruang tamu dengan perasaan gundah gulana, berulang kali bangkit dari sofa lalu kembali duduk, terkadang mondar-mandir mirip setrika. Apa yang dikatakan Elizabeth tadi siang begitu mengganggu, membuat berpikir keras. Bagaimana jika sang suami memang berselingkuh, sekretaris pribadinya bertubuh sintal, nan sexy, dada menggelembung, cantik nan elegan, ah wanita itu sesuai tipe ideal Aarav. Larisa melirik ke bawah, tubuhnya kerempeng, dada kecil. Sepersekian detik gadis itu membandingkan tubuh dia dan sekertaris, membuat kepala berdenyut nyeri. Dia menguatkan diri mengatakan tidak mencintai sang suami. Namun, berbanding terbalik dengan hati yang tidak karuan, cemas. “Mengapa aku jadi kepikiran, membandingkan hal tidka penting” keluh Larisa. Dia menyibakkan rambut panjang ke belakang. Kembali bangkit dari kursi untuk kesekian kali, kakinya melangkah ke arah jendela, menyibak tirai warna coklat bermotif bunga-bunga besar, mempe
Sore hari sekitar pukul empat, usai menempuh perjalanan kurang lebih satu jam Aarav sampai di kota B. mobil yang membawanya berhenti di parkiran sebuah hotel. Lelaki tersebut keluar dari mobil saat sang sopir membukakan pintu, dia duduk di bagian belakang, sedangkan Maya ada di depan bersama sopir. “Maaf Pak, pertemuan akan dilakukan pukul tujuh malam, boleh saya pergi sebentar. Saya janji akan kembali kesini sebelum pukul tujuh,” kata Maya mencegah Aarav melangkah. Tubuh maskulin itu berbalik, “Kau mau mengunjungi ibumu?” tanya Aarav mengingat permintaan Maya tadi. Maya tersenyum seraya menjawab, “Iya, Pak.” “Istirahat sebentar, aku juga mau mandi dahulu. Akan aku antar nanti,” kata Aarav yang langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Maya. Wanita tersebut mengurungkan niat, dia kembali mengatupkan bibir yang sempat terbuka hendak mengucap. Yah, apa yang dilakukan Aarav, jika sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menolak. Maya mengekor A