Sore hari, Edzard baru saja pulang ke rumah dengan kedua istrinya. Nampak rukun dan bahagia, yah, terlihat demikian. Namun, siapa yang tahu hati seseorang. Sakit itu terlalu nyata untuk dirasakan bagi kedua wanita yang berada di sisi Edzard. Lelaki itu paham benar, tidak selamanya dia bisa adil, sudah pasti dia menyakiti hati istri pertamanya juga hati istri kedua, evelyn wanita yang dia cinta.
Edzard berencana untuk mandi, dia masuk ke dalam kamar mandi kamarnya yang juga kamar Evelyn. Saat keluar Evelyn menyambutnya dengan senyum, dia menyerahkan pakaian yang dia tenteng di tangan. Wanita itu terpesona akan ketampanan lelaki yang sah menjadi suaminya tersebut. Rambut basah Edzard, air yang di ujung rambut tersebut menetes membasahi wajah gagahnya. Evelyn tersenyum ketika Edzard meraih pakaian di tangannya. Harum shampoo juga sabun bercampur menguar mengusik indra penciuman.
"Kau melamun, Sayang?" tanya Edza
Hay, yuks rajin komentar, ada give away buat pembaca paling rajin komen lho. Pulsa 10k sampai 30k untuk 10 pembaca paling rajin. Give away dari tanggal 1 Oktober sampai tanggal 30 Oktober nanti.
Tetesan embun di pucuk dedaunan, jatuh ke tanah bersama semaraknya angin membuat gemerisik dedaunan di atas pohon. Burung mulai berkicauan, Rere terlihat duduk di depan meja riasnya, dia nampak manis dalam balutan dress warna navy berlengan motif terompet, setinggi di bawah lutut. Edzard sendiri tengah mengancingkan kemeja. Rere hang melihat segera berdiri menghampiri sang suami. "Terima kasih, Sayang," ucap Edzard, dia mengecup kening Rere usai wanita itu menyimpul dasi untuknya. Rere mengangguk, senyum sumringah mengembang di bibir. Edzard membimbing Rere dan mendudukkannya di depan meja rias. Dia membantu Rere mengeringkan rambut dengan pengering. Setelah kering, Edzard juga menyisir rambut istri pertamanya dengan pelan. Yah, begitu yang Edzard lakukan kepada kedua istrinya. Dia hanya mampu berusaha adil, meski dia paham benar tidak mungkin berbuat demikian. Edzard menarik pelan Rere yang tengah bangkit dari dud
Langit mulai cerah kembali, sinar mentari mulai memancar. Seorang gadis cantik berjalan dengan sedikit berlari ke arah gerbang. Mobil yang mengantarnya telah berlalu pergi beberapa menit lalu. Rere melenggang, berjalan santai. Dia mendelik melihat siapa yang menarik tangannya. Lelaki yang tidak asing bagi dirinya, terkejut sudah pasti. "Kau?" Rere menatap pria itu dengan kening mengernyit. "Maaf Re," ucapnya melepas cekalan. "Bang Akbar," kata Rere kemudian. "Iya, boleh kita bicara sebentar?" tanya Akbar penuh harap. Rere mengangguk, "Silahkan ikut saya ke kantin saja, di sana banyak orang. Semisal Nayla melihat nanti dia tidak akan berpikir aneh-aneh," terang Rere. Akbar mengangguk, dia mengikuti langkah Rere menuju jendela sebuah kantin. Keduanya duduk di samping jendela. Mereka saling pandang diam se
Langit begitu gelap, rintik hujan yang turun sejak tadi cukup membasahi kota A. Edzard baru saja pulang dari luar kota. Dia sendirian, yah sendiri, untuk pertemuan di luar kota ini Edzard berangkat dengan Kenzo sore tadi. Jalan masih ramai, lalu lalang kendaraan umum masih terlihat di bawah guyuran gerimis. Matanya menyipit ke arah sebuah halte, dimana ada seorang wanita menggendong seorang anak di pangkuannya. Edzard tahu benar siapa wanita tersebut. Dia menepikan mobil di sebarang jalan. "Helene, malam-malam begini apa yang dia lakukan," bisik Edzard di dalam hati masih memperhatikan dengan seksama. Ingin berhenti, dia kebingungan, takut ada salah paham, lelaki tersebut kemudian berpikir sebentar. Mengingat halte itu dekat dengan kediaman Angel. Edzard dengan mantap menghubungi wanita itu. Keraguan yang dia rasa ditepis mengingat seperti melihat wanita yang menggendong seorang anak itu tampak menangis. D
Rere terbangun dari tidurnya, merasa tenggorokan kering, dia terbatuk. Wanita itu kemudian keluar kamar membawa gelas bening yang telah kosong. Dia hendak mengambil air minum. Langkahnya terhenti, begitu mengejutkan pemandangan yang meluapkan rasa sesak bercampur panas di dada, melihat suami dengan madunya sedang bercumbu mesra di dapur. Tanpa sengaja Rere melepas genggaman, membuat gelas yang dibawa jatuh ke lantai. Prang! pecahan gelas kaca itu menyebar di lantai. Tubuh Rere tiba-tiba lemas pikiran kacau, luruh air mata secara mendadak. Wanita muda itu segera berlari meninggalkan tempat tersebut. Edzard dan Evelyn yang tengah bercumbu kasih terkejut mendengar benda terjatuh. Mereka menoleh ke arah suara. Hanya terlihat punggung Rere berlalu pergi. Evelyn menatap Edzard dengan ekspresi terkejut. "Pergilah Bang, susul Rere, jangan sampai dia merasa sakit hati karena perbuatan kita," ucap Evelyn merasa bersalah.
Udara dingin malam masuk lewat ventilasi. Rere setulus hati meminta maaf kepada sang suami atas tindakan kekanak-kanakan yang tidak memikirkan posisi sang madu. Dua wanita yang sebenarnya sama-sama merasa sakit hati. "Tidak bukan kau yang bersalah tapi aku," kata Edzard. "Abang yang kurang bisa menjaga diri dan bertindak adil," sela Edzard menghentikan ucapan Rere. "Tidak Rere yang bertindak kekanak-kanakan, tidak berpikir secara dewasa." Gadis tersebut mendongak. Netra sepasang suami istri itu saling bertemu. "Kau baik-baik saja?" tanya Edzard. Rere tersenyum, "Ya, saya sekarang baik-baik saja. Pergilah temui Mbak Eve, Bang. harusnya malam ini adalah malam kalian berdua bukan," ucap Rere dengan linangan air menggenang di pelupuk mata. Edzard membimbing sang istri berbaring di tempat tidur. "Tidurlah!" perintah Edzard. &nb
Saat jam makan siang, Edzard mengajak Eve dan Rere makan siang di sebuah resto, salah satu cabang milik perusahaan Edzard. Ketiganya makan dengan tenang. Edzard bangkit dari duduk membuat kursi yang diduduki berderit. Kedua istrinya memandang ke arah Edzard. Lelaki itu tersenyum, menoleh ke arah Rere juga Evelyn secara bersamaan. "Abang ke dalam dulu melihat pembukuan resto," ujar Edzard. "Iya, Bang," jawab Rere,sedangkan Evelyn hanya mengangguk dan tersenyum. Edzard melenggang pergi berjalan masuk ke dalam meninggalkan kedua istrinya. Hiruk-pikuk orang berlalu lalang membuat suasana semakin ramai. Rere menatap Evelyn dengan canggung, dia hendak mengutarakan isi hati namun kebingungan. Evelyn tidak se
Suasana terlihat sedikit memanas antara para wanita yang bercengkrama. Edzard meminit pelipis dengan kedua ujung jari. Rasanya sangat penat, lelah, mendengar ocehan ke empat wanita di sampingnya. Seperti tidak ada lelahnya jika mereka membahas sesuatu yang Edzard anggap tidak terlalu penting. Lelaki itu melirik ke arah jam di tangan, hampir menunjukkan pukul satu siang. Saat Edzard hampir berpamitan. Terdengar suara khas anak kecil. "Mama." Sekali lagi panggilan tersebut terdengar. Semua orang langsung menoleh ke arah sumber suara. Helen bangkir dari duduk dan berjalan mendekat. "Iya Sayang, Mama ada disini," ucap Helene. Edzard menatap ke arah kedua istrinya, dia mengangkat tangan kanan lalu mengarahkan jari telunjuk ke arah jam tangan yang dia pakai. Rere beserta Evelyn yang duduk berdampingan saling pandang, lalu mengangguk. Mereka bangkit secara bersamaan. "Ka
Edzard memeluk hangat tubuh dalam dekapannya, lelaki tersebut mengusap punggung Evelyn, mencoba menenangkan hati wanita tersebut yang penuh kecemasan. Edzard paham benar apa yang dirasakan sang istri, dia mencoba menyelami kegundahan Evelyn. Posisinya memang bukan hal yang menguntungkan kini. Mengingat dia tidak lagi bisa meninggalkan dua wanita dalam hidupnya, posisi Edzard yang serba salah. Yah, Edzard kini berada di posisi serba salah, melepas Rere bukan hal mudah. Mengingat gadis baik hati tersebut sudah memantapkan hati untuk bersamanya. Edzard yang lebih dahulu tergoda akan kemolekan Rere. Malam yang merubah segalanya, malam dimana Edzard secara sadar mengambil kesucian Rere. ‘Aku yang terlalu tergoda pada kenikmatan itu, sekarang aku yang bersalah, menyakiti dua wanita sekaligus,’ bisik Edzard. “Semua salahku Eve,” ucap Edzard. Bibirnya terasa kelu, hanya kata maaf yang berulang kali dia lontarkan. “Berhentilah me
Elizabeth, Larisa beserta sang suami juga Delon baru selesai sarapan. Mereka keluar restoran menatap ke arah lautan lepas sembari membicarakan hal-hal yang hendak dilakukan untuk menghabiskan siang ini. Masih ada waktu dua hari berlibur ke tempat tersebut. Senyum sumringah Larisa dan Aarav membuat iri bagi para jomlo yang lihat. Termasuk Elizabeth dan Delon, pemuda tidak sengaja yang masuk sarang macan dengan menyatakan cinta pada Caroline Zeroun. "Kalian mau ikut kami ke pulau itu?" tanya Aarav menunjukkan sebuah pulau tidak jauh dari tempat mereka. "Kami tidak mau jadi obat nyamuk," keluh Elizabeth. Aarav terkekeh, "Baiklah, kalau begitu aku akan membawa istriku sekarang, selamat bersenang-senang kalian." Tanpa kasihan Aarav mengatakan. Lelaki itu mengangkat tubuh sang istri menggendong ala bridal. Delon dan Elizabeth menggeleng, terlihat menggelikan perbuatan monster kutub utara yang sok manis. Walau sebenarnya dia sedang berusaha manis demi sang istri, nampakn
"Rafael Kenzo!" teriak Maya hilang kesabaran. "Kau, apa yang kau lakukan. Ini tidak seperti yang kita sepakati, brengsek!" pekik Maya. "Bergantilah pakaian, orang tuaku akan kemari beberapa saat lagi." Pemuda itu mengabaikan umpatan Maya. Wanita tersebut frustrasi sendiri dibuatnya. Yeah, pemuda yang bersama Maya adalah Rafael, rasa cinta pada Larisa mungkin tidak mampu dia paksa, perbedaan keyakinan menjadi jurang pemisah sebelum rasa tersebut diungkapkan, miris memang, namun apa daya. Dalam suatu kesempatan Rafael mendapati Maya berada di antara Larisa dan Aarav, jika mengikuti ego, ingin sekali membiarkan. Namun, pemuda tersebut tidak akan pernah sanggup untuk melihat Larisa menderita. Rafael dan Kenzo sama-sama pernah terluka dengan perasaan cinta berbeda keyakinan. Satu hal pasti, ketika Kenzo mendapati putranya, berhubungan dengan wanita. Sang ayah tidak langsung menghakimi, dia lebih memilih untuk melihat apa yang sebenarnya. Saran dari Kenzo hanya satu, d
Larisa dan yang lain menoleh ke arah suara, gadis cantik mengenakan dress putih tanpa lengan setinggi lutut. Rambut panjang blonde tergerai, di mana topi pantai menghias kepala. Senyum merekah mendebarkan jantung kaum adam yang melihat, tubuh mungil berkulit seputih susu membuat dunia Delon serasa terhenti. Bak disuguhkan bidadari cantik turun dari langit. "Hai, Cariline," sapa Larisa. Yah, gadis itu Caroline Zeroun, putri tunggal Axelle Zeroun dari kota B. "Boleh aku bergabung, Kak?" tanyanya. "Boleh sekali, silakan cantik," ujar Elizabeth sumringah. "Perkenalkan dia Caroline," kata Larisa. "Aku Elizabeth," ujarnya. Derit kursi berbunyi, Caroline duduk di kursi dekat Delon. Pemuda itu masih melongo, Elizabeth yang melihat menutup mulut sahabatnya. "Lap tuh iler yang hampir menetas!" kelakar Elizabeth. "Hai, bidadari cantik aku Delon," kata pemuda itu berganti mengulurkan tangan. Caroline menyambut dengan bahagia. "Sepertinya aku j
Setelah melewati beberapa pencarian atas bantuan anak buah sang papa. Elizabeth berhasil menemukan kamar hotel yang ditempati Larisa sahabatnya. Dia sedang berjalan dengan terus mengomel lantaran Larisa tidak dapat dihubungi. Ponsel mati, padahal keduanya berjanji akan sarapan bersama. Delon menatap punggung sahabatnya itu, dia paham benar Elizabeth khawatir. Sampai di kamar yang dituju gadis itu berhenti. "Akhirnya sampai juga, Larisa kamu kenapa belum turun sarapan?" omel Elizabeth membuka pintu kamar. Mata gadis itu membola, dia menutup mulut dengan kedua tangan, Delon mengernyitkan kening lalu ikut melongok ke dalam. Dia pun sama ikut terkejut. Melihat bagian dalam berantakan, Elizabeth juga Delon melangkah ke dalam. Dia mendapati ranjang bak kapal pecah, pakaian serta dalaman berserakan di lantai. Keduanya saling menatap meringis, merasa salah datang ke tempat itu. Samar terdegar erangan bersahutan dari sebuah ruang yang tertutup, keduanya menduga itu kamar mandi. E
Tangan Larisa bergerak nakal meraba pundak Aarav, wanita itu berjalan memutar untuk berdiri di hadapan sang suami. Mempertontonkan tubuh telanjangnya. Aarav menatap tajam bak serigala yang melihat mangsa. Wajah gadis itu memanas, tangannya mengepal menahan gemetar. Kedua tangan Larisa meraba bagian kemeja, mencoba meloloskan kancing yang masih melekat. Aarav memperhatikan dengan badan panas dingin, kemeja itu terlepas berkat tarikan sang istri, mempertontonkan bagian dada maskulin. “Aku siap, mari lakukan. Jangan menahan lagi,” bisik Larisa mencengkeram bagian junior Aarav. Aarav melambung tinggi, seperti naik rollercoaster, sungguh perasaan luar biasa tidak terkira. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Aarav mengangkat tubuh Larisa, merebahkan di ranjang. Memulai kembali belaian lidah dan juga bibir di area sensitif Larisa. Gadis itu berteriak, setumpuk rasa dengan jantung terpompa lebih cepat. Menantikan hal yang lebih menakjubkan dari pemanasan itu. “Aku, akan melakuka
Mata Larisa berbinar melihat pemandangan di bawah laut pada sore hari. Saat ini mereka tengah berada di sebuah kapal pesiar. Langkah kakinya nampak lincah dengan sepatu cats yang dikenakan. Dress warna putih setinggi lutut menari dengan indah seirama langkah. Aarav membiarkan gadis muda itu di hadapannya. Kemudian mantik pelan saat sang istri hampir menabrak seorang anak muda. "Kau tidak apa?" tanya pemuda tampan rupawan pada Larisa. Gadis tersebut tersenyum, "Aku baik," jawabnya. Pemuda tersebut mengerutkan kening lalu tersenyum. "Kau, Kak Larisa?" tanya pemuda itu. "Iya, bagaimana kau bisa mengenalku?" tanya Larisa. 'Astaga, siapa lalat pengganggu ini?' cebiknya. "Astaga, aku juniormu di kampus Kak, senang sekali bisa berjumpa dengan Kakak Cantik," kata pemuda itu lagi. Larisa mencoba berpikir keras, dia seperti mengingat sesuatu. "Hei, Ren, apa yang kau lakukan disini? Pasti mengganggu gadis-gadis?" Seorang gadis cantik dat
Maya merasa tidak ingin masuk ke dalam apartemen tersebut. Namun, tidak ada pilihan pemuda yang mengekang pasti mencari di manapun dia berada. Tidak ada tempat untuk dia kabur sama sekali. Kabur pun hendak ke mana, tiada tempat bagi dirinya. Wanita itu menghela napas berat lalu berjalan masuk, ruangan gelap, hanya seberkas cahaya sorot lampu yang masuk dari luar. Maya meraba dinding lalu menekan tombol saklar. Dia menundukkan kepala kemudian melangkah ke dalam. "Kau malam sekali pulang." Suara bariton lelaki terdengar. Maya tidak terkejut, sudah menduga pemuda itu akan datang. "Aku ikut bos ke luar kota," jawabanya sembari melepas sepatu. Maya mendongakkan kepala, baru dia melihat wajah lelaki tersebut. Dia mengulas senyum, berjalan gemulai ke arah sofa lalu duduk di pangkuan sang pemuda. "Kau cemburu?" tanya Maya. Pemuda itu menatap sarkas, "Jangan bercanda," sanggahnya. "Jangan khawatir, pak tua itu mampu menjaga diri dengan baik, kau t
Malam hari di kediaman Aarav. Larisa duduk di ruang tamu dengan perasaan gundah gulana, berulang kali bangkit dari sofa lalu kembali duduk, terkadang mondar-mandir mirip setrika. Apa yang dikatakan Elizabeth tadi siang begitu mengganggu, membuat berpikir keras. Bagaimana jika sang suami memang berselingkuh, sekretaris pribadinya bertubuh sintal, nan sexy, dada menggelembung, cantik nan elegan, ah wanita itu sesuai tipe ideal Aarav. Larisa melirik ke bawah, tubuhnya kerempeng, dada kecil. Sepersekian detik gadis itu membandingkan tubuh dia dan sekertaris, membuat kepala berdenyut nyeri. Dia menguatkan diri mengatakan tidak mencintai sang suami. Namun, berbanding terbalik dengan hati yang tidak karuan, cemas. “Mengapa aku jadi kepikiran, membandingkan hal tidka penting” keluh Larisa. Dia menyibakkan rambut panjang ke belakang. Kembali bangkit dari kursi untuk kesekian kali, kakinya melangkah ke arah jendela, menyibak tirai warna coklat bermotif bunga-bunga besar, mempe
Sore hari sekitar pukul empat, usai menempuh perjalanan kurang lebih satu jam Aarav sampai di kota B. mobil yang membawanya berhenti di parkiran sebuah hotel. Lelaki tersebut keluar dari mobil saat sang sopir membukakan pintu, dia duduk di bagian belakang, sedangkan Maya ada di depan bersama sopir. “Maaf Pak, pertemuan akan dilakukan pukul tujuh malam, boleh saya pergi sebentar. Saya janji akan kembali kesini sebelum pukul tujuh,” kata Maya mencegah Aarav melangkah. Tubuh maskulin itu berbalik, “Kau mau mengunjungi ibumu?” tanya Aarav mengingat permintaan Maya tadi. Maya tersenyum seraya menjawab, “Iya, Pak.” “Istirahat sebentar, aku juga mau mandi dahulu. Akan aku antar nanti,” kata Aarav yang langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Maya. Wanita tersebut mengurungkan niat, dia kembali mengatupkan bibir yang sempat terbuka hendak mengucap. Yah, apa yang dilakukan Aarav, jika sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menolak. Maya mengekor A