Kenzo masuk ke dalam ruangannya, dia melangkah cepat menuju ke singgasana, duduk di tempat tersebut sembari membolak-balik dokumen yang menumpuk di meja. Tsek! Dia berdecak kesal, tatapannya tajam menelusuri ruangan. Kaki yang Kenzo tidak bisa tenang terus menginjak-injak lantai mirip anak kecil yang gugup.
“Ah, sial!” cebik Kenzo yang lalu bangkit, dia berjalan mondar-mandir di dekat jendela kaca.
Langit terpampang luas di luar sana. Ruangan Kenzo berada di paling atas lantai dua puluh, dia sejenak menikmati pemandangan mengesankan tersebut. Bayangan Rere tiba-tiba menghias di sana, senyum yang tadi dia temui. Sejenak Kenzo terbelenggu dengan pesona itu. Dadanya sesak seketika, keserakahan yang dulu membelenggu dirinya begitu menyisakan sesal. Namun, bukan itu titik poin yang ada, satu hal yang tidak mampu Edzard lampaui, beda keyakinan yang tidak mampu membuatnya menyatu, ikhlas harus dia lepas.
“Astaga, apa yang aku pikirkan, Tuhan!” d
Edzard menghela napas panjang, dia murung, yah semua salahnya. Lelaki tersebut menatap langit malam nan hitam di balkon kamar. Dia duduk sejenak lalu kembali berdiri menopangkan siku di kedua tangan ke tralis besi. Apa yang terjadi sekarang, seberat apa pun usaha dia menyangkal. Namun, masa lalu tetap mengukung dirinya. Lelaki yang memiliki dua istri, mirisnya lagi semua yang ada menjurus kepada kesalahannya. Seperti seorang lelaki yang mengkhianati istri pertama lalu menikah dengan wanita yang menjadi selingkuhannya. Itu pemikiran yang selalu mengganggu Edzard. Karena dia tidak tahu pasti apa yang sebenarnya orang pikirkan.“Abang,” sapa Rere.Edzard menoleh ke arah pintu jendela, lelaki tersebut membalas senyum wanita yang berjalan mendekat ke arahnya. Edzard lalu memeluk tubuh sang istri mengelus wanita yang tengah mengandung darah dagingnya. Sungguh Edzard tidak ada niatan untuk menduakan sang istri, tidak ada lagi luka yang ingin dia torehkan pada wani
Memandang bintang di atas langit membuat Kenzo seperti terhibur, lelaki tersebut duduk di sebuah kursi panjang bercat putih di dekat kolam renang. Dia baru saja istirahat usai bermain dengan sang putra, Kenzo menengok ke arah jam di tangan yang masih menunjukkan pukul sembilan malam. Sebentar lagi dia akan kembali pulang, Helene berjalan mendekat ke arah lelaki tersebut lalu duduk di sampingnya. “Mau aku buatkan minum?” tanya wanita tersebut manja. “Ah, tidak perlu aku akan pulang sebentar lagi,” jawab Kenzo menoleh ke arah wanita yang duduk di sampingnya. “Kau masih memikirkan Nayla?” tanya Helen tiba-tiba membuat Kenzo mengernyitkan kening. Lelaki tersebut tersenyum kecut, Helene mengelus pundak lelaki yang menjadi ayah biologis putranya itu. “Kadang aku merasa apa ini karma dari perbuatan buruk di masa lalu, mengapa harus demikian kisah cinta yang harus dijalani. Mengapa hati harus ter
Rere bangkit dari ranjang, dia tidak bisa tidur lantaran memikirkan banyak hal. Bagaimana bisa dia bertahan jika hati dan jiwanya saja rapuh. Dia bangkit berdiri lalu berjalan keluar kamar. Niat untuk keluar berjalan-jalan dia urungkan lantaran dari arah jendela kaca dia dapat melihat rintik gerimis yang tersorot dari cahaya lampu penerang. Rere menghela napas berat lalu memutuskan ke dapur. Bruk! Rere tidak sengaja menendang tempat sampah hingga terjatuh, wanita tersebut membungkuk lalu meletakkan tempat sampah di ujung ruang dapur agar tidak kembali menyandung seseorang yang lewat. Dia membuat segelas susu hangat dan mengambil sisa cake yang dia taruh di dalam lemari pendingin. Rere melangkah pelan lalu akhirnya duduk di ruang tengah, menonton televisi. Nyonya Devan yang kebetulan terbangun lantaran mendengar sedikit berisik di area dapur lalu menuruni tangga, dia mengernyitkan kening ketika melewati ruang tengah. Lampu dan juga televisi menyala, wanita paruh
Kenzo menaiki anak tangga di rumah miliknya yang telah dia alihkan atas nama Rafael. Dia mengedarkan pandang, tidak ada yang berubah dari tempat tersebut hanya beberapa foto dia, Helene dan Rafael terpampang di beberapa tempat. Kenzo sengaja memasang banyak foto bertiga termasuk di ruang tamu di mana keluarga dirinya dan Helene foto bersama. Jika itu satu keluarga yang utuh akan terlihat harmonis tetapi tidak dengan yang terjadi sesungguhnya. Hubungan dirinya dan Helene sebatas untuk kepentingan Rafael, selebihnya berteman baik layaknya tanpa hubungan. Kenzo menghentikan langkah ketika bertemu pandang dengan Helene yang hendak turun tangga. “Ah, aku sudah mengganti seprei di kamarmu, dan aku baru ingin menemuimu,” ujar Helene. “Terima kasih,” ujar Kenzo. “Mau aku buatkan kopi?” tawar Helene yang mencoba memecah kecanggungan dengan banyak bicara. “Teh saja, jangan ….”
Ragu, tetapi dia mencoba untuk percaya kepada Kenzo, apa salahnya untuk sekedar percaya. Walau hati ragu namun, tidak ada salahnya jika mencoba. Begitu pikir Helene pada akhirnya. Dia menutup sejenak memantapkan hati lalu menghela napas dan tersenyum. Tangan kanan Helene terangkat, dia meraih uluran tangan Kenzo. Lelaki tersebut tersenyum bahagia lalu memeluk nya erat. Nyaman itu yang dirasakan keduanya, dengan pelukan sebentar itu, semilir angin dingin menyapa keduanya. Remang lampu kamar redup membuat suasana seketika berubah romantis, dan hangat setiap sentuhan Kenzo meluluhkan Helene. Lagi, wanita itu terpikat akan tatapan mata menenangkan milik lelaki yang berdiri di hadapan. Terpikat, sudah pasti sentuhan itu benar-benar memabukkan, milik Kenzo bereaksi keras ketika dadanya saling bersentuhan dengan dada Helene yang membusung. Lelaki tersebut meraup wajah Helene dan kemudian mendaratkan ciuman di bibir wanita itu. Helene sendiri bergeming
Edzard baru saja menerima panggilan telepon dari Kenzo, lelaki tersebut menelengkan kepala sebentar. Malam-malam sahabatnya itu menghubungi hanya untuk mengatakan ibu dari putranya keluar dari tempat kerja. Edzard tersenyum sendiri melihat tingkah pemaksa yang dilakukan Ken, dia sendiri juga tidak ada niatan untuk menahan seseorang apalagi mengurus pekerjaan seorang OB tetapi bukan berarti Edzard akan abai terhadapnya. Helene adalah orang yang dia kenal, terlebih lagi dia wanita yang pernah mengisi hati, cinta pertama Edzard. Mengingat masa lalu silam nan kelam membuat dirinya tersenyum kecut. Berhubungan dengan beberapa wanita di masa lalu selalu berkaitan erat dengan Kenzo. ‘Kau ibarat bayangan Ken, kehadiramu itu aku seperti mengekor dan tidak bisa kita saling berjauhan,’ keluh Edzard terkekeh. Semua hal terjadi Edzard sudah memaafkan, dia juga sudah hidup bahagia dengan cintanya, meski jua berakhi
Edzard terlihat tengah sibuk mengupas buah mangga, memotong kecil-kecil lalu menaruh ke dalam sebuah box kecil. Di dalam box tersebut telah tersusun rapi beberapa buah yang lain. Ada buah pir, melon dan apel. Dengan telaten lelaki tersebut menyusun buah mangga yang sebelumnya telah dia potong kecil-kecil. Beberapa maid yang tengah sibuk memasak sarapan menoleh, melihat sang majikan sibuk tanpa mau dibantu. Mereka saling pandang, salah seorang wanita bertubuh gempal mengedikkan bahu. Sebagai isyarat tidak tahu, wanita tersebut merangkul rekannya untuk melanjutkan memasak. Edzard sendiri terlihat sibuk menutup box tersebut dan meletakkannya di lemari pendingin. senyumnya mengembang menambah gagah wajah tenang tersebut. Beberapa maid dan pekerja rumah tangga yang ada pun sangat terpesona dibuatnya. entah apa yang mereka pikirkan, tatapan mereka begitu berbinar seperti hendak lepas bagi salah seorang yang melihat. Ehem! Deham seorang wanita bertubuh gempal membuat mereka me
Kenzo masih meringkuk di balik selimut tebalnya, dingin, seluruh badan tertutup rapat, menyisakan bagian kepala. Sangat nyaman, setelah sekian lama tidak tidur nyenyak, dia merasakan nyenyak dalam tidurnya. Sentuhan dingin di pipi mengusik lelaki tersebut, dia menggeliat lalu kembali menyusup di bantal empuknya. Sentuhan dingin itu terasa lagi, kali ini Kenzo merasa terusik. “Helene, biarkan aku tidur sebentar lagi, aku masih ingin istirahat setelah pertempu ….” Kalimat Kenzo terhenti. “Hei, anak malas, ayo bangun!” Suara keras sang mama terdengar mengusik. Lelaki tersebutr langsung membelalakan mata, dia mendongakkan kepala menatap ke arah samping. Mulutnya terbuka lebar, dia meringis ketika tatapan mata tajam sang mama tepat bertemu pandang dengan netranya. Wanita tersebut sudah terlihat rapi dalam balutan setelan jas warna hitam, gurat kecantikannya masih terlihat meski di usia yang bukan lagi muda. L