Mencintai terlalu dalam akan terasa sakit ketika sebuah perpisahan harus terjadi. Entah itu sesuatu yang harusnya demikian atau pun terpaksa dilakukan agar menutup luka dari sekian banyak hati. Sakit, bukan berarti tidak mungkin terlalui, semua menjadi sesuatu yang telah lalu. Tidak mampu merombak luka yang telah tergores. Menyatukan hati pada ikatan suci pernikahan, sangat sulit mempertahankan dibanding saat berjuang mendapatkan. Langit terlihat biru cerah, di mana awan putih berarak-arak kemudian lalu begitu saja ke arah lain. Rere memandang ke arah bawah dari balkon lantai dua. Semilir angin menyapa mesra. Pikiran itu masih terbayang jelas wajah Evelyn.
“Hai, Cantik,” sapa Angel yang tiba-tiba ada di dekatnya.
“Oh, hay, Mbak Angel,” kata Rere.
“Apa yang membuat dirimu melamun, wajahmu juga murung?” tanya Angel merangkul. Wanita hamil tidak boleh banyak pikiran,” lanjut Angel menasehati.
“Iya, Mbak, saya p
Karena keserakahan Kenzo tidak mampu menggenggam, keduanya terlepas. Penyesalan itu selalu ada, bukan karena Kenzo mengabaikan namun, memang perpisahan itu terjadi karena perbedaan nyata yang tidak mampu Kenzo tolak. Cinta berbeda agama yang menyakitkan. Rasa yang hadir tidak mampu dia tolak, ketika hati telah terpaut, buih-buih itu menyembul ke permukaan. Menghadirkan anugerah rasa yang sangat mengganggu hidupnya. Sungguh sayang, dia tidak mampu melawan perbedaan nyata tersebut.“Baiklah, coba katakan apa yang harus aku lakukan?” tanya Kenzo mendudukkan pantatnya di kursi kayu.“Rere semalam saat sedang berada di taman seperti melihat Evelyn, kau bisa membantu mencari keberadaannya di kota ini?” tanya Angel.“Evelyn, mantan madumu?” tanya Kenzo. Rere mengangguk, dia menghela napas panjang nan berat. Menatap wajah wanita yang dulu pernah mengisi hatinya. Mengingat kembali beberapa waktu lalu ketika dia melihat Edzard di
Kenzo masuk ke dalam ruangannya, dia melangkah cepat menuju ke singgasana, duduk di tempat tersebut sembari membolak-balik dokumen yang menumpuk di meja. Tsek! Dia berdecak kesal, tatapannya tajam menelusuri ruangan. Kaki yang Kenzo tidak bisa tenang terus menginjak-injak lantai mirip anak kecil yang gugup.“Ah, sial!” cebik Kenzo yang lalu bangkit, dia berjalan mondar-mandir di dekat jendela kaca.Langit terpampang luas di luar sana. Ruangan Kenzo berada di paling atas lantai dua puluh, dia sejenak menikmati pemandangan mengesankan tersebut. Bayangan Rere tiba-tiba menghias di sana, senyum yang tadi dia temui. Sejenak Kenzo terbelenggu dengan pesona itu. Dadanya sesak seketika, keserakahan yang dulu membelenggu dirinya begitu menyisakan sesal. Namun, bukan itu titik poin yang ada, satu hal yang tidak mampu Edzard lampaui, beda keyakinan yang tidak mampu membuatnya menyatu, ikhlas harus dia lepas.“Astaga, apa yang aku pikirkan, Tuhan!” d
Edzard menghela napas panjang, dia murung, yah semua salahnya. Lelaki tersebut menatap langit malam nan hitam di balkon kamar. Dia duduk sejenak lalu kembali berdiri menopangkan siku di kedua tangan ke tralis besi. Apa yang terjadi sekarang, seberat apa pun usaha dia menyangkal. Namun, masa lalu tetap mengukung dirinya. Lelaki yang memiliki dua istri, mirisnya lagi semua yang ada menjurus kepada kesalahannya. Seperti seorang lelaki yang mengkhianati istri pertama lalu menikah dengan wanita yang menjadi selingkuhannya. Itu pemikiran yang selalu mengganggu Edzard. Karena dia tidak tahu pasti apa yang sebenarnya orang pikirkan.“Abang,” sapa Rere.Edzard menoleh ke arah pintu jendela, lelaki tersebut membalas senyum wanita yang berjalan mendekat ke arahnya. Edzard lalu memeluk tubuh sang istri mengelus wanita yang tengah mengandung darah dagingnya. Sungguh Edzard tidak ada niatan untuk menduakan sang istri, tidak ada lagi luka yang ingin dia torehkan pada wani
Memandang bintang di atas langit membuat Kenzo seperti terhibur, lelaki tersebut duduk di sebuah kursi panjang bercat putih di dekat kolam renang. Dia baru saja istirahat usai bermain dengan sang putra, Kenzo menengok ke arah jam di tangan yang masih menunjukkan pukul sembilan malam. Sebentar lagi dia akan kembali pulang, Helene berjalan mendekat ke arah lelaki tersebut lalu duduk di sampingnya. “Mau aku buatkan minum?” tanya wanita tersebut manja. “Ah, tidak perlu aku akan pulang sebentar lagi,” jawab Kenzo menoleh ke arah wanita yang duduk di sampingnya. “Kau masih memikirkan Nayla?” tanya Helen tiba-tiba membuat Kenzo mengernyitkan kening. Lelaki tersebut tersenyum kecut, Helene mengelus pundak lelaki yang menjadi ayah biologis putranya itu. “Kadang aku merasa apa ini karma dari perbuatan buruk di masa lalu, mengapa harus demikian kisah cinta yang harus dijalani. Mengapa hati harus ter
Rere bangkit dari ranjang, dia tidak bisa tidur lantaran memikirkan banyak hal. Bagaimana bisa dia bertahan jika hati dan jiwanya saja rapuh. Dia bangkit berdiri lalu berjalan keluar kamar. Niat untuk keluar berjalan-jalan dia urungkan lantaran dari arah jendela kaca dia dapat melihat rintik gerimis yang tersorot dari cahaya lampu penerang. Rere menghela napas berat lalu memutuskan ke dapur. Bruk! Rere tidak sengaja menendang tempat sampah hingga terjatuh, wanita tersebut membungkuk lalu meletakkan tempat sampah di ujung ruang dapur agar tidak kembali menyandung seseorang yang lewat. Dia membuat segelas susu hangat dan mengambil sisa cake yang dia taruh di dalam lemari pendingin. Rere melangkah pelan lalu akhirnya duduk di ruang tengah, menonton televisi. Nyonya Devan yang kebetulan terbangun lantaran mendengar sedikit berisik di area dapur lalu menuruni tangga, dia mengernyitkan kening ketika melewati ruang tengah. Lampu dan juga televisi menyala, wanita paruh
Kenzo menaiki anak tangga di rumah miliknya yang telah dia alihkan atas nama Rafael. Dia mengedarkan pandang, tidak ada yang berubah dari tempat tersebut hanya beberapa foto dia, Helene dan Rafael terpampang di beberapa tempat. Kenzo sengaja memasang banyak foto bertiga termasuk di ruang tamu di mana keluarga dirinya dan Helene foto bersama. Jika itu satu keluarga yang utuh akan terlihat harmonis tetapi tidak dengan yang terjadi sesungguhnya. Hubungan dirinya dan Helene sebatas untuk kepentingan Rafael, selebihnya berteman baik layaknya tanpa hubungan. Kenzo menghentikan langkah ketika bertemu pandang dengan Helene yang hendak turun tangga. “Ah, aku sudah mengganti seprei di kamarmu, dan aku baru ingin menemuimu,” ujar Helene. “Terima kasih,” ujar Kenzo. “Mau aku buatkan kopi?” tawar Helene yang mencoba memecah kecanggungan dengan banyak bicara. “Teh saja, jangan ….”
Ragu, tetapi dia mencoba untuk percaya kepada Kenzo, apa salahnya untuk sekedar percaya. Walau hati ragu namun, tidak ada salahnya jika mencoba. Begitu pikir Helene pada akhirnya. Dia menutup sejenak memantapkan hati lalu menghela napas dan tersenyum. Tangan kanan Helene terangkat, dia meraih uluran tangan Kenzo. Lelaki tersebut tersenyum bahagia lalu memeluk nya erat. Nyaman itu yang dirasakan keduanya, dengan pelukan sebentar itu, semilir angin dingin menyapa keduanya. Remang lampu kamar redup membuat suasana seketika berubah romantis, dan hangat setiap sentuhan Kenzo meluluhkan Helene. Lagi, wanita itu terpikat akan tatapan mata menenangkan milik lelaki yang berdiri di hadapan. Terpikat, sudah pasti sentuhan itu benar-benar memabukkan, milik Kenzo bereaksi keras ketika dadanya saling bersentuhan dengan dada Helene yang membusung. Lelaki tersebut meraup wajah Helene dan kemudian mendaratkan ciuman di bibir wanita itu. Helene sendiri bergeming
Edzard baru saja menerima panggilan telepon dari Kenzo, lelaki tersebut menelengkan kepala sebentar. Malam-malam sahabatnya itu menghubungi hanya untuk mengatakan ibu dari putranya keluar dari tempat kerja. Edzard tersenyum sendiri melihat tingkah pemaksa yang dilakukan Ken, dia sendiri juga tidak ada niatan untuk menahan seseorang apalagi mengurus pekerjaan seorang OB tetapi bukan berarti Edzard akan abai terhadapnya. Helene adalah orang yang dia kenal, terlebih lagi dia wanita yang pernah mengisi hati, cinta pertama Edzard. Mengingat masa lalu silam nan kelam membuat dirinya tersenyum kecut. Berhubungan dengan beberapa wanita di masa lalu selalu berkaitan erat dengan Kenzo. ‘Kau ibarat bayangan Ken, kehadiramu itu aku seperti mengekor dan tidak bisa kita saling berjauhan,’ keluh Edzard terkekeh. Semua hal terjadi Edzard sudah memaafkan, dia juga sudah hidup bahagia dengan cintanya, meski jua berakhi
Elizabeth, Larisa beserta sang suami juga Delon baru selesai sarapan. Mereka keluar restoran menatap ke arah lautan lepas sembari membicarakan hal-hal yang hendak dilakukan untuk menghabiskan siang ini. Masih ada waktu dua hari berlibur ke tempat tersebut. Senyum sumringah Larisa dan Aarav membuat iri bagi para jomlo yang lihat. Termasuk Elizabeth dan Delon, pemuda tidak sengaja yang masuk sarang macan dengan menyatakan cinta pada Caroline Zeroun. "Kalian mau ikut kami ke pulau itu?" tanya Aarav menunjukkan sebuah pulau tidak jauh dari tempat mereka. "Kami tidak mau jadi obat nyamuk," keluh Elizabeth. Aarav terkekeh, "Baiklah, kalau begitu aku akan membawa istriku sekarang, selamat bersenang-senang kalian." Tanpa kasihan Aarav mengatakan. Lelaki itu mengangkat tubuh sang istri menggendong ala bridal. Delon dan Elizabeth menggeleng, terlihat menggelikan perbuatan monster kutub utara yang sok manis. Walau sebenarnya dia sedang berusaha manis demi sang istri, nampakn
"Rafael Kenzo!" teriak Maya hilang kesabaran. "Kau, apa yang kau lakukan. Ini tidak seperti yang kita sepakati, brengsek!" pekik Maya. "Bergantilah pakaian, orang tuaku akan kemari beberapa saat lagi." Pemuda itu mengabaikan umpatan Maya. Wanita tersebut frustrasi sendiri dibuatnya. Yeah, pemuda yang bersama Maya adalah Rafael, rasa cinta pada Larisa mungkin tidak mampu dia paksa, perbedaan keyakinan menjadi jurang pemisah sebelum rasa tersebut diungkapkan, miris memang, namun apa daya. Dalam suatu kesempatan Rafael mendapati Maya berada di antara Larisa dan Aarav, jika mengikuti ego, ingin sekali membiarkan. Namun, pemuda tersebut tidak akan pernah sanggup untuk melihat Larisa menderita. Rafael dan Kenzo sama-sama pernah terluka dengan perasaan cinta berbeda keyakinan. Satu hal pasti, ketika Kenzo mendapati putranya, berhubungan dengan wanita. Sang ayah tidak langsung menghakimi, dia lebih memilih untuk melihat apa yang sebenarnya. Saran dari Kenzo hanya satu, d
Larisa dan yang lain menoleh ke arah suara, gadis cantik mengenakan dress putih tanpa lengan setinggi lutut. Rambut panjang blonde tergerai, di mana topi pantai menghias kepala. Senyum merekah mendebarkan jantung kaum adam yang melihat, tubuh mungil berkulit seputih susu membuat dunia Delon serasa terhenti. Bak disuguhkan bidadari cantik turun dari langit. "Hai, Cariline," sapa Larisa. Yah, gadis itu Caroline Zeroun, putri tunggal Axelle Zeroun dari kota B. "Boleh aku bergabung, Kak?" tanyanya. "Boleh sekali, silakan cantik," ujar Elizabeth sumringah. "Perkenalkan dia Caroline," kata Larisa. "Aku Elizabeth," ujarnya. Derit kursi berbunyi, Caroline duduk di kursi dekat Delon. Pemuda itu masih melongo, Elizabeth yang melihat menutup mulut sahabatnya. "Lap tuh iler yang hampir menetas!" kelakar Elizabeth. "Hai, bidadari cantik aku Delon," kata pemuda itu berganti mengulurkan tangan. Caroline menyambut dengan bahagia. "Sepertinya aku j
Setelah melewati beberapa pencarian atas bantuan anak buah sang papa. Elizabeth berhasil menemukan kamar hotel yang ditempati Larisa sahabatnya. Dia sedang berjalan dengan terus mengomel lantaran Larisa tidak dapat dihubungi. Ponsel mati, padahal keduanya berjanji akan sarapan bersama. Delon menatap punggung sahabatnya itu, dia paham benar Elizabeth khawatir. Sampai di kamar yang dituju gadis itu berhenti. "Akhirnya sampai juga, Larisa kamu kenapa belum turun sarapan?" omel Elizabeth membuka pintu kamar. Mata gadis itu membola, dia menutup mulut dengan kedua tangan, Delon mengernyitkan kening lalu ikut melongok ke dalam. Dia pun sama ikut terkejut. Melihat bagian dalam berantakan, Elizabeth juga Delon melangkah ke dalam. Dia mendapati ranjang bak kapal pecah, pakaian serta dalaman berserakan di lantai. Keduanya saling menatap meringis, merasa salah datang ke tempat itu. Samar terdegar erangan bersahutan dari sebuah ruang yang tertutup, keduanya menduga itu kamar mandi. E
Tangan Larisa bergerak nakal meraba pundak Aarav, wanita itu berjalan memutar untuk berdiri di hadapan sang suami. Mempertontonkan tubuh telanjangnya. Aarav menatap tajam bak serigala yang melihat mangsa. Wajah gadis itu memanas, tangannya mengepal menahan gemetar. Kedua tangan Larisa meraba bagian kemeja, mencoba meloloskan kancing yang masih melekat. Aarav memperhatikan dengan badan panas dingin, kemeja itu terlepas berkat tarikan sang istri, mempertontonkan bagian dada maskulin. “Aku siap, mari lakukan. Jangan menahan lagi,” bisik Larisa mencengkeram bagian junior Aarav. Aarav melambung tinggi, seperti naik rollercoaster, sungguh perasaan luar biasa tidak terkira. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Aarav mengangkat tubuh Larisa, merebahkan di ranjang. Memulai kembali belaian lidah dan juga bibir di area sensitif Larisa. Gadis itu berteriak, setumpuk rasa dengan jantung terpompa lebih cepat. Menantikan hal yang lebih menakjubkan dari pemanasan itu. “Aku, akan melakuka
Mata Larisa berbinar melihat pemandangan di bawah laut pada sore hari. Saat ini mereka tengah berada di sebuah kapal pesiar. Langkah kakinya nampak lincah dengan sepatu cats yang dikenakan. Dress warna putih setinggi lutut menari dengan indah seirama langkah. Aarav membiarkan gadis muda itu di hadapannya. Kemudian mantik pelan saat sang istri hampir menabrak seorang anak muda. "Kau tidak apa?" tanya pemuda tampan rupawan pada Larisa. Gadis tersebut tersenyum, "Aku baik," jawabnya. Pemuda tersebut mengerutkan kening lalu tersenyum. "Kau, Kak Larisa?" tanya pemuda itu. "Iya, bagaimana kau bisa mengenalku?" tanya Larisa. 'Astaga, siapa lalat pengganggu ini?' cebiknya. "Astaga, aku juniormu di kampus Kak, senang sekali bisa berjumpa dengan Kakak Cantik," kata pemuda itu lagi. Larisa mencoba berpikir keras, dia seperti mengingat sesuatu. "Hei, Ren, apa yang kau lakukan disini? Pasti mengganggu gadis-gadis?" Seorang gadis cantik dat
Maya merasa tidak ingin masuk ke dalam apartemen tersebut. Namun, tidak ada pilihan pemuda yang mengekang pasti mencari di manapun dia berada. Tidak ada tempat untuk dia kabur sama sekali. Kabur pun hendak ke mana, tiada tempat bagi dirinya. Wanita itu menghela napas berat lalu berjalan masuk, ruangan gelap, hanya seberkas cahaya sorot lampu yang masuk dari luar. Maya meraba dinding lalu menekan tombol saklar. Dia menundukkan kepala kemudian melangkah ke dalam. "Kau malam sekali pulang." Suara bariton lelaki terdengar. Maya tidak terkejut, sudah menduga pemuda itu akan datang. "Aku ikut bos ke luar kota," jawabanya sembari melepas sepatu. Maya mendongakkan kepala, baru dia melihat wajah lelaki tersebut. Dia mengulas senyum, berjalan gemulai ke arah sofa lalu duduk di pangkuan sang pemuda. "Kau cemburu?" tanya Maya. Pemuda itu menatap sarkas, "Jangan bercanda," sanggahnya. "Jangan khawatir, pak tua itu mampu menjaga diri dengan baik, kau t
Malam hari di kediaman Aarav. Larisa duduk di ruang tamu dengan perasaan gundah gulana, berulang kali bangkit dari sofa lalu kembali duduk, terkadang mondar-mandir mirip setrika. Apa yang dikatakan Elizabeth tadi siang begitu mengganggu, membuat berpikir keras. Bagaimana jika sang suami memang berselingkuh, sekretaris pribadinya bertubuh sintal, nan sexy, dada menggelembung, cantik nan elegan, ah wanita itu sesuai tipe ideal Aarav. Larisa melirik ke bawah, tubuhnya kerempeng, dada kecil. Sepersekian detik gadis itu membandingkan tubuh dia dan sekertaris, membuat kepala berdenyut nyeri. Dia menguatkan diri mengatakan tidak mencintai sang suami. Namun, berbanding terbalik dengan hati yang tidak karuan, cemas. “Mengapa aku jadi kepikiran, membandingkan hal tidka penting” keluh Larisa. Dia menyibakkan rambut panjang ke belakang. Kembali bangkit dari kursi untuk kesekian kali, kakinya melangkah ke arah jendela, menyibak tirai warna coklat bermotif bunga-bunga besar, mempe
Sore hari sekitar pukul empat, usai menempuh perjalanan kurang lebih satu jam Aarav sampai di kota B. mobil yang membawanya berhenti di parkiran sebuah hotel. Lelaki tersebut keluar dari mobil saat sang sopir membukakan pintu, dia duduk di bagian belakang, sedangkan Maya ada di depan bersama sopir. “Maaf Pak, pertemuan akan dilakukan pukul tujuh malam, boleh saya pergi sebentar. Saya janji akan kembali kesini sebelum pukul tujuh,” kata Maya mencegah Aarav melangkah. Tubuh maskulin itu berbalik, “Kau mau mengunjungi ibumu?” tanya Aarav mengingat permintaan Maya tadi. Maya tersenyum seraya menjawab, “Iya, Pak.” “Istirahat sebentar, aku juga mau mandi dahulu. Akan aku antar nanti,” kata Aarav yang langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Maya. Wanita tersebut mengurungkan niat, dia kembali mengatupkan bibir yang sempat terbuka hendak mengucap. Yah, apa yang dilakukan Aarav, jika sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menolak. Maya mengekor A