1 minggu kemudian.
Kinara berjalan beriringan dengan Cantika, cewek berhijab yang merupakan teman dekatnya. Sesekali mereka terlihat cekikikan bersama, entah hal seru apa yang sedang dibicarakan.
"Ngomong-ngomong, kamu nggak pulang bareng Rega? Kayaknya semingguan ini kamu lebih sering pulang sama aku deh."
Meskipun Cantika berhijab, tapi dia tak munafik dan tak pernah melarang Nara untuk tak berpacaran. Dia malah mendukung Nara dekat dengan Rega, karena satu kampus juga tahu, cowok itu orangnya seperti apa.
"Belum tau, nih. Rega belum menghubungi gue."
"Kalian berantem?"
Menggeleng kepalanya. "Nggak. Siapa bilang?"
Cantika menatap Nara dengan tatapan penuh minat. "Lah itu? Kamu bilang, Rega belum menghubungi? Memangnya harus Rega dulu yang nelpon baru kamu ngomong sama dia? Ini malam Minggu loh, Ra. Nggak ada rencana ngapel gitu?"
Oh, malam Minggu ya? Nara nyaris lupa.
"Bentar deh, gue telpon dulu." Nara merogoh isi tasnya mengambil ponsel. Jemari tangannya begitu cepat bergerak untuk menelpon, menaruh ponsel di telinga, tapi belum sempat diangkat oleh Rega ketika sikutan Cantika mengenai lengannya. Sontak Nara menoleh Cantika dengan kerutan di dahi. Kenapa? Begitulah kiranya kalau diartikan.
"Itu Rega!"
Nara mengikuti arah telunjuk temannya, dan benar saja, tak jauh di depan sana, Rega melambai tangan seraya sebelah tangan yang memegang ponsel sengaja digoyang-goyangkan.
"Kalau begitu, aku duluan ya, Ra." Cantika pamit seraya mengedipkan sebelah matanya, menggoda.
"Bye, hati-hati jalannya."
Tempat Cantika, digantikan oleh Rega. Kini dua anak manusia lawan jenis itu berdiri berhadap-hadapan tapi tak saling bicara untuk beberapa saat. Rega senyam-senyum sendiri, seperti ada sesuatu yang ingin dia utarakan.
"Ga, kenapa lo senyum sendiri gitu? Ada yang aneh dengan wajah gue?"
Rega Pramudya menggeleng. Cowok jangkung itu masih mengulum senyum, membuat Nara geram. Sebenarnya ada apa sih? Satu pukulan dia layangkan ke bahu Rega, biar cowok itu tahu rasa.
"Sakit, Ra!" rengek Rega memasang tampang memelas.
"Makanya, jangan senyam-senyum sendiri gitu, ditanya lo malah diam aja. Gue kan jadi kesal."
"Iya sorry deh." Rega menjeda kalimatnya, melihat kiri kanan, takut bicaranya didengar orang lain. "Malam Minggu ini, lo nggak sibuk, kan? Nggak ada kerjaan tambahan, kan?"
Mendengar pertanyaan Rega, ia jadi ingat malam Minggu yang lalu, saat dia diminta Elsa menggantikan bekerja di klub. Malam Minggu yang paling sial bagi Nara.
"Kenapa? Lo mau ngajak gue makan malam di luar?"
Mengusap tengkuknya dengan gerakan lambat dan malu-malu, Rega pun menjawab. "Nggak sih. Gue aja rencananya mau numpang makan di rumah lo."
Sore harinya, Nara pulang ke rumah dengan membawa kantong besar berisi belanjaan berbagai jenis. Ada sayuran, ikan dan buah-buahan. Meletakkan kantong tersebut di atas meja di dapur, Nara kemudian meregangkan tangannya yang terasa pegal.
Fyuuuh.
Nenek Ratih yang melihat kepulangan cucunya beserta banyak barang jadi kaget dan menghampiri. "Banyak sekali, kayak orang mau bikin syukuran aja."
Nara berdecak karena lelah dan sebal bersamaan. "Ini permintaan dari pacar brondong nenek," ketusnya.
Alis nenek Ratih berkerut. "Maksud kamu Rega?"
"Memangnya siapa lagi? Tck. Malam Minggu bukannya ngajak Nara jalan berdua, malah dia memilih makan bersama nenek. Dia lebih mentingin perasaan nenek daripada aku, pacarnya." Nara mengoceh dengan bibirnya yang dimanyun-manyunkan.
"Makanya kamu itu jangan bawel sama Rega. Jadi wanita itu harus lemah lembut."
"Nenek aja yang senang banget ladenin dia, kan jadi besar kepala anaknya."
"Hush, nggak baik ngomong gitu sama pacar sendiri." Nenek Ratih mengibas tangannya tepat di depan bibir Nara. "Harusnya kamu bersyukur, memiliki Rega yang tulus menyayangi kamu yang urakan dan bawel begini. Di mana lagi kamu mau cari pria seperti dia? Kalau bukan Rega, nenek yakin saat ini kamu pasti masih jomblo."
Nara tak bisa menahan bibirnya untuk tak berdecak. Kenapa bicara nenek jujur sekali, sih? Dasar, suka banget mengejek cucunya. Memangnya segitu urakannya, Nara? Ia pun mengabsen penampilannya sebelum akhirnya tertawa sumbang.
"Iya deh, iya. Nara memang beruntung punya Rega sebagai pacar. Untuk itu sekarang, kita harus masak yang banyak dan enak untuk makan malam."
"Kamu istirahat saja, biar nenek yang masak semua. Kamu terima beres."
Menggeleng. "Nggak bisa dong. Rega pacar Nara, jadi Nara yang harus masak, nenek bagian bantu-bantu aja. Nara nggak mau ya, kalau nanti malah nenek yang dipuji-puji sama Rega. Nggak mau."
"Tck. Kamu cemburu sama wanita tua ini?"
"Tentu saja."
Nara pun mengeluarkan satu persatu barang yang dia beli, menata di atas meja sambil kepala otaknya memikirkan masakan apa yang bisa dia olah. Setelah mendapat ide, ia pun mengikat rambutnya ke atas, kebiasaan kalau hendak mengawali sesuatu pekerjaan yang ribet dan memerlukan ekstra tenaga.
***
Dua hari sebelum malam minggu.Rapat sedang berlangsung dengan Kaisar sebagai pemimpinnya, tapi alih-alih berbicara menyampaikan masalah dalam rapat, Kai malah menunjuk sekretaris-nya yang berbicara menggantikannya.Sedangkan Kai, hanya melamun. Lebih tepatnya, ia sedang terbayang dengan gadis yang Minggu kemarin ditemuinya di klub. Dilihat dari cara berpakaian, gadis itu adalah pekerja di klub tersebut, tapi begitu dia datang untuk mencari, Kai tak menemukan gadis itu di sana.Ke mana lagi gue harus nyari dia, ya? Akhhh, gue udah benar-benar gila. Masa dengan membayangkan bibirnya aja, adik kecil gue udah langsung on."Baiklah, kalau tidak ada pertanyaan lagi, mungkin rapat kita sudahi saja." Pria muda yang merupakan sekretaris seorang Kaisar tampak memberi kode pada sang Bos, tapi Kai tidak menggubris, lebih tepatnya ta
Tok tok tok."Itu pasti Rega! Cepat buka pintunya!" perintah nenek pada Nara yang duduk memeluk lutut sambil mengunyah permen karet. Tidak ada manis-manisnya jadi perempuan."Iya, ini juga mau bukain kok!" Nara beranjak dari kursi, tapi sebelumnya dia melepeh permen karet, mengatur tatanan rambutnya biar terlihat rapi dan cantik.Masa cantik begini dibilang urakan sama nenek. Ck!"Hai, kau sudah datang?" Entah pertanyaan macam apa yang Nara lontarkan. Jelas-jelas Rega berdiri di depannya, artinya sudah datang alias sudah tiba. Lalu, alih-alih mempersilakan masuk, Nara terdiam seraya memperhatikan Rega dari atas sampai bawah.Cowok itu selalu dengan penampilan sederhananya, celana jins dan jaket yang membaluti badan tingginya. Nara tau, di dalam jaket itu, Rega pasti hanya mengenakan kaos
"Mau ke klub malam lagi? Berapa kali sih aku bilang, jangan ke sana. Sampai Kakek dan Mama tahu, mereka bisa marah besar, Kai." Protes Luna, wanita cantik yang merupakan istri tak dianggap oleh Kaisar.Luna sudah turun dari mobil, sementara Kai masih dibalik kemudi, bersiap menuju ke tempat selanjutnya. Namun, Luna berusaha menahan."Itu tugas lo, ngerahasiain ini dari mereka." Kaisar menyahut acuh, padahal dalam hati kecilnya juga was-was kalau sampai Luna mengadu informasi sekecil apapun tentangnya pada kakek atau mama.Bisa mati Kai."Kamu nggak dengar tadi mama bilang apa? Dia mau anak, Kai. Dia mau kita memberikan cucu.""Masalahnya gue nggak mau making love sama lo, Luna." Tekan Kaisar pada kata making love tanpa memandang ke wajah sang istri. "Adik kecil gue nggak respon walau mel
Di kantor, Kaisar terus saja mematut layar ponsel pintarnya, padahal di meja kerja ada beberapa berkas yang harus dia periksa. Baginya sekarang, telpon atau SMS dari si Elsa lebih penting dibanding berkas-berkas pekerjaannya itu.Kaisar juga tak mempedulikan, saat sekretarisnya datang meminta tanda tangannya. Dia malah menyuruh sang sekretaris keluar dari ruangannya dengan gerakan tangan mengusir. Sang sekretaris yang seorang pria sebaya dengannya itu pun keluar dengan wajah masam."Apa gue telpon Elsa itu aja ya?" Kaisar bertanya sendiri seolah menimbang-nimbang. Dia sudah tak sabar. Sedang Elsa belum memberinya kabar."Ah, nanti besar kepala pula tuh cewek," putusnya seraya mencebik bibir. Ponselnya ia taruh di meja kerja sementara Kaisar sendiri beranjak dari kursi kebangsaan, meregang otot-otot yang tersembunyi di balik kemejanya itu yang sudah lama tidak di
Kinara sudah cukup kesal ketika Elsa mengirimi pesan mengajak bertemu, dan tanpa rasa bersalah, gadis genit itu malah mempertemukannya dengan pria yang waktu itu di klub malam yang telah mencuri ciuman pertamanya. Parahnya lagi, pria itu juga tampak memamerkan senyum puas ke arahnya. Menyebalkan sekali, bukan?Lalu, panggilan macam apa itu tadi?Sweety? Pacar? Fix, nggak salah lagi. Selain bajingan, pria itu benar-benar sudah gila. Apa jangan-jangan dia pasien rumah sakit jiwa yang lepas?Tidak ingin bertemu dan punya masalah dengan pria gila itu, Kinara berlari menjauh dari area parkiran, mencari tempat persembunyian yang dikira aman, gudang yang terletak di belakang cafetaria kampus. Lagian ngapain sih dia sampai nyari gue ke mari?Saat sedang bersembunyi, Kinara mendengar cacing dalam perutnya berdemo minta dikasih makan. Dia pun mering
Di rumahnya setelah makan malam sederhana bersama nenek, Kinara langsung meluru ke kamar. Dia sedang tidak ingin berbincang soal apapun, ingin tidur dan melupakan kejadian tak mengenakkan tadi siang. Kinara lelah merutuki dirinya sendiri yang bisa-bisanya menerima tumpangan Kaisar yang ingin mengantarnya pulang, walaupun pada akhirnya berhenti di tengah jalan.Duh, kenapa jadi membahas Kaisar lagi sih?Kinara menutup kepala dan telinganya dengan bantal berharap suara-suara aneh tidak merasukinya. Dia ingin tidur saja, semoga yang tadi itu semua mimpi.Satu menit.Lima menit.Hingga sepuluh menit waktu berjalan yang di dominasi detak jam dinding dan kesunyian malam, Kinara rupanya tak kunjung tertidur. Memejam matanya sejenak, buka lagi, pejam lagi, buka lagi, begitu seterusnya hingga ia
Nara benar-benar bermimpi indah. Saking indahnya itu mimpi, terasa seperti nyata. Seorang gadis dengan baju kaos putih kebesaran dan celana pendek yang diduga adalah dirinya sendiri sedang bermain kejar-kejaran dengan seorang pemuda tampan yang mirip Rega. Mereka bermain kejar-kejaran di bibir pantai. Anehnya, disitu ada jemuran kain yang berkibar-kibar lalu mereka berlari melewatinya.Seperti dalam drama Korea saja, kan? Ah, Kinara sampai senyam-senyum dalam tidurnya."Ayo, Ra! Kejar gue! Kalau berhasil, gue kasih hadiah." Begitu kata Rega dalam mimpinya sambil terus berlari, meminta Nara mengejarnya.Nara pun tak mau kalah, dengan sekuat tenaga dia berlari, tapi anehnya, makin dikejar, makin Rega menjauh darinya. Apa-apaan sih ini?Wajah Nara dalam tidurnya sempat merungut, karena Rega tak kunjung berhasil dia raih, padahal d
Sejenak Nara tertegun, antara kaget dan bingung hendak menjawab apa atas pertanyaan Rega. Tidak mungkin dia bilang, kalau ada penguntit yang kemarin pernah mencoba mengikutinya, kan? Yang ada, Rega malah khawatir. Tidak mungkin juga kalau dia bilang, ada pria yang naksir sama dia dan mengejarnya sampai ke rumah. "Hmm? Oh, itu nggak ada apa-apa kok. Gue cuma takut kita telat naik bus. Makanya gue nyeret lo lari-lari kayak tadi." Nara mengarang alasan, tapi kedengarannya masuk akal, dan Rega percaya. "Oh, begitu ya? Gue kira kenapa." Rega tersenyum lega dengan tarikan nafas yang mulai teratur. Sorry ya, Ga, gue terpaksa bohong. Ini demi kebaikan kita kok. Nara yang duduk di samping jendela, memilih untuk memandang ke luar, pada jalan raya yang ramai lancar di jam berangkat kerja pagi ini. Dia sedang menata hatinya yang tak enak karena sudah berbohong dengan Rega. Sumpah, tidak enak sekali berbohong dengan pacar, Nara semacam punya ketakutan tersendiri. Bagaimana kalau suatu waktu t
“Sweety, kayaknya gue harus cepat-cepat ke rumah lo deh, meluruskan masalah kita.”Sore itu, di saat Nara sedang nikmat-nikmatnya tidur karena tadi malam tak nyenyak, sebuah pesan dari Kaisar membuat matanya terbelalak sempurna. Nara melihat pesan seperti melihat setan. Sontak Nara terbangun, tidak membalas pesan Kaisar, tapi jemari lentiknya malah memulas ikon untuk menghubungi suami orang yang kini jadi kekasihnya itu. Ah, pokoknya rumit deh. Terdengar ponsel berdering samar-samar dari arah depan rumah, Nara sejenak berpikir, apa mungkin Kaisar berada di depan sana? Pria itu kan gila. Lalu, saat panggilannya diangkat, dering ponsel itu seketika berhenti. Nara semakin bergerak gelisah, melihat ke luar jendela kamar kalau-kalau yang dia pikir betulan terjadi.“Kai, jangan sekarang. Please!” Mohon Nara seraya memijat pelipisnya yang mendadak pening. Dia memang tak punya alasan yang tepat untuk meyakinkan Kaisar, tapi tidak juga ingin rahasia ini cepat terbongkar. Bagaimana reaksi n
Di kamarnya, Nara tak bisa tertidur, padahal sudah mandi, badannya yang lengket akibat permainan dengan Kaisar di mobil tadi kini kembali segar. Namun, otak dan perasaannya sekarang yang butuh penyegaran, karena terlalu sumpek memikirkan masalahnya dengan Rega dan Kaisar. Sebenarnya dengan Rega, Nara tak mempunyai masalah sedikitpun. Namun, hadirnya Kaisar membuat cintanya terhadap pemuda baik dan sopan itu oleng. Pesona Kaisar sangat sulit dielakkan.Gue harus curhat sama siapa? Siapa yang bisa mengerti perasaan gue sekarang? Apakah Cantika? Gadis itu bukan tidak pernah berpacaran setahu Nara. Nara mengusak-usak rambutnya hingga berantakan, saking kesalnya. Ia tak bisa tidur hingga azan subuh, barulah rasa kantuk itu datang membuatnya ketiduran sampai siang. Nenek Ratih saja bingung melihat cucunya tidak bangun. Beruntung hari ini minggu, tak perlu ke kampus. ———Esok harinya di kediaman orangtua Rega. Mama Dahlia, Papa Gunawan dan Kakek Widjaya sedang berada di meja makan untuk m
“Nara milik gue sekarang. Jadi gue minta, lo ikhlaskan aja dia, percuma juga saingan sama gue, karena lo sendiri yang akan sakit hati.”Kaisar membaca pesan yang dia kirim ke Rega yang sudah ada tanda centang dua, artinya Rega sudah membacanya. Senyum di bibirnya terbit, sama sekali tidak ada penyesalan. Lebih cepat Rega tahu malah lebih bagus, kan? Kaisar rupanya baru tiba di apartemen setelah mengantar Nara. Dia langsung meluru ke kamar mandi karena merasa tubuhnya lengket sisa permainan dengan Nara di mobil tadi tapi suara Luna menahan langkahnya. “Baru pulang kamu jam segini?” Kaisar menoleh pada istrinya. “Kenapa? Nggak masalah juga kan buat lo?”Kaisar tahu Luna juga sering pulang malam belakangan ini, pasti asyik bersama pria barunya. Entah siapa itu, Kaisar tak peduli, yang penting bebannya terhadap wanita itu sudah berkurang. Luna memilih caranya sendiri untuk mengatasi masalah mereka yang selalu dimintai momongan oleh kedua orangtua. Luna menggeleng pelan, memang tak mas
Setengah jam kemudian, mobil Kaisar memasuki komplek rumah Nara. Mereka yang tadinya saling berpegangan tangan, sontak terlepas, lebih tepatnya Nara melepasnya begitu melihat ada Rega yang menunggu di depan rumah. “Kai, berhenti di sini aja.” Mobil Kaisar pun berhenti agak jauh dari depan rumah Nara. Wajah Nara berubah tegang, karena kaget mendapati Rega ada di depan rumah malam hari begini. Apa Rega menunggu gue dari tadi? Begitu batinnya. Kaisar yang melihat itu, hanya tersenyum samar. Agak tidak suka sebenarnya melihat Rega datang menemui Nara, tapi mau bagaimana lagi, status Rega kini masihlah pacar Nara. Atau, perlukah dia bilang sama Rega kalau dia juga menginginkan Nara? Baru Nara hendak keluar dari mobil, Kaisar sekali lagi menarik tangannya.“Kenapa lagi, Kai?”Tidak menjawab, Kaisar malah menunjuk bibirnya, apalagi kalau bukan minta cium sebagai salam perpisahan. Meski malu-malu, Nara pun memajukan bibirnya lalu mengecup lembut bibir Kaisar. Kini, dia tak bisa mengelak
Nara yang ketahuan mengintip, seketika berlari masuk ke mobil. Dia tak boleh lama-lama menatap tubuh bidang dan polos milik Kaisar, otaknya bisa memikirkan hal yang jorok. Nara membawa tubuhnya mengumpet di jok belakang mobil itu, tapi Kaisar malah ikut masuk dan duduk di sebelahnya. Suasana hening, Kaisar tidak berbicara, tapi deru nafasnya terdengar tak beraturan. Nara berniat menenggelamkan wajahnya ke dalam jaket, ketika lengan kekar milik Kaisar mengangkat tubuhnya dengan posisi menghadap ke arah Kaisar sendiri, lalu mendudukkan tubuh Nara di atas perut yang keras. Astaga! Bukan di perut, lebih tepatnya di bagian bawah pusar, tempat tonjolan itu berada. Nara merasa aneh pada bagian bawahnya, padahal dia memakai celana jeans, tapi benjolan milik Kaisar itu seakan bisa menusuk-nusuk area kewanitaannya. Apa memang saat ini Kaisar sedang on? Jangan bilang kalau dia menginginkan itu di sini, di dalam mobil yang sempit seperti ini. Keduanya kini saling bertatapan lekat. Nara yang gu
Tangan Nara refleks menjitak jidat Kaisar saking geramnya. Duduknya yang memang sengaja agak mepet ke pintu, sampai dicondongkan ke depan ke arah Kaisar agar tangannya bisa mencapai bagian jidat itu. PUK.Nara baru menyadari kelakuannya saat tangan Kaisar mencegahnya dari menjitak jidat itu sekali lagi lalu beralih menggenggam tangannya. Seperti ada aliran listrik, Nara rasa tangannya seolah kesetrum. Untung tidak sampai kejang-kejang. Alih-alih marah, Kaisar malah terkekeh. Pasalnya, ini kali pertama Nara melakukan skinship terlebih dahulu padanya, yah walaupun adegannya pukul-pukulan bukan peluk-pelukan. “Ngomong gitu sekali lagi, gue minta turun dari mobil.” Ancam Nara setelah sekuat tenaga mengeluarkan suara dari mulutnya. Gugup sekali rasanya, apalagi satu tangannya masih digenggaman oleh Kaisar. Hangat sekali rasanya. “Ngomong yang mana? Nggak perlu ngenalin istri gue ke mereka atau ngomong kalau lo itu istri gue?” goda Kaisar seraya memandang genit Nara. “Turunin gue sekar
“Maksud kamu apa ngomong kayak tadi? Memangnya kamu tahu?” tanya Luna setelah aktivitas panas mereka selesai. Aldo tidak langsung menjawab, dia bangun memungut pakaiannya yang tercecer di lantai, setelahnya memakai kembali pakaian tersebut. “Kalau aku kasih tau, apa kamu bakal percaya?” Aldo menjawab pertanyaan Luna dengan pertanyaan. Sungguh membuat Luna kesal. Apa sebenarnya maksud Aldo? Dia benar-benar tahu atau sengaja memancing kemarahan aku? “Katakan saja, kalau kau tidak bilang, bagaimana aku akan percaya?”“Aku harap kamu jangan kecil hati begitu mengetahui faktanya.”Berkecil hati? Apa maksudnya karena wanita itu yang dipilih Kaisar sementara dia tidak? Ah, Luna makin penasaran, wanita seperti apa yang membuat luluh seorang Kaisar. “Jangan bertele-tele, Al. Kasih tahu cepat siapa orangnya!” Luna makin tak sabar, wajahnya mulai mengeras dan serius. “Dia cukup dekat dengan kalian.”“Maksud kamu dekat dengan aku dan Kaisar?” Luna makin tak paham. Siapa gadis yang dekat deng
“Lo jangan senang dulu. Gue masuk ke mobil lo karena minta segera diantar ke tempat kerja. Waktu gue dikit lagi, gue nggak mau telat.” Judes Nara, tidak mau Kaisar berpikiran macam-macam tentangnya. Dari ekor matanya, Nara bisa melihat wajah Kaisar yang tadi memerah karena menahan marah kini mulai bisa tersenyum menyeringai. Senang banget pasti. “Makasih ya, Sweety. Gue makin sayang deh sama lo.”Nara tak membalas, hanya menghela nafas. Dia hanya ingin cepat sampai ke toko dan bekerja. Menyibukkan diri dengan pekerjaan akan membuatnya lupa dengan Kaisar sejenak. Sesampainya di toko, rupanya sedang ada kehebohan. Nara yang baru masuk tidak tahu menahu tiba-tiba jadi pusat perhatian. Apa mereka membicarakan gue? “Nara, kok kamu nggak bilang sih, alamat pengiriman bunga itu adalah alamat rumah kamu?” Pak Baskoro datang dengan berseru membuat semua orang menatap ke arah Nara, seolah meminta penjelasan. “Cie... Cie... Cie...” Suara cengcengan itu terdengar dari teman kerja satu shift
“Can, Nara mana? Kok lo sendirian yang ke sini?” Cantika sungguh tidak menyangka kalau dia bertemu dengan Rega di kantin. Tahu begitu, dia akan sebisa mungkin menghindar. Lalu sekarang, apa yang harus dia jawab pada Rega? Nggak mungkin kan bilang Nara dibawa pergi oleh Kaisar. Cantika jadi bingung sendiri di tempatnya, matanya bergerak gelisah, memikirkan alasan yang masuk akal. “Hmm, itu, tiba-tiba dia dapat panggilan dari Om aku yang punya toko, katanya Nara disuruh datang ke toko lebih cepat. Iya begitu.” Cantika cukup senang karena otaknya bisa diajak kerja sama di saat genting begini. Semoga saja Rega percaya. Rega menatap Cantika, ingin tidak percaya, tapi masa gadis berjilbab ini bohong? Begitu kata hati Rega. Dia pun mengangguk sekenanya. “Oh, begitu ya.” Gurat wajahnya terlihat kecewa, seolah dunia bekerja sama tak mendukung untuknya berduaan dengan Nara. “Kalau gitu, lo mau ikut makan bareng gue nggak? Daripada sendirian.” Rega menunjuk meja kosong di depannya, yang se