Lamunan Azam buyar kala seseorang menepuk pundaknya lembut, dia menoleh kemudian tersenyum saat Kalana sudah berdiri tepat di belakangnya.“Kenapa nyusulin Abang?”Kalana menggeleng “Ini sudah malam, sebaiknya Abang pulang, lagi pula ngapain Abang sendirian di sini?”Azam menoleh kesekitar, memang dirinya tengah duduk sendirian di tempat tersebut.Azam bergegas menggandeng tangan Kalana untuk kembali pulang meninggalkan tempat favorit dirinya dan Rendi kala melepas penat.***“Lana .. Kalana!” panggil Azam.“Ais .. ono opo toh Zam? Berisik ini, Ibu mau sholat jadi keganggu” tegur wanita paruh baya yang sudah lengkap dengan mukenanya.“Eh, maaf Buk, hem .. lihat Kalana?”“Kalana masih Ibu suruh ke rumah Pak Cik mu, si Syawal, buat nganterin gula dan tepung, buat acara rewangan si Tika yang bentar lagi nikah, kau ini sudah hampir setahun menikah tapi ‘tak bisa lepas sama istrimu barang semenit. Sana kau bantu-bantu juga di sana,”“Ini sebenarnya mau ngajak Kalana kesana, tetapi dia suda
“Dek, Abang dapat pekerjaan di Ibu Kota,”Kalana yang sedang melipat baju di kamar mereka hanya melirik.“Bagaiman?”“Kalau Abang mau kerja di sana ya monggo toh, aku gak akan menghalangi. Kalau Ibu mengijinkan.”“Justru Ibu nyuruh Abang buat nanyak sama kamu, Dek. Kalau kamu setuju kita berangkat setelah selesai acara nikahan anak Pak Cik Syawal.”“Kita? Loh Ibu bagaimana? Siapa yang jaga Ibu di sini?”“Ibu nyuruh kita berdua saja yang berangkat, kalau sendiri, Ibu gak mengizinkan. Di sini, Ibu bareng sama Syaiful katanya,”Kalana hany mengangguk pasrah.“Jadi bagaiman, Dek?” Tanya Azam lagi.“Abang pengen sekali ya kerja di Kota?”Azam mengangguk antusias.Kalana tidak menjawab, dia bangkit dari duduknya kemudian memasukkan baju-baju yang sudah ia lipat rapi ke dalam lemari di sudut kamar mereka.Kalana duduk di samping sang suami dan tersenyum manis ke arahnya.“Di sini Abang kerjanya gak nentu, Dek. Kamu tahu sendiri gimana kerjaan Abang selama ini ‘kan? Kadang ikut melaut, kadan
“Dek, sudah sampai” azam mengguncang lembut bahu Kalana yang ketiduran.Kalana tersenyum, tetapi sedetik kemudian senyumnya memudar karena yang dia lihat di depannya bukanlah pria yang selama ini dia rindukan. ‘tak ingin Azam berfikir aneh-aneh, dia kembali tersenyum dan mengangguk kepada laki-laki yang kini sudah sah menjadi suaminya.“Ayok turun, Dek.”Kalana mengikuti langkah suaminya yang lebih dulu turun. Azam dan Kalana melihat sekitar, kota yang ramai dan sesak degan orang-orang yang berlalu lalang.“Kita makan dulu, ya. Habis itu kita nyari kontrakan” ajak Azam sambil menggandeng tangan Mala menuju warteg terdekat.“Kenapa nyari kontrakan, Bang? Harusnya kita nyari kos dulu biar hemat.”“Enggak, Dek. Aabang sudah konfirmasi ke HRD perusahaan, dan Abang mulai magang besok sampai tiga bulan ke depan. Abang pikir lebih hemat kontrakan kecil yang cukup di kantong kita. Kalau kos, kita ‘kan harus bayar tiap bulan. Lebih baik merogoh kocek untuk sekali saja, lagi pula Abang punya ua
“Assalamu’alaikum ..” Azam memanggil sambil mengetuk pintu rumah Ardi.Dari arah belakang sesorang menegurnya.“Cari Nak Ardi ya, Mas?”Azam menoleh dan mengangguk sopan, “Iya Mas, mau Tanya-tanya soal biaya kontrakan?”“Oalah orang baru yang ngontrak di rumah kosong?”Azam mengangguk lagi, kemudian menunjuk rumah kontrakan yang tampak kelihatan dari rumah Ardi.“Itu, Pak. Saya dan istri ngontrak di rumah itu.”Pria baruh baya yang belum di ketahui namanya itu tersenyum kemudian mengajak Azam untuk duduk di warungnya terlebih dahulu.“Buk, buatkan kopi untuk penghuni baru kita,” ujarnya.“Ah .. gak usah, Pak.” Azam menolak, dia tampak sungkan karena baru beberapa menit yang lalu sudah mau disuguhi kopi.“Taka pa, Mas. Kita ini tetangga, saya juga ngontrak di sini. Orang yang ngontrak di situ semuanya orang jauh-jauh. Gak ada sanak saudara, jadi kami semua mengaggap tetangga-tetangga adalah saudara satu sama lainnya.”Azam mengangguk, dan mendengarkan secara seksama cerita yang mengali
Keinginan yang besar kadang bisa menjadi boomerang tersendiri bagi mereka. Seperti yang mungkin akan dirasakan oleh pasangan yang baru saja memutuskan untuk mengadu nasib di kota, Azam yang berkeinginan besar mengubah keadaan ekonominya, tak tahu akan takdir yang akan terjadi kepadanya di kemudian hari, bahkan mungkin kita semua.Tugas kita hanya menjalani, selebihnya tangan Tuhan yang menentukan.Azam berjalan kembali ke kontrakan miliknya setelah membeli beberapa barang, seperti bantal, gayung dan perlengkapan memasak. ‘tak terlalu banyak, hanya sesuatu yang bener-benar dibutuhkan mereka. Pak Ali dan Ardi ikut membantu membawa barang-barang miliknya.Tok tok tokKalana yang mendengar pintu utama di ketuk dari luar bergegas membukanya.“Asslamu’alaikum ..”“Wa’alaikum salam ..”“Taruk saja di sini, Mas. Biar saya dan istri nanti yang menata semua barang-barang ini” ujarnya.“Baiklah kalau begitu, Bapak balik dulu, ya. Soalnya mau berangkat kerja shift malam” pamit Pak Ali.“Bener ga
Dasim, jin dengan tugas yang mengerikan tersebut sudah menentukan targetnya. Dia tersenyum senang saat mengetahui dia memilih target yang pas untuk saat ini. Hanya menunggu waktu sebentar lagi, dan boom .. dia akan hadir ditengah-tengah untuk mengacaukan hati pasangan yang baru menikah seumur jagung tersebut. Sangat menyenangkan baginya bukan? Dia akan diakui hebat oleh Bapak para jin, lalu dia bisa membanggakan pencapaiannya kepada golongan kaumnya.Rendi kembali setelah perjalanan yang cukup melelahkan. Rendi memilih untuk menetap lebih dulu di pesantren, rencananya dia akan pulang esok hari setelah sholat shubuh, kemudian langsung berangkat ke kantor memulai kerja kembali.Apalagi kemaren ‘Big Bos’ nya, panggilan untuk Pak Direktur Utama sempat menelfonnya dan bertanya mengenai sebuah tender yang sudah di menangkan oleh Rendi sebelumnya.Awalnya panggilan Big Bos itu hanya si Ardi yang membuat, lama kelamaan semua karyawan ikut-ikutan, dan Pak Direktur pun tak keberatan, malah dia
Sekian detik netra ketiganya bertemu, dari ekspresi wajah Azam dan Kalana tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, sedangkan Rendi mengalihkan pandangan kembali ke buku catatan miliknya, untungnya dia langsung bisa menguasai keadaan.“Duduk sini!” tawar Ziko sembari menggesr duduknya.Azam tersenyum kaku.“Nah ini Rendi, pria yang paling Alim dan paling cerdas di circle kita” puji Ziko.“Selain kerja di kantor, dia juga masih ngajar di pesantren. Bacaan kitabnya—beuh gak usah diragukan lagi!” timpal Ardi.“Jangan berlebihan!”Klana dan Azam duduk tepat di hadapan Rendi.“Oh iya Ren, ini kenalin. Si anak magang, namanya Azam dan itu istrinya namanya Kalana” Ziko memperkenalkan.“Eh, namanya seperti wanita yang kau cintai dengan hebat, Ren!” Ardi memberitahu.“Bukannya nama seperti itu jutaan?” jawab Rendi tak acuh.Kalana tersenyum kecut. Saat pertama bertemu tadi jantungnya berdegup kencang, sama seperti mereka berkenalan pertama kali dulu, sebelum takdir dengan tega memisahkan mereka
Rendi pergi ke pesantren setelah berpamitan kepada semua orang yang ada di sana.Setelah kepergiannya, Kalana juga izin pulang. Sedangkan Azam masih di sana untuk menghargai kedua seniornya.Kalana menghempaskan bobot tubuhnya ke kasur usang di kamarnya, dia menangis, meluapkan semua emosi yang selama ini dipendam dalam hatinya. Kini Rendinya telah berubah, kata urakan dan berandalan yang dulu tersemat dalam dirinya sudah hilang. Bahkan tutur katanya teramat lembut kepada wanita di seberang telfonnya.“Harusnya aku!”‘Iya, harusnya kamu! Lupakan semua kesalahan yang dulu, kau hanya perlu meminta maaf. Rendi masih mencintaimu, dia pasti akan senang melihatmu kembali kepadanya!’‘Bukankah ini kesempatan yang Tuhan berikan kepada kalian berdua? Jangan sia-siakan lagi!’Dasim terus saja menggoda dan menghasut Kalana yang hatinya tengah kalut. Entah rasa bersalah yang mengukungnya, atau rasa kecewa dan marah pada dirinya yang selama ini dia pendam sendiri, semuanya sama saja, tak ada jala
“Kamu sudah dua hari di sini, tetapi suamimu gak ada inisiatif sama sekali buat jenguk kamu!” Ucap Amira yang sengaja mengeraskan nada suaranya agar terdengar oleh Bapaknya sendiri yang tengah memangku Althaf.Kesal rasanya saat mengetahu dulu kalau adik perempuannya dijodohkan dengan laki-laki yang bahkan sama sekali tidak belajar agama, sedangkan adiknya lulusan terbaik di pondok pesantren tempat dia menuntut ilmu dahulu.Hanya karena laki-laki pilihan Bapak dan Ibunya adalah pemuda yang pekerja keras, sehingga tidak mungkin adiknya akan kekurangan katanya. Padahal rejeki, jodoh dan maut hanya Allah yang menentukan.Bapaknya yang mendengar itu hanya mengelus dada, seraya tersenyum kepada cucu laki-lakinya untuk menutupi rasa sesal yang menyelimut dalam diri.Nilam dan Amira keluar dari kamar, bergabung dengan sang Bapak yang tengah bermain dengan kedua cucunya.“Suami gak ada bilang apa-apa gitu?” Tanya Amira penasaran.Nilam menggeleng.“Gak ada inisiati buat lihat anaknya barang s
Nilam sudah mengirimi pesan sesaat setelah keluar dari rumah itu, tetapi hingga adzan dzuhur berkumandang pesan yang sudah ia kirimkan belum jua dibalas oleh suaminya.Nilam ‘tak ambil pusing, karena dirinya memang sedang tidak enak badan.Sesampainya di rumah orang tuanya, Nilam langsung beristirahat, sedangkan Althaf tengah bermain dengan Saga, keponakannya sendiri, anak tertua Amira.Sedangka Fila, anak bungsu dari Amira sedang ikut Ayahnya pergi, entah kemana. Nilam tak bertanya akan hal itu.Sekarang dia hanya focus untuk memulihkan tubuhnya kembali.“Nil, selama kau sakit, jangan menyentuh Althaf langsung. Kau peras saja Asinya lalu taruh di botol. Kalau nyentuh langsung takutnya nular. Apa lebih baik kakak beli susu formula dulu untuk sementara?” tanyanya meminta pendapat dari sang Adik yang tengah berbaring dengan kompres melekat didahinya.“Kalau dikasih susu formula takutnya nanti setelah aku sembuh Althaf malah gak mau sama Asi nya Kak” jawabnya lirih.Amira tampak berfikir
Arman bekerja dengan begitu keras, tidak peduli siang dan malam. Karena Vivi sendiri lepas tangan, padahal itu adaalah hutang orang tuanya juga. Vivi ‘tak mau ambil pusing akan hal itu. Sehingga Arman harus banting tulang sendiri untuk melunasi hutang Ayahnya, yang kini menjadi hutang di Bank.Arman berinisiatif meminjam uang di Bank dengan mengadai sertifikat rumah tersebut, awalnya Vivi menentang dengan keras karena takut rumah tersebut juga akan di sita oleh pihak Bank. Tetapi untungnya Arman bisa meyakinkan, sehingga hutang Ayahnya kepada rentenir lunas, tinggal hutang di Bank atas nama dirinya.Sehingga Vivi sangat membenci Nilam, karena baru beberapa hari menikah Bapak mereka meninggal dunia dan meninggalkan banyak hutang, begitu juga dengan Ibunya yang baru meninggal 2 bulan yang lalu, yang pada akhirnya harus membuat mereka hidup berdua beserta pasangan masing-masing, di rumah peninggalan orang tuanya tersebut.“Aku kakak tertua, aku adalah pengganti Ibu sekarang, karena bel
Tetapi tiba-tiba Althaf menangis dengan kencangnya. Membuat Nilam terperanjat kaget ia langsung menyudahi pekerjaannya dan berlari menuju kamarnya.Sesampainya di dalam kamar, Althaf tengan telentang seraya menangis dengan kencang, buru-buru menggendong sang buah hati, di telisiknya wajah Althaf dengan seksama, ternyata ada sedikit memar di dahinya.“Mbak, Althaf ini kenapa?” tanyanya kepada kakak Iparnya yang sedari tadi hanya diam melihat Althaf menangis tak henti-hentinya.“Ya, ini semua gara-gara kamu. Kalau punya anak di jaga! Masak di biarin di kamar sendirian!”“Aku lagi nyuci beras buat masak Mbak”“Hallah .. ya bawa saja si Althaf, kalau kamu bawa dia tadi, gak mungkin dia akan kejedot pintu saat aku mau masuk kamar kamu!”Althaf mulai tenang, anak kecil itu menyusu kepada Ibunya.“Mbak mau ngapain ke kamar aku?”“Ya terserah aku mau ngapai aja ke kamar kamu, toh ini masihh rumahku! Ya suka-suka aku lah!”Nilam menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar, percuma
“Nil, kamu harus menikah dengan lelaki pilihan Bapak dan Ibu!”Nilam hanya tertunduk lesu, pasalnya dirinya baru gagal bertunangan dengan pria pilihannya sendiri. Dulu dia sempat lolos dari perjodohan yang kedua orang tuanya tawarkan, karena menerima lamaran dari pria kenalan teman dekatnya. Tetapi siapa sangka, lelaki tersebut hanya mempermainkan perasaannya saja, padahal kedua orang tua masing-masing sudah mengetahui hubungan mereka.Dan kini, mau tidak mau, suka tidak suka, Nilam harus menerima perjodohan tersebut, lelaki yang dulu masih orang tuanya jodohkan kepadanya.Hingga pernikahan tanpa cinta pun terjadi, semua berjalan lancar sesuai kehendak kedua orang tuanya.“Kamu cepat hamil ya, cepat punya anak. Ibu sama Bapak ingin menggendong cucu dari kamu.” Ibunya berkata seraya menyerahkan jamu subur kepada Nilam yang kebetulan bertandang ke rumah orang tuanya.Padahal pernikahan keduanya baru berjalan 3 bulan, tetapi kedua orang tuanya sudah tidak sabar, dan memaksa Nilam untuk
Malam kembali datang, menyapa mereka yang ingin ketenangan.Yesa kembali berkumpul dengan saudaranya yang lain, saling bersenda gurau seperti biasanya.Tiba-tiba saja Mertuanya datang bersama seseorang yang tidak terlalu bisa dia kenali, karena kedua orang tuanya dan juga saudaranya yang lain untuk menyuruhnya kembali masuk ke dalam kamar.Yesa mendengarkan semua pembicaraan dan perdebatan diantara mereaka, karena memang kamarnya berada tepat di samping ruang tamu.“Kami meminta maaf atas nama Agam putraku”“Kami sudah memaafkannya, besan. Tetapi maaf, untuk kembali menjadi istri Nak Agam putri bungsu saya sudah tidak bisa, dan kami berhak memberinya keputusan atas dirinya sendiri.” Jelas sang Ayah sembari menangkupkan kedua tangannya pertanda memohon maaf.“Tidak bisakah mereka kembali seperti dulu?”Ayah dari Yesa menggeleng, “Tidak, maaf!” ucapnya tegas.Lelaki tersebut menghela nafas berat, dia harus terima jika keputusan yang diambil kali ini adalah memisahkan putranya dan sang
“Nelfon siapa?” Tanya Agam tiba-tiba.Agam kembali ke kamar dan mendapati istrinya mendekatkan posel ke telinganya, pertanda sedang menpon seseorang.“Mbak Tya”“Buat apa?”“Minta di jemput, ‘kan kamu sendiri yang ngusir tadi!” Tanpa banyak bicara Agam langsung mengambil ponsel istrinya dan berlalu pergi begitu saja meninggalkan Yesa di kamar mereka sendirian.‘Pergilah dari sini, tinggalkan pria tak tahu diri seperti dirinya. Selagi kalian belum memiliki anak, kau harus hidup bebas Yesa. Jangan biarkan lelaki itu terus menindasmu!’Yesa menghela nafas, mau tidak mau dia harus pakai cara lain. Selama ini dia sudah cukup diam, toh mereka tidak memiliki anak untuk dipertahankan, lebih baik sendiri dari pada nelangsa dan makan hati tiap hari.Yesa membulatkan tekadnya untuk pergi dari kehidupan Agam. Dia akan pergi, dan harus pergi!Siang itu Yesa bersiap pergi dengan membawa beberapa helai bajunya yang ia sembunyikan di tas dagangannya.“Mau kemana kamu?” Tanya kakak Iparnya.“Mau ngan
“Dek, baju kamu kok begitu sih? Gak usah pake celana lah!”“Kenapa? setidaknya bajuku panjang sampai betis kok”“Iya aku gak suka! Ganti baju sana, nurut sama suami!”Yesa menurut, padahal sebentar lagi mereka akan berangkat kondangan ke rumah saudaranya. Sedari tadi malam Yesa sudah membantu di rumah saudaranya itu hingga larut, baru kembali pulang. Pagi-pagi juga begitu, hingga hari berganti siang, dan siang berganti sore, Yesa seharian itu membantu tanpa istirahat.Itu pun terkadang masih saja salah di mata orang-orang sekitarnya, entah karena sudah terhasut gunjingan Ipar atau mertuanya, atau memang orang-orang sana yang memang tidak suka atas apa yang dilakukan oleh Yesa. Padahal setahunya, dirinya tidak pernah berbuat masalah kepada orang lain.Yesa kembali menemui Agam dengan memakai gamis syar’I yang menurutnya terlalu kebesaran, tetapi begitulah. Apalagi dirinya di kenal dengan menantu dan Istri dari seorang Ustadz. Jadi dia harus bisa menjaga penampilannya sesantun mungkin
“Dia Lina, salah satu waninta yang ikut clup touring”“Harus ya, sampai meluk gitu?”“Memangnya kenapa? Toh hanya teman! Anak-anak di clup juga pada tahu kok kalau aku sudah menikah! Sudahlah jangan memperpanjang sesuatu yang tidak penting! Jangan berlebihan dalam menanggapi sesuatu!” ujarnya ketus.Agam melenggang pergi keluar dari kamarnya meninggalkan Yesa sendiri yang masih mematung di tempatnya.Apa katanya? Yesa berlebihan dalam menanggapi sesuatu? Lalu yang dilakukan selama ini kepada Yesa apa? Bukankah dia yang terlalu berlebihan? Sedangkan Yesa hanya bertanya saja! Yesa menghela nafas seraya menggelengkan kepalanya perlahan, dirinya pergi ke dapur untuk membuatkan makan siang atau sekedar kopi untuk suaminya yang baru pulang ke rumah setelah bepergian jauh.Yesa melihat di luar suaminya menerima sebuah paket yang cukup mahal baginya, tanpa berlama-lama lagi Agam langsung memasang besi tambahan yang kurir berikan tadi.“Dimodif lagi?” Tanya Yesa kemudian meletakkan kopi yang