“Apa yang tadi coba kamu lakukan? Mengendus-endus seseorang seperti pria mesum. Haha … itu bukan karaktermu sekali, Abian!”
“Berhenti tertawa atau aku beli rumah sakit ini,” ketus Abian. Suasana hatinya sedang tidak enak. Memang siapa yang mau dituduh seperti orang mesum, tapi sialnya, tingkah dirinya tadi memang mirip orang mesum. Jadi, siapa yang harus disalahkan? Tolong salahkan saja penyakit yang diderita Abian.
“Tadi aku perhatikan kamu menguap?” tanya Daniel masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Bukan perkara Abian yang ditampar orang, melainkan seorang Abian Lion Damanta yang menguap? Siapa yang tidak senang? Sebagai seorang dokter spesialis, ketika ada kemungkinan pasiennya sembuh, itu adalah sebuah kebahagiaan dan berkah tentu saja.
Abian Lion Damanta. Pria yang baru menginjak umur 29 tahun ini, seperti namanya yang masih ada kaitanya dengan Singa, Si Raja Hutan, Abian adalah sosok garang dan ditakuti di dunia bisnis. Sosok yang berdarah dingin dalam menjatuhkan lawannya. Sosok yang sangat tegas dalam memimpin bawahannya. Sosok yang pemarah, namun sifat dan sikapnnya yang mudah marah adalah bagian dari penyakitnya. Sudah lima tahun ini Abian menderita gangguan susah tidur atau insomnia. Sudah berbagai cara pengobatan dia lakukan dan tekuni, mulai dari minum obat, hipnoterapi, dll, namun penyakitnya tidak ada tanda-tanda membaik yang menjurus pada kesembuhannya.
Sejak tragedi lima tahun lalu, Abian hanya bisa tidur dengan meminum obat tidur. Meski sudah meminum obat tidur, nyatanya dia hanya bisa tidur paling lama dua jam. Setelahnya, dia akan terjaga sepanjang waktu. Maka dari itu, selama Abian terjaga, dia akan memfokuskan dirinya pada pekerjaan. Karena itulah, perusahaannya bisa menjadi lebih besar dan Damanta Grup berhasil melebarkan sayapnya dalam berbagai industri. Industri yang dikuasai oleh Damanta Grup diantaranya ; Industri Pertanian, Industri Transportasi, Industri Komputer dan Jaringan, Industri Elektronik, Industri Hiburan, Industri Jasa, Industri Farmasi, dan Industri Manufaktur serta Industri di sektor properti.
“Apa karena wanita yang menamparmu, kamu jadi menguap dan merasakan kantuk?” tanya Daniel lagi mulai mengaktifkan mode dokter yang kritis mewawancarai pasiennya. Saat ini mereka sedang berjalan ke arah parkiran basement.
“Betul sekali. Saat wanita itu muncul aku tiba-tiba saja mencium sesuatu yang membuatku nyaman. Awalnya aku tidak mengira jika bau itu berasal dari si wanita. Saat dia terdorong dan termundur di depanku, aromanya semakin kuat dan aku tidak bisa tidak mengendusnya. Sialan! Ini sangat memalukan!” keluh Abian masih tak terima dirinya dikatai mesum dan dipandang dengan mata mengasihani.
“Dan kamu tahu apa?” lanjut Abian.
“Apa?” jawab Daniel cepat.
“Aku belum selesai berbicara. Dengarkan dulu, ini mungkin akan membantu pengobatanku.”
“Oke!” Daniel mengeluarkan buku kecilnya dan membuka tutup ballpointnya dan siap mendengarkan lalu mencatatnya. Dia tidak bisa melewatkan hal-hal yang mungkin bisa menyembuhkan penyakit langka dan tidak terdefinisi yang diderita Abian.
“Aku belum yakin, tapi saat aku mencium wangi dari wanita itu, tiba-tiba saja aku mulai mengantuk. Dan kau tahu apa yang lebih mengagetkanku?” Abian berdiri di depan pintu mobilnya. Dia sudah membuka pintu mobil dan kemudian berkata, “Aku sempat merasakan kantuk yang luar biasa selama lima menit.”
“Hm … sepertinya ada yang spesial dari wanita itu hingga membuatmu bisa merasakan kantuk.” Daniel masih sibuk menuliskan beberapa fakta yang Abian katakan.
Abian ditakdirkan untuk tidak pernah merasakan kantuk. Dia tidak bisa tidur tanpa obat tidur dan waktu tidurnya setiap hari hanya sekitar 2 jam. Kondisi ini sangat buruk dan dapat memicu penyakit berbahaya lainnya. Untuk itu, Daniel yang memang sahabat Abian mengajukan diri untuk meneliti penyakit langka temannya ini.
“Apa kamu akan menyetir sendiri? Tadi aku tidak sengaja memberitahukan oran lain bahwa kamu adalah asienku. Apa ini akan mempengaruhi pemilihan presiden direktur di masa depan?” Daniel sangat mengkhawatirkan kondisi fisik Abian. Meski Abian tidak bisa merasakan kantuk, tapi dia adalah manusia biasa yang juga bisa merasakan lelah. Dia takut jika nanti Abian tiba-tiba saja merasa lelah dan malah menimbulkan kecelakaan lalu lintas. Apalagi penyakit yang Abian derita itu sangat langka dan yang mengetahui penyakitnya hanya beberapa orang karena bisa memperngaruhi jabatannya jika sampai tersiar kabar di luar. Daniel menyesal telah memberitahu Hanum bahwa Abian adalah pasiennya. Dia takut kalau Hanum akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
”Cerewet. Seperti ibuku. Tidak usah khawatir, aku akan mengurus wanita itu sendiri.” Abian berkata dengan nada bercanda, lalu mengangkat sudut mulutnya dan tersenyum miring. Dia sudah masuk ke dalam mobilnya. Abian menurunkan kaca mobilnya dan kembali berkata, “Kejadian pagi ini jangan sampai orang luar tahu. Tidak! Maksudku jangan sampai ibu dan teman-teman lain tahu fakta aku ditampar. Dan juga, jangan terlalu mengkhawatirkanku! Aku tidak selemah itu dan aku juga akan mencari tahu tentang wanita yang sudah berani menampar seorang Abian!” kata Abian dengan nada penuh penekanan menahan emosi yang bergejolak saat kembali mengingat momen memalukan tadi.
“Yo, hati-hati di jalan. Patuhi aturan lalu lintas dan jangan mengebut! Itu sangat berbahaya! Abian! Kau harus mendengarkanku, dasar bocah!” teriak Daniel karena dia yakin kalau Abian pasti tidak akan bisa mendengarkannya. Pasalnya, mobil Cadilac hitam itu sudah lama melesat pergi.
***
Abian tiba di kantornya. Gedung pencakar langit di daerah Central Business District dengan total 70 lantai dan menjadi kantor pusat dari Damanta Grup memang berbeda dari gedung kebanyakan. Desainnya sendiri adalah yang paling mewah dan paling unik, juga ketinggiannya adalah yang paling tinggi. Dia melihat bahwa mesin absen otomatis ternyata sedang diperbaiki. Dia menyeringai, lalu mengambil kartu karyawan milik Hanum dan memainkannya dengan cara memutar-mutar talinya menggunakan jari telunjuknya, hingga membuat putaran yang menghasilkan angin.
Pantas saja bisa lolos, ternyata keberuntungannya cukup tinggi.
“Selamat pagi, Direktur!” sapa penjaga yang melihat Abian memasuki area lobi. Penjaga itu langsung berjalan ke arah lift khusus dan menekan tombol lantai 70 yang digunakan sebagai kantor Abian.
“Terima kasih.” Seagung-agungnya Abian, seangkuh-angkuhnya Abian, dia tidak akan pernah lupa untuk berterima kasih pada orang yang sudah membantunya meski mereka adalah karyawannya.
“Selamat pagi, Direktur!” sapa tiga wanita yang berada di meja sekretaris. Sebenarnya kantor sekretariat berada di lantai 68. Mereka bertiga khusus di tempatkan di lantai 70 tetu saja untuk membantu Abian.
“Pagi.”
“Tuan, jas sudah berada di kamar ganti. Dan sarapan sudah ada di meja,” kata salah satu sekretaris Abian.
Abian memiliki kebiasaan ke kantor masih memakai pakaian kasual dan dia akan menggantinya ke pakaian formal di kantornya yang sudah dilengkapi dengan kamar pas dan kamar tidur. Abian juga memiliki kebiasaan untuk sarapan di kantornya.
“Fitra, tolong nanti siang panggil karyawan magang bernama Hanum Pelita di bagian marketing tim 3 yang mengurusi masalah penjualan skincare terbaru.”
“Apa ada masalah dengan nona ini, Tuan?” tanya Fitra. Kepalanya dipenuhi dengan segala pertanyaan yang tidak mungkin ia tanyakan langsung. Tidak! Sebenarnya dia tidak cukup berani untuk bertanya lebih lanjut.
“Ya! Dia melakukan sesuatu yang sangat fatal.” Abian berkata dengan nada bercanda. Tapi bagi yang mendengarnya, itu tidak terdengar lucu sama sekali. Tiba-tiba saja Fitra jadi merasa kasihan pada orang yang bernama Hanum ini. Dia mungkin nanti akan dipecat atau parahnya dia mungkin tidak akan bisa bekerja di perusahaan manapun di masa depan.
“ID nya hilang apa ketinggalan?” tanya Riyan.“Sssttt! Jangan keras-keras, nanti kalo kedengaran senior terus aku dimarahin gimana?” bisik Hanum sambil mencondongkan kepalanya ke arah Riyan. Meja mereka kebetulan bersebelahan, jadi mudah bagi Hanum untuk melancarkan aksinya.“Jadi, hilang apa ketinggalan?” bisik Riyan mengikuti perintah Hanum.“Tidak tahu!” jawab Hanum masih dengan nada rendahnya. Ekspresi kebingungan jelas tercetak di wajahnya.“Kok bisa tidak tahu?” cecar Riyan.“Kalian berdua sedang mendiskusikan apa?” tanya Azila, staff senior dari tim 3.Meskipun mereka berbisik, namun kenyataanya percakapan mereka masih bisa di dengar oleh seluruh orang yang ada di ruangan ini. Ruangan ini awalnya hening, sehening ibarat saat jarum jatuh pun bisa terdengar, apalagi suara bisik-bisik
Pipi Hanum masih bersemu merah saat dia keluar dari lift dan berjalan menuju bagian oprasional. Dia masuk dan menuturkan apa yang sudah diperintahkan sebelumnya.“Permisi, saya Hanum dari tim 3 marketing. Saya ingin melaporkan bahwa salah satu komputer rusak dan butuh untuk diganti secepatnya.”“Atas nama siapa komputernya?” tanya wanita berkacamata dengan tampang angkuh dan diperkirakan umurnya sekitar pertengahan tiga puluhan.“Atas nama Titan.”“Oke, nanti akan diantar oleh staff. Ada lagi?” tanya wanita itu tak sabar.“Saya mau meminta kartu identitas sementara.”Wanita itu menurunkan setengah kaca matanya, lalu mendongak dan menatap Hanum seolah Hanum ini adalah benalu yang harus segera disingkirkan detik itu juga. Sorot matanya juga seolah mengatakan bahwa dia membenci manusia-manusia ceroboh s
“Kamu!”Hanum terkejut saat melihat laki-laki yang ia tampar di lift rumah sakit tiba-tiba bisa ada di depannya dengan tampilan yang berubah seperti ini. Sosok tinggi yang dibalut dengan pakaian resmi. Memakai jas hitam yang terlihat sangat cocok dengan temperamennya yang terlihat dingin. Rambutnya pun tersisir rapih ke belakang, jelas sangat kontras dengan laki-laki yang menggunakan jaket kulit dan celana ketat hitam terlihat bad boy yang Hanum temui pagi ini.“Direktur, maafkan kam-“ Titan menggantung ucapannya saat melihat Hanum dan bosnya berdiri berhadapan di ambang pintu. Niatnya ingin meminta maaf karena sudah membuat orang dengan posisi tertinggi dalam perusahaan malah menunggu para karyawannya, tapi dia urungkan saat melihat Hanum. Dia menghela napas lega. Akhirnya salah satu anggotanya terlihat, tidak terlalu memalukan bagi tim 3 marketing dan imej mereka mungkin akan sedikit lebih unggul daripada t
Saat mendengar perintah Abian, Hanum seperti mendengar petir di siang bolong. Kepala Hanum terasa dingin. Di otaknya sudah terpikirkan bahwa dirinya pasti akan dipecat.Berbeda dengan Hanum yang membeku di tempat, semua orang yang mendengar perintah Abian menatap Hanum penasaran. Ada hubungan apa bos mereka dan karyawan baru ini. Sepertinya mereka sudah saling kenal. Bahkan mereka dengan berani dan secara terang-terangan berbisik-bisik membicarakan topik ini sambil melirik Hanum penuh berbagai macam arti. Ada yang penasaran, ada yang langsung mengaktifkan mode waspada terhadap saingan cinta mereka. Bahkan ada yang mengira kalau Hanum adalah salah satu keluarga Damanta Grup yang bekerja dan menyamar di perusahaan ini seperti cerita klise anak orang kaya kebanyakan yang digambarkan dalam novel.“Kamu kenal sama pak bos?” tanya Stefani.“Wih, Hanum! Ternyata Hanum kita kenal sama Si Pak B
Mulut Hanum ternganga lebar dan matanya membulat sempurna. Dia tidak salah dengar, kan? Menampar bosnya lagi? Ayolah, hanum tidak segila itu untuk menampar atasannya lagi.“Jika kamu menamparku lagi, aku akan meminta maaf padamu,” kata Abian. Kini dia bangkit dan perlahan berjalan menuju Hanum. Sedangkan Hanum yang melihat Abian berjalan mendekatinya, dia mulai berjalan mundur.“Oke! Kamu bisa berhenti berjalan mundur,” kata Abian sambil menghentikan jalannya dan memilih untuk duduk di ujung mejanya. Menyedekapkan kedua tangannya dan menatap mata Hanum meminta kepastian. Dia ingin ditampar lagi untuk membuktikan tebakannya. Tadi pun saat dia mendekat, saat hidungnya mampu menghirup aroma Hanum meski jaraknya tidak dekat, matanya sudah mulai terasa berat.Hanum menatap Abian ngeri. Permintaan yang sangat aneh dan dia tidak tahu harus menerima atau menolaknya. Hanum kembali terdiam. Dan mereka berdu
Hanum menghela napas lega saat dia keluar dari ruangan Abian. Sebuah ruangan yang sangat mencekik baginya. Dia kini berjalan dengan riang seolah tanpa beban. Saat bertemu dengan Fitra pun dia malah menyunggingkan senyuman yang sangat manis dan terlihat Bahagia. Hal itu membuat Fitra dan sekretaris lain yang kebetulan sedang bertugas menatap Hanum dengan tatapan penuh tanda tanya.“Apa sudah selesai?” tanya Fitra penasaran.“Sudah! Terima kasih, Kak! Hehe.” Hanum terkekeh seperti orang bodoh.“Eum … apa kamu tidak apa-apa?”“Saya?!”“Iya. Kamu.”“Memangnya saya kenapa?” Hanum balas bertanya yang membuat Fitra malah menatapnya bingung. Bukannya Hanum melakukan sesuatu yang fatal sampai membuat dirinya dipanggil ke ruangan direktur.Ah! Fitra baru tersadar, kenapa
“Hei, bohong!” sangkal Devi tidak percaya. “Masa hanya itu saja. Tidak mungkin lah seorang direktur memanggilmu hanya karena mengembalikan kartu identitas.”“Benar! Yang mengembalikan bukan Pak Abian, tapi sekretarisnya,” bohong Hanum.“Oh, kalau itu sih baru mungkin.” Devi kembali menatap layar komputernya.Hanum yang tadi berdiri di depan pintu persis saat ditanyai, dia langsung berlari kecil menuju mejanya. Namun saat dia duduk, sepertinya ada yang janggal. Ya, itu adalah Azila. Tingkah ramah Azila tidak Hanum dapatkan. Biasanya, Azila ini adalah orang yang paling ramah. Namun sekarang dia malah diabaikan oleh Azila. Hanum tidak tahu mengapa Azila bersikap seperti ini.“Kak Azila, Riyan ke mana?” tanya Hanum mencoba mencairkan suasana.Azila yang duduk di sebelah kanan Hanum tiba-tiba menggeser kursinya menjauhi Hanum
“Abian, dengar ibu bicara tidak? Pokoknya nanti kamu harus mengajak Ariana makan malam.”Abian berjalan dengan lunglai menuju kamar tidurnya yang berada di dalam kantor. Hari masih siang dan dia merasakan lelah yang teramat. Berkat tamparan dari Hanum, dia merasa mengantuk dan dia harus segera memanfaatkan momen ini untuk segera tidur.Matanya terasa pegal dan kepalanya semakin pusing saat mendengar perintah ibunya dari balik telepon. Kencan dan kencan adalah topik yang selalu dia bahas saat ibunya menghubunginya. Tidak pernah ada sapaan lain atau sekedar basa-basi menanyakan apa anaknya sudah makan atau belum. Tidak! Seorang Jeina-ibu Abian-tidak akan pernah menanyakan hal itu.“Bu-““Pokoknya sudah ibu pesankan di hotel kita. Jam tujuh. Jangan lupa pakai baju yang menarik.” Jeina tidak akan memberikan kesempatan anaknya untuk menolak. Omongannya berarti titah yan
Tapi bukan Hanum namanya jika dia menyerah begitu saja. Dia kembali mencoba membujuk Ariana.“Dengarkan kami dulu, Kak-““Saya bilang pergi! Dengar tidak, sih?”“Saya akan membantu Kak Ariana untuk mencari kalungnya!” ucap Hanum cepat dalam sekali hembusan napas.“Kalung?”Hanum menganggukan kepalanya seperti ayam yang sedang mematuki makanannya.“Kau mendengar perkataanku tadi?”Hanum kembali menganggukan kepalanya tidak sadar bahwa pertanyaannya adalah sebuah jebakan. Ariana bangkit dan perlahan berjalan ke arah Hanum. Sedangkan Hanum hanya berdiri di tempatnya tidak tahu apa yang akan Ariana lakukan.Ariana mendekat ke arah Hanum dan membisikan kata, “Rahasiakan kejadian barusan. Atau kamu akan mendapat masalah jika menyebarkannya. Apa kamu juga ikut melihatnya?” Kini Ariana beralih ke Riyan. Riyan juga menganggukan kepalanya membenarkan perkataan Ariana.“Aku tidak takut dengan ancaman seperti ini. Jadi, daripada membuang-buang waktu untuk menyebarkan perlakuanku barusan. Mending
“Natapnya biasa aja kali,” protes Hanum saat melihat Riyan tak kunjung menyudahi ekspesi kagetnya serta mulutnya yang masih ternganga lebar.“Ini serius?” Riyan masih tidak percaya. Pasalnya, image yang dibangun perusahaan selama ini adalah Ariana yang sangat anggun dan murah senyum serta baik hati.“Serius! Coba aja tuh lihat sendiri.”“Mana?” Yang Riyan lihat adalah sosok Ariana yang sedang duduk dengan nyaman sambil bersedekap.“Ariana lagi duduk?” tanya Riyan lagi.“Bukan! Coba lihat ekspresinya.”“Tidak kelihatan. Mataku kan minus.”Hanum menepuk dahinya cukup keras hingga meninggalkan bekas merah, “Ya Tuhan. Pantesan.”“Ayo samperin,” ajak Riyan yang kini mulai berdiri dan bersiap untuk menghampiri Ariana. Tapi sebelum sempat melangkah, kakinya tertahan oleh suara keras yang ia dengar dari arah Ariana.“Belum ketemu juga? Gimana sih? Pokoknya harus dicari sampai ketemu!” tanya Ariana dengan nada tinggi.“Lapor Ariana, semua set dan staff sudah selesai menyiapkan keperluan pemotr
“Aww!”Hanum tersandung properti yang menghalangi jalan. Sebenarnya yang Hanum lewati itu bukan jalan luas, melainkan tempat seperti gudang yang dijadikan sebagai tempat penyimpanan alat-alat syuting. Areanya cukup berdebu dan setiap kali Hanum menginjakan kakinya, pasti akan menimbulkan kepulan debu yang berterbrangan.Logika Hanum mengatakan bahwa jika Ariana tidak terlihat di set pemotretan, maka satu-satunya tempat yang menjadi tujuan adalah ruangan make up Ariana. Berhubung Hanum tidak hapal dan tidak tahu letak ruangannya, jadilah dia acak berjalan. Dia berniat akan bertanya pada seseorang jika dia bertemu salah satu kru pemotretan nanti.PLAKK!Hanum tidak percaya dengan apa yang barusan ia lihat dan dengar. Dia terus berdiri di tempatnya saat ini dan tidak bisa berkata-kata.“Sudah berapa kali aku bilang kalau kalung itu sangat penting. Kenapa hilang?” teriak Ariana pada salah satu asisten yang bertugas mendampingi Ariana.Barusan ia menampar wajah salah satu asistennya. Arian
Hanum dan Riyan kembali mengunjungi kantor agensi Ariana. Kali ini mereka langsung menghubungi manajer Ariana di lobi. Tak lama kemudian manajer Ariana datang dengan tampang kecutnya. Sepertinya manajer Ariana sedang dalam suasana hati yang tidak mengenakan dan hal itu membuat Hanum sedikit ragu. Dia takut akan membuat misi kali ini kembali gagal.“Jadi bagaimana? Apa direktur kalian setuju untuk bertemu dengan Ariana,” tanya Lala langsung tanpa basa-basi. Dan mereka masih berdiri di lobi kantor membuat mereka dilihat oleh orang-orang yang lewat. Mereka bahkan tidak disuruh untuk duduk di suatu ruangan. Sikap ini sedikit membuat Hanum kecewa terhadap perlakuan dari karyawan agensi Ariana ini.“Eum … jadi begini … tujuan kami datang adalah untuk menegosiasikan persyaratannya kembali.” Hanum berbicara langsung pada intinya.Hanum melihat perubahan wajah Lala yang sudah terlihat seolah tidak senang dengan kedatangan mereka menjadi tambah terlihat dingin.“Kalau begitu kalian bisa pergi d
“Azila, kamu ada masalah apa, sih sama kita berdua? Kayaknya kok sinis banget. Ini tuh tugas bersama. Bukan cuma aku dan Riyan,” jawab Hanum yang membuat suasana tambah runyam.“Tapi kan ini kemarin ditugaskan ke kamu,” jawab Azila dengan tampang tidak berdosanya.“Ini tugas bersama. Kemarin kita serahkan ke Hanum dan Riyan karena kami pikir pekerjaan ini mudah. Tapi ternyata malah diluar dugaan. Begitu sulit. Malah kalau sebenarnya ini harus dikerjakan sama senior,” kata Stefani yang langsung membuat Azila bungkam seribu Bahasa.“Tapi kan-““Sudah. Jangan dibahas. Sekarang kita fokus memikirkan jalan keluarnya bersama-sama,” kata Geo memotong pembicaraan Azila. Dia harus melakukan ini supaya tidak ada lagi pertengkaran di dalam tim tiga marketing. “Jalan satu-satunya ya kita minta tolong sama Pak Abian,” kata Riyan sesuai fakta tapi membuat rekan-rekannya diam dan tidak tahu harus merespon seperti apa. Memang benar mereka harus meminta bantuan pada Abian, itu memang syarat yang Aria
“Apa benar-benar tidak bisa dilakukan dalam waktu sembilan hari?”Jelas tidak! Ingin rasanya orang-orang di divisi marketing berteriak dan memaki Abian. Mereka ingin Abian sendiri mencoba merampungkan proyek di waktu yang sangat singkat ini.“Tidak, Pak. Kami memerlukan waktu setidaknya satu bulan paling cepat.” Bagi divisi marketing, Kevin ini sudah seperti pahlawan yang melawan penjahat terberat bagi mereka.“Baiklah. Saya beri kalian waktu satu bulan yang berarti ini sama saja dengan bukan proyek hadiah ulang tahun ibuku.” Abian memutuskan untuk mengikuti apa kata para bawahannya. Padahal, jika itu dirinya, dia yakin bisa menyelesaikan dalam waktu sembilan hari. Jelas, mereka berbeda level dalam bekerja dan ketepatan waktu. Abian ini seperti tidak menyadari kalau dirinya itu berbeda dengan para karyawannya yang jelas tidak memiliki relasi seluas Abian yang dapat mempermudah segala urusan dan pekerjaannya. Abian nampak kecewa, namun pertemuan rutin tahunan itu selesai dengan tambah
Abian menghadiri dan memimpin acara hari ini. Meski ini adalah acara evaluasi tahunan Perusahaan Damanta, nyatanya ini juga dilakukan untuk membahas kegiatan ulang tahun Perusahaan Damanta bersama para karyawan.“Tahun lalu sudah melakukan acara mendaki gunung bersama-sama. Tahun ini acara ulang tahun tidak akan diadakan di luar, maksud saya tidak akan diadakan di alam terbuka karena mengingat kami juga memiliki proyek yang harus segera dirampungkan. Proyek itu kalian pasti tahu sendiri, kan? Iya proyek untuk ulang tahun ibu saya yang masih berkaitan dengan produk skincare. Saya harap sebelum hari ulang tahun Perusahaan Damanta, proyek produk skincarenya sudah rampung. Apa kalian mengerti?” tanya Abian pada karyawannya yang langsung dijawab serempak dan kompak kalau mereka mengerti maksud Abian.Abian sesekali melihat Hanum. Wajah dan semangat Hanum hari ini sepertinya sudah terkuras habis. Dia bahkan tidak terlihat terlalu memperhatikan selama evaluasi berlangsung. Tingkah itu tak se
Hanum menepuk jidatnya saat dia menyadari bahwa dia sudah membuang kesempatan untuk membujuk Abian. Dia baru teringat kalau dia belum mendapat persetujuan dan belum membahas perkembangan soal Ariana dengan Abian. Di sepanjang jalan menuju ruangan neneknya dia merutuki dirinya sendiri. Rasanya ingin berbalik dan berbicara dengan Abian tapi tidak mungkin Hanum berani. Dia tadi sudah bersikap tidak sopan dan membuat Abian menungguinya yang tertidur. Dan kemungkinan Abian juga sudah pergi itu tinggi.“Kenapa?” tanya Denta yang melihat Hanum berhenti di depan pintu kamar neneknya dan malah menepuk jidatnya sendiri bukannya masuk ke dalam.“Lupa!” kata Hanum heboh sendiri.“Apanya yang lupa?”“Hehe.” Jujur saja dia sangat malu kalau mengingat dia sudah berkali-kali berbuat hal yang memalukan di depan Abian. Dia ingin sekali melupakan kejadian-kejadian itu dan menguburnya agar tidak pernah lagi mengingat momen memalukan di dalam hidupnya. Haruskah dia bercerita ke pada Denta?“Malah cuma ket
“Tadi juga yang mengangkat telepon itu suara perempuan. Lagi ngapain coba malem-malem begini sama cewek. Maksudku, kenapa cewek itu bisa pegang ponselnya Kak Kevin.” Hanum kembali menangis. Kali ini dia menumpahkan keluh kesahnya pada sahabatnya. Mulai dari masalah adiknya hingga masalah bersama bosnya.“Mungkin aja lagi ada acara alumni? Atau ada acara apa mungkin.” Denta mencoba membantu Hanum untuk perpikir positif.“Oh, iya. Kamu benar juga,” kata Hanum yang langsung duduk tegak dan menghapus sisa air matanya.Denta memandang Hanum dengan tatapan aneh. Dia tidak percaya sahabatnya ini sangat mudah dibujuk untuk tenang. Denta pikir dia akan membutuhkan waktu lama untuk membujuk Hanum supaya tidak menangis lagi.“Udah nangisnya? Cuma segitu?” Denta dibuat melongo oleh tingkah konyol Hanum.Dengan polosnya Hanum menjawab, “Udah. Kan tadi nangis karena aku numpahin sambel banyak banget.”“…”“Tahu tidak, Den.”“Tidak.”“Kan aku belum ngomong. Gimana, sih!” Suasana hati Hanum berubah d