Plakk!
Tidak pernah terlintas di pikiran Hanum bahwa dirinya akan menampar seorang pria asing yang baru ia temui di dalam lift. Tadi, dia bisa merasakan dengan jelas hembusan napas hangat seseorang yang berdiri di belakangnya. Dia juga bisa merasakan gesekan kulit lehernya dengan sesuatu dari pria itu yang tidak Hanum ketahui. Mungkin ujung hidungnya yang menempel pada kulit tengkuk Hanum. Entah, Hanum tidak bisa mendeskripsikan situasi yang sebenarnya.
Ini berawal dari Hanum yang terburu-buru memasuki lift rumah sakit dan tetap mendesak masuk meski tempat sudah penuh sesak dengan alasan dia takut datang terlambat ke kantor. Wanita itu bahkan di sepanjang lift turun, dia masih mencoba membenahi dirinya serapih mungkin.
“Permisi, Maaf!”
Hanum yang tadinya berdiri di depan kini harus berada di belakang karena terdorong orang-orang yang juga baru masuk-keluar lift. Dan posisinya berubah menjadi tepat di depan pria tinggi itu.
“Maksud Anda apa mengendus-endus tengkuk saya tadi?” bentak Hanum sambil memelotot tajam pada pria tinggi yang semenjak memasuki lift, pria itu sudah berdiri di bagian pojok.
Tindakannya tidak hanya mengejutkan orang-orang yang berada di dalam lift, tentu saja tamparannya juga memberikan efek kejutan langka pada orang yang tertampar. Sesosok laki-laki dengan tubuh tinggi yang diperkirakan sekitar 188 cm membuat Hanum kesulitan mendongakkan kepalanya untuk menatap pria itu dengan garang. Terlebih, wajah pria di depannya ini terlampau tampan! Tapi pria tampan ini sepertinya orang mesum. Hal itu membuat Hanum membuang jauh pikirannya akan pesona pria di depannya dengan cepat.
“Maksud Anda apa?” tuntut Hana terus menanyai alasan dibalik tindakan pria dengan balutan jaket kulit hitam dan celana hitam panjang yang membuatnya seperti penjahat atau anak kaya raya nan badung di film.
Di samping pria berjaket kulit itu, berdiri pria berkacamata dengan aura Si Manusia Baik dengan balutan jas putih. Jelas sekali kalau pria itu adalah seorang dokter.
Hana juga melirik tajam pada pria ber jas putih, pria ber jas putih itu juga sedang menatap bolak-balik antara dia dan pria jangkung berjaket kulit dengan mulut yang ternganga lebar. Jelas sekali kalau dokter itu juga terkejut dengan tindakan pria berjaket kulit yang tiba-tiba bertingkah aneh dan respon cepat Hanum sebagai korban dengan menamparnya.
Sementara itu, Abian yang dituduh sebagai pelaku tindakan mesum juga sempat terdiam lama. Terdiam bukan karena dia ditampar, tapi karena tindakan yang dia lakukan secara refleks membuat orang lain salah paham. Dia tidak ada niatan sama sekali untuk mengendus-endus orang lain. Tapi hidung sialan ini tidak sengaja mencium bau harum yang tiba-tiba membuatnya merasa nyaman dan membuatnya mengantuk. Jadi dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mencari sumber bau ini dan tanpa ia sadari, ujung hidungnya sudah berakhir di tengkuk Hanum. Dia bahkan tadi sesekali menguap salama berdiri di belakang Hanum.
Abian menaikan satu alisnya dan untuk menutupi perasaan malu bercampur rasa bersalahnya, dia juga menatap balik dengan tatapan yang tak kalah tajamnya dari Hanum.
“Anda salah paham,. Jangan terlalu percaya diri dan memfitah orang,” jawab Abian dengan nada super dingin. Dia dengan cuek mengusap pipi yang tadi sempat terasa panas saat sebuah tamparan mendarat di wajah tampannya.
“Memfitnah orang?!” Hanum tidak bisa menjaga nada suaranya tetap rendah setelah mendengar jawaban Abian. Jawaban pria itu seketika menyulut emosi Hanum dan tatapan mencemooh yang pria itu berikan membuat kobaran api di hati Hanum semakin membara.
Apa-apaan pria ini! Apa orang mesum di jaman sekarang tidak tahu malu seperti dia?
Melihat dua orang yang sedang perang urat, Dokter Daniel segera menengahi. “Nona, tolong jangan salah paham. Ini adalah pasien saya, dan saya bisa menjamin kalau orang ini bukanlah orang mesum seperti yang Anda sebutkan tadi.”
Hanum melirik Name Tag yang menggantung pada lehernya. Ada informasi yang tertulis jelas di sana. Namanya adalah Daniel dan dia adalah Dokter Sp.Jiwa.
Hanum mengendurkan tatapan garangnya saat mengetahui mungkin saja dia adalah pasien kejiwaan. Rasanya tidak etis jika harus berdebat dengan seorang pasien. Untuk itu, dia memutuskan untuk memaafkan dan melupakan kejadian barusan. “Ya sudah, lupakan saja. Lain kali tolong jaga pasien Anda dengan baik, Dok!”
Tepat setelah Hanum berkata demikikan, pintu lift yang sudah sampi di lantai satu itu terbuka dan Hanum langsung melesat pergi dengan berlari tanpa menoleh ke belakang.
Sementara itu, Abian yang mendapat tatapan Hanum yang seolah berkata, “Oh, pasien kejiwaan. Jadi wajar saja tingkahnya aneh.” Merasa sangat tidak terima. Ingin rasanya dia berteriak dan menjelaskan pada wanita itu bahwa dirinya ini waras dan tidak gila sama sekali. Jadi, tolong jangan memandangnya dengan tatapan mengasihi dan jangan memberikan senyuman aneh itu. Tapi kepribadiannya sendiri tidak mungkin membuatnya mau repot-repot mengejar wanita yang sudah lama menghilang pergi.
Hal lain yang tidak Hanum ketahui adalah kartu tanda kepegawaiannya jatuh di lift. Abian yang tidak sengaja melihat ke bawah dan menemukan kartu itu, dia memungutnya dan tersenyum licik. “Oh! Karyawan di perusahaanku.”
***
“Hanum, tolong fotokopi data perkembangan rata-rata pengguna saat ini. Jumlahnya tolong disesuaikan. Tim 1 dan tim 2 bakal gabung di rapat kali ini. Oh! Jangan sampai dokumennya terbalik atau salah halaman, nanti bakal ada General Manager yang ikut rapat.” Stefani yang menjabat sebagai deputi manajer memerintah langsung dan tidak mengetahui kondisi Hanum saat ini yang masih mencoba menstabilkan napasnya.
“Hanum, kemarin tugas PPT udah selesai diketik, kan? Tolong nanti dicek ulang lagi, takut ada typo soalnya,” kata Diva yang bersetatus sebagai kepala bagian. Dia juga tidak melirik sedikitpun ke arah Hanum.
“Hanum, nanti pas istirahat makan siang, tolong pesankan minuman seperti biasa. Americano 2, Latte 3, Jus Alpukat 2.” Ini adalah perintah dari Jasmine seorang staff senior tim 3.
Hanum, gadis yang bahkan belum mendudukan dirinya di bangkunya dan masih berdiri di antara persimpangan tiga sisi wanita yang memberikan tugas secara bergantian dan berurutan tidak tahu harus melaksanakan tugas yang mana terlebih dahulu. Napasnya saja masih tersengal-sengal. Ya, dia hampir saja telat. Pagi ini, sebelum Matahari terlihat, dia bahkan sudah pergi ke RS untuk membawakan pakaian ganti untuk neneknya yang sedang di rawat inap. Tadi, setelah sampai di halte kawasan Central Business District , dia harus berlari di sepanjang jalan dengan kecepatan penuh.
“Baik, Bu!” jawab Hanum Si Karyawan Magang yang baru mulai bekerja tiga hari. Jawaban yang cukup singkat untuk merespon ketiga perintah tanpa terkesan pemalas dan tanpa terkesan mencari muka.
“Hanum! Kamu tidak membawa ID Card apa?” tanya Riyan. Dia adalah rekan yang direkrut bersamaan bersama Hanum yang artinya Riyan juga adalah karyawan magang baru.
Hanum yang baru saja akan mendudukan diri di bangku harus tertahan pada posisinya yang aneh dan segera memasang wajah paniknya. Dia buru-buru mencari di tas. Benar saja, kartu identitasnya hilang. Dia tidak menyadari karena saat melewati ruang pemeriksaan karyawan, dia bisa masuk begitu saja tanpa menggunakan ID Card karena mesinnya sedang dalam perbaikan.
“Aduh! Mati aku!”
“Apa yang tadi coba kamu lakukan? Mengendus-endus seseorang seperti pria mesum. Haha … itu bukan karaktermu sekali, Abian!”“Berhenti tertawa atau aku beli rumah sakit ini,” ketus Abian. Suasana hatinya sedang tidak enak. Memang siapa yang mau dituduh seperti orang mesum, tapi sialnya, tingkah dirinya tadi memang mirip orang mesum. Jadi, siapa yang harus disalahkan? Tolong salahkan saja penyakit yang diderita Abian.“Tadi aku perhatikan kamu menguap?” tanya Daniel masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Bukan perkara Abian yang ditampar orang, melainkan seorang Abian Lion Damanta yang menguap? Siapa yang tidak senang? Sebagai seorang dokter spesialis, ketika ada kemungkinan pasiennya sembuh, itu adalah sebuah kebahagiaan dan berkah tentu saja.Abian Lion Damanta. Pria yang baru menginjak umur 29 tahun ini, seperti namanya yang masih ada kaitanya dengan Singa, Si Raja Hutan
“ID nya hilang apa ketinggalan?” tanya Riyan.“Sssttt! Jangan keras-keras, nanti kalo kedengaran senior terus aku dimarahin gimana?” bisik Hanum sambil mencondongkan kepalanya ke arah Riyan. Meja mereka kebetulan bersebelahan, jadi mudah bagi Hanum untuk melancarkan aksinya.“Jadi, hilang apa ketinggalan?” bisik Riyan mengikuti perintah Hanum.“Tidak tahu!” jawab Hanum masih dengan nada rendahnya. Ekspresi kebingungan jelas tercetak di wajahnya.“Kok bisa tidak tahu?” cecar Riyan.“Kalian berdua sedang mendiskusikan apa?” tanya Azila, staff senior dari tim 3.Meskipun mereka berbisik, namun kenyataanya percakapan mereka masih bisa di dengar oleh seluruh orang yang ada di ruangan ini. Ruangan ini awalnya hening, sehening ibarat saat jarum jatuh pun bisa terdengar, apalagi suara bisik-bisik
Pipi Hanum masih bersemu merah saat dia keluar dari lift dan berjalan menuju bagian oprasional. Dia masuk dan menuturkan apa yang sudah diperintahkan sebelumnya.“Permisi, saya Hanum dari tim 3 marketing. Saya ingin melaporkan bahwa salah satu komputer rusak dan butuh untuk diganti secepatnya.”“Atas nama siapa komputernya?” tanya wanita berkacamata dengan tampang angkuh dan diperkirakan umurnya sekitar pertengahan tiga puluhan.“Atas nama Titan.”“Oke, nanti akan diantar oleh staff. Ada lagi?” tanya wanita itu tak sabar.“Saya mau meminta kartu identitas sementara.”Wanita itu menurunkan setengah kaca matanya, lalu mendongak dan menatap Hanum seolah Hanum ini adalah benalu yang harus segera disingkirkan detik itu juga. Sorot matanya juga seolah mengatakan bahwa dia membenci manusia-manusia ceroboh s
“Kamu!”Hanum terkejut saat melihat laki-laki yang ia tampar di lift rumah sakit tiba-tiba bisa ada di depannya dengan tampilan yang berubah seperti ini. Sosok tinggi yang dibalut dengan pakaian resmi. Memakai jas hitam yang terlihat sangat cocok dengan temperamennya yang terlihat dingin. Rambutnya pun tersisir rapih ke belakang, jelas sangat kontras dengan laki-laki yang menggunakan jaket kulit dan celana ketat hitam terlihat bad boy yang Hanum temui pagi ini.“Direktur, maafkan kam-“ Titan menggantung ucapannya saat melihat Hanum dan bosnya berdiri berhadapan di ambang pintu. Niatnya ingin meminta maaf karena sudah membuat orang dengan posisi tertinggi dalam perusahaan malah menunggu para karyawannya, tapi dia urungkan saat melihat Hanum. Dia menghela napas lega. Akhirnya salah satu anggotanya terlihat, tidak terlalu memalukan bagi tim 3 marketing dan imej mereka mungkin akan sedikit lebih unggul daripada t
Saat mendengar perintah Abian, Hanum seperti mendengar petir di siang bolong. Kepala Hanum terasa dingin. Di otaknya sudah terpikirkan bahwa dirinya pasti akan dipecat.Berbeda dengan Hanum yang membeku di tempat, semua orang yang mendengar perintah Abian menatap Hanum penasaran. Ada hubungan apa bos mereka dan karyawan baru ini. Sepertinya mereka sudah saling kenal. Bahkan mereka dengan berani dan secara terang-terangan berbisik-bisik membicarakan topik ini sambil melirik Hanum penuh berbagai macam arti. Ada yang penasaran, ada yang langsung mengaktifkan mode waspada terhadap saingan cinta mereka. Bahkan ada yang mengira kalau Hanum adalah salah satu keluarga Damanta Grup yang bekerja dan menyamar di perusahaan ini seperti cerita klise anak orang kaya kebanyakan yang digambarkan dalam novel.“Kamu kenal sama pak bos?” tanya Stefani.“Wih, Hanum! Ternyata Hanum kita kenal sama Si Pak B
Mulut Hanum ternganga lebar dan matanya membulat sempurna. Dia tidak salah dengar, kan? Menampar bosnya lagi? Ayolah, hanum tidak segila itu untuk menampar atasannya lagi.“Jika kamu menamparku lagi, aku akan meminta maaf padamu,” kata Abian. Kini dia bangkit dan perlahan berjalan menuju Hanum. Sedangkan Hanum yang melihat Abian berjalan mendekatinya, dia mulai berjalan mundur.“Oke! Kamu bisa berhenti berjalan mundur,” kata Abian sambil menghentikan jalannya dan memilih untuk duduk di ujung mejanya. Menyedekapkan kedua tangannya dan menatap mata Hanum meminta kepastian. Dia ingin ditampar lagi untuk membuktikan tebakannya. Tadi pun saat dia mendekat, saat hidungnya mampu menghirup aroma Hanum meski jaraknya tidak dekat, matanya sudah mulai terasa berat.Hanum menatap Abian ngeri. Permintaan yang sangat aneh dan dia tidak tahu harus menerima atau menolaknya. Hanum kembali terdiam. Dan mereka berdu
Hanum menghela napas lega saat dia keluar dari ruangan Abian. Sebuah ruangan yang sangat mencekik baginya. Dia kini berjalan dengan riang seolah tanpa beban. Saat bertemu dengan Fitra pun dia malah menyunggingkan senyuman yang sangat manis dan terlihat Bahagia. Hal itu membuat Fitra dan sekretaris lain yang kebetulan sedang bertugas menatap Hanum dengan tatapan penuh tanda tanya.“Apa sudah selesai?” tanya Fitra penasaran.“Sudah! Terima kasih, Kak! Hehe.” Hanum terkekeh seperti orang bodoh.“Eum … apa kamu tidak apa-apa?”“Saya?!”“Iya. Kamu.”“Memangnya saya kenapa?” Hanum balas bertanya yang membuat Fitra malah menatapnya bingung. Bukannya Hanum melakukan sesuatu yang fatal sampai membuat dirinya dipanggil ke ruangan direktur.Ah! Fitra baru tersadar, kenapa
“Hei, bohong!” sangkal Devi tidak percaya. “Masa hanya itu saja. Tidak mungkin lah seorang direktur memanggilmu hanya karena mengembalikan kartu identitas.”“Benar! Yang mengembalikan bukan Pak Abian, tapi sekretarisnya,” bohong Hanum.“Oh, kalau itu sih baru mungkin.” Devi kembali menatap layar komputernya.Hanum yang tadi berdiri di depan pintu persis saat ditanyai, dia langsung berlari kecil menuju mejanya. Namun saat dia duduk, sepertinya ada yang janggal. Ya, itu adalah Azila. Tingkah ramah Azila tidak Hanum dapatkan. Biasanya, Azila ini adalah orang yang paling ramah. Namun sekarang dia malah diabaikan oleh Azila. Hanum tidak tahu mengapa Azila bersikap seperti ini.“Kak Azila, Riyan ke mana?” tanya Hanum mencoba mencairkan suasana.Azila yang duduk di sebelah kanan Hanum tiba-tiba menggeser kursinya menjauhi Hanum
Tapi bukan Hanum namanya jika dia menyerah begitu saja. Dia kembali mencoba membujuk Ariana.“Dengarkan kami dulu, Kak-““Saya bilang pergi! Dengar tidak, sih?”“Saya akan membantu Kak Ariana untuk mencari kalungnya!” ucap Hanum cepat dalam sekali hembusan napas.“Kalung?”Hanum menganggukan kepalanya seperti ayam yang sedang mematuki makanannya.“Kau mendengar perkataanku tadi?”Hanum kembali menganggukan kepalanya tidak sadar bahwa pertanyaannya adalah sebuah jebakan. Ariana bangkit dan perlahan berjalan ke arah Hanum. Sedangkan Hanum hanya berdiri di tempatnya tidak tahu apa yang akan Ariana lakukan.Ariana mendekat ke arah Hanum dan membisikan kata, “Rahasiakan kejadian barusan. Atau kamu akan mendapat masalah jika menyebarkannya. Apa kamu juga ikut melihatnya?” Kini Ariana beralih ke Riyan. Riyan juga menganggukan kepalanya membenarkan perkataan Ariana.“Aku tidak takut dengan ancaman seperti ini. Jadi, daripada membuang-buang waktu untuk menyebarkan perlakuanku barusan. Mending
“Natapnya biasa aja kali,” protes Hanum saat melihat Riyan tak kunjung menyudahi ekspesi kagetnya serta mulutnya yang masih ternganga lebar.“Ini serius?” Riyan masih tidak percaya. Pasalnya, image yang dibangun perusahaan selama ini adalah Ariana yang sangat anggun dan murah senyum serta baik hati.“Serius! Coba aja tuh lihat sendiri.”“Mana?” Yang Riyan lihat adalah sosok Ariana yang sedang duduk dengan nyaman sambil bersedekap.“Ariana lagi duduk?” tanya Riyan lagi.“Bukan! Coba lihat ekspresinya.”“Tidak kelihatan. Mataku kan minus.”Hanum menepuk dahinya cukup keras hingga meninggalkan bekas merah, “Ya Tuhan. Pantesan.”“Ayo samperin,” ajak Riyan yang kini mulai berdiri dan bersiap untuk menghampiri Ariana. Tapi sebelum sempat melangkah, kakinya tertahan oleh suara keras yang ia dengar dari arah Ariana.“Belum ketemu juga? Gimana sih? Pokoknya harus dicari sampai ketemu!” tanya Ariana dengan nada tinggi.“Lapor Ariana, semua set dan staff sudah selesai menyiapkan keperluan pemotr
“Aww!”Hanum tersandung properti yang menghalangi jalan. Sebenarnya yang Hanum lewati itu bukan jalan luas, melainkan tempat seperti gudang yang dijadikan sebagai tempat penyimpanan alat-alat syuting. Areanya cukup berdebu dan setiap kali Hanum menginjakan kakinya, pasti akan menimbulkan kepulan debu yang berterbrangan.Logika Hanum mengatakan bahwa jika Ariana tidak terlihat di set pemotretan, maka satu-satunya tempat yang menjadi tujuan adalah ruangan make up Ariana. Berhubung Hanum tidak hapal dan tidak tahu letak ruangannya, jadilah dia acak berjalan. Dia berniat akan bertanya pada seseorang jika dia bertemu salah satu kru pemotretan nanti.PLAKK!Hanum tidak percaya dengan apa yang barusan ia lihat dan dengar. Dia terus berdiri di tempatnya saat ini dan tidak bisa berkata-kata.“Sudah berapa kali aku bilang kalau kalung itu sangat penting. Kenapa hilang?” teriak Ariana pada salah satu asisten yang bertugas mendampingi Ariana.Barusan ia menampar wajah salah satu asistennya. Arian
Hanum dan Riyan kembali mengunjungi kantor agensi Ariana. Kali ini mereka langsung menghubungi manajer Ariana di lobi. Tak lama kemudian manajer Ariana datang dengan tampang kecutnya. Sepertinya manajer Ariana sedang dalam suasana hati yang tidak mengenakan dan hal itu membuat Hanum sedikit ragu. Dia takut akan membuat misi kali ini kembali gagal.“Jadi bagaimana? Apa direktur kalian setuju untuk bertemu dengan Ariana,” tanya Lala langsung tanpa basa-basi. Dan mereka masih berdiri di lobi kantor membuat mereka dilihat oleh orang-orang yang lewat. Mereka bahkan tidak disuruh untuk duduk di suatu ruangan. Sikap ini sedikit membuat Hanum kecewa terhadap perlakuan dari karyawan agensi Ariana ini.“Eum … jadi begini … tujuan kami datang adalah untuk menegosiasikan persyaratannya kembali.” Hanum berbicara langsung pada intinya.Hanum melihat perubahan wajah Lala yang sudah terlihat seolah tidak senang dengan kedatangan mereka menjadi tambah terlihat dingin.“Kalau begitu kalian bisa pergi d
“Azila, kamu ada masalah apa, sih sama kita berdua? Kayaknya kok sinis banget. Ini tuh tugas bersama. Bukan cuma aku dan Riyan,” jawab Hanum yang membuat suasana tambah runyam.“Tapi kan ini kemarin ditugaskan ke kamu,” jawab Azila dengan tampang tidak berdosanya.“Ini tugas bersama. Kemarin kita serahkan ke Hanum dan Riyan karena kami pikir pekerjaan ini mudah. Tapi ternyata malah diluar dugaan. Begitu sulit. Malah kalau sebenarnya ini harus dikerjakan sama senior,” kata Stefani yang langsung membuat Azila bungkam seribu Bahasa.“Tapi kan-““Sudah. Jangan dibahas. Sekarang kita fokus memikirkan jalan keluarnya bersama-sama,” kata Geo memotong pembicaraan Azila. Dia harus melakukan ini supaya tidak ada lagi pertengkaran di dalam tim tiga marketing. “Jalan satu-satunya ya kita minta tolong sama Pak Abian,” kata Riyan sesuai fakta tapi membuat rekan-rekannya diam dan tidak tahu harus merespon seperti apa. Memang benar mereka harus meminta bantuan pada Abian, itu memang syarat yang Aria
“Apa benar-benar tidak bisa dilakukan dalam waktu sembilan hari?”Jelas tidak! Ingin rasanya orang-orang di divisi marketing berteriak dan memaki Abian. Mereka ingin Abian sendiri mencoba merampungkan proyek di waktu yang sangat singkat ini.“Tidak, Pak. Kami memerlukan waktu setidaknya satu bulan paling cepat.” Bagi divisi marketing, Kevin ini sudah seperti pahlawan yang melawan penjahat terberat bagi mereka.“Baiklah. Saya beri kalian waktu satu bulan yang berarti ini sama saja dengan bukan proyek hadiah ulang tahun ibuku.” Abian memutuskan untuk mengikuti apa kata para bawahannya. Padahal, jika itu dirinya, dia yakin bisa menyelesaikan dalam waktu sembilan hari. Jelas, mereka berbeda level dalam bekerja dan ketepatan waktu. Abian ini seperti tidak menyadari kalau dirinya itu berbeda dengan para karyawannya yang jelas tidak memiliki relasi seluas Abian yang dapat mempermudah segala urusan dan pekerjaannya. Abian nampak kecewa, namun pertemuan rutin tahunan itu selesai dengan tambah
Abian menghadiri dan memimpin acara hari ini. Meski ini adalah acara evaluasi tahunan Perusahaan Damanta, nyatanya ini juga dilakukan untuk membahas kegiatan ulang tahun Perusahaan Damanta bersama para karyawan.“Tahun lalu sudah melakukan acara mendaki gunung bersama-sama. Tahun ini acara ulang tahun tidak akan diadakan di luar, maksud saya tidak akan diadakan di alam terbuka karena mengingat kami juga memiliki proyek yang harus segera dirampungkan. Proyek itu kalian pasti tahu sendiri, kan? Iya proyek untuk ulang tahun ibu saya yang masih berkaitan dengan produk skincare. Saya harap sebelum hari ulang tahun Perusahaan Damanta, proyek produk skincarenya sudah rampung. Apa kalian mengerti?” tanya Abian pada karyawannya yang langsung dijawab serempak dan kompak kalau mereka mengerti maksud Abian.Abian sesekali melihat Hanum. Wajah dan semangat Hanum hari ini sepertinya sudah terkuras habis. Dia bahkan tidak terlihat terlalu memperhatikan selama evaluasi berlangsung. Tingkah itu tak se
Hanum menepuk jidatnya saat dia menyadari bahwa dia sudah membuang kesempatan untuk membujuk Abian. Dia baru teringat kalau dia belum mendapat persetujuan dan belum membahas perkembangan soal Ariana dengan Abian. Di sepanjang jalan menuju ruangan neneknya dia merutuki dirinya sendiri. Rasanya ingin berbalik dan berbicara dengan Abian tapi tidak mungkin Hanum berani. Dia tadi sudah bersikap tidak sopan dan membuat Abian menungguinya yang tertidur. Dan kemungkinan Abian juga sudah pergi itu tinggi.“Kenapa?” tanya Denta yang melihat Hanum berhenti di depan pintu kamar neneknya dan malah menepuk jidatnya sendiri bukannya masuk ke dalam.“Lupa!” kata Hanum heboh sendiri.“Apanya yang lupa?”“Hehe.” Jujur saja dia sangat malu kalau mengingat dia sudah berkali-kali berbuat hal yang memalukan di depan Abian. Dia ingin sekali melupakan kejadian-kejadian itu dan menguburnya agar tidak pernah lagi mengingat momen memalukan di dalam hidupnya. Haruskah dia bercerita ke pada Denta?“Malah cuma ket
“Tadi juga yang mengangkat telepon itu suara perempuan. Lagi ngapain coba malem-malem begini sama cewek. Maksudku, kenapa cewek itu bisa pegang ponselnya Kak Kevin.” Hanum kembali menangis. Kali ini dia menumpahkan keluh kesahnya pada sahabatnya. Mulai dari masalah adiknya hingga masalah bersama bosnya.“Mungkin aja lagi ada acara alumni? Atau ada acara apa mungkin.” Denta mencoba membantu Hanum untuk perpikir positif.“Oh, iya. Kamu benar juga,” kata Hanum yang langsung duduk tegak dan menghapus sisa air matanya.Denta memandang Hanum dengan tatapan aneh. Dia tidak percaya sahabatnya ini sangat mudah dibujuk untuk tenang. Denta pikir dia akan membutuhkan waktu lama untuk membujuk Hanum supaya tidak menangis lagi.“Udah nangisnya? Cuma segitu?” Denta dibuat melongo oleh tingkah konyol Hanum.Dengan polosnya Hanum menjawab, “Udah. Kan tadi nangis karena aku numpahin sambel banyak banget.”“…”“Tahu tidak, Den.”“Tidak.”“Kan aku belum ngomong. Gimana, sih!” Suasana hati Hanum berubah d