Lynea terdiam mendengar pertanyaan Gabriel. Sebuah kalimat yang ia akui sangat menohok di dalam batin. Selama ini memang sering terjadi perang batin melihat sikap Enrico kepada dunia. Namun, seiring berbagai keindahan yang telah ia jalani bersama suaminya, rasa cinta membutakan segala.
“Lyn, maafkan aku. Bukannya aku mau membuatmu marah. Aku hanya merasa kamu tidak bersama orang yang tepat. Kamu begitu lembut, sementara dia begitu … begitu kasar.” Gabriel memajukan diri hingga duduk di pinggir ranjang.
“Enrico begitu lembut padaku. Dia menyanjungku. Aku bahagia bersamanya,” sanggah Lynea memalingkan wajah.
Tawa kecil terdengar. Sesaat tawa itu serasa mencibir pernyataan terakhirnya. Lynea melirik pada Gabriel dan kedua pandang mereka beradu.
“Baiklah kalau kamu bahagia. Aku akan berusaha mempercayainya, Lyn.” Gabriel terus tersenyum.
“Kamu juga bukan orang suci. Kamu bermain dengan Elena di belakangk
Tubuh terasa ringan ketika pandang kemudian menggelap. Lynea pingsan. Punggungnya melengkung ke depan sehingga kepala terantuk meja. Hampir saja ia merosot dari kursi bila Enrico tidak cepat menangkap tubuh lunglai sang istri.Bryant dan Jenna cepat menaiki panggung. Flash kamera wartawan semakin hebat memancarkan cahaya. Kondisi kacau di atas panggung tentu merupakan berita terpanas siap untuk disebarluaskan.“Bawa ke belakang panggung!” perintah Enrico pada Bryant.“Paman Roma, Alonzo! Lanjutkan konferensi pers!” Enrico mengikuti langkah adik iparnya ke belakang panggung.Bryant meletakkan Lynea di atas sofa panjang. Keringat terlihat membasahi wajah ayu yang sedang terlelap tak sadarkan diri.“Lyn? Lynea! Bangun!” Ia menepuk pelan pipi kakaknya.“Aku telepon Dokter Maria!” Enrico mengeluarkan ponsel. Wajahnya pucat karena panik. Berkali-kali keningnya dipijit.Jenna mengambil botol pa
“Tenanglah, Lyn. Dokter Maria berkata kamu tidak boleh stress, bukan? Hentikan marah-marah begini.” Enrico kembali memeluk istrinya.“Aku muak dengan perasaan tidak tenang ini. Takut musuh datang lalu mencelakai. Takut wanita-wanita pemujamu itu datang dan membuatmu lupa, bahwa kamu adalah suamiku!”“Aku tidak mungkin melupakan kita sudah menikah. Ayolah, aku bukan Enrico yang dulu!”“Oh ya? Kalau begitu kenapa kamu terlihat mesra sekali dengan Naima tadi siang? Kamu pikir bagaimana perasaanku melihatmu dicium oleh wanita lain?” Lynea mulai terisak.“Ciuman itu hanya sekedar sapaan saja, Lyn. Aku sudah katakan kemarin, aku tidak pernah mencintai Naima atau siapa pun. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan.” Enrico terus membela diri. Sebenarnya ia mulai kesal.“Kalau begitu besok kalau bertemu lagi dengan Gabriel di rumah sakit, aku akan membiarkan dia memeluk dan menciumku. Karena ju
Lynea menatap nanar pada layar ponsel. Siang ini terasa melelahkan sekali padahal ia baru saja bangun tidur. Urusan hati memang tidak pernah mudah.“Nyonya, maafkan saya, tapi … berhentilah menemui dokter itu. Kalau Tuan Enrico tahu, semua akan menjadi rumit,” cakap Jenna. Diletakan sisir kembali pada meja rias.“Aku tidak ada niat menemuinya. Aku tidak ada apa-apa lagi dengannya.”“Tapi dia masih terus mengejar Anda?”“Hmm, aku tahu itu. Tapi aku tidak pernah menanggapinya. Aku ke rumah sakit hanya ingin memeriksakan diri. Badanku lemas sekali.”Lynea berusaha meyakinkan Jenna bahwa dia sudah tidak ada apa-apa lagi dengan Gabriel. Namun, sebenarnya benarkah yang ingin diyakinkan adalah Jenna? Bukan dirinya sendiri?“Perkara hati itu sulit, Nyonya. Apa yang tersimpan dalam hati kadang hanya menunggu waktu yang tepat untuk keluar kembali.” Jenna tersenyum penuh arti.&l
Elena bukanlah wanita sembarangan. Selain cantik, otaknya sangat pintar. Ditambah dengan kepribadian yang memiliki semangat juang tinggi, kadang terlihat meresahkan bila sedang mendamba sesuatu. Pangeran De Luca sedikit banyak merasa khawatir perbuatan Elena akan menjauhkannya dari Lynea. Ia merasa harus membuat pernyataan tegas agar Elena berhenti hadir dalam kehidupannya kembali. Satu pesan akan ia berikan untuk Elena. Enrico [Tidak usah kembali dalam kehidupanku lagi. Kita sudah berakhir. Aku sudah berkeluarga, dan aku bahagia. Semoga kamu juga bisa bahagia.] Elena [Kamu yang mengusirku kemarin, di saat aku telah berkorban begitu banyak untukmu. Aku tak pernah mengakui kita berakhir. Tapi tak mengapa, semua sudah di masa lalu. Yang penting adalah masa depan kita bersama.] Enrico [Tidak usah berpikir panjang. Tidak akan ada masa depan untuk kita. Aku sudah bersama Lynea. Aku mencintai istriku. Kami akan segera memiliki
Hari demi hari berlalu. Pemberitaan demi pemberitaan hampir selalu sama. Lynea mengikuti saran Dokter Maria, ia membuang semua aplikasi berita dan mesin pencari. Segala pemberitaan tentang dirinya hanya akan membuat hati semakin sakit. Nyawa yang ada di dalam kandungan terlalu berharga untuk disakiti dengan berbagai pikiran negatif.Menuruti keinginan suaminya pula, Lynea berganti nomor. Hanya saja, nomor lamanya ia berikan pada Bryant, dengan catatan hanya berita penting saja yang dikabarkan padanya. Berbagai chat dari Gabriel tidak boleh dibuka atau dibalas. Biarkan saja terendap, tidak terbaca. Bryant menerima keinginan kakaknya.Lynea berhenti menemui Dokter Maria di rumah sakit. Apabila memeriksakan kandungan, maka rumah sakit lain menjadi tempat kunjungannya. Menghindari Gabriel adalah yang terbaik untuk saat ini.Enrico adalah Enrico. Lynea sadar itu sekarang. Tidak semudah itu merubah orang. Apa yang ia lihat saat di villa, lelaki yang dirasa lembut dan
Lynea bergegas mencari Bryant. Adiknya itu pasti tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.“Aku tidak tahu ada apa, Lyn.” Bryant berkilah. Ia menghabiskan sarapan tanpa memandang kakaknya.“Bohong! Aku kakakmu, aku tahu kalau kamu berbohong! Ayolah, Bryant. Jangan buat aku seperti orang bodoh tidak tahu apa-apa!”Lynea menatap jengkel pada adiknya. Lelaki satu ini lebih setia kepada Enrico daripada dirinya.“Nyonya, maaf, tapi ada yang mencari Anda,” Jenna menghampiri.“Siapa?” tanya Lynea. Selama ini ia tidak pernah menerima tamu di istana De Luca.“Kepolisian San Angelo timur, Nyonya.”“Bryant? Ayo katakan! Ini ada apa?” Lynea mulai panik.“Aku tidak tahu! Temui saja mereka dan katakan kamu tidak tahu apa-apa, Lyn!”Lynea mendengkus. Kesal sekali rasanya menghadapi Bryant seperti ini. Ia melangkah cepat menuju ruang tamu. Jenna mengekor
Dua kalung yang identik, dengan liontin berbentuk separuh hati, menjadi satu-satunya benda yang menutupi tubuh Enrico dan Lynea. Benda berupa rantai kecil dari emas putih tampak bergelayut bebas di leher keduanya.Desah Enrico semakin menjadi melihat bagian belakang tubuh Lynea di depan pinggulnya. Istri cantiknya itu sedang bertumpu di atas kasur dengan kedua tangan dan kaki.Dorongan melesak, memasukkan kejantanan secara sempurna ke dalam lorong hangat.“Aaaah,” lenguh Lynea merasakan kewanitaannya terisi penuh.Tubub Enrico menjura ke depan. Sedikit membungkuk, mengecup punggung sang istri. Tangannya kemudian menggosok lembut. Mulai dari tengkuk, turun ke punggung, sampai pada bongkahan kembar yang mengapit junior dengan legit.“Kamu seksi sekali tampak belakang seperti ini!” racau Enrico menepuk-nepuk bongkahan itu. Tidak terlalu keras hingga menyakiti, tapi juga tidak terlalu ringan.Setiap dorongan menambah keni
Wajah tegang, pusaran kawatir membayang. Kondisi Lynea siang ini berada dalam perjuangan hidup dan mati. Pendarahan yang begitu banyak membuatnya tidak sadar diri.Bryant dan Jenna mondar-mandir di luar ruang UGD. Entah sudah keberapa kalinya Lynea masuk di rumah sakit ini.Sementara itu, Enrico masih berpacu dengan waktu. Meliuk di antara keramaian kendaraan siang hari Kota San Angelo yang padat. Kevin sudah berusaha mengendarai mobil dengan kekuatan penuh dan kecepatan tinggi.“Harusnya aku minta pengawalan dari Dominic! Kalau begini terus kapan aku sampai di rumah sakit?” sesal Enrico merasa dirinya melakukan kesalahan.“Lima belas menit lagi sampai, Tuan. Saya yakin Nyonya Lynea sudah ditangani dengan baik di sana.” Alonzo coba menenangkan.“Lynea sudah tidak sadar, Alonzo! Dia kehilangan banyak darah! Apa kamu tidak dengar tadi Bryant bilang apa?” hardik Enrico menolak untuk ditenangkan.Alonzo terdia