Enrico bersama Alonzo menatap sebuah makam. Tertulis di nisan David Moretti terbaring dengan tenang bersama Tuhan. Napas Enrico terasa sesak. Ia terkenang momen kebersamaan dengan pengawal paling berani bernama David.
Sesuai janjinya dulu. Apabila ia berhasil kembali berjalan dengan normal, maka tempat pertama yang akan ia datangi adalah makam David, sang bodyguard kebanggaannya.
“Dia rela kehilangan nyawa demi aku,” lirih Enrico. Suaranya tergetar. Kenangan terakhir sebelum ia pingsan adalah bagaimana David tersungkur di sampingnya. Peluru yang ditembakkan Maddy untuknya justru bersarang di tubuh sang bodyguard.
“Kamu masih terus mengirim uang untuk ibu dan adiknya?” tanya Enrico menahan isak.
“Masih, Tuan. Sudah otomatis transfer dari bank.” Alonzo melepas kacamata dan menyeka bulir kesedihan.
“Baguslah. Naikkan jumlahnya setiap satu tahun sekali.”
“Baik, Tuan.”
Keduanya kembali terdiam. Suara tawa David terngiang di telinga
Racauan dari Lynea membuat Enrico menggila. Ia tidak menyangka istrinya akan seliar ini di atas ranjang. Penampilan serta perilaku Lynea selama ini terlihat kalem, tenang, dan kadang pemalu. Siapa menduga ia bisa berteriak dan mendesah seperti sekarang.Enrico berhenti sejenak menikmati dada istrinya. Ia memeta wajah merona Lynea yang sedang terpejam dengan napas semakin memburu. Tubuh seakan bergerak dengan sendirinya menggelinjang tanpa bisa ia tahan dan kontrol.“Mmmh …,” desah Lynea tanpa jeda.Menyadari sang suami berhenti mencumbu, ia membuka mata dan mendapati wajah Enrico yang sedang terpana.“Kenapa? Ada yang salah?” tanya Lynea khawatir.Ia menjadi salah tingkah dan berusaha menutupi dada telanjangnya dengan selimut.“Yang salah adalah … aku telah menyia-nyiakan cintamu padaku selama ini,” jawab Enrico mengecup kening sang istri.“Maafkan aku, Lynea. Aku janji, mulai se
Pagi hari di kota Paris. Udara dingin merebas, menambah nikmat kehangatan yang tercipta dalam dekapan Enrico De Luca. Mata Lynea masih terpejam dengan damai, sementara sang suami sudah terbangun lebih dulu dan mengecek berbagai hal lewat ponselnya.Nama Alonzo muncul di layar yang bergetar.“Ya?” jawab Enrico.“Maaf mengganggu Anda, Tuan. Ada informasi tentang perusahaan di San Angelo. Maximo Corporation baru saja mengumumkan akan bekerja sama dengan San Angelo’s Wealth Future Corporation.” Alonzo menjelaskan situasi terkini.Enrico menghela napas kasar. Perlahan ia menarik tangan dari pundak Lynea. Meninggalkan tempat tidur lalu menuju balkon. Ia tidak ingin percakapan dengan Alonzo membangunkan istrinya.“Viery sudah mengumumkan secara resmi?” tanya Enrico. Ia berdiri di balkon hanya dengan memakai jubah tidur satin berlabel inisial hotel.“Internal perusahaan sudah mendapat pengumumannya, Tu
Rombongan Enrico sudah bersiap untuk menikmati keindahan kota Paris hari ini. Sebenarnya untuk Enrico dan Alonzo sendiri, kota Paris bukan lokasi yang asing. Sudah tidak terhitung berapa kali ia mengunjunginya. Selain itu, banyak foto model di sana yang merupakan teman kencan satu malam Tuan Muda De Luca, pada jaman dahulu kala.Mereka menaiki Menara Eiffel sampai tingkat paling tinggi dan menikmati pemandangan kota Paris tanpa terhalang apa pun.“Benar-benar indah pemandangan dari atas sini,” gumam Lynea tak berkedip.“Hmm, apakah menjadi lebih indah lagi karena menikmatinya bersamaku?” rayu Enrico memeluk Lynea dari belakang dan langsung mengecup pipi istrinya.Lynea menoleh hingga bibir mereka bertemu. Keduanya berciuman, seolah dunia hanya milik berdua.“Ayo, kita turun sekarang. Masih banyak tempat lain yang bisa kita datangi. Kalian para wanita tidak ingin berbelanja?” ajak Enrico menggandeng tangan Lynea m
“Tarik ucapanmu itu!” tegas Lynea. Rasa panas terasa mengaliri darah sampai di wajahnya.“Bisa saja benar, kan? Untuk apa aku tarik?” tolak Enrico.Keduanya sama-sama keras kepala. Sedikit banyak Lynea merasa kesal dan ingin membalas dengan membuat suaminya cemburu. Ia lupa, bahwa seorang Enrico De Luca bukanlah orang yang tepat untuk dibuat cemburu seperti ini. Bila ia tidak kemudian menyuruh anak buahnya menembak Gabriel saja sudah baik.“Kamu pikir aku semudah itu berpaling dari satu lelaki ke lelaki lain? Aku bukan kamu yang selalu memiliki mantan teman tidur di setiap negara dan kota!” balas Lynea sengit.“Lalu kenapa kamu masih berhubungan dengan Gabriel? Kalau kamu bukan perempuan murahan seperti itu, harusnya kamu tidak menerima teleponya, bukan?” ejek Enrico. Lelaki satu ini memang pintar sekali membuat emosi seseorang semakin naik ke ubun-ubun.“Seperti kamu juga seharusnya tidak mener
“Kamu akan baik-baik saja, Sayang,” ucap Enrico merengkuh jemari Lynea lalu menciumnya.“Aku merasa mual sekali, dunia rasanya berputar,” sahut Lynea lemas. Matanya sayu menatap.Mendengar ini, hati Enrico semakin tidak tenang. Ia tahu pihak rumah sakit sudah memasukkan obat-obatan dan tanda-tanda vital istrinya semua dalam keadaan normal. Akan tetapi, ia terus gelisah selama Lynea masih merasa sakit seperti ini.Suhu tubuh sudah kembali normal. Tidak sepanas saat di mobil tadi. Harusnya kondisi yang membaik ini dibarengi dengan kembalinya rasa nyaman. Ingin rasa hatinya mengobrak-abrik seisi ruangan UGD karena Lynea masih merasa tidak enak badanPintu ruangan terbuka, seorang dokter wanita yang masih muda belia memasuki ruangan dengan membawa selembar kertas di tangannya. Ia tersenyum dengan manis, menatap Lynea dan Enrico secara bergantian.“Ada apa kamu senyum-senyum? Istriku masih tidak enak badan! Aku robohkan rum
Lynea terdiam mendengar pertanyaan Gabriel. Sebuah kalimat yang ia akui sangat menohok di dalam batin. Selama ini memang sering terjadi perang batin melihat sikap Enrico kepada dunia. Namun, seiring berbagai keindahan yang telah ia jalani bersama suaminya, rasa cinta membutakan segala.“Lyn, maafkan aku. Bukannya aku mau membuatmu marah. Aku hanya merasa kamu tidak bersama orang yang tepat. Kamu begitu lembut, sementara dia begitu … begitu kasar.” Gabriel memajukan diri hingga duduk di pinggir ranjang.“Enrico begitu lembut padaku. Dia menyanjungku. Aku bahagia bersamanya,” sanggah Lynea memalingkan wajah.Tawa kecil terdengar. Sesaat tawa itu serasa mencibir pernyataan terakhirnya. Lynea melirik pada Gabriel dan kedua pandang mereka beradu.“Baiklah kalau kamu bahagia. Aku akan berusaha mempercayainya, Lyn.” Gabriel terus tersenyum.“Kamu juga bukan orang suci. Kamu bermain dengan Elena di belakangk
Tubuh terasa ringan ketika pandang kemudian menggelap. Lynea pingsan. Punggungnya melengkung ke depan sehingga kepala terantuk meja. Hampir saja ia merosot dari kursi bila Enrico tidak cepat menangkap tubuh lunglai sang istri.Bryant dan Jenna cepat menaiki panggung. Flash kamera wartawan semakin hebat memancarkan cahaya. Kondisi kacau di atas panggung tentu merupakan berita terpanas siap untuk disebarluaskan.“Bawa ke belakang panggung!” perintah Enrico pada Bryant.“Paman Roma, Alonzo! Lanjutkan konferensi pers!” Enrico mengikuti langkah adik iparnya ke belakang panggung.Bryant meletakkan Lynea di atas sofa panjang. Keringat terlihat membasahi wajah ayu yang sedang terlelap tak sadarkan diri.“Lyn? Lynea! Bangun!” Ia menepuk pelan pipi kakaknya.“Aku telepon Dokter Maria!” Enrico mengeluarkan ponsel. Wajahnya pucat karena panik. Berkali-kali keningnya dipijit.Jenna mengambil botol pa
“Tenanglah, Lyn. Dokter Maria berkata kamu tidak boleh stress, bukan? Hentikan marah-marah begini.” Enrico kembali memeluk istrinya.“Aku muak dengan perasaan tidak tenang ini. Takut musuh datang lalu mencelakai. Takut wanita-wanita pemujamu itu datang dan membuatmu lupa, bahwa kamu adalah suamiku!”“Aku tidak mungkin melupakan kita sudah menikah. Ayolah, aku bukan Enrico yang dulu!”“Oh ya? Kalau begitu kenapa kamu terlihat mesra sekali dengan Naima tadi siang? Kamu pikir bagaimana perasaanku melihatmu dicium oleh wanita lain?” Lynea mulai terisak.“Ciuman itu hanya sekedar sapaan saja, Lyn. Aku sudah katakan kemarin, aku tidak pernah mencintai Naima atau siapa pun. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan.” Enrico terus membela diri. Sebenarnya ia mulai kesal.“Kalau begitu besok kalau bertemu lagi dengan Gabriel di rumah sakit, aku akan membiarkan dia memeluk dan menciumku. Karena ju
Sudah hampir satu tahun sejak Lynea menandatangani surat perceraiannya. Ia tetap tinggal di rumahnya yang berada di desa kecil, kota San Aguira. Bryant memilih untuk tetap bekerja di kota San Angelo dan menjadi kepala keamanan untuk kantor utama Maximo Corporation. Setiap dua atau tiga minggu sekali ia selalu pulang menemui Lynea dan keponakannya. Kabar tentang Enrico sering diceritakan oleh Bryant. Namun demikian, Lynea tidak pernah terlalu bersemangat untuk mendengarkannya. Bagaimana ia masih menyimpan luka dan harapan yang tak pernah pudar terhadap hubungan mereka, kadang membuat hatinya semakin sakit. Enrico pun masih sering menanyakan pada Bryant bagaimana kondisi Lynea dan David. Setiap Bryant kembali ke desa, Enrico selalu membawakan hadiah-hadiah mahal untuk anaknya. Kata Bryant, Enrico selalu menanyakan apakah kini Lynea sudah memiliki tambatan hati yang baru? Setiap mendengar bahwa Lynea masih sendiri, Tuan Besar De Luca hanya terdiam kemudi
Dalam temaram kendaraan menuju kantor polisi, Lynea menatap tak percaya pada selembar kertas di tangannya. Enrico setuju untuk bercerai dengannya.“Apakahah dia bersalah? Kamu yang memaksa bercerai, padahal dia hampir gila karena kamu pergi!” Kembali Romario menyindir secara terang-terangan.“Paman, ayolah bantu aku! Lalu sekarang aku harus bagaimana?” rengek Lynea kesal. Sampai kapan ia dan Enrico harus seperti ini.“Aku tidak tahu. Aku hanya pengacara. Kalian yang menikah. Berbicaralah satu sama lain, hati ke hati.”“Kenapa dia tidak datang malam ini? Apa dia tidak tahu kalau aku hampir mati? Apa dia tidak sadar pacarnya mau membunuhku, dan kini pacarnya itu sudah mati?” gusar Lynea.“Telepon saja langsung. Tanyakan sendiri,” jawab Romario santai. “Aku teleponkan Enrico untukmu saat ini juga.”Hati Lynea berdetak lebih cepat. Debaran rindu atau rasa bersalah menjadi sa
Cinta, sebuah rasa sejuta cerita Madu pelepas dahaga Racun pembunuh jiwa Hidup mati karenanya Cinta, mendatangkan obsesi Untuk saling memiliki Tak rela bila harus berakhir Sabit kalam menjelma tahir “Kamu baik-baik saja, Lyn?” Gabriel terengah-engah datang, langsung memeluk kekasihnya. Belum bisa mengucap apa-apa karena rasa shock yang bergulir sepanjang hari, yang ditanya hanya terdiam berlinang kepedihan. “Semua sudah berakhir, Lyn. Besok kita akan pergi meninggalkan ini semua. Hanya kamu, aku, dan anak-anak kita,” lanjut Gabriel mendekap erat. Tubuh yang bergetar, hati yang dingin, dan kunci kebahagiaan yang telah entah kemana. Lynea tertegun menatap sang dokter dengan hampa. “Aku … ti-tidak bisa … ikut de-denganmu,” gumamnya datar, ringan, dan gamang. “Apa maksudmu? Kita sudah berjanji untuk saling setia dan bersama selamanya! Baru tadi pagi kamu dan aku menyusuri sungai masa
Pandang Lynea mengabur. Rasanya semua ini terlalu berat untuk dijalani dalam waktu satu hari. Apakah penderitaan akan berakhir? Mengapa dunia begitu kejam padanya?Dimanakah bahagia itu? Apakah memang benar ada wujud nyata dari sebuah kata tersebut? Kalau memang hidupnya berhak merasakan, kenapa semua sulit sekali didapatkan?“Ga-Gabriel sudah memiliki i-istri? Sejak ka-kapan kalian me-menikah?” Terbata-bata dan bergetar ia bertanya.Lagi, air mata mengalir begitu saja. Rasa itu bahkan seperti sudah mati. Hancur berkeping, terserak di atas tanah begitu saja menunggu gersang.“Sejak lima tahun lalu, Nyonya,” jawab Avril mulai berkaca-kaca pada matanya.“Hai, Kristin. Ayo, ikut Tante. Kita lihat adek bayi, mau?” Jenna mengajak gadis cilik itu menjauh dari dua wanita dewasa yang akan segera runtuh bersamaan.Kristin melirik pada ibunya. Ketika sang ibu menganggukkan kepala, ia menerima uluran tangan Jenna dan
Ombak tenang menghiasi sungai kecil. Dua anak Adam menyusuri perlahan. Sang wanita membiarkan tangannya digenggam erat oleh teman prianya. Wajah mereka berseri, tidak kalah indah dengan gaung alam dan udara senja.“Kamu bahagia atau tidak, Lyn?” tanya Gabriel menatap begitu lembut.“Bersamamu? Aku bahagia. Selama ini aku sudah salah arah,” jawab Lynea tersenyum lalu mengacak-acak sedikit rambut teman masa kecilnya.Tiba-tiba Gabriel berlutut di hadapannya. Tangan kanan mengambil sesuatu dari kantong jaket. Sebuah kotak kain mungil berwarna biru tua.“Aku tahu kamu masih menjadi istri orang dan sedang dalam proses cerai, tetapi aku begitu terobsesi dan jatuh cinta padamu,” ucap Gabriel. Perlahan ia membuka kotak itu.Sebuah cincin emas putih dengan berlian mungil berbentuk hati di tengahnya dipersembahkan untuk Lynea.“Maukah kamu menikah denganku? Be my wife, for all eternity,” pintanya memberi
Enough is enough, begitu kata pepatah. Cukup sudah semua ini membuat hidup Lynea begitu kacau dan naik turun seperti roller coaster. Tidak ada lagi yang harus dipikirikan. Dua kali sudah Enrico bercinta dengan Elena saat masih menyandang status sebagai suaminya. “Terima kasih karena telah membuka mataku, Elena. Kini aku mengetahui, seperti apa suamiku sebenarnya. Kamu bisa mengambilnya. Aku tidak butuh lelaki yang tidak setia padaku.” Lynea menegakkan kepala, berbicara dengan anggun dan tegas. Jika harga diri adalah satu-satunya yang tersisa dari dirinya, maka ia akan menjaganya dengan sebaik mungkin. Tidak ada yang boleh menghancurkan seutas harga diri tersebut. “Lyn, aku minta maaf,” pinta Enrico berniat mengikuti langkah istrinya yang mulai meninggalkan ruangan. Lynea tidak menoleh sama sekali, apa lagi menjawab. Baginya keberadaan Enrico tidak lebih dari sebuah kisah usang. Terus saja berulang tanpa ada akhir bahagia. “Kamu! Wanita ular!”
Sekian pasang mata menatap cemas ketika pintu ruang operasi dibuka dan seorang perawat keluar memanggil keluarga Alonzo. Felix segera berdiri dan maju menghampiri sang perawat.“Saya kakaknya,” ucapnya.“Operasi Tuan ALonzo telah selesai. Ternyata ada tiga peluru yang masuk dalam tubuhnya.”“Apakah Alonzo hidup?” Enrico menyela.“Beliau telah melewati masa kritis selama dua jam terakhir. Tubuhnya menunjukkan repson yang baik terhadap obat-obatan yang kami berikan. Kini kondisinya sudah stabil, tapi masih dalam bius total sampai dua hari ke depan.”“Terima kasih, Tuhan!” jerit Lynea melompat dan memeluk Enrico.Dia lupa kalau sedang menjauhi sang suami. Semua kembali bernapas lega mendengar kabar baik ini. Ketegangan seketika menghilang. Felix menitikkan air mata bahagia, dan langsung di seka oleh jemarinya. Tidak ada air mata bagi lelaki tangguh yang melewati berbagai peperangan. Na
“Alonzo! Bangun, buka matamu! Alonzo, ayolah! Bangun, bangun! Kamu tidak boleh pergi dengan cara seperti ini!” Enrico menepuk-nepuk pipi orang kepercayaan dan sahabat terbaiknya. “Siapkan helikopter!” seru Felix kepada anak buahnya melalui speaker telinga. “Paramedik!” teriak Kapten Abrahm berulang. Orang-orang berbaju putih berlambang palang merah datang, membawa tandu dan kotak pertolongan pertama. Mereka segera menekan luka tembak di dada Alonzo dan menutupnya dengan perban. Tubuh yang sudah tidak sadarkan diri itu kemudian diangkat oleh empat orang ke atas tandu. “Parkir helikopter di halaman belakang saja! Adikku harus ke rumah sakit saat ini juga!” Felix terus memerintah anak buahnya. Ketika mereka melintas di antara kursi-kursi sidang, jenazah Viery sedang tergeletak di atas lantai dengan darah menggenang sangat banyak. Alessia berlutut di samping tubuh sang kakak yang sudah tidak bernyawa. Ia menangis dan berteriak, sangat memilukan.
“Enrico?” tanya Gabriel melirik ke ponsel Lynea.“Hmm, dia telah mencoba menghubungiku sejak kemarin.”“Kamu benar-benar masih cinta padanya? Orang seperti dia, Lyn?”Lynea terdiam. Ia sendiri tidak tahu jawaban dari pertanyaan itu. Ada sesuatu yang membuatnya begitu terikat pada sang suami, dan itu bukan hanya karena Enrico adalah ayah dari putranya. Seolah ada aura khusus yang membuat dirinya, dan juga ratusan wanita lain tidak bisa berhenti mencintainya.Ya, dia memang kaya raya, tapi Lynea tidak pernah memedulikan itu semua. Tampan? Sangat! Akan tetapi, Gabriel pun memiliki wajah baby face yang diidolakan para dokter wanita di rumah sakit.Enrico memiliki jiwa yang misterius. Di sana, ada kekerasan, tetapi juga kelembutan. Penuh dendam, namun juga mencari kedamaian. Serba kekerasan, hanya saja ia juga begitu mencintai istrinya.“Aku tidak tahu, Gabriel. Semua ini terlalu menyesakkan dan membingun