Bab 18 Akting, tapi Nyaman
“Cinta itu tak selalu harus diucapkan 'aku cinta kamu', 'I love you', atau 'te amo'. Kepedulian pada hal kecil dan detail, perhatian seseorang pada sesuatu yang mungkin tidak kamu sadari juga bisa karena cinta.”
Jawaban Inu Adikara berhasil melarutkan emosiku sore ini. Itu adalah jawaban atas pertanyaanku, “Apa maksud perhatianmu di lapangan tadi?”. Kutanyakan saat gerimis turun di malam hari saat kami duduk berdua di ruang makan tanpa banyak ekspresi.
Gerimis melanda di penghujung Desember adalah judul yang pas. Terdengar sendu dan penuh kerinduan, ada kesedihan juga. Gerimis yang kusuka selalu membawa perasaan yang biru.
Inikah rasanya hati yang mulai disusupi cinta? Entah bagaimana hatinya Inu padaku, aku tak berani memikirkannya. Toh, aku tak serta merta mengaku mencintainya, gengsiku masih kokoh.
Sama seperti sore gelap menjelang malam ini, banyak hal yang harus kubicara
Sebenarnya saya nggak sepenuhnya kasih Dek Bridgia izin, mengingat acara nanti malam adalah acara perdana Adek di Persit. Namun, karena menyangkut pekerjaan dan tanggung jawab, saya tidak bisa berbuat banyak. Hanya tolong diinfokan kalau mau terbang atau bekerja. Sesuaikan dengan kegiatan di asrama. Jangan sampai saya dianggap pilih kasih antara Adek dengan anggota yang lain. Apalagi Adek istri perwira.”Aku perlu menghela napas sekali lagi. Meredakan gemuruh di benakku karena ‘wejangan’ bu Rifki 10 menit yang lalu. Baru saja aku pulang dari aula karena harus bersiap kerja. Dan tentu saja dapat pesangon berupa kalimat panjang sentimen macam tadi.Ya, aku memang salah. Aku yang nggak tahu prioritas, cuma memikirkan diri dan kesukaan sendiri. Beliau hanya menunaikan tugasnya sebagai ibu pimpinan. Jadi, beliau emang apa adanya, bukan karena ada apanya.Jam 13.00, udara terasa dingin karena gerimis melanda sejak pagi. Aku baru pulang dari
Bab 20 Gerimis Bulan DesemberGerimis bulan Desember telah berganti menjadi hujan bulan Januari semalam. Bukannya mereda, gerimis justru makin menderas. Ricik air hujan berubah menjadi guyuran, membuat bumi sekaligus hati membasah. Namun, rasanya masih kemarin kurasakan gerimis bulan Desember, sekarang rupanya sudah bulan Januari.Namun, rasanya masih sama. Bahkan, mungkin semakin larut. Awal Desember statusku masih lajang bahagia, awal Januari aku telah menjadi seorang istri – yang entah bahagia atau sengsara.Bahkan, di gerimis Desember, aku telah menyerahkan semuanya pada seorang lelaki bergelar suami. Entah apa perasaanku malam itu, aku mau saja. Sekedar nyaman atau terbawa suasana, semua mengalir begitu saja. Inu Adikara membawaku ke puncak asmara. Bermuara pada tindakan nekatku di malam pekat waktu Malaysia. Kucelupkan sebuah benda tipis ke air seni saat itu juga. Tenan
Wisnu Adikara POVBridgia Gantari alias Kolibri adalah spesies manusia yang tak ada hentinya membuatku kepikiran. Setelah puas membuatku tersiksa rindu beberapa malam, sekarang dia datang dengan kabar mengejutkan. Di bandara dia mempermainkan perasaan Belva dan di mobil dia meledakkan rasa kagetku.Di tangannya terselip atas tes kehamilan dengan dua garis merah. Brie jelas sedang hamil anakku. Sudah pasti anak siapa lagi, dia hanya tidur denganku selama ini. Yang bikin kesal, dia menolak mengakui kehamilan itu. Ya, dia sama saja dia menolak anakku, dan aku.Masih dipasangnya saja wajah tinggi itu. Berulang-ulang dia menghindar saat aku hendak membahas masalah kehamilan yang sedang dialaminya. Dia lebih suka menggosok hidung, menggaruk telinganya dengan wajah bosan, dan tindakan lain yang menunjukkan rasa tidak tertariknya.Kusentuh perutnya yang datar dengan nada cemas dan dahi berkerut takut. “Sabar, ya, Anakku. Papa sedan
Hujan deras menyambut langkah kakiku saat tiba di rumah Inu. Rumah megah itu sudah ramai dengan mobil-mobil dan suara obrolan ribut berpadu dengan suara hujan. Kata Inu, banyak keluarga ngumpul di rumah itu. Budhe-Pakdhenya Inu beserta keluarganya. Pak Prasetya Adikara adalah putra bungsu dari 3 bersaudara. Kakaknya ada 2 Budhe Isma dan Pakdhe Herbowo.Budhe Isma sudah kukenal sebelum menikah dengan Inu. Orangnya cantik, baik, dan sering nyeplos mirip bu Nanda. Beliau sering banget nyindir mantannya Inu dulu, sebut saja Belva. Sedangkan, Pakdhe Herbowo belum kukenali dengan dekat. Cuma pernah salim pas habis akad, udah. Beliau seorang perwira tinggi polisi. Jadi, memang bisa disimpulkan kalau keluarga ini adalah keluarga aparat.Mobil sudah berhenti selama dua menit, tapi Inu tetap diam dan mengamati situasi. Kutahu karena sedang mencari parkir, halaman luasnya sudah penuh mobil para kerabat. Wajahnya tampak kaku tak ingin beradu pandang denganku padahal aku selalu mel
“Kamu mau merebut Inu, lagi?” tanyaku percaya diri di kafe bandara.Kukeluarkan ponsel dari tas kecil. Tak hanya itu, sebuah kertas kecil juga jatuh ke tanah. Ah, mungkin struk Indomaret yang terselip di dekat HP. Abai. Lantas kupencet nomor Inu dengan percaya diri dagu terangkat. Tentu untuk memanasi Belva.“Hai, Mas. Aku udah landing. Bisa jemput, nggak? Malas pulang sendiri,” ucapku sok imut di panggilan kepada Inu. Kurasa dia sudah sesak napas mendengar lonjakan sikapku.“Kamu sehat, Dek?” balasnya dari seberang dengan menyebalkan.“Hemm, jemput, ya, Mas. Aku pusing, kepala berputar-putar,” lanjutku nggak nyambung, tapi makin bahagia karena wajah Belva menggelinjang kepanasan.“Kenapa sih, kamu bikin aku takut deh!” Sepertinya di seberang Inu makin sakit kepala.“Okay, Mas. Aku tunggu, ya! Aku di Starbucks depan ban
Arunika hangat mulai menembus mendung pagi yang cukup tebal. Mampu mengubah suasana angkuh musim hujan menjadi lebih akrab. Karena hujan, hawa dingin masih menjadi teman sehari-hari. Mungkin menjadi teman perempuan cantik yang wajahnya sedang sedih itu. Namun, dia merasa hangat saat mentari pagi menyapa punggungnya lewat kaca lebar lantai dua rumah sakit tempatnya bersedih itu.Tetap saja, Brie tidak menjeda wajah sedihnya. Brie dengan rambut yang dicepol berantakan terlihat menunduk. Kedua tangan putih yang berhias gelang emas memangku wajah mungilnya. Mata lentiknya sembab dengan riasan yang rusak ke mana-mana, sedikit bengkak. Bibir tipis pucatnya menggambarkan bahwa kelelahan sedang melandanya. Pun karena lipstiknya telah dihapus sang suami dengan manisnya tadi malam. Dia tak lebih lelah dari penerbanganredeyeyang sering dijalaninya.Semenjak malam tadi, Bridgia menemani sang papi terbaring di rumah sakit. Tekanan darah sang papi naik karena sy
Inu Adikara POVBridgia adalah sumber kekuatan dan penghubung yang kuat. Memang, dia bisa memberiku kekuatan saat memeluknya. Terasa semua letih hilang. Yang aneh, aku bisa kuat berdebat seru dengannya tanpa lelah. Dia juga menjadi penghubung antara aku dan Romo Ibu yang sempat koyak karena kesalahanku.Gantari artinya menyinari. Wajahnya memang secerah matahari pagi. Membuat pagiku terasa hangat hingga malam tak begitu dingin. Pembawaannya yang unik membuatku susah lupa. Sejak pertama berjumpa lagi dengannya hati kecilku berbisik cinta. Aneh, tapi aku benar-benar menghamba padanya.Hyacinta adalah nama bunga yang cantik dan wangi. Bunga miliknya itu selalu kusiram saat dia sibuk bekerja. Harum wanginya bisa jadi temanku saat sendirian di rumah. Ia mirip Brie, si cantik tapi malu-malu. Namun, nggak semua orang bisa tahan sama racun gatalnya, termasuk aku. Sama seperti Brie, yang kadang mulutnya gemesin pengen ngikat pakai tali.B
Wajah Captain Daniar takjub saat melihatku. Matanya bahagia seperti menemukan sebongkah berlian. Bibirnya itu bahkan sampai menganga kehabisan kata pembuka. Hingga dia hanya bisa menyentuh pundakku tempat handbag bertengger. “Unbelievable, ini kamu! Apa kabar, Bridgia?God, susah banget jadwal kita ketemu!” sambutnya meriah yang kubalas dengan cengiran polos.“Kita harusdinner! Harus! Kamufree, ‘kan? Akufreemalam ini, nggak ada penolakan lagi,” ocehnya makin ramai mirip burung kakaktua.Suami tercinta sampai juga di dekatku. Namun, wajah Inu mulai aneh saat menangkap percakapan ini, “Dek?” gugahnya meminta penjelasan.Wajahnya menyiratkan cemburu berat dan akut.Karena aku tak mau memperpanjang konflik apa pun, maka kuarahkan tangan Inu pada tangan si captain. “Capt, perkenalkan ini ….” Sayangnya, upayaku
“Mas … makanan Noah nanti angetin di panci kukusan aja, ya? Kita nggak punya oven. Jangan lupa lima menit aja nggak usah lama-lama!”“Mas, jangan lupa jemuranku di belakang! Udah mau kering paling jam sepuluhan udah siap angkat!”“Nanti kalau ada calon Persit mau ngadep jangan lupa disenyumin, Mas! Ingat juga nanti sore suruh ngadep aku lagi, okay?”“Noah nggak suka pakai popok kalau siang jadi Mas Inu kudu rajin ngajak dia ke kamar mandi setiap sejam sekali!”“Mas … bla bla bla!”Inu hanya melongok kecil tatkala Brie tercinta mondar-mandir dari kamar satu ke kamar satunya. Jiwanya sebagai pramugari masih ada, cekatan dan suka jalan cepat. Meski begitu derap langkahnya masih anggun sama seperti saat bekerja dulu. Sama seperti rasa di hatinya yang tetap malah makin cinta.Kemudian pria yang bercelana loreng dengan banyak saku dan kaos oblong cokelat itu meraih putra kes
Anak lelaki bisa menjadi sahabat bagi bapaknya dan pelindung bagi ibunya. Pepatah itu mulai kurasakan saat Noah berusia setahun minggu lalu. Bahkan, semenjak usia delapan bulan dia laksana sahabat dan rekan terbaikku. Kini tanpa terasa usianya sudah setahun. Kami merayakan pertambahan usianya dengan sebuah syukuran sederhana di rumah romo dan ibu.Dia meniup lilin ulang tahun di kue cokelat yang kubuat sendiri dibantu ibu. Tak hanya itu, Noah juga menghabiskan sepiring besar nasi kuning buatan mami. Memang, ya, selera makan besar nurun aku.Sayang, kami harus merayakannya tanpa mas Inu karena dia sibuk di kantor seharian. Bagiku itu sudah biasa, mas Inu tidak selalu bisa hadir dalam setiap suasana karena tuntutan dinas. Bukan hanya ulang tahun anak semata wayang kami saja, tapi juga ultah ibu dan romo pernah dia lewatkan karena tugas.Yang luar biasa adalah pengertian dari Noah. Anak sekecil itu tak pernah menuntut atau rewel tatkala Didi – biasa dia meman
Inu Adikara POVSembilan bulan dua belas hari, Bridgia membawa anakku ke mana-mana. Tidur, makan, mandi, menyapu rumah, memasak, mencuci, dan aktivitas apa pun. Termasuk saat merayu dan menggodaku kesabaranku saban hari. Dia mengganggu ketenangan pagi dan malamku. Membuat permintaan yang kadang konyol dan tak masuk akal. Sampai lelah kadang menghadapi Brie.Namun, dia tak punya lelah dalam membawa anakku ke mana-mana. Tak pernah sekali saja ditaruh perut besar seksinya itu. Pasti berat, sebab aku pernah mengangkat perut buncitnya dengan tanganku. Berat karena berisi bayi dan cairan-cairan lainnya. Oleh karena itu, ibu hamil itu sangat mulia. Itulah yang membuatku sangat mencintai Brie saat ini.Untuk ukuran ibu hamil trisemester tiga, Brie tergolong bu mil yang aktif. Bahkan, saat pesta pertunangan Mbak Rania minggu lalu, dia tetap lincah membantu ini dan itu dengan perut besarnya. Dia tak suka berpangku tangan. Jiwanya sebagai pramugar
Tangan ini hanya bisa melambai ke udara saat melepasnya pergi. Petang ini kembali kulepas pujaan hati kembali ke tanah penugasan. Tak bisa dipungkiri, dia belum waktunya bersantai. Masih harus menuntaskan kewajibannya. Bisa melipir untuk mengantarku pulang saja sudah syukur.Sekali lagi kulambaikan tangan sampai di menghilang di ambang gate 10A. Kulepas Inu dengan air mata haru, bukan sebuah kesedihan. Sebab tak lama lagi dia akan kembali lagi untuk memelukku. Dan mungkin memeluk anak kami di dalam perut sini.Benar, aku tak begitu sedih karena ada yang tertinggal dari Inu di dalam tubuhku. Benihnya. Semoga saja mereka bertemu dan membuat sebuah pencapaian besar. Sebuah hadiah indah yang akan kusambut di bulan depan, semoga. Aku sangat menginginkan kehamilan ini.Secara otomatis, surat pengunduran diriku akan terkirim ke maskapai seiring dua garis itu. Aku akan mengundurkan diri dari dunia pramugari yang tlah membesarkan jiwaku. Ya, semoga.“Cepatla
“Air mata rinduku tercipta lagi. Menoleh ke samping, aku sendirian. Hanya berharap satu, andaikan kamu di sini.”Pernahkah kamu merasa sepi saat sekelilingmu ramai? Mereka tertawa lepas, tapi mulutmu terlalu berat untuk membalasnya. Semua ribut membeo, bertutur, berceloteh, sedangkan kamu hanya diam tanpa ekspresi. Seolah tak ada yang menarik selain hanya merasa sepi.Pernahkah kamu merasa berat meski sedang tidak membawa apa pun?Apa saja yang kamu rencanakan terasa susah untuk diwujudkan. Semua menjadi serba salah. Tak enak hati karena bimbang antara memilih atau menolak kenyataan.Mungkin cuma barisan orang rindu macam aku ini yang sedang merasakannya.Tidak bergairah untuk sekedar melempar senyum atau pun serba salah dalam setiap perilaku. Seolah tak ada yang menyenangkan, semua terasa buntu.Kusadari itu semua karena rindu. Kangen pada seseorang yang ditunggu kedatangannya, tetapi tak kunjung data
"Masihkah kamu mencintaiku?" tanya Inu lirih."Entah,” jawabku dengan mata kosong."Kamu sedang memikirkan apa?""Kamu,” jawabku jujur."Sudah memaafkanku?" Inu mencium punggung tanganku dengan hangat"Nggak kepikiran!""Kenapa?""Nanti kamu sakitin aku lagi."Dialog-dialog kami mengalir seperti air hujan yang tercurah dari genteng. Kami duduk bersebelahan sambil bersandar pada tembok yang dingin. Tanpa saling melihat hanya saling memegang tangan. Pandangan kosong menerawang, sesekali mengingat apa yang baru saja kami lakukan.Aku tersadar bahwa kami baru saja bercinta dengan hebat dan meminggirkan semua kerusakan yang sempat terjadi. Kini apa status kami, mungkin sepasang suami – istri yang masih cinta dan saling memperbaiki situasi.Seperti Inu Adikara yang kali ini melabuhkan pelukan lebarnya pada tubuhku yang tanpa benang sehelai saja ini. Inu makin mengeratkan pelukannya saat aku mencium dad
Hujan telah menghiasi langit Jakarta yang gelap. Pukul delapan malam, harusnya aku bahagia larut dalam pesta bujangan Sysil. Nyatanya, aku malah di dalam kamar gelap berteman pemahaman yang makin pelik. Berteman anggapan dari pikiranku yang makin rumit. Tentang pernikahan ini dan Inu Adikara.Sepertinya pernikahan ini telah menemui jalan buntu. Aku bisa memaafkan semua kesalahan Inu, tapi tidak dengan satu, perselingkuhan. Sama seperti dia yang membenci seorang peselingkuh, entah benar atau tidak, aku pun sama. Entah, mungkinkah ini akhir dari semua kebodohan ini?Di tengah kesesakan dari dada dan rasa, tiba-tiba telingaku mendengar suara deru mobil yang dimatikan. Rupanya Inu sudah datang. Tersangka utama keributan sore ini siap untuk menghancurkan sisa malam bersamaku. Mungkin ini akan jadi malam terakhir aku melihat kamar ini.Sebab setelah ini aku akan pergi meninggalkan semua, “dunia” bodoh ini.Setelahnya, te
“Ginikah Mas potongan wortelnya? Kurang kecil nggak?” Kuahnya kayak gini? Kurang kaldu apa gimana? Suka bening apa pekat?”“Suka merica apa lada hitam? Aku banyakin yang mana?”Inu menatap sang istri yang berceloteh riang sambil mengaduk-aduk spatula. Wajah sang pramugari terlihat semringah karena sore ini dia memasak untuk sang suami di rumah mertua. Dapur yang sepi berubah menjadi riuh karena perdebatan kecil di antara mereka. Ya cuma masalah potongan wortel yang kegedean, atau kuah sup sayur yang kurang pekat.“Kalau terlalu besar wortelnya, kata ibu, jadi nggak manis gitu,” lanjut Brie ceriwis.Inu mendekati pipi sang istri. “Terserah kamu, Dek! Semua masakanmu pasti kumakan.”Brie mendelik kecil sambil menaruh spatula. “Kok gitu? Nanti Kalau nggak enak aku diomeli lagi!” protes Brie.“Siapa sih yang berani ngomeli cewek galak macam kamu?&r
Ada yang lebih seram dan pekat dari awan kumulonimbus. Ada yang lebih berat dari pintu Boeing 737-800. Ada yang lebih menyesakkan dari dekompresi udara. Ada yang lebih rumit dari tombol kokpit. Dia bernama rindu. Aku mengenalnya semenjak bertemu dengan manusia itu.Rindu pada manusia yang jauh di sana – yang sekarang makin jauh. Setelah meninggalkanku ke Bandung, sekarang Inu sudah ada di Situbondo. Dia harus merampungkan tugas pada negaranya sebagai seorang penjaga bangsa yang setia.Rinduku sama dengan celotehnya, makin seru. Apalagi jika mendengar suara ceriwisnya, serasa aku ingin menembus ruang untuk bersua dengan Inu di sana.Dia menjadikanku buku diari hidup dengan bercerita banyak hal di panggilan telepon. Katanya, dia ketemu banyak prajurit dari matra lain. Maksudnya, dari Angkatan Laut dan Udara. Yang laut bawa kapal induk dan yang udara bawa jet tempur. Seru, berasa simulasi perang sungguhan. Mereka meledakkan bom di gunung, meledakkan meriam, d