Gian membelalakkan mata dengan takjub akan apa yang dikatakan Elang. Selama ini, Gian menjadikan Elang sebagai penasehat terbesar dia sekaligus guru dan mentor.“Jadi … tak apa membiarkan mereka seperti itu, Elang?” Gian memastikan sekali lagi. Dia tidak ingin terlihat bodoh dan payah.Elang memutar bola matanya dan menjawab, “Tentu saja tak apa! Kau ini bodoh atau tolol, sih? Sudah susah payah si tua idiot itu memberikan semua ilmu dan kekuatannya ke kamu, tapi kau malah menyia-nyiakannya begitu saja!”“Menyia-nyiakan? Kenapa begitu? Aku hanya menolak kemauan aneh mereka saja, tentu itu sudah sesuai dengan moral masyarakat, kan?” Gian mengira sikap penolakannya sudah benar sesuai dengan adab yang ada di masyarakat.Elang melompat berdiri sambil menghardik dengan cicitan lucunya ke Gian, “Moral apanya, astaga! Kau ini sungguh terlalu hijau, Bocah! Kau bertahun-tahun menjadi itik buruk rupa. Diejek jelek, burik, dan berbagai macam ejekan lain, kau yang tahu sendiri. Nah, ketika kau sud
Gian panik, bagaimana jika dia tidak bisa menenangkan bagian selatannya itu? Tapi, akan lebih gawat lagi apabila Wina mengetahuinya.Baiklah, baiklah, dia harus tenang terlebih dahulu. Tak boleh panik.Maka, dia mulai melakukan olah pernapasan sambil duduk dan menatap ke luar jendela, memandangi langit kebiruan di atas sana, membayangkan alam, membayangkan Elang.Ah, mendadak dia menyesal tidak membawa Elang bersamanya saat ini. Kalau ada Elang, dia pasti tidak akan sebingung ini. Mungkin dia harus menyertakan si tikus putih apabila memiliki acara khusus semacam ini.Tanpa terasa, gundukan di selatan tubuh Gian mulai mengempis dan surut ketika Gian berfokus pada panorama dan Elang.Klak!Pintu kamar mandi terbuka dan keluarlah Wina dari sana, namun hanya berbalut handuk dan mungkin sudah memakai pakaian dalam di balik handuk.Tapi … bukankah itu namanya ingin menyengsarakan Gian lagi? Pemuda ini baru saja berhasil menenangkan pusaka jantannya!Untuk menghindari kejadian seperti tadi,
“Gian? Tunggu apa lagi? Lekas lepas bajumu dan ganti dengan yang tadi kita beli.” Suara Wina menyadarkan Gian yang melamun.“Ha? Oh! Um … itu … aku ganti di kamar mandi saja, yah!” Gian tidak menunggu sahutan dari Wina dan menyambar kotak pakaian untuknya, membawa kabur secepatnya ke kamar mandi.Lea sampai terkikik geli usai Gian masuk ke kamar mandi. “Kalian … hi hi hi … kalian belum begituan, yah?” tanyanya secara frontal ke Wina. Itu karena mereka memang akrab dan Wina sering memanggil dia untuk merias.Wina terkekeh dengan wajah sedikit malu. “Belum, Kak. Dia … kami … masih sama-sama malu.”“Tak apa. Itu malah bagus. Pertahankan saja hubungan sehat semacam itu.” Lea menyentuh lembut lengan telanjang Wina.Di dalam kamar mandi, Gian menatap bingung setelan jas yang ada di depannya. Dia tak paham tata cara dan langkah demi langkah pemakaiannya.Tapi, karena tak ingin keluar dalam kondisi setengah telanjang, dia nekat memakai saja berdasarkan naluri.Ketika Gian keluar dari kamar ma
Wina mengabaikan tatapan cemburu dari pemuda yang ada di samping panggung dan menggamit lengan Gian, berdua mereka naik ke panggung.Sambil melebarkan senyumannya, Wina berkata sambil melepaskan gamitan pada lengan Gian, “Selamat ulang tahun, Arin.”Mata Gian lekas tertuju pada nama yang tertulis di dekorasi, Arindya Subono.“Wah, terima kasih sudah datang, Wina.” Arin menyambut pelukan basa-basi Wina sambil menempelkan pipi satu sama lain. “Eh? Siapa ini?” tanya Arin sembari menatap Gian dari atas sampai bawah begitu pelukan dilepas.“Oh, ini orang paling spesial aku.” Wina kemudian mengulum senyumnya sambil tersipu.Mata Arin melebar mendengar ucapan malu-malu Wina. “Eh? Pacar?”Wina tak menjawab dan hanya tersipu saja seakan-akan menyiratkan bahwa apa yang dikatakan Arin bisa saja benar.Kemudian, giliran Gian memberi ucapan salam ke gadis yang sedang berulang tahun, “Halo, aku Gian, selamat ulang tahun, yah! Semoga selalu diberikan kebahagiaan.”“Terima kasih.” Arin menerima ulura
Karena ternyata Gian tidak masalah mengenai itu, Wina hanya bisa mempercayai Gian bahwa remaja itu pasti sanggup menangani para pemuda menyebalkan di depannya.Alhasil, Wina dan Gian digiring ke sebuah sudut ruangan yang tadi digunakan saudaranya Arin untuk duduk bersama gerombolannya.Dari pakaiannya saja, Gian sudah mengerti bahwa mereka anak-anak orang kaya. Mereka begitu luwes dan nyaman dengan pakaian mahal mereka, berbeda dengan dirinya yang masih terkesan kaku dalam setelan jas ini.“Namanya siapa tadi?” tanya salah satu dari mereka.“Gian.” Gian memperkenalkan diri sambil julurkan tangan ke pemuda itu, tapi tidak ditanggapi. Uluran tangannya diabaikan dengan sengaja. Tak apa, dia tidak mengambil hati untuk hal remeh semacam itu.“Aku Logan.” Saudaranya Arin mengatakan namanya. “Mereka Tristan, Armand, Brian, Khaled, dan Kristo.”Para pemuda yang namanya disebut, hanya mengangkat dagu mereka sebagai ganti tangan untuk mengucap salam ke Gian. Tapi mereka melakukan dengan gaya cu
Arin yang melihat kesempatan bagi saudaranya untuk unjuk kemampuan dan kekuatan di depan Wina, merasa bersemangat dan menyediakan meja khusus untuk mereka bisa bertanding panco.Tamu undangan adalah teman Arin dan anak-anak relasi bisnis ayahnya, maka dia tidak begitu peduli dengan mereka. Dia merasa pertunjukan adu kekuatan tangan ini lebih menarik.Gian sudah bersiap di tempatnya. Dia adalah yang ditargetkan, maka dia akan berada cukup lama di kursinya. Tidak masalah, karena dia yakin dia akan memenangkan semua babak dan mempecundangi mereka semua.Sementara itu, Wina tetap berdiri di samping Gian dan membiarkan saja remaja itu bertanding dengan gerombolan Logan.“Ayo!” Logan percaya dirinya meningkat tinggi karena dia merasa tubuhnya jauh lebih bugar dan besar ketimbang Gian. Dia duduk di seberang Gian. Di matanya, Gian adalah ikan mati yang mudah dipotong.Ketika Gian mengulurkan tangan untuk memulai pertandingan, Logan dengan angkuhnya berkata, “Tunggu sebentar! Aku harus menggun
Mendengar kata taruhan, seringai di wajah Gian semakin lebar. Apakah mereka semua ini ingin menjadi ikan yang di atas talenan? “Baiklah. Apa taruhannya?” “Kalau aku menang, kau harus bersujud di depan kami, satu demi satu! Lalu, lepas jasmu dan sisakan pakaian dalam saja di tubuhmu!” Logan menyeringai sambil mengatakan sesuatu yang sekiranya bisa memalukan bagi Gian. “Baiklah!” Gian menganggukkan kepala dan bertanya, “Lalu, bagaimana kalau kau kalah?” “Mana mungkin aku kalah!” teriak Logan. “Tidak adil kalau kamu tidak mengatakan taruhannya untuk dirimu, Logan.” Wina kini berbicara mewakili Gian. “Bagaimana kalau kau kalah, kau yang melakukan apa yang tadi kau ucapkan? Bukankah itu adil?” Gian menyambung. Menggigit gerahamnya dengan kesal, Logan menolak. “Tidak mau! Kalau aku kalah … aku … aku akan berikan ini!” Dia mengambil kunci mobil mahalnya di saku celana dan dihempaskan ke atas meja. Mata Gian berbinar. Kenapa ternyata begitu mudah mendapatkan harta hanya dengan adu panco
“Bos Logan! Apa kamu serius dengan itu?” Mata Brian mendelik melihat kawannya membanting kunci vila mewah di meja untuk sebuah pertaruhan adu panco.Logan sebenarnya meneteskan darah di hatinya, namun karena dia tak mau malu di hadapan Wina yang sepertinya meremehkan dia, maka dia harus menahan pedih di hati untuk mempertahankan harga dirinya sebagai anak orang kaya yang disanjung di kota itu.“Hanya sebuah vila kecil saja, tak masalah!” Logan menyemburkan omong-kosong berikutnya meski hatinya berdarah-darah.Gian menyeringai tipis dan mempersiapkan tangannya. “Ayo!” Dia tidak menyangka bisa mencari kekayaan dengan cara seperti ini. Bayangkan saja jika ada sebuah tempat bertanding semacam ini dengan hadiah semewah yang diberikan anak-anak orang kaya di depannya, alangkah cepatnya dia akan menjadi orang kaya berikutnya.“Siapa takut!” Logan mengikuti Gian dan menaruh tangannya di atas meja.Penonton mulai bersemangat melihat pertunjukan spektakuler ini. Logan yang bertubuh atletis dan
“Ya, misimu sudah selesai. Kau bisa melanjutkan hidupmu seperti dulu atau seperti apapun yang kau inginkan.” Gumpalan itu menyahut Gian. Meski menyenangkan mengetahui bahwa dia sudah menyelesaikan misi, tapi ada keengganan di hatinya. Wajah gembira Gian berganti ke muram dan bertanya, “Apakah aku boleh tetap memiliki kekuatan ini dan meneruskan misi? Aku … jujur saja aku mulai menyukai menolong orang.” Dia sedikit malu saat mengatakannya dan menggaruk belakang kepalanya. Si gumpalan terdiam sesaat, tapi kemudian ada suara lain muncul dan itu barulah suara Dewa Milhesh. Mungkin ucapan Gian segera diteruskan ke sang dewa oleh gumpalan tadi. “Kau ingin tetap melakukan misi kemanusiaan?” tanya Dewa Milhesh ingin memastikan dari Gian sendiri. “Benar, Tuan Dewa.” Gian mengangguk dan meneruskan, “Saya sudah terbiasa melakukan misi ini dan rasanya sedih jika harus menyudahinya. Kalau Tuan Dewa berkenan, bolehkah saya meneruskan misi?” “Hm, ya sudah, kau bisa lanjutkan misimu sampai kau pu
Gian sedang memberikan terapi penting pada seorang bapak untuk mencegah si bapak menderita penyumbatan darah di saluran yang ada pada jantungnya, tapi ternyata ada copet yang sedang dikejar seseorang yang mungkin saja korbannya.Haruskah Gian menghentikan terapi untuk menolong korban copet? Ternyata tidak perlu.Dengan santai, Gian cukup menjulurkan kakinya ke belakang saat dia sedang memberikan terapi di dada si bapak, dan copet yang berlari tadi tersandung dan terjungkal akibat itu sehingga dia bisa diringkus dengan cepat.Sepertinya Gian mulai menyukai misinya yang menyenangkan karena bisa membuat seseorang tersenyum bahagia usai ditolong. Apalagi, misi ini juga tidak memerlukan banyak tantangan. Mudah untuknya.Benarkah akan selalu mudah?***"Jangan kamu kira kamu yang paling hebat hanya karena kamu kuat!" Seorang lelaki menatap penuh dengki ke Gian saat mereka saling berhadapan di sebuah kebun kosong di sebuah desa. "Aku tidak merasa yang paling hebat. Aku hanya meminta kamu be
Ini masih jam 9 malam, belum terlalu larut malam sehingga masih ada banyak orang di jalanan.Ketika Gian baru saja menyembuhkan ibu pemilik warung kecil penjual pecel dan gado-gado, mendadak saja dikejutkan dengan teriakan orang-orang di dekatnya.Ketika Gian menatap apa yang menjadi biang keributan, ternyata ada mobil yang berjalan zig-zag tidak terkendali dengan kecepatan yang cukup tinggi. Meskipun jalanan sudah cukup sepi, namun masih ada banyak pejalan kaki di sana.Mobil itu tiba-tiba saja sudah berpindah ke daerah jalur sepeda dan hendak menyeruduk beberapa pesepeda yang sedang berada di sana.Gian lekas bergerak cepat dan menghilang dari hadapan ibu tadi dan dia sudah ada di depan mobil tadi dan memegangi bumper depan mobil sehingga kuda besi itu pun bisa berhenti secara paksa.Ketika mobil sudah berhasil dihentikan, orang-orang segera saja mengerumuninya dan terlihat pengendaranya ternyata sedang teler karena itu terlihat jelas dari tingkah lakunya.Oleh karena itu, orang-ora
Gian berjalan kaki keluar rumah, dan bahkan dia tidak menggunakan kendaraan apapun untuk perjalanan misinya. Ini memang yang diperintahkan Dewa Milhesh kepadanya sebagai salah satu hukuman.Karena fisik kuat melebihi manusia biasa, Gian tidak mengalami kesulitan ketika dia harus berjalan berkilo-kilometer jauhnya tanpa berhenti.Di tas ransel yang dia bawa hanya ada 3 stel baju dan dalaman. Kostum ajaib dari perusahaan Rusia sudah dihancurkan oleh Dewa Milhesh kala itu di puncak gunung.Saat ini, Gian benar-benar mirip bocah petualang biasa. Hanya saja, dia terlihat berbeda karena penampilan menawannya.***Bruakk!Seorang lelaki terpental hingga menabrak tumpukan peti kayu di belakangnya ketika Gian meninjunya meski hanya mengeluarkan sekian persen kecil dari kekuatannya.“Bukankah sudah aku bilang agar kamu bersikap lebih pantas pada yang tua? Bisa-bisanya kamu merampas uang bapak ini!” tegur Gian pada orang yang baru saja dia tinju.Setelahnya, dia mengambil kembali segepok uang Rp
Gian benar-benar tidak bisa berkata-kata untuk beberapa saat ketika mendengar Alicia yang terdengar cemas dan bertanya pada dia.Meski Gian memiliki sekelumit dugaan bahwa orang yang memiliki perasaan kuat padanya hanyalah Alicia, tapi dia tetap saja terkejut mendapati bahwa itu adalah nyata.Padahal, Dewa Milhesh membuka segel penghapusan memori dimulai tadi malam, tapi ternyata Alicia sudah mencari dia sejak siang.Bergegas, Gian meraih ponselnya dan dia lupa bahwa dia sempat mengatur silent pada ponsel itu. Tentu saja, ada banyak panggilan tak terjawab dan chat yang semuanya adalah dari Alicia.“Cia … em, maaf … aku minta maaf, ponselnya aku silent, he he ….” Gian tersenyum canggung.“Oh, aku pikir kamu kenapa. Aku lega bukan main waktu kamu masuk ke kelas. Kau tahu, kau sudah tidak masuk berminggu-minggu, membuatku cemas saja.” Alicia seperti sedang mengomeli Gian, tapi remaja pria itu justru tersenyum senang.Ya, memang dari dulu hanya Alicia yang memiliki kepedulian lebih terhad
Memang informasi yang didapat Gian dari gumpalan gaib itu bukan suara melainkan pemahaman-pemahaman yang ingin dia ketahui.Gian diam dan mencerna apa yang masuk ke otaknya dari gumpalan kabut petir emas.Akhirnya dia paham, bahwa saat ini, semua anggota keluarganya hanya mengingat Gian di rentang waktu saat dia belum memiliki kekuatan super.Meski begitu, wajah Gian saat ini sudah sesuai dengan wajah terakhir dia, yaitu pemuda tampan yang membawa aura bule menawan padanya.Keluarga dan semua orang tidak akan ada yang ingat mengenai Gian memiliki kekuatan ajaib di luar nalar manusia. Oleh karena itu, Dewa Milhesh tidak memperbolehkan dia menunjukkan kekuatan itu jika bukan untuk kebajikan dalam misi kemanusiaan atau Gian bisa mendapatkan hukuman keras dari sang dewa.Karenanya, Gian pada malam harinya ketika pergi ke ruang makan untuk bersantap bersama ibu dan saudara-saudaranya, masih akan ada sikap usil dari Carlen dan Zohan.Namun, mereka sedikit terkejut dengan perubahan wajah Gia
Setelah Dewa Milhesh menunjukkan raut tegasnya yang mengakibatkan penampilannya makin menyeramkan karena kulit kemerahan dia, sang dewata pun mengendur dan menghela napas. “Haahh … manusia tetaplah manusia.”Mendengar suara Dewa Milhesh mendadak lebih lembut, beban di benak Gian menguap secara perlahan dan dia menjadi lebih tenang.“Kau harus bersyukur bahwa aku bukan orang kejam dan seenaknya meski kekuatanku besar. Nak, kau harus meneladani diriku ini, kau paham?!” Sang dewa melotot meski tidak menyebarkan aura mengerikan seperti sebelumnya.Gian tergagap menjawab, “Ba—baik, Tuan Dewa! Tentu! Tentu saya paham! Saya pasti meneladani Anda!” Memangnya apa lagi yang bisa dia ucapkan selain itu agar sang dewata tidak murka?“Hm, baiklah. Aku akan mengabulkan keinginanmu. Jadikan ini pengingat untuk dirimu agar setelah ini, jangan bertindak berlebihan dan merugikan orang baik di luar sana! Kau paham?” tegas Dewa Milhesh sambil menatap tajam ke Gian.“Paham, Tuan Dewa!” Gian mengangguk teg
Hukuman. Dia akan dihukum. Gian berdebar merenungkan kata itu. Apalagi, ini hukuman dari entitas tinggi seperti dewa, akan separah apa hukuman yang diberikan?Melihat Gian yang mulai pias karena ketakutan, Dewa Milhesh menghela napas dan berkata, “Aku ini bukan orang kejam.” Lagi dan lagi, sang dewata mengulang kalimat itu agar tak ada orang yang salah persepsi padanya hanya karena penampilan bengis dan menakutkannya.Tak juga mendapatkan sahutan dari Gian, maka Dewa Milhesh berkata lagi, “Hukuman untukmu adalah … aku cabut semua kekuatan yang ada di tubuhmu, semua yang diberikan mantan muridku.”Gian membelalakkan matanya lebar-lebar. Kekuatan supernya hendak dicabut? Bukankah itu artinya dia menjadi manusia pecundang lagi? Dia akan kembali ke kehidupan lamanya yang menyedihkan, bahkan mungkin kali ini akan lebih menyedihkan karena semua orang pasti mengutuk dan menginginkan dia membusuk di penjara.Karena memikirkan kemungkinan terburuk itu, Gian menundukkan kepala. Sepertinya sudah
Diperalat?Kepala Gian bagai dihantam godam raksasa meski itu hanya sebuah ucapan dari Dewa Milhesh.Saat Gian sedang sibuk memproses ucapan sang dewata, sosok besar di langit itu melanjutkan bicara, “Kamu harus tahu, bahwa sebenarnya tikus putih yang selalu bersamamu itu aslinya adalah siluman tikus iblis, dan rekannya yang memberimu kekuatan listrik itu merupakan jin yang berubah menjadi siluman kucing iblis. Mereka sudah pernah beberapa kali membuat huru-hara di dunia manusia sejak jaman dulu.”Gian terdiam mendengarkan penuturan sang dewata dengan seksama, tidak berani mengeluarkan kalimat meski satu kata pun. Dia harus mengetahui dengan jelas semua hal mengenai Elang dan kekuatan di dirinya.“Kucing putih itu dulunya adalah jin yang menjadi muridku. Awalnya dia baik dan patuh padaku. Namun, sejak berteman dengan siluman tikus, perangainya berubah dan kerap membangkang, hingga aku mengusir dia dari kahyangan.“Selain itu, yang membuatku marah, jin muridku itu mencuri salah satu ra